Shalat Qabliyah Jum’at dan Azan Dua Kali

0
80

Pertanyaan

Assalamu’alaikum Tadz, mau  tanya ibadah/ amaliyah seputar jumat sbb:

1. Adakah dasar hukum sholat qobliyah jumat padahal di mekah/ madinah tdk melakukannya sholat sunnah kecuali sunnah mutlak.

2. Adakah dasar hukum azan pertama dilakukan setelah waktu zuhur masuk lalu kemudian sunnah qobliyah 2 rakaat.


Jawaban

Oleh: Ustadz Slamet Setiawan

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته

Shalat sunnah sebelum shalat Jum’at terdapat dua kemungkinan. Pertama, shalat sunnah mutlak, hukumnya sunnah. Waktu pelaksanannya berakhir pada saat imam memulai khutbah.

Kedua, shalat sunnah qabliyyah Jum’at. Para ulama berbeda pendapat tentang shalat sunnah qabliyyah Juma’at. Pertama, shalat qabliyyah Jum’ah dianjurkan untuk dilaksanakan (sunnah). Pendapat ini di kemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Syafi’iyyah (menurut pendapat yang dalilnya lebih tegas) dan pendapat Hanabilah dalam riwayat yang tidak masyhur. Kedua, shalat qabliyyah Jum’at tidak disunnahkan menurut pendapat Imam Malik, sebagian Hanabilah dalam riwayat yang masyhur

Adapun dalil yang menyatakan dianjurkannya sholat sunnah qabliyah Jum’at: Hadist Rasulullah SAW

مَا صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانٍ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِاللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ “مَا مِنْ صَلاَةٍ مَفْرُوْضَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ

“Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua rakaat”. (HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shahih dari hadist Abdullah Bin Zubair).

Hadist ini secara umum menerangkan adanya shalat sunnah qabliyah tanpa terkecuali shalat Jum’at.

Hadist Rasulullah SAW

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ سُلَيْكٌ الغَطَفَانِيُّ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيْءَ؟ قاَلَ لاَ. قَالَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيْهِمَا. سنن ابن ماجه

“Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al Ghathafani datang (ke masjid), sedangkan Rasulullah saw sedang berkhuthbah. Lalu Nabi SAW bertanya: Apakah kamu sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi SAW bersabda: Shalatlah dua raka’at dan ringankan saja (jangan membaca surat panjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah: 1104).

Berdasar dalil-dalil tersebut, Imam An Nawawi menegaskan dalam kitab Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab:

فَرْعٌ فِيْ سُنَّةِ الجُمْعَةِ بَعْدَهَا وَقَبْلَهَا. تُسَنُّ قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا صَلاَةٌ وَأَقَلُّهَا رَكْعَتَانِ قَبْلَهَا وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهَا. وَالأَكْمَلُ أَرْبَعٌ قَبْلَهَا وَأَرْبَعٌ بَعْدَهَا

“(Cabang). Menerangkan tentang sunnah shalat Jum’at sebelumnya dan sesudahnya. Disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’at. Paling sedikit dua raka’at sebelum dan sesudah shalat jum’at. Namun yang paling sempurna adalah shalat sunnah empat raka’at sebelum dan sesudah shalat Jum’at”. (Al Majmu’, Juz 4: 9)

Adapun Dalil yang menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum’at adalah sebagai berikut.:

Hadist dari Saib Bin Yazid: “Pada awalnya, adzan jum’at dilakukan pada saat imam berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Ustman menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam Bukhori menambah adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqamat). (H.R. Jama’ah kecuali Imam Muslim).

Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat, “Ketika Nabi keluar dari rumahnya langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi SAW langsung berkhutbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan khutbah, lantas kapan Nabi SAW dan jama’ah itu melaksanakan shalat sunnat qabliyah Jum’at?

Dari dua pendapat dan dalilnya diatas jelas bahwa pendapat kedua adalah interpretasi dari tidak shalatnya Nabi SAW sebelum naik ke mimbar untuk membaca khuthbah. Sedangkan pendapat pertama berlandaskan dalil yang sudah sharih (argumen tegas dan jelas). Maka pendapat pertama yang mensunnahkan shalat qabliyyah jum’ah tentu lebih kuat dan lebih unggul (rajih).

Azan Dua Kali

Adapun adanya adzan dua kali pada shalat Jumat, disebutkan dalam riwayat bahwa mulai berlaku pada masa Utsman bin Affan ra. Ketika itu, Utsman memandang bahwa umat Islam semakin banyak dan diperlukan adanya pemberitahuan adzan untuk shalat Jumat lebih dari sekali, maka jadilah adzan dalam shalat Jumat dua kali.

Kisah penambahan adzan kedua oleh Utsman sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya. As Saib bin Yazid meriwayatkan, “Pada masa Nabi SAW, Abu Bakar, dan Umar, adzan untuk shalat Jumat dilakukan ketika khatib telah duduk di mimbar. Ketika masa Utsman, dan jumlah umat Islam makin meningkat, dia menambah adzan pertama, dengan dikumandang kembali adzan di Zawra` (adzan kedua).”

Sebagaimana dilegitimasikan oleh Dewan Fatwa Mesir, tindakan Utsman tersebut bukanlah suatu perbuatan yang menyimpang, karena juga disetujui oleh para sahabat mulai lainnya. Terlebih hal itu tetap dilakukan pada masa setelahnya, yaitu sejak Ali bin Abi Thalib, hingga sampai saat ini. Bahkan Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menyebutkan sebagai kategori bid’ah hasanah. Karena itu adzan kedua adalah sunah yang dilakukan oleh Utsman ra yang mendapat legitimasi dari Nabi SAW, “Siapa dari kalian yang masih hidup setelahku akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para khulafa ar-rasyidin.” (HR. Ibnu Hibban dan al-Hakim) Dan Utsman termasuk salah seorang dari khulafa ar-rasyidin itu. Demikian pula dari zaman para sahabat sampai hari ini, telah tercapai ijmak amali (bersifat perbuatan) atas penerimaan atau diperbolehkan adanya adzan yang kedua.

Kesimpulan

Kenapa di Makkah dan Madinah tidak melakukan shalat qabliyah Jum’at? Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Imam Malik dan sebagian Hanabilah berpendapat bahwa tidak disunnahkan shalat qabliyah Jum’at. Saudi Arabia menjadikan madzhab hambali sebagai madzhab resminya. Madzhab hambali menjadi aturan resmi untuk setiap peradilan dan rujukan dalam fikih.

Dan kita sepakat, memilih satu madzhab sebagai acuan, bukanlah sikap yang tercela. Karena hampir semua negara islam memilikinya, seperti Indonesia yang bermadzhab Syafi’i, dan tentu saja atas lisensi dari para ulama.

Permasalahan ini semua adalah khilafiyah furu’iyyah(perbedaan dalam cabang hukum agama) maka tidak boleh menyudutkan di antara dua pendapat di atas. Dalam kaidah fiqh mengatakan “la yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkaru al- mujma’ alaih” (Seseorang boleh mengikuti salah satu pendapat yang diperselisihkan ulama dan tidak boleh mencegahnya untuk melakukan hal itu, kecuali permasalahan yang telah disepakati).

Wallahu a’lam.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here