logo manis4

Membaca al-Qur’an bagi Wanita yang Istihadhah

📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Istihadhah sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) di dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari-adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita di luar ukuran waktu haidh. Atau sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qasim al-Ghazzi (w. 918 H) di dalam Fath al-Qarib al-Mujib Syarh Alfazh at-Taqrib, istihadhah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita selain hari-hari keluarnya darah haidh dan nifas, keluarnya bukan dalam keadaan sehat.

Para ulama sepakat bahwa wanita yang mengalami istihadhah maka ia diperbolehkan untuk tetap membaca al-Qur’an. Di antara dalil yang menunjukkan kepada hal ini di antaranya sebagaimana disampaikan oleh Imam Malik (w. 179 H) di dalam Muwaththa’-nya dari Siti ‘A’isyah ra. bahwa pernah suatu ketika Fathimah binti Hubaisy ra. bertanya kepada Nabi saw.: “Wahai Rasulullah, aku belum suci, apakah aku harus meninggalkan shalat?” Rasulullah saw. menjawab: “Itu adalah darah biasa dan bukan haid. Jika telah datang haidh, maka tinggalkanlah shalat. Dan jika masa haidh telah habis, maka laksanakanlah shalat, bersihkanlah darahmu dan kerjakanlah shalat.”

Imam Malik juga menyampaikan riwayat dari Ummu Salamah ra. -isteri Nabi saw.- bahwa pernah ada wanita di zaman yang terus-menerus mengucurkan darah. Ummu Salamah ra. lantas meminta fatwa Rasulullah saw. Beliau menjawab: “Hendaklah mereka memperhatikan berapa hari biasanya mereka mengalami haidh dalam sebulan, sebelum apa yang ia rasakan saat ini. Hendaklah ia tidak melakukan shalat pada jumlah hari yang ia biasanya mengalami haidh pada bulan tersebut. Setelah itu, hendaknya ia mandi, mengganti pakaian, dan mengerjakan shalat.”

Dari riwayat tersebut, jelas sekali bahwa Rasulullah saw. memerintahkan wanita yang mengalami istihadhah untuk tetap melaksanakan shalat. Dan sebagaimana diketahui, di dalam shalat sendiri terdapat bacaan-bacaan al-Qur’an. Sehingga dengan demikian, wanita yang istihadhah juga diperbolehkan untuk tetap membaca al-Qur’an.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Al Quran dan Hadits

Lafazh lsti’adzah yang Dianjurkan

📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Bacaan isti’adzah yang lebih dipilih oleh Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) sebagaimana disampaikannya di dalam al-Umm adalah a’udzu billahi minasy-syaithanir-mjim. Lafazh isti’adzah inilah yang paling masyhur. Dalilnya tiada lain sebagaimana redaksi asli dari firman-Nya: “Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl [16]: 98).

Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H) di dalam al-Hawi al-Kabir fi Fiqh Madzhab al-Imam asy-Syafi’i yang merupakan penjelasan dari kitab Mukhtashar al-Muzanni mengemukakan bahwa selain lafazh isti’adzah a’udzu billahi minasy-syaithanir-rajim, bisa juga isti’adzah dengan lafazh a’udzu billahis-sami’il-‘alimi minasy-syaithanir-rajim atau dengan lafazh a’udzu billahil-‘aliyyi minasy-syaithanilghawiyy. Namun, menurutnya, yang lebih utama adalah dengan lafazh yang pertama dibandingkan dengan yang kedua dan ketiga, karena ia diambil dari al-Qur’an. Isti’adzah dengan lafazh yang kedua lebih utama dari isti’adzah yang ketiga karena adanya riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri ra. mengenainya, yaitu dalam hal ini salah satunya sebagaimana disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) di dalan Sunannya di mana Abu Sa’id bercerita: “Adalah Rasulullah saw. jika beliau melakukan shalat malam, maka beliau bertakbir, kemudian mengucapkan ‘Subhanaka allahumma wa bi hamdika, wa tabarakasmuka, wa tahta jadduka, wa la ilaha ghairuka’, lantas mengucapkan Allahu akbaru kabira’, kemudian mengucapkan ‘audzu billahis-sami’il‘alimi minasy-syaithanir-rajim, min hamzihi, wa nafkhihi, wa nafatsihi’.

Isti’adzah dengan lafazh a’udzu billahis-sami’il-‘alimi minasy-syaithanir-mjim ini sebagaimana dapat kita baca penjelasan Sulaiman al-Bujairami (w. 1221 H) di dalam Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib atau yang dikenal juga dengan Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khathib, sebenarnya adalah dengan menggabungkan redaksi dalam dua ayat al-Qur’an, masing-masing dari QS. An-Nahl [16]: 98 dan QS. Fushshilat [41]: 36. Wallahu a’lam.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Salat di Awal Waktu

Membaca Isti’adzah di dalam Shalat

📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Mengenai hukum membaca isti’adzah di dalam shalat memang terjadi perbedaan pandangan para ulama di dalamnya. Ada yang mengatakan wajib, yaitu dalam hal ini pendapat Ibn Hazm azh-Zhahiri (w. 456 H), sebagaimana dapat dibaca di dalam aI-Muhalla bi al-Atsar. Dalilnya adalah firman Allah swt.: “Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl [16]: 98).

Namun menurut madzhab Syafi’i, membaca isti’adzah di dalam shalat adalah sunnah secara mutlak. Di antara dalilnya adalah riwayat dari Abu Hurairah ra. tentang Nabi saw. yang pernah meluruskan shalat seseorang yang banyak melakukan kesalahan di dalam shalatnya. Beliau mengajarinya: “Jika kamu melaksanakan shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Qur’an…” (HR. at-Tirmidzi) Jika saja membaca isti’adzah ini adalah wajib, maka tentu Rasulullah saw. memerintahkan untuk membacanya, sementara pada kenyataannya beliau menyuruh bertakbir kemudian langsung membaca al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa hukum isti’adzah itu hanya sampai pada tingkatan sunnah, dan tidak rusak shalat seseorang jika meninggalkannya, juga tidak perlu melakukan sujud sahwi jika seseorang lupa membacanya. Demikian sebagaimana dapat kita baca di dalam al-Umm. Wallahu a’lam.

⏩ Lafazh lsti’adzah yang Dianjurkan

Bacaan isti’adzah yang lebih dipilih oleh Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) sebagaimana disampaikannya di dalam al-Umm adalah a’udzu billahi minasy-syaithanir-mjim. Lafazh isti’adzah inilah yang paling masyhur. Dalilnya tiada lain sebagaimana redaksi asli dari firman-Nya: “Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl [16]: 98).

Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H) di dalam al-Hawi al-Kabir fi Fiqh Madzhab al-Imam asy-Syafi’i yang merupakan penjelasan dari kitab Mukhtashar al-Muzanni mengemukakan bahwa selain lafazh isti’adzah a’udzu billahi minasy-syaithanir-rajim, bisa juga isti’adzah dengan lafazh a’udzu billahis-sami’il-‘alimi minasy-syaithanir-rajim atau dengan lafazh a’udzu billahil-‘aliyyi minasy-syaithanilghawiyy. Namun, menurutnya, yang lebih utama adalah dengan lafazh yang pertama dibandingkan dengan yang kedua dan ketiga, karena ia diambil dari al-Qur’an. Isti’adzah dengan lafazh yang kedua lebih utama dari isti’adzah yang ketiga karena adanya riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri ra. mengenainya, yaitu dalam hal ini salah satunya sebagaimana disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) di dalan Sunannya di mana Abu Sa’id bercerita: “Adalah Rasulullah saw. jika beliau melakukan shalat malam, maka beliau bertakbir, kemudian mengucapkan ‘Subhanaka allahumma wa bi hamdika, wa tabarakasmuka, wa tahta jadduka, wa la ilaha ghairuka’, lantas mengucapkan Allahu akbaru kabira’, kemudian mengucapkan ‘audzu billahis-sami’il‘alimi minasy-syaithanir-rajim, min hamzihi, wa nafkhihi, wa nafatsihi’.

Isti’adzah dengan lafazh a’udzu billahis-sami’il-‘alimi minasy-syaithanir-mjim ini sebagaimana dapat kita baca penjelasan Sulaiman al-Bujairami (w. 1221 H) di dalam Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib atau yang dikenal juga dengan Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khathib, sebenarnya adalah dengan menggabungkan redaksi dalam dua ayat al-Qur’an, masing-masing dari QS. An-Nahl [16]: 98 dan QS. Fushshilat [41]: 36. Wallahu a’lam.

⏩ Menjahrkan Bacaan lsti’adzah

Sebagaimana dikatakan oleh Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, bacaan isti’adzah ini tidak dibaca jahr di dalam shalat sirriyah. Namun di dalam shalat jahriyah, terdapat beberapa pendapat di dalam madzhab Syafi’i sendiri. Ada yang mengatakan bahwa ia sunnah dibaca jahr sama seperti ketika mengucapkan basmalah dan amin, ada juga pendapat bahwa dalam hal ini terdapat dua pilihan, boleh jahr dan boleh sirr. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa ia tidak dibaca jahr, bahkan dikatakan bahwa yang sunnah adalah membacanya dengan sirr.

Pendapat yang mengatakan bahwa yang sunnah sebagaimana disebutkan oleh Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab adalah jahr melihat bahwa bacaan lsti’adzah itu mengikuti bacaan al-Qur’an, sehingga ketika ia dibaca jahr, maka isti’adzahnya pun dibaca jahr. Di antara yang mengatakan bahwa ia dibaca jahr adalah Abu Hurairah. Sementara pendapat yang mengatakan bahwa boleh memilih salah satu antara jahr dan sirr adalah karena kedua-duanya sama-sama bagus. Di antara yang mengatakan demikian adalah Ibn Laila. Imam asy-Syafn’i (w. 204 H) di dalam al-Umm juga membolehkan keduanya.

Adapun pendapat bahwa yang sunnah adalah membacanya dengan sirr yaitu pendapat yang paling kuat di antara dalilnya adalah firman-Nya: “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf [7]: 205) Isti’adzah sebenarnya termasuk dzikir, semenatara asalnya dzikir sendiri adalah dibaca dengan sirr.

⏩ Penempatan Bacaan Isti’adzah Dalam Shalat

Walaupun memang sudah sangat dimaklumi bahwa bacaan isti’adzah ini adalah sebelum membaca al-Fatihah, namun penting untuk disinggung di sini bahwa ada sebagian ulama di luar madzhab Syafi’i yang mengatakan bahwa bacaan isti’adzah ini justru setelah membaca ayat-ayat al-Qur’an, di antaranya adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Muhammad as-Sarkhasi (w. 483 H) di dalam al-Mabsuth di mana ada sebagian pengikut madzhab Zhahiri yang mengatakan demikian.

Namun, mayoritas menyatakan bahwa isti’adzah ini dibaca sebelum al-Fatihah. Imam asy-Syafi’i (w. 240 H) di dalam al-Umm mengatakan bahwa pendapat inilah yang dipegangnya. Di antara dalilnya adalah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri ra. sebagaimana yang penulis sampaikan pada pembahasan tentang lafazh isti’adzah sebelumnya. Ad-Daruquthni (w. 385 H) di dalam Sunannya juga menyampaikan sebuah riwayat bahwa al-Aswad ibn Yazid pernah melihat ‘Umar ibn al-Khaththab ra. melaksanakan shalat. Di dalamnya ia mengucapkan “Subhanaka allahumma wa bi hamdika, wa tabarakasmuka, wa ta’ala jadduka, wa la ilaha ghairuka’, kemudian ia membaca ta’awwudz.

Adapun terkait apakah isti’adzah ini dibaca pada setiap raka’at ataukah tidak, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah sendiri. Sebagaimana dikemukakan Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam Raudhah ath-Thalibin wa Umdah al-Muftin, ada pendapat yang mengatakan bahwa sunnahnya membaca isti’adzah adalah di dalam tiap raka’at, terutama sekali adalah pada raka’at pertama. Hal inilah yang disampaikan oleh Imam asy-Syafi’i (w. 204 H). Pendapat ini juga dipilih oleh al-Qadhi Abu ath-Thayyib, Imam al-Haramain, ar-Ruyani, dan lainnya. Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa isti’adzah ini hanya dibaca pada raka’at pertama saja. Adapun jika seseorang tidak membacanya pada raka’at pertama sebab lupa maupun karena disengaja, maka ia bisa membacanya pada raka’at kedua. Wallahu a’lam.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Al Quran dan Hadits

Membaca al-Qur’an di dalam Shalat Bukan dengan Bahasa Arab

📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Mengenai bacaan al-Qur’an di dalam shalat dengan bahasa selain Arab ini, Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam al-Majmu’ memberikan penjelasan bahwa tidak boleh membaca al-Qur’an dengan bahasa selain bahasa Arab, baik seseorang memang mampu berbahasa Arab maupun tidak, baik bacaan tersebut di dalam shalat maupun di luar shalat. Sehingga jika seseorang yang sedang shalat kemudian menerjemahkan bacaan al-Qur’annya, maka shalatnya menjadi tidak sah. Inilah pandangan yang dipegang dalam madzhab Syafi’i. Pendapat ini juga menjadi pegangan mayoritas ulama, di antaranya Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud.

Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) di dalam at-Tahbir fi ‘Ilm at-Tafsir mengatakan: “Membaca al-Qur’an dengan selain bahasa Arab adalah haram secara mutlak, baik yang membaca itu mampu membacanya dengan bahasa Arab maupun tidak.”

Sebelumnya, pada pembahasan tentang seseorang yang tidak mampu membaca al-Fatihah, penulis menyampaikan sebuah riwayat di dalam Sunan at-Tirmidzi bahwa Rasulullah saw. pernah mengoreksi shalat seseorang yang tidak memenuhi persyaratan sahnya shalat. Di antara yang Rasulullah sampaikan kepadanya adalah agar ia membaca al-Qur’an di dalam shalatnya, adapun jika ia tidak mampu, maka ia hendaknya membaca hamdalah, membaca takbir, tahlil, kemudian baru ia boleh ruku’. Dari riwayat ini saja jelas sekali bahwa tidak ada pilihan untuk mengganti bacaan al-Qur’an tersebut dengan makna yang dimengertinya, termasuk di antaranya menerjemahkannya.

Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an adalah lafazh yang berbahasa Arab, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab…” (QS. Yusuf [12]: 2), “(Ditururzkan) dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara’ [26]: 195), dan juga firman-Nya: ‘Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab…” (QS. Az-Zukhruf [43]: 3), maka, terjemahan al-Qur’an di luar bahasa Arab tidak dapat disebut sebagai al-Qur’an. Wallahu a’lam.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Hendaknya Satu Kubur Untuk Satu Mayit

Mengubur Mayit Satu Lubang Lebih Dari Satu Mayat

📝 Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan, S.S.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Bismillahirrahmanirrahim…

Hal ini pada prinsipnya terlarang karena tidak sesuai dengan cara penguburan Islam, KECUALI dalam kondisi darurat atau alasan yang dibenarkan.Seperti sama sekali ketiadaan lahan atau mayit yg sangat banyak dan tidak mungkin diurus satu persatu.

Syaikh Muhammad bin Umar Al Jawi Rahimahullah berkata:

وَلَا يجوز جمع اثْنَيْنِ فِي قبر وَاحِد بل يفرد كل وَاحِد بِقَبْر وَقَالَ الْمَاوَرْدِيّ بِالْكَرَاهَةِ عِنْد اتِّحَاد الْجِنْس أَو الْمَحْرَمِيَّة أَو الزَّوْجِيَّة

Tidak boleh menggabungkan dua mayit dalam satu kubur, tapi hendaknya satu kubur untuk satu orang. Al Mawardi berkata bahwa makruh menyatukan jenis, mahram, dan pasangan suami istri. [1]

Syaikh Sulaiman Al Jamal Rahimahullah menjelaskan:

أما دواما بأن يفتح على الميت ويوضع عنده ميت آخر فيحرم، ولو مع اتحاد الجنس أو مع محرمية ونحوها هذا والمعتمد أن جمع اثنين بقبر حرام مطلقا ابتداء ودواما اتحد الجنس أو لا

Ada pun membuka kubur mayit lalu meletakkan mayit lain di situ secara permanen adalah haram. Walau sesama jenis, atau mahramnya, dan semisalnya. Inilah pendapat yang mu’tamad ( pendapat resmi dalam madzhab Syafi’i), bahwa mengumpulkan dua mayit dalam satu kubur HARAM secara mutlak, baik dipermulaan saja atau terus menerus baik yg sesama jenis atau tidak. [2]

Larangan ini, baik yang mengatakan haram atau makruh, telah final dan disepakati. Imam Ibnu al Haj Rahimahullah berkata:

اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْمَوْضِعَ الَّذِي يُدْفَنُ فِيهِ الْمُسْلِمُ : وَقْفٌ عَلَيْهِ ، مَا دَامَ شَيْءٌ مِنْهُ مَوْجُودًا فِيهِ ، حَتَّى يَفْنَى ، فَإِنْ فَنِيَ فَيَجُوزُ حِينَئِذٍ دَفْنُ غَيْرِهِ فِيهِ ، فَإِنْ بَقِيَ فِيهِ شَيْءٌ مِنْ عِظَامِهِ فَالْحُرْمَةُ بَاقِيَةٌ لِجَمِيعِهِ ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْفَرَ عَنْهُ ، وَلَا يُدْفَنَ مَعَهُ غَيْرُهُ ، وَلَا يُكْشَفَ عَنْهُ اتفاق

Para ulama sepakat bahwa tempat dikuburkannya seorang muslim adalah tempatnya yang terakhir, selama masih ada bagian dari tubuhnya maka dia masih di situ, sampai dia fana (lenyap), jika mayat itu sudah tidak ada maka saat itu boleh bagi mayat lain di kubur di situ. Seandainya ada sisa tulangnya maka semua itu tetap dihormati, tidak boleh menggalinya dan menguburkan mayat lain bersamanya, dan tidak boleh dibongkar berdasarkan kesepakatan ulama. [3]

Namun, jika kondisinya darurat, jumlah mayat sangat banyak dan tidak tertangani satu persatu, maka tidak apa-apa mereka dikubur satu lubang. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. sendiri terhadap mayat para sahabat saat perang Uhud.

Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ يَقُولُ: «أَيُّهُمْ أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ»، فَإِذَا أُشِيرَ لَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah menggabungkan dua mayat yang terbunuh saat Uhud dalam satu kain, lalu Beliau bersabda: “Siapa di antara mereka yang lebih banyak hapal al Quran”, jika ditunjuk salah satunya maka dia didahulukan yang dimasukkan ke liang lahad. [4]

Dari Hisyam bin ‘Amir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

احْفِرُوا، وَأَوْسِعُوا، وَأَحْسِنُوا، وَادْفِنُوا الاِثْنَيْنِ وَالثَّلاَثَةَ فِي قَبْرٍ وَاحِدٍ، وَقَدِّمُوا أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا

Galilah lubang, buatlah yang luas, dan berbuat ihsanlah,[5] kuburkanlah dua atau tiga orang di dalam satu kubur, dan dahulukan dalam penguburan yang paling banyak hapal Al Quran. [6]

Syaikh Abul Hasan al Mubarkafuri Rahimahullah berkata tentang hadits ini:

فيه جواز الجمع بين جماعة في قبر واحد، ولكن إذا دعت إلى ذلك حاجة، كما في مثل هذه الواقعة وإلا كان مكروهاً، كما ذهب إليه أبوحنيفة والشافعي وأحمد

Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya menggabungkan sekelompok orang dalam satu kubur, tetapi itu jika ada kebutuhan, sebagaimana realita dalam hadits ini, tapi jika tidak ada kebutuhan maka itu makruh sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad. [7]

Imam ash Shan’ani Rahimahullah juga mengatakan:

جواز جمع جماعة في قبر وكأنه للضرورة

Bolehnya mengumpulkan sekelompok (mayat) dalam satu kubur, itu jk kondisi darurat. [8]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

«إلا لضرورة»، وذلك بأن يكثر الموتى، ويقل من يدفنهم، ففي هذه الحال لا بأس أن يدفن الرجلان والثلاثة في قبر واحد. ودليل ذلك: «ما صنعه النبي صلّى الله عليه وسلّم في شهداء أحد حيث أمرهم أن يدفنوا الرجلين في قبر واحد، ويقول: انظروا أيهم أكثر قرآناً فقدموه في اللحد» وذهب بعض أهل العلم إلى كراهة دفن أكثر من اثنين كراهة تنزيه

(Kecuali darurat) ini terjadi karena banyaknya mayat sementara petugas yang menguburkan sedikit, dalam kondisi seperti ini tidak apa-apa menguburkan dua orang laki-laki atau tiga orang dalam satu kubur. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam terhadap syuhada Uhud ketika Beliau memerintahkan menguburkan dua orang laki-laki dalam satu kubur, dan bersabda: “Lihat, siapa di antara mereka yang paling banyak hapal Al Quran maka dahulukan di liang lahad.” Sebagian ulama berpendapat makruhnya menguburkan lebih dari dua orang, makruh tanzih. [9]

Demikian, maka menguburkan dalam satu kubur untuk sekumpulan mayat adalah dibolehkan hanya jika memang ada hajat atau darurat. Wallahu A’lam


Notes:

[1] Syaikh Muhammad bin Umar al Jawi, Nihayatu az Zain, 1/163

[2] Syaikh Sulaiman al Jamal, Hasyiyah Al Jamal, 2/203

[3] Imam Ibnu al Haj al Maliki, al Madkhal, Hal. 18

[4] HR. Bukhari no. 1343

[5] Imam Ali al Qari mengatakan, ada yang mengartikan berbuat baiklah kepada mayat yang akan dikubur, ada pula yang mengartikan perbaguslah kuburannya baik kedalamannya, meratakan bagian bawahnya, dan lainnya. (Imam Ali al Qari, Mirqah al Mafatih, 3/1219)

[6] HR. At Tirmidzi no. 1813, katanya: hasan shahih

[7] Syaikh Abul Hasan al Mubarkafuri, Mir’ah al Mafatih, 5/437

[8] Imam ash Shan’ani, Subulussalam, 1/547

[9] Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Asy Syarh al Mumti’, 5/368

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Bersuci Istinja Cebok Bersih Najis

Wudhu Dengan Air Seukuran Bak atau Gayung, Bolehkah? Apakah dikucurkan atau bolehkah dikobok ke dalamnya?

📝 Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan, S.S.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Bismillahirrahmanirrahim al Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Wudhu dengan air di bak mandi, selama air tersebut suci dan mensucikan adalah Boleh dan SAH. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut:

Pertama. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ أَوْ كَانَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ وَيَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ

Nabi ﷺ membasuh, atau mandi dengan satu sha’ hingga lima mud, dan berwudhu dengan satu mud. [1]

Satu mud itu tidak banyak, Imam Al ‘Ainiy mengatakan 1,3 Rithl Iraq (Rithl itu bukan liter), sebagaimana pendapat Imam Asy Syafi’i dan ulama Hijaz. Ada yang mengatakan 2 Rithl yaitu Imam Abu Hanifah dan ulama Iraq.[2]

Sementara Imam Ash Shan’ani menjelaskan dengan lebih sederhana yaitu sepenuh dua telapak tangan manusia berukuran sedang dengan telapak tangan yang dibentangkan (madda), dari sinilah diambil kata mud.[3]

Satu mud ini adalah cukup, jangan dikurangi lagi. Imam Al Munawiy mengatakan: “Maka, sunahnya adalah tidak kurang dari itu dan jangan ditambah bagi orang yang ukuran badannya seperti badannya (Rasulullah ﷺ). [4]

Ini menunjukkan air seukuran gayung pun boleh dipakai dan sah, selama suci dan mensucikan.

Kedua. Hadits lainnya adalah:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwa ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ: “Apakah kami boleh berwudhu dari sumur budhaa’ah, yaitu sumur yang kemasukan Al Hiyadh (pembalut wanita), daging anjing, dan An Natnu (bau tidak sedap).” Lalu Rasulullah ﷺ menjawab: “Air itu adalah suci, tidak ada sesuatu yang menajiskannya.” [5]

Hadits ini menunjukkan hukum dasar air adalah suci, dan tidak ada apa pun yang dapat menajiskannya. Bahkan Imam Malik Rahimahullah mengatakan walau airnya sedikit, selama sifat sucinya belum berubah, baik warna, aroma, dan rasa.

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengatakan: “Dengan hadits ini, Imam Malik berdalil bahwa sesungguhnya air tidak menjadi najis dengan terkenanya air itu dengan najis –walau air itu sedikit- selama salah satu sifatnya belum berubah.” [6] Tapi, para ulama mengoreksi pendapat Imam Malik, bahwa hadits tersebut adalah khusus untuk sumur Budhaa’ah yang memang berukuran besar, sebagaimana keterangan Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuriy berikut:

“Ta’wilnya adalah bahwa air yang kalian tanyakan adalah tentang air sumur Budhaa’ah, maka jawabannya adalah itu khusus, bukan untuk umum sebagaimana pertanyaan Imam Malik. Selesai. Jika Alif dan Lam (pada kata Al Maa’/air) menunjukkan jenis, maka hadits ini adalah spesifik (khusus) menurut kesepakatan sebagaimana Anda lihat (tidak ada sesuatu yang menajiskannya) karena banyaknya, sesungguhnya sumur budhaa’ah adalah sumur yang banyak airnya, lebih dari dua qullah, maka terkena semua hal ini tidaklah merubahnya, dan air yang banyak tidaklah menjadi najis karena sesuatu selama belum terjadi perubahan.” [7]

Ummu ‘Umarah bercerita:

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ فَأُتِىَ بِإِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ قَدْرُ ثُلُثَىِ الْمُدِّ

Bahwa Nabi ﷺ berwudhu dengan dibawakan untuknya di bejana berisi air seukuran 2/3 mud. [8]

Ketiga, Hadits lainnya:

عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لَقَدْ رَأَيْتُنِي أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا فَإِذَا تَوْرٌ مَوْضُوعٌ مِثْلُ الصَّاعِ أَوْ دُونَهُ فَنَشْرَعُ فِيهِ جَمِيعًا فَأُفِيضُ عَلَى رَأْسِي بِيَدَيَّ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَمَا أَنْقُضُ لِي شَعْرًا

Dari ‘Ubaid bin ‘Umair, bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anha berkata, “ Aku menyaksikan diriku mandi bersama Rasulullah ﷺ dari ini, – yaitu sebuah bejana kecil tempat yang berukuran satu shaa’ atau lebih kecil- kami menyelupkan tangan kami seluruhnya, aku mencelupkan dengan tanganku pada kepalaku tiga kali dan aku tidak menguraikan rambut.” [9]

Maka, dari hadits-hadits ini dapat disimpulkan bahwa wudhu dengan air seukuran bak mandi adalah sah, begitu pula dengan memakai gayung, yang penting tetap pada prinsip “suci dan mensucikan”, tidak ada perubahan sifat dasar sucinya, walau volume bak itu tidak sampai dua qullah. Ada pun jika sudah ternoda najis dan merubah salah satu sifat dasarnya maka tidak boleh wudhu dengannya.

Namun, dalam madzhab Syafi’i, wudhu dengan air di wadah yang sedikit (misal gayung) tidaklah dengan mencelupkan (mengkobok) tangan ke wadah tersebut, tetapi hendaknya dikucurkan, agar tidak menjadi air musta’mal.

Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah menyebutkan tentang pendapat Syafi’iyyah:

“Kesimpulannya, tidak sah bersuci dengan air musta’mal yang sedikit untuk keperluan menghilangkan hadats dan membersihkan najis. Jika seorang yang berwudhu memasukkan tangannya ke air yang sedikit (misal di gayung, pen) setelah mencuci wajahnya, maka air yang tersisa tersebut adalah musta’mal.” [10]

Bersuci dengan air musta’mal tidaklah sah menurut madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. Sebab air tersebut suci tapi tidak mensucikan. Namun sah bagi Maliki dan Zhahiri.

Imam Ibnu Mundzir Rahimahullah mengatakan: “Para ulama telah ijma’ bahwa air yang sedikit dan banyak, jika terkena najis lalu berubah rasa, atau warna, atau aroma, maka dia menjadi najis selama seperti itu.” [11]

Syaikh Muhammad Muhajirin Amsar Rahimahullah mengatakan: “Para ulama telah ijma’ bahwa air yang telah berubah salah satu sifatnya yang tiga itu, maka menjadi najis, walau air itu sebanyak lautan.” [12]

Kesimpulan:

– Berwudhu dengan volume air sebesar bak mandi atau gayung adalah SAH selama air tersebut tetap suci dan mensucikan, tidak ada perubahan baik rasa, warna, dan aroma.

– Ada pun berwudhu dengan air di wadah kecil, misal gayung, hendaknya dikucurkan, dialirkan, bukan dikobok. Sebab hal itu menjadikannya sebagai air musta’mal. Dalam madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Hambali, air musta’mal tidak boleh digunakan untuk bersuci, ada pun madzhab lainnya membolehkan wudhu dengan air musta’mal.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] HR. Bukhari no. 201

[2] Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 4/433

[3] Imam Ash Shan’aniy, Subulus Salam, 1/49

[4] Imam Al Munawiy, At Taysir, 2/545

[5] HR. Abu Daud No. 67, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 1513, Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah, 2/61, dll. Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, Imam Yahya bin Ma’in, dan Imam Ibnu Hazm.” (Talkhish Al Habir, 1/125-126), Imam An Nawawi mengatakan: “shahih.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/82)

[6] Imam Ash Shan’aniy, Subulus Salam, 1/16

[7] Imam Abul ‘Ala Al Mubarkafuriy, Tuhfah Al Ahwadzi, 1/170. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

[8] HR. Abu Daud no. 94, Dishahihkan oleh Abu Zur’ah, dan dihasankan oleh Imam An Nawawi dan Imam Al ‘Iraqiy. Lihat Shahih Abi Daud, 1/158

[9] HR. An Nasa’iy, no. 416

[10] Syaikh Wahbah Az Zuhailiy, Al Fiqhu Asy Syafi’iyyah Al Muyassar, 1/82

[11] Imam Ibnul Mundzir, Al Ijma’, Hal. 35

[12] Syaikh Muhammad Muhajirin Amsar, Mishbahuzh Zhalam, 1/35

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

cropped-logo-manis-1.png

Mengulang Bacaan al-Fatihah dalam Shalat Supaya Khusyu’

📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Memang terkadang ada saja orang yang shalat, namun ia ragu dalam hal bacaannya, terutama dalam hal ini adalah bacaan al-Fatihah, apakah ada ayat-ayat yang tertinggal ataukah tidak, bisa saja terjadi keraguan di dalamnya. Namun di dalam kasus lain, mungkin ada juga orang yang mengulang bacaan al-Fatihahnya hanya karena bacaan sebelumnya dirasa tidak khusyu’ sehingga ia merasa perlu untuk mengulangi bacaan al-Fatihahnya lagi.

Mengenai hal ini, ada sebuah penjelasan dari Abu Ishaq asy-Syairazi (w. 476 H) di dalam al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i yang juga kemudian dijelaskan oleh Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam Syarhnya, yaitu jika seseorang mengulangi bacaan al-Fatihahnya karena lupa, maka hal itu tidak membahayakan shalatnya. Namun jika ia dengan sengaja mengulangi bacaan al-Fatihahnya tersebut dan bukan karena sebab lupa, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, yaitu pendapat yang paling shahih, adalah bahwa shalatnya tetap tidak batal, sama seperti ketika seseorang mengulangi bacaan al-Qur’an setelah al-Fatihah. Pendapat satu lagi mengatakan bahwa shalatnya batal, karena mengulangi al-Fatihah sebagai salah satu rukun shalat, sama saja dengan mengulangi rukun-rukun lainnya, seperti mengulangi rukuk dan sujud. Wallahu a’lam.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

berdoa setelah membaca alfatihah

Membaca aI-Fatihah di dalam Shalat Jenazah

📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Pembahasan ini juga perlu untuk disampaikan mengingat ada perbedaan di kalangan ulama tentang kedudukan bacaan al-Fatihah ini di dalam shalat jenazah. Ada yang menyebutnya sebagai rukun, ada juga yang bahkan menyebutkan bahwa al-Fatihah justru tidak dibaca di dalamnya. Menurut madzhab Hanafi, tidak ada bacaan al-Fatihah di dalam shalat jenazah ini, karena ia pada hakikatnya ia bukan shalat, tetapi mendoakan dan memohonkan ampun bagi mayit. Bacaan al-Fatihah diperbolehkan jika niatnya adalah doa. Salah satu penjelasannya misalnya dapat kita lihat di dalam Tuhfah al-Fuqaha’ yang ditulis oleh Alauddin as-Samarqandi (w. 540 H).

Adapun di dalam madzhab Syafi’i, al-Fatihah merupakan salah satu rukun yang harus terpenuhi di dalam shalat jenazah. Sehingga jika al-Fatihah tidak dibaca di dalamnya, maka tidak sah shalatnya. Di antara dalilnya tiada lain adalah sabda Rasulullah saw. sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya bahwa tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah. Apapun shalatnya, termasuk shalat jenazah, maka al-Fatihah harus dibaca di dalamnya.

Ada juga riwayat sebagaimana disampaikan oleh Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) di dalam Musnadnya dari Jabir ibn ‘Abdillah ra. yang pernah bercerita bahwa Nabi saw. menshalatkan mayit dengan empat kali takbir dan membaca al-Fatihah setelah takbir pertama. Riwayat ini juga beliau sampaikan di dalam al-‘Umm ketika membahas tentang shalat jenazah. Namun, memang sebagaimana dikatakan oleh Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, hadits ini memiliki sanad yang lemah karena di dalam periwayatannya terdapat Ibrahim ibn Muhammad yang dinilai lemah oleh para ahli hadits.

Namun demikian, tentu masih banyak riwayat-riwayat lain yang shahih. Di dalam Shahih al-Bukhari, kita akan menemukan riwayat dari Thalhah ibn “Abdillah ibn “Auf yang pernah shalat jenazah di belakang Ibn ‘Abbas di mana ia membaca al-Fatihah di dalamnya. Selesai shalat, Ibn ‘Abbas mengatakan: “Supaya mereka tahu bahwa hal itu adalah sunnah.” Sebagaimana dikatakan pentahqiqnya, Mushthafa al-Bugha, yang dimaksud sunnah oleh Ibn ‘Abbas di sini dalam arti bacaan al-Fatihah memang benar-benar disyari’atkan. Di dalam Sunan Ibn Majah, beliau sendiri pernah mengatakan bahwa Rasulullah saw. membaca Surah al-Fatihah ketika menshalatkan jenazah. Wallahu a’lam.[]

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Utamakan Akhirat

Membaca aI-Fatihah Setelah Ruku’ Pertama dalam Shalat Kusuf (Gerhana)

📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Masalah mengenai bacaan al-Fatihah di dalam shalat Kusuf ini sangat penting untuk diangkat mengingat ada perbedaan di kalangan ulama madzhab yang empat, yakni dalam hal ini tentang bacaan al-Fatihah setelah ruku’ pertama dari masing-masing raka’at. Sebagaimana diketahui bahwa shalat sunnah Kusuf ini walaupun dilaksanakan dengan dua raka’at, namun ia terdiri dari empat kali ruku’, yaitu dengan menambahkan masing-masing satu ruku’ pada setiap raka’at. Sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh al-Bukhari di dalam Shahihnya, dari ‘Aisyah ra. bahwa ia pernah bercerita: “Terjadi gerhana matahari pada saat hidupnya Rasulullah saw., Beliau keluar ke masjid lalu berbaris bersama manusia di belakangnya, lalu beliau takbir, lalu membaca surat dengan panjang (lama), lalu beliau takbir dan ruku’ dengan ruku’ yang lama, lalu bangun dan berkata: ‘sami’allahu li man hamidah’, lalu beliau berdiri lagi tanpa sujud, kemudian beliau membaca lagi dengan yang panjang namun lebih pendek dari bacaan yang pertama. Beliau kemudian bertakbir, lalu ruku’ dengan ruku’ yang lama yang lebih pendek dari ruku’ yang pertama, lalu mengucapkan: ‘sami’allahu li man hamidah, Rabbana wa lakal-hamd’, kemudian beliau sujud. Kemudian melakukan pada rakaat terakhir (kedua) seperti itu juga sehingga sempurnalah empat kali ruku’ dalam empat kali sujud. Lalu, matahari telah terang sebelum beliau bubar.”

Berbeda dengan madzhab Hanafi, di mana cara pelaksanaan shalat Kusuf ini sama seperti shalat pada umumnya, yaitu dua raka’at dengan masing-masing raka’at terdiri dari satu kali ruku’ dan dua kali sujud, sebagaimana dapat kita baca penjelasan Muhammad as-Sarkhasi (w. 483 H) di dalam al-Mabsuth. Kemudian yang menjadi perbedaan di kalangan ulama yang menetapkan bahwa ia terdiri dari empat kali ruku’ adalah apakah al-Fatihah juga dibaca setelah ruku’ yang kedua ataukah tidak.

Di dalam madzhab Syafi’i, al-Fatihah tetap dibaca setelah ruku’ kedua pada masing-masing raka’at. Penjelasan ini salah satunya dapat kita lihat di dalam al-Umm karya Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) sendiri. Riwayat ‘Aisyah ra. sendiri sebenarnya hanya menyebutkan perbedaan antara banyaknya ayat-ayat yang dibaca setelah al-Fatihah antara bacaan pertama dan kedua dalam raka’at pertama, serta bacaan ketiga dan keempat dalam raka’at kedua. Bukan menyebutkan bahwa al-Fatihah hanya dibaca pada bacaan pertama dan ketiga saja. Wallahu a’lam.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

logo manis4

Ragu dan Lupa Membaca al-Fatihah di dalam Shalat

📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Walaupun bacaan al-Fatihah sendiri sebagai rukun di antara rukun-rukun shalat yang tidak boleh tertinggal, namun bisa saja dalam kasus tertentu seseorang lupa membacanya, atau bisa juga ragu mengenai bacaannya, apakah ayat-ayatnya sudah dibaca dengan sempurna ataukah belum.

Mengenai ragu dalam hal bacaan al-Fatihah ini, Zainuddin al-Malibari (w. 987 H) di dalam Fath ul-Mu’in memberikan penjelasan: “Jika di tengah-tengah bacaan al-Fatihah seseorang ragu, apakah sudah membaca basmalah ataukah belum, kemudian ia menyelesaikan bacaannya, dan akhirnya ia ingat bahwa ia sudah membaca basmalah, maka ia wajib mengulang seluruhnya, menurut beberapa tinjauan pendapat. Keraguan dalam peninggalan satu huruf atau lebih dari Surah al-Fatihah, demkian pula satu ayat atau lebih, setelah pembacaan al-Fatihah selesai adalah tidak ada pengaruh apa-apa, sebab secara lahir al-Fatihah sudah dibaca dengan sempurna. Wajib mengulang al-Fatihah dari awal jika keraguan itu terjadi sebelum sempurnanya bacaan, seperti halnya ragu apakah sudah membaca al-Fatihah ataukah belum. Sebab menurut asal, ia belum membacanya.” Beliau juga mengatakan: “Jika seseorang membaca al-Fatihah dalam keadaan lupa, dan ia sadar setelah sampai pada ayat ‘shirathal-ladzina…’, serta tidak yakin akan bacaan sebelumnya, maka wajib mengulangi al-Fatihah dari awal.”

Adapun dalam hal lupa ini, Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) di dalam al-Umm mengatakan: “Jika seseorang tidak membaca Ummul Qur’an (Surah al-Fatihah) walau hanya satu huruf saja lantaran lupa atau lalai, maka rakaat tersebut tidak dapat dihitung.”

Iika lupa itu terjadi sedangkan keadaannya masih dalam shalat, misalnya lupa membaca al-Fatihah pada raka’at keempat sementara ia baru ingat ketika hendak sujud, maka ia harus segera mengulangi rakaat keempatnya tersebut untuk menyempurnakannya. Namun ketika seseorang baru ingat ketika selesai shalat, maka ia wajib berdiri untuk mengulangi raka’at keempat tersebut dan menyempurnakan shalatnya, jika memang ia langsung ingat tidak lama setelah selesainya shalat tersebut. Asy-Syarqawi (w. 1227 H) di dalam Hasyiah-nya atas kitab Tuhfah ath-Thullab bi Syarh Tahrir Tanqih al-Lubab karya Abu Yahya Zakariyya al-Anshari (w. 926 H) mengatakan: “Yang fardhu (rukun) itu tidaklah dapat diganti dengan sujud sahwi, bahkan jika diingatnya yang fardhu itu, sedang ia masih dalam keadaan shalat, maka hendaklah disempurnakan shalatnya itu. Atau jika ingatan itu datang beberapa waktu setelah shalat usai, maka segeralah membenahi kesahalan itu dan menyempurnakan shalatnya serta disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi.”

Sementara itu, jika seseorang baru ingat setelah beberapa lama, maka shalatnya dianggap rusak dan ia harus segera mengulangi shalatnya lagi, sebagaimana yang diterangkan oleh Ibrahim al-Baijuri (w. 1276 H) di dalam Hasyiah-nya atas kitab Fath al-Qarib al-Mujib: “]ika renggang waktu antara lupa dan ingat itu cukup lama menurut ukuran kebiasaan, maka diulangilah shalat itu dari awal.”

Selanjutnya, jika seseorang sengaja tidak membaca bagian tertentu dari Surah al-Fatihah, tidak membaca ayat-ayatnya sesuai urutan, atau misalnya mengganti huruf tertentu di dalamnya dengan huruf lain, dan sama sekali bukan karena lupa, maka dalam hal ini shalatnya menjadi tidak sah. Ibn Qasim al-Ghazzi (w. 918 H) di dalam Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib mengatakan: “Barangsiapa yang tidak membaca satu huruf atau satu tasydid dari Surah al-Fatihah, atau mengganti satu huruf dengan huruf yang lainnya, maka bacaannya tidak sah, begitu juga shalatnya jika ia melakukannya dengan sengaja. ]ika tidak disengaja, maka wajib baginya mengulangi bacaannya. Wajib juga membaca Surah al-Fatihah dengan tertib, yaitu dengan membaca ayat-ayatnya sesuai dengan urutan yang sudah diketahui.” Wallahu a’lam.[]

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678