Pertanyaan
Assalamu’alaikum wrwb Ustadz Kami mohon penjelasan tentang pengambilan madzab dalam masalah fiqih. Misal saya pake syafii, sejauh apa dan bolehkah sekaligus memggunakan madzab lain. (Member Manis 🅰2⃣8⃣)
Jawaban
Oleh: Ustadz Slamet Setiawan
و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته
Allah berfirman:
فسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“maka tanyakanlah terhadap beberapa orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui” (Qs. Al Anbia : 7)
Umat Islam secara umum terbagi menjadi dua golongan, yakni golongan alim dan golongan awam. Dimana kedua golongan tersebut mempunyai kewajiban yang sama untuk melaksanakan ajaran Islam dengan benar sesuai yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya. Disini golongan alim memiliki kemampuan untuk mendalami dan memahami syariat Islam dengan benar dan juga mampu menyimpulkan apa yang diinginkan oleh Islam itu sendiri. Mereka disebut sebagai mujtahid. Sedangkan orang awam hanya mampu melaksanakan apa yang telah disarikan oleh seorang mujtahid, sehingga mereka disebut muqallid.
Untuk beberapa mujtahid, dengan kapabilitas yang mereka punyai, mereka bisa menggali hukum sendiri dari Al-Quran serta Hadis bahkan juga untuk mereka tak bisa mengikuti pendapat orang lain. Sedang untuk orang awam begitu berat untuk mereka mengerti serta mengambil hukum dari Al Quran serta hadist secara langsung. Jadi bermazhab semata-mata untuk mempermudah mereka mengikuti ajaran agama dengan benar, karena mereka tak perlu lagi mencari tiap-tiap persoalan dari sumber aslinya yakni al-Qur’an, hadist, ijma’ dan lain-lain, tetapi mereka cukup membaca ringkasan tata cara melaksanakan ibadah dari mazhab-mazhab itu. Dapat dipikirkan bagaimana sulitnya beragama untuk orang awam, apabila mesti mempelajari semua ajaran agamanya lewat Al Qur’an dan hadist. Begitu beratnya beragama apabila kebanyakan orang mesti berijtihad. Serta banyak bidang yang menjadi kebutuhan manusia bakal tidak terurus bila seandainya tiap-tiap manusia berkewajiban untuk berijtihad, lantaran untuk memenuhi kriteria ijtihad itu pasti menggunakan waktu yang lama dalam mendalaminya.
Taqlid dalam perbandingan lain bisa kita ibaratkan dengan konsumsi makanan siap saji yang sudah di masak oleh ahlinya. Apabila kita mau memasaknya sendiri sudah pasti kita mesti terlebih dulu mempersiapkan beberapa bahan makanan itu serta mesti mempelajari beberapa cara memasaknya dan juga mesti memiliki pengalaman dalam memasak. Hal semacam ini sudah pasti memerlukan waktu bahkan juga terkadang hasil yang didapat tak memuaskan, tidak menjadi makanan yang lezat. Demikian pula dalam taqlid, sudah pasti ia harus lebih dulu kita pelajari serta menguasai kriteria ijtihad. Mungkin lantaran kapabilitas yang masih kurang, hukum yang dihasilkan juga adalah hukum yang fasid.
Jadi simpulannya, bermadzhab adalah cara yang aman bagi orang awam untuk bisa menjalankan syariat Islam dengan baik dan benar walaupun dirinya mempunyai keterbatasan ilmu.
Lalu bolehkah bermadzhab dengan beberapa mujtahid?
Pada dasarnya tidak ada kewajiban bermazhab dalam Islam, akan tetapi yng ada adalah kewajiban mengikuti Al Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Para imam madzhab pun seluruhnya berwasiat agar pengikutnya tidak taqlid secara buta terhadap pendapatnya, akan tetapi kita diperintahkan untuk mengambil pendapat yang lebih kuat di antara mereka. Jadi kesimpulannya tidak mengapa mengikuti lbih dari satu madzhab.
Berikut saya kutip beberapa wasiat dari imam madzhab yang masyhur:
Wasiat Imam Abu Hanifah
1) “Jika telah shahih suatu hadits, maka ia adalah mazhabku.” (Disebutkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Al-Hasyiyyah)
2) “Tidak halal bagi seorang pun untuk berdalil dengan pendapat kami, jika ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.”
3) “Haram hukumnya bagi orang yang tidak mengetahui dalil yang aku gunakan, untuk berfatwa dengan pendapatku.”
4) “Sesungguhnya kami hanyalah manusia biasa, kami terkadang mengeluarkan suatu pendapat mengenai masalah tertentu pada suatu hari, dan kami berpaling darinya pada esoknya.”
5) Suatu ketika beliau berkata kepada murid terbaiknya yang bernama Ya’qub atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Yusuf,”Celaka kamu hai Ya’qub! Janganlah engkau menulis segala sesuatu yang telah engkau dengar dariku, karena aku terkadang mengeluarkan suatu pendapat pada suatu hari, dan esok harinya aku meninggalkannya, aku pun terkadang mengeluarkan pendapat pada esok harinya, dan pada lusanya aku meninggalkannya.”
6) “Jika aku mengatakan sebuah perkataan yang bertentangan dengan Kitab Allah dan khabar/sunnah yang datang dari Rasulullah SAW, maka tinggalkanlah perkataanku!”
Wasiat Imam Malik bin Anas
1) “Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia biasa, aku bias benar, dan bisa juga salah, maka perhatikanlah oleh kalian pendapat-pendapatku!, semua pendapat yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka ambillah!, dan semua pendapat yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka tinggalkanlah!.”
2) “Tidak seorang pun di dunia ini, melainkan pendapatnya bisa diambil dan bisa pula ditolak, kecuali Nabi SAW.”
Wasiat Imam Syafi’i
1) “Tidak seorangpun di dunia ini, melainkan pasti ada sunnah/hadits yang tidak diketahuinya. Jika aku mengeluarkan sebuah perkataan ataupun kaidah yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW, maka perkataanku adalah (kembali) kepada apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW.”
2) “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah/hadits dari Rasulullah SAW (terhadap suatu masalah), maka tidak halal baginya untuk menggantinya dengan perkataan siapapun.”
3) “Jika kalian menemukan dalam kitab karyaku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah SAW, maka berpendapatlah dengan menggunakan sunnah Rasulullah SAW, dan tinggalkanlah perkataanku.”
4) “Jika telah shahih suatu hadits, maka itulah mazhabku.”
5) Suatu ketika Imam Syafi’i berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal,”Engkau lebih mengetahui banyak hadits dan rijalnya dibandingkan denganku. Jika telah shahih suatu hadits, maka beritahukanlah kepadaku di daerah mana ia (periwayatnya) berada, Kuffah, Bashrah, ataupun Syam, hingga aku bisa pergi mendapatkannya, jika ia telah shahih.”
6) “Setiap masalah yang telah shahih berasal dari Rasulullah SAW menurut para ahli hadits, dan menyelisihi apa yang aku katakan, maka aku menyatakan diri untuk kembali (membatalkan perkataanku), baik ketika aku masih hidup, ataupun ketika aku sudah meninggal.”
7) “Jika kalian menemukan aku mengatakan sebuah perkataan yang di dalamnya telah shahih hadits Rasulullah SAW dan aku menyelisihinya, maka ketahuilah bahwa pada saat itu akal sehatku sudah tidak ada.”
8) “Setiap pendapat yang aku katakan, dan hadits Nabi SAW yang shahih menyelisihi perkataanku, maka yang harus didahulukan adalah hadits Nabi SAW, dan janganlah taqlid kepadaku.”
9) “Setiap hadits Nabi SAW adalah perkataan yang menjadi pendapatku, meskipun kalian tidak pernah mendengarnya dariku.”
Wasiat Imam Ahmad bin Hanbal
1) “Janganlah kalian taqlid kepadaku, dan jangan pula kepada Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Al-Auzai, ataupun Imam Al-Tsauri, dan ambillah oleh kalian sunnah itu dari tempat mereka mengambilnya.”
2) “Janganlah taqlid kepada seorang pun dalam urusan agamamu, akan tetapi ambillah ilmu itu dari apa-apa yang dating dari Rasulullah SAW, para sahabatnya, dan tabi’in yang terkenal kebaikannya.”
3) “Imam Al-Auzai telah mengeluarkan pendapat, demikian pula dengan Imam Malik dan Abu Hanifah. Semuanya hanyalah pendapat yang semuanya aku anggap sama saja. Akan tetapi, hujjah yang sebenarnya adalah yang terdapat dalam atsar (dari Nabi SAW dan para sahabatnya).”
Demikian uraian singkat ini, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam.
🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678