Hukum Bercanda dalam Islam

0
47

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… Saya mau bertanya, sering saya membaca beberapa tulisan di media sosial, juga mendengar ceramah bahwa sebagai Muslim idealnya lebih banyak bersedih mengingat Allah SWT. Dan sebaliknya, tertawa dan bercanda itu perilaku yang jelek dan mematikan hati dengan mengutip ayat dan hadis ihwal tersebut.

Sedangkan dalam keseharian kita butuh refreshing, sering sekali terhibur dengan canda. Apakah yang kita lakukan ini salah dan bertentangan dengan syariah? Dan seperti apa sebenarnya tuntunan syariah seputar bercanda? — Arsyad, Bekasi

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Jawaban

Oleh: Ustadz DR. Oni Sahroni

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاتة

Agar lebih jelas, berikut ini akan dikutip beberapa dalil yang dipahami sebagai rujukan bahwa bercanda tidak boleh sama sekali, dan kemudian dijelaskan makna yang sesungguhnya. Dalil-dalil tersebut sebagai berikut.

Pertama, firman Allah SWT, “Janganlah engkau terlalu bangga. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.” (QS al-Qasas: 76).

Ayat ini dipahami bahwa bergembira itu menjadi sikap tercela sesuai dengan larangan ayat tersebut. Tetapi, menurut Syekh Yusuf al-Qardhawi, sesungguhnya ayat ini tidak boleh dipahami bahwa gembira itu menjadi tercela secara mutlak. Tetapi, maksud ayat ini –sebagaimana ditunjukkan dalam konteksnya– itu gembira disertai dengan ghurur (memperdaya) sehingga membuatnya jadi lupa akan Allah SWT.

Kedua, firman Allah SWT, “Yang demikian itu karena kamu bersuka ria di bumi tanpa (alasan) yang benar dan karena kamu selalu bersuka ria (dalam kemaksiatan).” (QS Ghafir: 75).

Ayat ini dipahami bahwa Al-Qur’an mencela orang setiap orang yang bergembira atau bersuka ria. Tetapi menurut Syekh Yusuf al-Qardhawi, kegembiraan yang dimaksud dalam ayat ini bukan berarti menunjukkan suasana gembira itu tercela.

Hal ini karena: (a) Kegembiraan dalam ayat itu menyerupai kegembiraan mereka yang ditanyakan Rasulullah SAW terhadap kaum Yahudi, tetapi mereka menyembunyikannya dan yang mereka informasikan bukan sebenarnya.

Kemudian mereka pergi dari Rasulullah SAW dengan gembira karena mereka berhasil berbuat kebohongan. Bukan itu saja, tetapi mereka meminta pujian dari Rasulullah SAW karena mereka telah ditanya dan menjawab dengan sebenarnya.

Oleh karena itu, berkaitan dengan mereka, turunlah firman Allah SWT, “Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa (perbuatan buruk) yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan (yang mereka anggap baik) yang tidak mereka lakukan, kamu jangan sekali-kali mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS Ali Imran: 188).

(b) Kegembiraan dalam ayat tersebut juga sama seperti kegembiraan orang-orang yang tertipu dengan ilmu materialistis. Mereka menolak tuntunan wahyu.

Karena itu, turunlah firman Allah SWT, “Ketika para rasul datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka. (Pada saat itulah) mereka dikepung oleh (azab) yang dahulu mereka perolok-olokkan.” (QS Ghafir: 83).

Menurut Syekh Yusuf al-Qardhawi, hadis tersebut maknanya jelas bahwa yang dilarang bukan hanya tertawa, tetapi canda yang terlalu banyak.

Ketiga, hadis Rasulullah SAW, “Jangan memperbanyak tertawa, karena banyak tertawa itu akan mematikan hati.” (HR Tirmidzi).

Hadis tersebut dipahami bahwa banyak tertawa itu terlarang karena mematikan hati. Namun menurut Syekh Yusuf al-Qardhawi, hadist tersebut maknanya jelas bahwa yang dilarang bukan hanya tertawa, tetapi canda yang terlalu banyak.

Oleh karena itu, sesuatu yang keluar dari batasnya, maka akan berubah menjadi berlebihan. Dan dari sisi dalil, hadis tersebut dhaif (lemah) dan tidak bisa dijadikan referensi.

Juga menurut Al-Qardhawi, hal tersebut bertentangan dengan hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Rasulullah SAW berlindung dari kondisi beban dan kesedihan. Sebagaimana hadis, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keluh kesah dan kesedihan…” (HR Bukhari).

Kemudian saat diasumsikan hadist tersebut adalah sahih, maka dapat ditafsirkan bahwa itu terjadi pada sore hari dan pagi hari di mana ia terbebani dengan banyak masalah umat dan masalah-masalah lain yang mengimpitnya.

Walaupun demikian, tidak membuat hatinya sempit untuk melakukan canda atau bermain sesuai kadar fitrahnya. Tertawa itu adalah fitrah manusiawi. Bagian dari karakteristik manusia.

Syekh Al-Qardhawi menjelaskan bahwa tertawa itu adalah fitrah manusiawi. Bagian dari karakteristik manusia karena hewan tidak bisa tertawa, karena tertawa bisa dilakukan saat sudah paham akan perkataan yang didengarnya dan sikap yang dilihatnya sehingga ia bisa tertawa.

Sesuai dengan fitrah, karena tidak mungkin ada tuntunan syariah yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, termasuk karakteristiknya suka tertawa dan tersenyum. Bahkan sebaliknya, syariat Islam ini menerima dan membolehkan sesuatu yang membuat kehidupan ini menjadi baik dan ceria.

Syariat Islam juga menyukai sosok yang semangat, tersenyum semringah, dan sebaliknya tidak menyukai sosok yang ketus dan dingin.

Wallahu a’lam.

Sumber: Konsultasi Syariah Republika Online, 10 Januari 2024

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here