Da’wah Terbuka (جهريّة الدعوة)

0
61

Pemateri: DR. WIDO SUPRAHA

Beberapa tahun lamanya Rasulullah Saw berdakah secara sembunyi-sembunyi (sirriyyah) hingga Allah Swt. menurunkan kewajiban untuk berdakwah secara terbuka (jahriyyah).

Ragam ujian mulai terasa berat bagi Nabi Saw dan para pengikutnya, namun semangat dakwah yang kuat di atas iman menjadikan sebagian kaum muslimin begitu berani tampil di muka umum untuk memperlihat kan kebenaran Islam.

Faktor dukungan keluarga besar menjadi salah satu penguat dakwah Nabi Saw. hingga periode tertentu.

Tiga tahun atau empat tahun, wallaahu a’lam, dilewati Rasulullah Saw berdakwah sirriyyah hingga turun firman Allah Swt. dalam Surat Al-Hijr.

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”

Kata fashda’ bermakna menyeleksi antara kebenaran dengan kebathilan.[1]

Dengan penuh keberanian dan semangat ‘bersegera’, Rasulullah Saw. yang terkenal manusia paling jujur dan terpercaya di masanya itu mengumpulkan manusia dari atas bukti Shafa, dan memanggil masyarakat baik dari Bani Firh, Bani ‘Adi, dan kalangan lainnya.

Tidak umumnya perilaku Nabi Saw ini, menghadirkan perasaan di masyarakat bahwa ada sesuatu yang serius yang akan diumumkan, sehingga orang-orang yang berhalangan untuk hadir sampai mengirimkan perwakilannya hanya untuk mendengar apa pengumuman yang akan disampaikan Nabi Saw. Setelah banyak masyarakat yang berkumpul, Nabi Saw mengumumkan satu berita penting sebagaimana Surat Al-Hijr [15] ayat 89,

Dan katakanlah: “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan”.

Mendengar seruan dari Nabi Saw. yang tentu tidak pernah terpikirkan sama sekali dalam alam pikiran mereka, dan tidak pernah disangka-sangka, namun karena datang dari manusia yang paling terpercaya, banyak yang kemudian mencoba memahami seruan tersebut kecuali Abu Lahab yang bersegera menolak secara terang-terangan dakwah Nabi.

Penolakan yang keras ini sampai menurunkan firman Allah Swt dalam Surat Al-Lahab [111].

Pasca pengumuman, turunlah Nabi Saw dari atas bukit dan ‘bersegera’ memulai dakwahnya kepada keluarganya yang terdekat seperti Bani Ka’b bin Lu’ai, Bani Murrah bin Ka’b, Bani Abdi Syams, Bani Abdul Muththalib, Fatimah, dan lainnya sebagaimana perintah yang khusus ini turun, meskipun perintah sejenis secara umum telah turun sebelumnya, memperlihatkan pentingnya mengkonsentrasikan dakwah kepada para keluarga. Allah Swt. berfirman dalam Surat Asy-Syu’ara [25] ayat 214-215:

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat;
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.”

Surat ini diawali dengan kisah Nabi Musa a.s. dari awal nubuwwah hingga hijrahnya bersama Bani Israil hingga kisah tenggelamnya Fir’aun dan para pengikutnya.

Tahapan dakwah Musa a.s. perlu disampaikan agar Nabi Saw dan para sahabatnya mendapatkan sedikit gambaran yang bakal dihadapi pasca deklarasi dakwah terbuka.

Di sisi lain, surat ini juga memuat kesudahan yang dialami para pendusta Rasul, baik dari kaum Nabi Nuh, ‘Ad, Tsamud, Ibrahim, Luth, dan Ash-habul Aikah, agar masyarakat mengetahui hukuman yang bakal diturunkan jika mereka mendustakan, dan kesudahan baik bagi orang-orang beriman. [2]

Namun, cara berpikir mayoritas kaum musyrikin Makkah adalah berpegang teguh pada tradisi nenek moyang yang tidak mungkin mereka tinggalkan.

Semangat taqlid yang tinggi atas adat istiadat yang telah mereka pegang teguh sejak lama mengalahkan hakikat kebenaran yang hakiki.

Pemikiran seperti ini tentu bukan pemikiran yang cerdas, sementara Islam justru mendorong daya nalar dan kritis manusia atas segala sesuatu.

Dari sinilah kita menjadi paham, bahwa terminologi ‘tradisi’ bukanlah milik Islam, dan tidak sepantasnya kaum muslimin terbiasa menggunakan istilah ini, karena tradisi erat kaitannya dengan warisan turun temurun yang membutuhkan referensi kebenaran, sementara Islam hadir untuk membebaskan akal manusia dari ragam tradisi kepada ilmu yang datang dari-Nya.[3]

Ketika tradisi menjadi candu, maka ilmu menjadi obatnya. Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 170:

Dan apabila dikatakan kepada mereka:
“Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,”

Mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”.

“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.

Sebagian dampak permusuhan Nabi kepada berhala-berhala yang disembah, keteguhannya dalam memegang dasar iman yang tidak berkompromi dengan kemusyrikan pada akhirnya mulai melahirkan ujian yang berat, di antaranya penyiksaan kaum musyrikin terhadap kaum muslimin yang terus bertambah, sampai-sampai sebagian dari mereka wafat di dalam penyiksaan, atau terdapat juga yang buta karenanya. [4]

Ragam upaya kaum Musyrikin untuk menghentikan laju dakwah Nabi Saw. terus dilancarkan. Ketika Abu Thalib, pamannya sendiri meminta Nabi Saw. untuk menghentikan dakwahnya,

Nabi Saw. menjawab dengan tegas bahwa kemenangan Islam menjadi tujuan utamanya, atau mati dalam mendakwahnya, meskipun Matahari diletakkan di tangan kanannya dan Bulan diletakkan di tangan kirinya. Ketika Rasulullah thawaf di Makkah dan kemudian diganggu oleh beberapa orang kaum kafir, Rasulullah mendatangi dan balik memberi peringatan dengan tegas.

Ketika esok harinya, lebih banyak lagi kaum kafir hadir mengganggu Thawaf Nabi Saw., hingga Uqbah ibn Abi Mu’aith sampai memegang baju atau surban Nabi Saw., hadir Abu Bakar yang membubarkannya.

Ketika suatu ketika, sembari berpegangan tangan, Nabi Saw., Abu Bakar r.a. dan ‘Utsman bin ‘Affan r.a., berthawaf, kembali diganggu oleh Uqbah ibn Abi Mu’aith, Abu Jahal bin Hisyam, dan Umayyah bin Khalaf, hingga terjadi perkelahian kecil dimana Utsman mendorong Abu Jahal, Abu Bakar melawan Umayyah dan Rasulullah Saw sendiri melawan Uqbah. [5]

Kebenaran Islam sejak awal didakwahkan secara terbuka adalah mendahulukan keilmiahan daripada mistisisme, apalagi materialisme.

Sosok ‘tetua’ seperti Al-Walid bin Al-Mughirah juga tidak menemukan kebenaran akan usulan para kafir Quraisy saat musim haji untuk menuduh Nabi Saw sebagai seorang dukun, orang gila, penyair, atau tukang sihir. Ia lebih memilh penyihir dalam pengertian majazi.

Namun kedudukan tinggi di mata masyarakat menjauhkan Al-Walid dari kebenaran, hingga Allah mengecam dengan turunnya Surat Al-Muddatstsir ayat 11-16, juga 17-22, dan 23-25.

Kebenaran inilah yang membuat Abu Thalib semakin kokoh dalam membela Nabi, meski ia ditawarkan untuk mengganti keponakannya dengan Imarah bin Al-Walid.

Kebenaran inilah yang membuat Hamzah bin Abdul Muththalib sampai memukul Abu Jahal, dan bersaksi sebagai Muslim.

Kebenaran inilah yang menjadikan Nabi Saw tegar dalam prinsipnya meski diiming-imingi harta, posisi pemimpin, raja, atau pengobatan atas ‘sakit gila’ beliau.

Namun Nabi Saw. hanya menjawab dengan Surat Fushshilat ayat 1-5, ayat yang membuat ‘Utbah bin Rabi’ah tidak bisa berkata-kata lain kecuali menikmati kebenaran yang hakiki.

***

Maraji’

1] Ibn Ishaq, Sirah Nabawiyah

2] Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq al-Makhthum, Bahtsum fi As-Sirah An-Nabawiyyah ‘ala Shahibiha afdhal ash-Shalati wa as-Salam, Riyadh: Dar As-Salam, 1414H

3] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Fiqh As-Sirah: Dirasat Minhajiah ‘Ilmiyah li-Shirat al-Musthafa ‘alaihi shalatu wa salam, Libanon: Dar al-Fikr, 1977

4] Musthafa as-Siba’i, As-Sirah An-Nabawiyyah, Kairo: Dar as-Salam

5] Ibn al-Jauzi, Al-Wafa’ bi Ihwal al-Musthafa shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 2004

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here