Menganggap bahwa taubat hanya layak dilakukan apabila telah yakin bahwa dirinya tidak akan kembali bermaksiat.

📆 Jumat, 08 Rajab 1437H / 15 April 2016

📚 Motivasi

📝 Ustadz Abdullah Haidir Lc.

📋 KEKELIRUAN SEPUTAR TAUBAT

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

Kekeliruan:

✅Menganggap bahwa taubat hanya layak dilakukan apabila telah yakin bahwa dirinya tidak akan kembali bermaksiat.

✅Menunda-nunda bertaubat karena khawatir dirinya akan mengulangi kemaksiatan yang sama.

✅Kian larut dalam maksiat tanpa keinginan mengurangi. Menganggap bahwa taubat tak bermanfaat selama masih suka berdosa.

✅Jika kembali berbuat dosa dirinya menganggap telah mempermainkn taubat dan bersikap munafik.

✅Lebih mengedepankan motivasi duniawi ketimbang ikhlas semata krn Allah seraya berharap ridho dan ampunanNya.

✅Rancu dlm memahami antar “tekad” tak kembali bermaksiat dengan “jaminan” tidak kembali bermaksiat.

✅Tekad tidak kembali bermaksiat adalah syarat taubat. Tapi jaminan tdk kembali bermaksiat bukan syarat taubat.

✅Meninggalkan kewajiban-kewajiban agama dan menjauhi majelis orang-orang saleh dan majelis zikir dengan anggapan dirinya masih penuh kotoran maksiat.

✅Hanya suka membesar-besarkan dosanya, lupa dengan kemurahan dan ampunan Allah yg lebih besar.

✅Tidak bertaubat lagi jika ternyata mengulangi maksiat dengan anggapan taubat berikutnya tidak diterima.

💦Yang benar,
❣jika bermaksiat lagi, taubat lagi…
❣bermaksiat lagi, taubat lagi.
❣Kalahkan setan oleh taubatmu sebelum dia mengalahkanmu dg ke-putus asa-an mu..

❣Sebelum nyawa sampai kerongkongan, atau matahari terbit dari barat, tidak ada yg menutup pintu taubat, selama ikhlas…

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Berkisah kembali tentang Uhud. Teringat kisah Nusaibah Ummu umarah.

📆 Jumat, 08 Rajab 1437H / 15 April 2016

📚 Motivasi

📝 Ustadzah Rochma Yulika

📋 Mari Kita Belajar dari Nusaibah Ummu Umarah

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

🍁Berkisah kembali tentang Uhud.
Teringat kisah Nusaibah Ummu umarah.

💦Kematiannya di Medan perang disambut oleh para penduduk langit.

Dari kejauhan langit nampak hitam berarak seolah sedang bersuka cita menyambut hadirnya sang Mujahidah yang Syahid dalam kisah Uhud.

🌷Beliau seorang wanita yang memiliki 2 anak yang keduanya telah dipersembahkan untuk perjuangan dakwah ilallah setelah suaminya tiada ketika kedua anaknya masih belia.

🍃Dengan penuh keyakinan dia serahkan anak-anaknya kepada Rasulullah untuk membantu perjuangan ini.
Keduanya pun akhirnya syahid.

💦Hingga akhirnya tiada lagi yang bisa diserahkan untuk menjadi pasukan, maka dirinyalah yang akhirnya maju ke gelanggang untuk berhadapan dengan musuh di bukit Uhud.

💡Seorang ibu yang gagah berani bahkan tak ada rasa gentar sedikit pun kala harus menghadapi kaum kafir Quraisy.

Dia sempat terluka hingga tak sadarkan diri.
Ketika tersadar ia berjumpa dengan Ibnu Mas’ud.
Dia tak menghiraukan keadaan dirinya, yang pertama kali dilakukan ketika sadar adalah bertanya tentang keadaan Rasulullah.

🍁Ibnu Mas’ud pun bercerita bahwa Rasulullah terluka hingga ada giginya yang tanggal.

❣Kecintaan yang amat sangat terhadap Rasulullah membuat gelora jihad di dalam dadanya membuncah.

Seketika Nusaibah memohon agar Ibnu Mas’ud agar meminjamkan kuda perang dan senjatanya.

Pada Awalnya Ibnu Mas’ud menolak, namun Nusaibah ummu Umarah memaksanya hingga akhirnya diberikan kuda perang dan senjata tersebut.

Seketika itu Nusaibah menuju gelanggang perang untuk melawan musuh Allah.
Dia pun berhasil membunuh salah satu tentara Quraisy.

Qadarullah tangan kanan Nusaibah terkena tebasan pedang hingga putus.
Keadaan itu tak membuatnya gentar dan semangat memudar. Justru keadaan itulah yang semakin menghadirkan semangat untuk melawan musuh.

Dengan menggunakan tangan kiri yang serba terbatas dia tetap berjuang melawan musuh.
Tak ayal lagi sang ibu pemilik 2 syahid pun harus rela kehilangan tangan kirinya.

🍃Hingga akhirnya ujung kesyahidan menjadi miliknya yakni ketika pasukan Quraisy mampu menebas tubuhnya.

Masya Allah laa quwwata illa billah….

✅Dimana kini Nusaibah-nusaibah pencetak sejarah???

✅Masihkah ada wanita tangguh yang gagah tuk berjuang di sabilillah???

✅Atau sudah tidak ada lagi penerus perjuangan yang memiliki semangat yang menggelora selayaknya para shahabiyah di masa lampau??

💦Ketika menapaktilasi sejarah hidup mereka, diri merasa malu dan seolah tak pantas untuk bersanding dengan para syuhada’.

Mereka hidup hanya untuk Allah…. Hingga besarnya kecintaan itu mengalahkan rasa yang mendera.

Dan kita????

💧Sudah saatnya kita memantaskan diri hingga layak bersanding dengan para pendahulu kita di hadapan Ilahi nanti.

💧Selalu berusaha untuk meneladani para shahabiyah dan mengambil hikmah agar diri tak salah melangkah.

💧Menjadilah kuat agar semangat tetap melekat.
Menjadilah tegar agar jiwa kita kokoh seperti pejuang Badar.

💧Mari segera bergegas agar diri pantas berada di antara para mukminah pencetak sejarah Islam.

🔹Man jadda wa jadda….

💧Kehidupan akhirat yang tiada berujung jadikan sebagai inspirasi agar tetap mampu bertahan di jalan dakwah ini.

💧Dan miliki harapan agar menjadi pribadi dahsyat yang mampu meninggalkan jejak kebaikan melalui karya dan kiprah kita yang tiada henti di jalan Ilahi.

Wallahu musta’an

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Kedudukan & Makna Hadist Tasyabbuh Bil Kuffar

👳Ustadz Menjawab👳
✏Ust. Farid Nu’man Hasan


🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

📆Kamis, 14 April 2016 M
                    7 Rajab 1437 H

🌴🌻 KEDUDUKAN DAN MAKNA HADITS TASYABBUH BIL KUFFAR (MENYERUPAI ORANG KAFIR)🌻🌴

💦💥💦💥💦💥

 Assalamualaikum ustadz/ah…saya mau bertanya tentang:

1. Kedudukan hadits
“من تشبه بقوم فهو منهم”

2. Bagaimana aplikasi hadits diatas dlm keseharian kita. Apakah HANYA menyangkut aqidah? Fiqih? Mu’amalah? Atau SEMUA sisi kehidupan kita?
Karena, hampir sebagian hidup kita banyak mengadopsi kebudayaan non muslim seperti makanan, pakaian, teknologi, bahasa, hiburan dll.
جزاكم الله خيرا….
🅰0⃣8⃣

Jawaban:
————–

Wa’Alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Langsung aja ya ..

📕Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Daud No. 4031, Ahmad No. 5115, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf  No.33016, dll) (1)

📘Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani.(HR. At Tirmdizi No. 2695, Al Qudha’i, Musnad Asy Syihab No. 1191) (2) (Keshahihan hadits ini lihat pada catatan kaki)

Ketika menjelaskan hadits-hadits di atas, Imam Abu Thayyib mengutip dari Imam Al Munawi dan Imam Al ‘Alqami  tentang hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir:

“Yakni berhias seperti perhiasan zhahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” (Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud, 11/51)

Imam Abu Thayyib Rahimahullah juga mengatakan:

Lebih dari satu ulama berhujjah dengan hadits ini bahwa dibencinya segala hal terkait dengan kostum yang dipakai oleh selain kaum muslimin. (Ibid, 11/52)

Demikianlah keterangan para ulama bahwa berhias dan menggunakan pakaian yang menjadi ciri khas mereka –seperti topi Sinterklas, kalung Salib, topi Yahudi, peci Rabi Yahudi- termasuk makna tasyabbuh bil kuffar – menyerupai orang kafir yang begitu terlarang dan dibenci oleh syariat Islam.

Ada pun pakaian yang bukan menjadi ciri khas agama, seperti kemeja, celana panjang, jas, dasi, dan semisalnya, para ulama kontemporer berbeda pendapat apakah itu termasuk menyerupai orang kafir atau bukan.  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menganggap kostum-kostum ini termasuk menyerupai orang kafir, maka ini hal yang dibenci dan terlarang, bahkan menurutnya termasuk jenis kekalahan secara psikis umat Islam terhadap bangsa-bangsa penjajah. Sedangkan menurut para ulama di Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia seprti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, dan lainnya, menganggap tidak apa-apa pakaian-pakaian ini. Sebab jenis pakaian ini sudah menjadi biasa di Barat dan Timur. Bukan menjadi identitas agama tertentu.

Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam riwayat shahih, pernah memakai Jubah Romawi yang sempit. Sebutan “Jubah Romawi” menunjukan itu bukan pakaian kebiasaannya, dan merupakan pakaian budaya negeri lain (Romawi), bukan pula pakaian simbol agama, dan Beliau memakai jubah Romawi itu walau agama bangsa Romawi adalah Nasrani.

Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai jubah Romawi yang sempit yang memiliki dua lengan baju.(HR. At Tirmidzi No. 1768, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 18239. Al Baghawi, Syarhus Sunnah No. 3070. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dan lainnya)

Sementara dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengenakan Jubbah Syaamiyah (Jubah negeri Syam).  Riwayat ini tidak bertentangan dengan riwayat Jubbah Rumiyah. Sebab, saat itu Syam termasuk wilayah kekuasaan Romawi.

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:

Banyak terdapat dalam riwayat Shahihain dan lainnya tentang Jubbah Syaamiyah, ini tidaklah menafikan keduanya, karena Syam saat itu masuk wilayah pemerintahan kerajaan Romawi. (Tuhfah Al Ahwad zi, 5/377)

Syaikh Al Mubarkafuri menerangkan, bahwa dalam keterangan lain,  saat itu terjadi ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang safar. Ada pun dalam riwayat Malik, Ahmad, dan  Abu Daud, itu terjadi ketika perang Tabuk, seperti yang dikatakan oleh Mairuk. Menurutnya hadits ini memiliki pelajaran bahwa bolehnya memakai pakaian orang kafir, sampai-sampai walaupun terdapat najis, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai Jubah Romawi tanpa adanya perincian (apakah baju itu ada najis atau tidak). (Ibid)

📌Mengambil Ilmu Dari Mereka (Orang Kafir) Bukan Termasuk Tasyabbuh (penyerupaan)

Begitu pula mengambil ilmu dan maslahat keduniaan yang berasal dari kaum kuffar, maka ini boleh. Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggunakan cara Majusi dalam perang Ahzab, yaitu dengan membuat Khandaq (parit) sekeliling kota Madinah. Begitu pula penggunakaan stempel dalam surat, ini pun berasal dari cara kaum kuffar saat itu, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengikutinya.
 
Oleh karena itu, memakai ilmu keduniaan dari mereka, baik berupa penemuan ilmiah, fasilitas elektronik, transportasi, software, militer, dan semisalnya, tidak apa-apa mengambil manfaat dari penemuan mereka. Ini bukan masuk kategori menyerupai orang kafir. Sebab ini merupakan hikmah (ilmu) yang Allah Ta’ala titipkan melalui orang kafir, dan seorang mu’min lebih berhak memilikinya dibanding penemunya sendiri, di mana pun dia menjumpai hikmah tersebut.
             
Jadi, tidak satu pun ketetapan syariat yang melarang mengambil kebaikan dari pemikiran teoritis dan pemecahan praktis non muslim dalam masalah dunia selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya serta kaidah hukum yang tetap. Oleh karena hikmah adalah hak muslim yang hilang, sudah selayaknya kita merebutnya kembali. Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan –dengan sanad dhaif- sebuah kalimat, “Hikmah adalah harta dari seorang mu’min, maka kapan ia mendapatkannya, dialah yang paling berhak memilikinya.”

Meski sanadnya dhaif, kandungan pengertian hadits ini benar. Faktanya sudah lama kaum muslimin mengamalkan dan memanfaatkan ilmu dan hikmah yang terdapat pada umat lain. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu pernah berkata, “Ilmu merupakan harta orang mu’min yang hilang, ambil-lah walau dari orang-orang musyrik.” (3) Islam hanya tidak membenarkan tindakan asal comot terhadap segala yang datang dari Barat tanpa ditimbang di atas dua pusaka yang adil, Al Qur’an dan As Sunnah.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

🌿🌿🌿🌿🍃🍃🍃🍃

Catatan Kaki:

1] Imam As Sakhawi mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini,   tetapi hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits riwayat Al Bazzar dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan riwayat Al Qudha’i dari Thawus secara mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 215).

Sementara, Imam Al ‘Ajluni mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas. (Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa, 2/240). Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan.(Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, Aunul Ma’bud, 11/52). Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4031)

2] Sebagaimana kata Imam AtTirmidzi, Pada dasarnya hadits ini dhaif, karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Luhai’ah seorang perawi yang terkenal kedhaifannya. Namun, hadits ini memiliki berapa syawahid (penguat), sehingga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menghasankan hadits ini dalam berbagai kitabnya. (Shahihul Jami’ No. 5434, Ash Shahihah No. 2194). Begitu pula yang dikatakan Syaikh Abdul Qadir Al Arna’uth, bahwa hadits ini memiliki syawahid yang membuatnya menjadi kuat. (Raudhatul Muhadditsin No. 4757)

3] Hadits: “Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja dia menemukannya maka dialah yang paling berhak memilikinya.”

Hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh I mam At Tirmidzi dalam sunannya, pada Bab Maa Ja’a fil Fadhli Fiqh ‘alal ‘Ibadah, No. 2828. Dengan sanad: Berkata kepada kami Muhammad bin Umar Al Walid Al Kindi, bercerita kepada kami Abdullah bin Numair,  dari Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi, dari Sa’id Al Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: …. ( lalu disebut hadits di atas).

Imam At Tirmidzi mengomentari hadits tersebut: “Hadits ini gharib (menyendiri dalam periwayatannya), kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah seorang yang dhaif fil hadits (lemah dalam hadits).”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Kitab Az Zuhud Bab Al Hikmah, No. 4169. Dalam sanadnya juga terdapat Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi.

Imam Ibnu Hajar mengatakan, bahwa Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah Abu Ishaq Al Madini, dia seorang yang Fahisyul Khatha’ (buruk kesalahannya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/14. Mawqi’ Al Warraq). Sementara Imam Yahya bin Ma’in menyebutnya sebagai Laisa bi Syai’ (bukan apa-apa). (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 1/105. Mawqi’ Ya’sub)

Sederetan para Imam Ahli hadits telah mendhaifkannya. Imam Ahmad mengatakan: dhaiful hadits laisa biqawwifil hadits (haditsnya lemah, tidak kuat haditsnya). Imam Abu Zur’ah mengatakan: dhaif. Imam Abu Hatim mengatakan: dhaifulhadits munkarulhadits (hadisnya lemah dan munkar). Imam Al Bukhari mengatakan: munkarul hadits. Imam An Nasa’imengatakan: munkarul hadits, dia berkata ditempat lain: tidak bisa dipercaya, dan haditsnya tidak boleh ditulis. Abu Al Hakim mengatakan: laisa bil qawwi ‘indahum (tidak kuat menurut mereka/para ulama). Ibnu ‘Adi mengatakan: dhaif dan haditsnya boleh ditulis, tetapi menurutku tidak boleh berdalil dengan hadits darinya.

Ya’qub bin Sufyan mengatakan bahwa hadits tentang “Hikmah” di atas adalah hadits Ibrahim bin Al Fadhl yang dikenal dan diingkari para ulama. Imam Ibnu Hibban menyebutnya fahisyul khatha’ (buruk kesalahannya).  Imam Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan), begitu pula menurut Al ‘Azdi. (Lihat semua dalam karya Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 1/131 .DarulFikr. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 2/43.Muasasah ArRisalah. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal, 1/52.Darul Ma’rifah. Lihat juga Imam Abu Hatim ArRazi, Al JarhwatTa’dil, 2/122. Dar Ihya AtTurats. Lihat juga Imam Ibnu ‘Adi Al Jurjani, Al Kamil fidh Dhu’afa, 1/230-231. Darul Fikr. Imam Al ‘Uqaili, Adh Dhuafa Al Kabir, 1/60. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Syaikh Al Albani pun telah menyatakan bahwa hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), lantaran Ibrahim ini. (Dhaiful Jami’ No. 4302. Dhaif Sunan At Tirmidzi, 1/320)

Ada pula yang serupa dengan hadits di atas:
“Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja seorang mukmin menemukan miliknya yang hilang, maka hendaknya ia menghimpunkannya kepadanya.”

Imam As Sakhawi mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Al Qudha’i dalam Musnadnya, dari hadits Al Laits, dari Hisyam bin Sa’ad, dari Zaid bin Aslam, secara marfu’. Hadits ini mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 1/105. Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, 1/363)

Ringkasnya, hadits mursal adalah hadits yang gugur di akhir sanadnya, seseorang setelah tabi’in. Kita lihat, riwayat Al Qudha’i ini, Zaid bin Aslam adalah seorang tabi’in, seharusnya dia meriwayatkan dari seorang sahabat nabi, namun sanad hadits ini tidak demikian, hanya terhenti pada Zaid bin Aslam tanpa melalui sahabat nabi. Inilah mursal. Jumhur (mayoritas) ulama dan Asy Syafi’i mendhaifkan hadits mursal.

Ada pula dengan redaksi yang agak berbeda, bukan menyebut Hikmah, tetapi Ilmu. Diriwayatkan oleh Al ‘Askari, dari‘Anbasah bin Abdurrahman, dari Syubaib bin Bisyr, dari Anas bin Malik secara marfu’:

“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, dimana saja dia menemukannya maka dia mengambilnya.”

Riwayat ini juga dhaif. ‘Anbasah bin Abdurrahman adalah seorang yang matruk (ditinggal haditsnya), dan Abu Hatim menyebutnya sebagai pemalsu hadits.(Taqribut Tahdzib, 1/758)

Ibnu Abi Hatim bertanya kepada ayahnya (Abu Hatim) tentang ‘Anbasah bin Abdurrahman, beliau menjawab: matruk dan memalsukan hadits. Selain itu, Abu Zur’ah juga ditanya, jawabnya: munkarul hadits wahil hadits (haditsnya munkar dan lemah). (Al Jarh wat Ta’dil, 6/403)

Ada pun Syubaib bin Bisyr, walau pun Yahya bin Ma’in menilainya tsiqah (bisa dipercaya), namun Abu Hatimdan lain-lainnya
mengatakan: layyinulhadits. (haditsnya lemah). (Imam Adz Dzahabi, MizanulI’tidal, 2/262)

Ada pula riwayat dari Sulaiman bin Mu’adz, dari Simak, dari ‘ikrimah, dariIbnu Abbas, di antara perkataannya:
“Ambillah hikmah dari siapa saja kalian mendengarkannya, bisa jadi ada perkataan hikmah yang diucapkan oleh orang yang tidak bijak, dan dia menjadi anak panah yang bukan berasal dari pemanah.” Ucapan ini juga dhaif. Lantaran kelemahan Sulaiman bin Muadz.

Yahya bin Ma’in mengatakan tentang dia: laisa bi syai’ (bukan apa-apa). Abbas mengatakan, bahwa Ibnu Main mengatakan: dia adalah lemah. Abu Hatim mengatakan: laisa bil matin (tidak kokoh). Ahmad menyatakannya tsiqah (bisa dipercaya).Ibnu Hibban mengatakan: dia adalah seorang rafidhah (syiah) ekstrim, selain itu dia juga suka memutar balikan hadits. An Nasa’i mengatakan: laisa bil qawwi (tidak kuat). (Mizanul I’tidal, 2/219)

📝Catatan:
Walaupun ucapan ini dhaif, tidak ada yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun, secara makna adalah shahih. Orang beriman boleh memanfaatkan ilmu dan kemajuan yang ada pada orang lain, sebab hakikatnya dialah yang paling berhak memilikinya. Oleh karena itu, ucapan ini tenar dan sering diulang dalam berbagai kitab para ulama. Lebih tepatnya, ucapan ini adalah ucapan dari beberapa para sahabat dan tabi’in dengan lafaz yang berbeda-beda.

Dari Al Hasan bin Shalih, dari ‘Ikrimah, dengan lafaznya:

“Ambil-lah hikmah dari siapa pun yang engkau dengar, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berbicara dengan hikmah padahal diabukan seorang yang bijak, dia menjadi bagaikan lemparan panah yang keluar dari orang yang bukan pemanah.” (Al Maqashid Al Hasanah, 1/105)

Ucapan ini adalah shahih dari ‘Ikrimah, seorang tabi’in senior, murid Ibnu Abbas. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Al Hasan bin Shalih bin Shalih bin Hay adalah seorang tsiqah, ahli ibadah, faqih, hanya saja dia dituduh tasyayyu’ (agak condong ke syi’ah). (Taqribut Tahdzib,  1/205)

Waki’ mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seseorang yang jika kau melihatnya kau akan ingat dengan Said bin Jubeir.  Abu Nu’aim Al Ashbahani mengatakan aku telah mencatat hadits dari 800 ahli hadits, dan tidak satu pun yang lebih utama darinya. Abu Ghasan mengatakan, Al Hasan bin Shalih lebih baik dari Syuraik. Sedangkan Ibnu ‘Adi mengatakan, sebuah kaum menceritakan bahwa hadits yang diriwayatkan dari nya adalah mustaqimah, tak satu pun yang munkar, dan menurutnya Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang ahlushshidqi (jujur lagi benar).  Ibnu Hibban mengatakan, Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang faqih, wara’, pakaiannya lusuh dan kasar, hidupnya diisi dengan ibadah, dan agak terpengaruh syi’ah (yakni tidak meyakini adanya shalatJumat). Abu Nu’aim mengatakan bahwa Ibnul Mubarak mengatakan Al Hasan bin Shalih tidak shalat Jumat, sementara Abu Nu’aim menyaksikan bahwa beliau shalat Jum’at.  Ibnu Sa’ad mengatakan dia adalah seorang ahli ibadah, faqih, dan hujjah dalam hadits shahih, dan agak tasyayyu’. As Saji mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seorang shaduq (jujur). Yahya bin Said mengatakan, tak ada yang sepertinya di Sakkah. Diceritakan dari Yahya bin Ma’in, bahwa Al Hasan bin Shalih adalah tsiqatun tsiqah (kepercayaannya orang terpercaya). (Tahdzibut Tahdzib, 2/250-251)

Hanya saja Sufyan Ats Tsauri memiliki pendapat yang buruk tentangnya. Beliau pernah berjumpa dengan Al Hasan bin Shalih di masjid pada hari Jum’at, ketika Al Hasan bin Shalih sedang shalat, Ats Tsauri berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari khusyu’ yang nifaq.” Lalu dia mengambil sendalnya dan berlalu. Hal ini lantaran Al Hasan bin Shalih –menurut At Tsauri- adalah seseorang yang membolehkan mengangkat pedang kepada penguasa (memberontak). (Ibid, 2/249)

Namun, jarh (kritik) ini tidak menodai ketsiqahannya, lantaran ulama yang menta’dil (memuji) sangat banyak.

Selain itu, telah shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, maka ambil-lah walau berada di tangan orang-orang musyrik, dan janganlah kalian menjauhkan diri untuk mengambil hikmah itu dari orang-orang yang mendengarkannya.” (Ibnu Abdil Bar, Jami’  Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/482. Mawqi’ Jami Al Hadits).
Wallahu A’lam

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…


Konsekuensi Sebuah Perjanjian (Kisah Perjanjian Hudaibiyah, Bagian Ketiga)

📆 Kamis, 7 Rajab 1437H / 14 April 2016

📚 SIROH DAN TARIKH

📝 Pemateri: Ust. AGUNG WASPODO, SE MPP

📝 Konsekuensi Sebuah Perjanjian
(Kisah Perjanjian Hudaibiyah, Bagian Ketiga)

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

Janji setia (bai’ah) di Hudaibiyah itu dimulai oleh 2 sahabat Nabi SAW yang bernama Abu Sinan al-Asadi (ra) dan Salamah ibn al-Akwa (ra). Mereka berdua berjanji 3 kali untuk siap hingga titik darah penghabisan di jalan Allah pada bagian depan, tengah, maupun akhir dari barisan Kaum Muslimin. Demikian tingginya animo pembelaan terhadap Rasulullah SAW di kalangan sahabat pada masa tersebut membuktikan betapa mulianya generasi as-Sabiqunal Awwalun.

Perjanjian Kesetiaan ini dilaksanakan di bawah sebuah pohon dimana Rasul SAW diapit oleh ‘Umar (ra) dan Ma’qil ibn Yasar (ra). Allah SWT memuji peristiwa ini dan mengabadikannya pada Surah al-Fath (48) ayat ke-18: “Sesungguhnya, Allah meridhai atas orang-orang mukmin ketika mereka berbai’at kepadamu (Muhammad) di bawah pohon. Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberikan balasan dengan kemenangan yg dekat,” Demikianlah penghargaan tertinggi dari Allah Ta’ala pantas didapatkan oleh generasi terbaik dari Ummat ini.

Melihat teguhnya pendirian Kaum Muslimin serta kesiapan mereka untuk berjuang sampai titik Sarah penghabisan, kaum Musyrikin Quraisy menyadari bahwa rombongan ini tidak dapat dicegah begitu saja. Oleh karena itu, mereka mengirimkan lagi utusan untuk meminta perdamaian dengan sejumlah syarat.
🔅Tarkadang, permasalahan ummat ini tidak membutuhkan terlalu banyak strategi kecuali teguh dalam pendirian serta konsisten dengan ajaran Islam.

Hasil perjanjian (sulhun) Hudaibiyah berisikan 5 butir kesepakatan:

1⃣ Kaum Muslimin harus balik arah dan pulang ke Madinah, akan tetapi tahun depan mereka boleh umroh ke Makkah selama tiga hari,

2⃣ Kaum Muslimin ketika kembali tidak boleh bersenjata kecuali pedang yang tersimpan di dalam sangkurnya dan diletakkan di dalam tas,

3⃣ Seluruh agresivitas Perang antara Kaum Muslimin dan Musyrikin Quraisy dihentikan selama 10 tahun, kedua belah pihak hidup dalam kedamaian dan tidak saling serang,

4⃣ Jika seorang dari Quraisy berpindah ke barisan Muhammad tanpa persetujuan sukunya, maka ia harus dikembalikan; sedangkan jika seorang dari Madinah berpindah ke barisan Quraisy maka ia tidak dikembalikan,

5⃣ Siapapun yang hendak bergabung ke barisan Muhammad atau mengikat perjanjian dengannya maka ia bebas melakukannya; sebagaimana halnya dengan siapapun yang ingin bergabung dengan Quraisy atau mengikat perjanjian dengan mereka maka ia bebas melakukannya.

Secara sepintas perjanjian ini sepertinya merugikan Kaum Muslimin sehingga ada sahabat yang sulit menerima kenyataan tersebut. Namun, Rasulullah SAW menerimanya dengan berbagai pertimbangan yg matang dan jauh ke depan.

Bersambung ke bagian keempat

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Ketika Kesetiaan Kaum Muslimin Ditempa Sekali Lagi (Kisah di Hudaibiyah Bagian Kedua)

📆 Kamis, 7 Rajab 1437H / 14 April 2016

📚 SIROH DAN TARIKH

📝 Pemateri: Ust. AGUNG WASPODO, SE MPP

📝 Ketika Kesetiaan Kaum Muslimin Ditempa Sekali Lagi
(Kisah di Hudaibiyah Bagian Kedua)

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

Bagian 1 :  https://t.co/8vNVhSkuHN

Informasi yang dibawa kembali oleh ‘Urwah kepada pemuka Quraisy tentang khidmatnya para sahabat kepada perintah Rasulullah SAW ternyata menjadi pemecah kepentingan kaum musyrikin. Sebagian kalangan tetua Quraisy ingin berunding dengan Kaum Muslimin. Segolongan kaum mudanya berhasrat untuk berperang selagi Kaum Muslimin dalam keadaan lemah persenjataan. Kesatuan Kaum Muslimin merupakan kekuatan tersendiri yang mampu memecah-belah soliditas musuh-musuhnya; namun kini soliditas Kaum Muslimin yg melemah.

Golongan muda kaum Musyrikin Quraisy mencoba menyusup ke dalam perkemahan Kaum Muslimin di Hudaibiyah. Namun ketatnya pengawalan seksi pengamanan yg dipimpin oleh Muhammad ibn Maslamah (ra)  berhasil menangkap agen penyusup ini. Mereka ini diputuskan Rasulullah SAW utk dibebaskan untuk menyampaikan pesan bahwa kafilah ini bertujuan damai. Dalam konteks inilah turunnya ayat ke-24 dari Surah al-Fath (48) yg berbunyi:

“dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) darimu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah setelah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan Allah Maha Melihat apa yang kamu Kerjakan.”

Masyarakat Islam adalah sekumpulan manusia yang beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW yang dengan keduanya hidup mereka menjadi damai dan tenteram; namun bukan berarti mereka ini lalai dari pengamanan maslahat umum dan tidak juga lengah dari kesiagaan.

Setelah berselang beberapa waktu tanpa ada kepastian maka Rasulullah SAW hendak mengutus ‘Umar ibn al-Khaththab (ra) utk bernegosiasi dengan Kaum Musyrikin Quraisy. Namun, mengingat berbagai pertimbangan dan masukan dari ‘Umar (ra) sendiri, maka Rasulullah SAW akhirnya mengutus ‘Utsman ibn ‘Affan (ra) sebagai utusannya. Rasulullah SAW senantiasa mempertimbangkan keutamanan maupun keunggulan sahabatnya dalam setiap penugasan; beliau juga menerima masukan yang diberikan kepadanya.

‘Utsman (ra) kembali menegaskan niat dan tujuan damai yg dibawa Kaum Muslimin yang dipimpin Rasulullah SAW kepada para pemuka Quraisy. Namun, pihak Quraisy bersikeras utk tidak memberikan izin. Sebaliknya, mereka membujuk ‘Utsman (ra) dengan imbalan hak berumroh bagi dirinya sendiri jika ia mau mempengaruhi Rasulullah SAW utk mengurungkan tujuannya. Hal ini ditampik ‘Utsman (ra) dengan tugas dengan perkataannya yg masyhur “bagaimana aku bisa menikmatinya (umroh) ketika baginda Rasulullah SAW dan Kaum Muslimin dihalangi atas itu (umroh). Karakter seorang mu’min adalah mengutamakan kepentingan umum Kaum Muslimin diatas maslahat diri pribadinya.

Alotnya negosiasi ini menyebabkan keresahan di kalangan Kaum Muslimin serta kekhawatiran mereka atas keamanan jiwa ‘Utsman (ra). Untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan maka para sahabat diambil perjanjiannya untuk setia melindungi keselamatan Rasulullah SAW dari potensi ancaman Kaum Musyrikin Quraisy. Bai’at ini dikenal dalam sejarah sebagai Bai’atur Ridwan. Kehidupan masyarakat Muslimin sudah sepatutnya mengacu kepada kedisiplinan serta keseriusan generasi sahabat dalam menjunjung tinggi kecintaan kepada baginda Rasulullah SAW.

Bersambung ke bagian ketiga..

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Hutang Piutang dalam Islam

 

👳Ustadz Menjawab👳

Ust. Farid Nu’man Hasan
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹
📆Rabu, 6 Rajab 1437 H
               13 April 2016 M

Assalamuallaikum wr wb…
Ustadz bagaimana sebaiknya kita bersikap dalam menghadapi masalah utang-piutang? Selama ini cukup banyak kenalan dan tetangga yg datang dan bermaksud meminjam uang. Pengalaman berkali2 meminjamkan, hampir selalu berujung tidak baik. 
Padahal kami (yg memberi utang) sudah sangat longgar, namun ketika menagih seakan2 kami adalah pihak yg bersalah. Yg berutang jadi menghindar, marah, bahkan akhirnya putus tali silaturahim. Kami tidak ingin terulang seperti itu lagi sehingga bertekad utk tdk lagi meminjamkan uang. Tapi sekarang masih banyak yg dtg ingin meminjam dgn alasan ingin bebas dari utang rentenir.

Di satu sisi kami ingin bantu tapi di sisi lain, kebiasaan masyarakat masih menyepelekan utang (walau sdh ada perjanjian tertulis) sehigga seakan2 tdk mendidik masyarakat utk menghindari utang ataupun menyegerakan pelunasan utang. Bagaimana kami harus bersikap?
                             

🌴Jawaban nya
—————————
Wa’alaikum salam wr wb

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d.
Opsi terbaik adalah meminjamkannya, sebab meminjamkan hutang bagian dari memudahkan dan mengeluarkan manusia dari kesulitan hidupnya, dan ganjarannya sangat luar biasa. Jangan lupa, adanya orang susah merupakan ujian atas kedermawanan kita.
Sebagaimana riwayat berikut: 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, dari Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wasallam bersabda : 
  “Siapa yang membantu menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari sebuah kesulitan diantara berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan salah satu kesulitan di antara berbagai  kesulitannya pada hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hambaNya selama hambaNya itu menolong saudaranya.” (HR. Muslim No. 2699)
Tapi, jika masyarakat -atau siapa pun- menjadikan hutang sebagai barang permainan, menggampang-gampangkannya, bahkan mereka enggan membayarnya atau tidak ada itikad baik untuk melunasinya, maka itu sama juga mencuri.
Perhatikan riwayat berikut, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً عَلَى صَدَاقٍ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ لاَ يُؤَدِّيَهُ إِلَيْهَا فَهُوَ زَانٍ ، وَمَنِ ادَّانَ دَيْنًا وَهُوَ يَنْوِي أَنْ لاَ يُؤَدِّيَهُ إِلَى صَاحِبِهِ – أَحْسَبُهُ قَال – : فَهُوَ سَارِقٌ
“Barang siapa yang menikahi wanita wajib memberikan mahar, dan dia berniat tidak membayarkan mahar
nya kepadanya (si wanita), maka dia adalah pezina. Dan barang siapa yang berhutang dan dia berniat tidak membayarkan kepada yang menghutanginya, maka dia pencuri.”
(HR. Al Bazzar , 2/163, dan lainnya, dari Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib, No. 1806)
Jadi, untuk memberikan pelajaran atau mendidik, agar mereka mandiri dan belajar tanggungjawab,  maka Anda berhak tidak meminjamkannya. Tapi, jika meminjamkannya, walau tahu resiko mereka tidak akan membayarkannya, lalu Anda membebaskan
nya, maka itu luar biasa.
Wallahu A’lam
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹
Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com
💼 Sebarkan! Raih pahala…

TAQWA dan HASIL-HASILNYA

📆 Rabu,  6 Rajab 1437H / 13 April 2016

📚 Tsaqafah Islamiyah

📝 Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.

📋 TAQWA dan HASIL-HASILNYA

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

Apakah taqwa itu? Telah banyak definisi yang disampaikan ulama. Di antaranya:

1⃣ Definisi dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, ketika beliau menafsirkan ayat ittaqullaha haqqa tuqaatih (bertaqwa-lah kalian dengan sebenar-benarnya taqwa)

أن يُطاع فلا يُعْصَى، وأن يُذْكَر فلا يُنْسَى، وأن يُشْكَر فلا يُكْفَر

  Yaitu taat dan tidak ingkar, ingat dan tidak lupa, bersyukur dan tidak kufur. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/86-87. Dar Ath Thayyibah. Lihat juga Imam Al Baidhawi, Anwarut Tanzil, 1/373. Mawqi’ At Tafasir)

  Imam Ibnu katsir mengatakan ucapan tersebut shahih mauquf dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. (Ibid)

  Definisi ini juga dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan Qatadah. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, An Nukat wal ‘Uyun, 1/250. Mawqi’ At Tafasir)

2⃣ Definisi dari Imam Al Baidhawi Rahimahullah

وهو استفراغ الوسع في القيام بالواجب والاجتناب عن المحارم

  Taqwa adalah mengerahkan potensi dalam menjalankan kewajiban dan menjauhi hal-hal yang diharamkan. (Anwarut Tanzil, 1/373. Tafsir Al Muyassar, 3/361, 4/340, 10/51)

  Sama dengan ini, Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah mengatakan:

اتق الله : بامتثال أمره واجتناب نهيه ، والوقوف عند حده .

  Bertaqwa-lah kepada Allah: dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya, dan berhenti pada batasanNya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 18)

  Berhenti pada batasannya artinya tidak melangggar syariatNya. Definisi yang kedua ini adalah definisi yang paling sering kita dengar.

3⃣  Imam Abul Hasan Al Mawardi menyampaikan empat kelompok yang mendefinisikan makna taqwa. Pertama, adalah seperti yang disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud di atas. Lalu tiga kelompok lainnya:

والثاني : هو اتقاء جميع المعاصي ، وهو قول بعض المتصوفين . والثالث : هو أن يعترفواْ بالحق في الأمن والخوف . والرابع : هو أن يُطَاع ، ولا يُتَّقى في ترك طاعته أحدٌ سواه

  Kedua, yaitu menghindari semua maksiat, ini adalah pendapat sebagian ahli tasawwuf. Ketiga,  mengenali kebenaran baik dalam keadaan aman atau takut. Keempat, yaitu mentaati dan tidak takut kepada siapa pun dalam meninggalkan ketaatan kepadaNya kecuali takut kepadaNya.  (Imam Abul Hasan Al Mawardi, An Nukat wal ‘Uyun, 1/250)

 4⃣ Definisi lainnya adalah taqwa bermakna takut (Al Khauf). (Lihat Tafsir Al Muyassar, 1/291, 1/401, 2/209, 10/93. Lihat juga Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/716)

  Jadi, dari berbagai definisi ini kita simpulkan bahwa taqwa itu sikap menjalankan segala macam ketaatan dan perintah Allah Ta’ala, tidak membangkang, selalu ingat kepadaNya dan tidak lupa, serta menjauhi larangan-laranganNya,  tidak melanggar syariatNya, takut kepada azab dan siksaNya, memegang teguh kebenaran baik dalam keadaan aman dan takut, bersyukur kepada semua nikmat Allah Ta’ala dan tidak mengkufurinya.

☑ Nataaij At Taqwa (hasil-hasil dari taqwa)

  Perintah taqwa bukanlah perintah kosong tanpa makna dan maksud. Allah ‘Azza wa Jalla telah menggambarkan tentang manfaat dan hasil yang akan diberikanNya bagi para muttaqin baik di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, pengetahuan terhadapnya an nataaij at taqwa adalah hal yang penting untuk memacu diri kita agar menjadi insan yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala.

  Berikut ini hasil-hasil yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepada orang-orang bertaqwa:

📌 Pembeda (Al Furqan)

Orang yang bertaqwa kepada Allah, akan Allah Ta’ala berikan kepadanya  Al Furqan, yaitu kemampuan membedakan antara haq dan batil, antara halal dan haram, lalu dia berjalan di atas kemampaunnya itu. Walau  dia bukan tergolong ahlul ilmi (ulama).

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan  hapuskan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al Anfal (8): 29)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah mengatakan tentang ayat ini:

الفرقان: وهو العلم والهدى الذي يفرق به صاحبه بين الهدى والضلال، والحق والباطل، والحلال والحرام، وأهل السعادة من أهل الشقاوة.

 Al Furqaan: dia adalah ilmu dan petunjuk yang dengannya pemiliknya dapat memisahkan antara petunjuk dan kesesatan, haq dan batil, halal dan haram, orang yang bahagia dan sengsara. (Syaikh Abdurrahman As Sa’di, Taisir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir  Kalam Al Manan, Hal. 319. Cet. 1, 2000M-1420H.  Muasasah Ar Risalah)

📌 Dihapuskannya Keburukan dan diampunkan dosa (Takfirus Sayyi’aat wal ghufran)

Ini hasil yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepada orang-orang bertaqwa, sesuai ayat di atas:

… وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ….

… Dan kami akan  hapuskan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu…  (QS. Al Anfal (8): 29).

Juga ayat lain:
 …وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ…

 .. dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya .. (QS. Ath Thalaq (65): 5)

📌 Diberikan pahala yang besar (Ajrun ‘Azhim) yaitu surga

Lanjutan dari surat Ath Thalaq ayat 5 di atas adalah;

وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا

  … dan akan diberikan pahala yang besar baginya. (QS. Ath Thalaq (65): 5)

  Yaitu balasan di akhirat berupa surgaNya dan abadi di dalamnya.

  Al Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari Rahimahullah menjelaskan:

ويجزل له الثواب على عمله ذلك وتقواه، ومن إعظامه له الأجر عليه أن يدُخله جنته، فيخلده فيها.

  Dia (Allah) melimpahkan baginya pahala atas pebuatannya   dan ketaqwaannya itu, dan di antara besarnya balasan baginya adalah dia dimasukkan ke dalam surgaNya dan Dia kekalkan di dalamnya. (Imam Ibnu Jarir, Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Al Quran, 23/456. Cet. 1, 2000M-1420H.   Muasasah Ar Risalah. Tahqiq: Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)

4⃣ Keberkahan dalam hidup (Al Barakaat)

Allah Ta’ala menyebutkannya dalam ayat:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al A’raf (7): 96)

Imam Al Baidhawi Rahimahullah menjelaskan:

لوسعنا عليهم الخير ويسرناه لهم من كل جانب وقيل المراد المطر والنبات

Benar-benar akan Kami lapangkan kepada mereka kebaikan, dan Kami  berikan kemudahan bagi mereka di segala sisi.  Ada yang menyebutkan maksudnya adalah: hujan dan tumbuh-tumbuhan.  (Imam Al Baidhawi, Anwar At Tanzil, 2/294. Mawqi’ At Tafasir)

5⃣ Jalan keluar (Al Makhraj)

Allah ta’ala menyebutkannya dalam ayatNya:

 …وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (QS. Ath Thalaq (65): 2)

Banyak tafsir tentang makna “jalan keluar” dalam ayat ini, namun tafsir yang paling luas dan mencakup semuanya adalah apa yang dikatakan oleh  Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma  berikut:

ومن يتق الله يُنجِه من كل كرب في الدنيا والآخرة

Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, Dia akan menyelamatkannya dari segala beban di dunia dan akhirat. (Imam Ibnul Jauzi, Zaadul Masiir, 6/40. Mawqi’ At Tafasir. Imam Al Mawardi, An Nukat wal ‘Uyun, 4/286. Mawqi’ At Tafasir)

 Juga ada penjelasan dari Imam Abu Hasan An Naisaburi Rahimahullah yang cukup bagus:

من الشدَّة إلى الرَّخاء ، ومن الحرام إلى الحلال ، ومن النَّار إلى الجنَّة ، يعني : من صبر على الضِّيق ، واتَّقى الحرام جعل الله له مخرجاً من الضِّيق .

(jalan keluar) dari kesukaran menuju kelapangan, dari haram menuju halal, dari neraka menuju surga, yakni bagi orang yang bersabar atas himpitan hidup, dan dia menjauh dari hal yang haram, maka Allah akan jadikan untuknya jalan keluar dari kesempitannya itu. (Imam An Naisaburi, Al Wajiiz fi Tafsir Al Kitab Al ‘Aziz, Hal. 1013. Mawqi’ At Tafasir)

6⃣ Rezeki (Ar Rizqu)

Ayat lanjutan dari ayat di atas adalah:

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ …

  Dan memberikannya rezeki dari arah yang tidak disangka olehnya …. (QS. Ath Thalaq (65): 3)

  Secara khusus, sebenarnya ayat-ayat ini menceritakan tentang perceraian dan rujuknya suami-isteri, sebagai bimbingan kepada mereka bagaimana cerai yang sesuai sunnah, seperti cerai ketika suci sebelum digauli, cerai ketika hamil, dan hendaknya disaksikan dua saksi yang adil. Cerai ketika haid adalah cerai terlarang, bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai cerai bid’ah.

  Oleh karena itu, terkait dengan masalah perceraian,   sebagian ulama memaknai “rezeki” dalam ayat ini adalah wanita lain yang akan diperistri lagi, jika dia menjalankan perceraian dengan isterinya dengan cara yang baik.

  Imam Abu Hayyan Rahimahullah menyebutkan dalam Al Bahr:
وقال الضحاك : من حيث لا يحتسب امرأة أخرى

  Berkata Adh Dhahak: (rezeki) dari arah yang dia tidak sangka, yaitu wanita lainnya. (Imam Abu Hayyan, Al Bahr Al Muhith, 10/298. Mawqi’ At Tafasir)

  Tentunya dalam konteks yang lebih luas dan makna yang lebih umum, makna rezeki tidak terbatas seperti itu. Wallahu A’lam

7⃣  Kemudahan (Al Yusru)

Allah Ta’ala menyebutkan dalam ayatNya:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. Ath Thalaq (65): 4)
Yaitu Allah Ta’ala alan mudahkan baginya untuk kembali rujuk kepada isterinya.

Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:

أي : من يتقه في امتثال أوامره ، واجتناب نواهيه يسهل عليه أمره في الدنيا والآخرة . وقال الضحاك : من يتق الله ، فليطلق للسنة يجعل له من أمره يسراً في الرجعة . وقال مقاتل : من يتق الله في اجتناب معاصيه يجعل له من أمره يسراً في توفيقه للطاعة

Yaitu: barangsiapa yang bertaqwa kepadaNya dalam menjalan perintahNya dan menjauhi laranganNya, akan dimudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Adh Dhahak berkata: barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka hendaknya dia  bercerai sesuai sunah,  itu akan menjadikan urusan rujuknya menjadi mudah. Sedangkan Muqatil mengatakan: barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dalam menjauhi maksiat kepadaNya, akan dijadikan mudah urusan  baginya untuk membimbingnya kepada ketaatan.  (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 7/241-242. Mawqi’ At Tafasir)

Demikianlah hasil-hasilk yang akan Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepada hamba-hambaNya yang bertaqwa. Wallahu A’lam

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

DO’AKAN, JANGAN CACI-MAKI DIA

📆 Rabu,  06 Rajab 1437H / 13 April 2016

📚 Motivasi

📝 Ustadz Farid Nu’man

 📋 DO’AKAN, JANGAN CACI-MAKI DIA

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

Mungkin kita pernah melihat wanita yang nampaknya bukan wanita baik-baik. Centil, menggoda, farfum menyengat, dan pakaiannya berukuran pun ala kadarnya.

Biasanya ada kebencian di hati dan menilainya sebagai wanita murahan. Namun, .. kebencian itu pun hanya berfungsi menunjukkan posisi kita terhadapnya, belum tentu menjadi  jalan keluar baginya. Mendoakannya tentu lebih baik dibanding memakinya.

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menceritakan:

وقال الزبير بن بكار حدثنا مصعب الزبيري حدثنا عبدالرحمن بن أبي الحسن قال خرج أبو حازم يرمي الجمار ومعه قوم متعبدون وهو يكلمهم
ويحدثهم ويقص عليهم فبينما هو يمشي وهم معه إذ نظر إلى فتاة مستترة بخمارها ترمي الناس بطرفها يمنة ويسرة وقد شغلت الناس وهم ينظرون إليها مبهوتين وقد خبط بعضهم بعضا في الطريق فرآها أبو حازم فقال يا هذه اتقي الله فإنك في مشعر من مشاعر الله عظيم وقد فتنت الناس فاضربي بخمارك على جيبك فإن الله عز و جل يقول وليضربن بخمرهن على جيوبهن فأقبلت تضحك من كلامه وقالت إني والله
 من اللاء لم يحججن يبغين حسبة … ولكن ليقتلن البريء المغفلا
 فاقبل أبو حازم على أصحابه وقال تعالوا ندعو الله أن لا يعذب هذه الصورة الحسناء بالنار فجعل يدعو وأصحابه يؤمنون

Berkata Az Zubeir bin Bakkar, berkata kepadaku Mush’ab bin Az Zubeir, berkata kepadaku Abdurrahman bin Abil Hasan, dia berkata:

Abu Hazim keluar untuk melumpar jumrah dan  para ahli ibadah ikut bersamanya. Dia berbicara dan bercerita bersama mereka. Ketika mereka sedang berjalan, lewatlah seorang gadis menggunakan kerudung di kepalanya. saat itu manusia sedang melempar jumrah baik di sisi kanan dan kirinya, saat itu manusia sedang sibuk dengan aktifitasnya. Mereka (para ahli ibadah) memandang si wanita gadis itu sampai di antara mreka ada yang terpeleset di jalan. Maka, Abu Hazim memandang wanita itu dan berkata:

“Takutlah kamu kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di antara tempat manasik haji yang diagungkan Allah, sedangkan kamu telah menggoda manusia. julurkanlah kerudungmu sampai dadamu karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Hendaknya mereka menjulurkan kerudung mereka ke dada-dada mereka.”

Wanita itu malah tertawa, dan berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku ini termasuk  wanita yang tidak memakai hijab dengan sebuah alasan, tetapi aku ingin “membunuh” orang-orang yang hatinya lalai.”

Lalu, Abu Hazim menoleh ke para sahabatnya dan berkata: “Mari kita doa kepada Allah agar Dia tidak mengazab wanita cantik ini dengan api neraka.” Maka dia pun berdoa dan diaminkan oleh sahabat-sahabatnya.

📌📌📌📌

📚 Imam Ibnul Qayyim, Raudhatul Muhibbin, Hal. 226. Th. 1992M-1412H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

🍃🌻🌴🌺☘🌷🌾🌸

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Empat Perkara

📆 Rabu,  06 Rajab 1437H / 13 April 2016

📚 Motivasi

📝 Ustadz Abdullah Haidir Lc.

📋 EMPAT PERKARA

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

 Tiga Perkara

ثَلاَثُ مُهْلِكَاتٍ وَ ثَلاَثُ مُنْجِيَاتٍ وَ ثَلاَثُ كَفَّارَاتٍ وَ ثَلاَثُ دَرَجَاتٍ ;

Ada Tiga Perkara
Membinasakan,
Menyelamatkan,
Menghapuskan Dosa dan
Meningkatkan Derajat

فَأَمَّا الْمُهْلِكاَتُ: فَشُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى مُتَّبَعٌ وَ إِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

Adapun yang membinasakan;
Bakhil yang dituruti,
Hawa nafsu yang diikuti dan
Bangga terhadap diri sendiri.

وَ أَمَّا الْمُنْجِيَاتُ: فَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَ الرِّضَا وَ الْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَ الْغِنَى وَ خَشْيَةُ اللهِ تَعَالَى فِي السِّرِّ وَ الْعَلاَنِيَةِ ;

Adapun yang menyelamatkan adalah:
Adil saat marah maupun ridha,
Hemat  saat miskin maupun kaya, dan
Takut kepada Allah saat sendiri maupun ramai.

وَ أَمَّا الْكَفَّارَاتُ: فَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ وَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ فِي السَّبَرَاتِ وَ نَقْلُ اْلأَقْدَامِ إِلَى الْجَمَاعَاتِ ;

Adapun yang menghapus dosa adalah:
Menunggu waktu shalat (berikutnya) setelah shalat (sebelumnya),
Menyempurnakan wudhu saat cuaca sangat dingin dan
Melangkahkan kaki untuk menghadiri (shalat) jamaah.

وَ أَمَّا الدَّرَجَاتُ: فَإِطْعَامُ الطَّعَامِ وَ إِفْشَاءُ السَّلاَمِ وَ الصَّلاَةُ بِاللَّيْلِ وَ النَّاسُ نِيَامٌ (رواه الطبراني وحسنه الألباني في جامع الصغير

Adapun yang meninggikan derajat adalah:
Memberi makan,
Menebarkan salam dan
Shalat malam saat orang lain tertidur.”

(HR. Thabrani, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Jami Ash-Shagir)

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) – Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.1)

📆 Selasa,  5 Rajab 1437H / 12 April 2016

📚 Fiqih dan Hadits

📝 Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.

📋 Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) – Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.1)
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📚Hadits ke 12:

                Pada hadits ke 12 ini, Al Hafizh Ibnu Hajar menuliskan:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  صلى الله عليه وسلم  طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذْ وَلَغَ فِيهِ اَلْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ, أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ – أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

وَفِي لَفْظٍ لَهُ:   فَلْيُرِقْهُ  .

وَلِلتِّرْمِذِيِّ:  أُخْرَاهُنَّ, أَوْ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ                                                    

📌            Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu dia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sucinya bejana kalian ketika seekor anjing walagha (menjilat) di dalamnya adalah dengan cara mencucinya tujuh kali, yang pertamanya adalah dengan tanah.” (HR. Muslim)

            Pada lafazhnya yang lain: “maka hendaknya dibuang airnya.”

            Pada riwayat Imam At Tirmidzi: “yang  akhir atau yang pertamanya adalah dengan tanah.”

📚Takhrij Hadits:

🔹-    Imam Bukhari dalam Shahihnya, Kitabul Wudhu Bab Al Ma’il Ladzi Yughsalu bihi Sya’arul Insan, No. 172, dengan lafaz: Idzasyariba Al kalbu ……….. (Jika seekor anjing minum), tanpa menyebut dicampur dengan tanah.

🔹-          Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitabuth Thaharah Bab Hukmi Wulughil Kalbi  No. (279) (91) dan (279) (89), dengan lafazh:“hendaknya dibuang airnya.” Taqdim: Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi. Lafaz hadits di atas adalah menurut lafaz Imam Muslim dalam Shahihnya.

🔹-          Imam At Tirmidzi dalam Sunannya,Kitabuth Thaharah Bab Maa Ja’a fi Su’ril Kalbi No. 91, katanya: hasan shahih

🔹-          Imam Abu Daud dalam Sunannya,Kitabuth Thaharah Bab Al Wudhu bi Su’ril Kalbi, No. 71

🔹-          Imam An Nasa’i dalam Sunannya,Kitabul Kiyah Bab Su’ril Kalbi No.  64, jugaBab Ta’firil Inaa bit Turab min Wulughil Kalbi fiih, No. 338, 339

🔹-          Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya,Kitabuth Thaharah Bab Wulughil Kalbi fil Inaa, 1/64

🔹-          Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shughra, Bab Ghuslil Ina min Wulughil Kalbi,  No.  176, liat juga No. 1102

🔹-          Dll

📚Status Hadits:

            Hadits ini shahih, dimasukkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya masing-masing.

📚Kandungan dan Faidah Hadits:

               Hadits ini memiliki banyak pelajaran, di antaranya:

📋1⃣ .Pada lafaz hadits di atas – riwayat Imam Muslim- menggunakan kata وَلَغَ  – walagha(menjilat), sementara pada riwayat Imam Bukhari menggunakan lafaz  شَرِبَ – syariba (minum). Apa perbedaannya?

Berkata Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah:

وفرق بين (شرب، وولغ) فبعض العلماء يقول: الشرب لغير الكلاب والسباع، وهو أن يعب الماء عباً، والولوغ: هو أن يتناول الماء بطرف لسانه

📌             Perbedaan antara syariba dan walagha, sebagian ulama mengatakan: asy syurbu (minum) adalah untuk selain anjing dan selain hewan buas, dan meminum air dengan sekali teguk, sedangkan al wulugh artinya meminum air dengan ujung lidah.  (Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh Bulugh Al Maram, 3/5)

            Jadi, anjing minum dengan cara menjulurkan ujung lidahnya ke air, maka itu tidak ubahnya seperti menjilat. Sehingga tidak ada pertentangan berarti antara walagha dan syariba, keduanya sama-sama minum, yang berbeda hanya cara minumnya.

              Syaikh ‘Athiyah Rahimahullah berkata:

فالولوغ: هو تناول الكلب بطرف لسانه للسائل الذي في الإناء، وهذه طبيعته، والشرب أعم

📌              Maka, Al Wulugh adalah cara minumnya anjing dengan ujung lidahnya untuk mengalir air yang ada pada air, dan ini adalah caranya yang natural, ada pun minum maknanya lebih umum.

              Lalu Beliau juga melanjutkan:

إذاً: ولغ وشرب ليس بينهما تعارض

📌              Jadi, walagha dan syariba di antara keduanya tidak ada pertentangan. (Ibid)

              Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan tentang walagha:

وَهُوَ الْمَعْرُوف فِي اللُّغَة ، يُقَال وَلَغَ يَلَغ – بِالْفَتْحِ فِيهِمَا – إِذَا شَرِبَ بِطَرَفِ لِسَانه ، أَوْ أَدْخَلَ لِسَانه فِيهِ فَحَرَّكَهُ ، وَقَالَ ثَعْلَب : هُوَ أَنْ يُدْخِل لِسَانه فِي الْمَاء وَغَيْره مِنْ كُلّ مَائِع فَيُحَرِّكهُ ، زَادَ اِبْن دُرُسْتَوَيْهِ : شَرِبَ أَوْ لَمْ يَشْرَب . وَقَالَ اِبْن مَكِّيّ : فَإِنْ كَانَ غَيْر مَائِع يُقَال لَعِقَهُ . وَقَالَ الْمُطَرِّزِيّ : فَإِنْ كَانَ فَارِغًا يُقَال لَحِسَهُ

  📌         Ini adalah istilah yang sudah terkenal secara bahasa, dikatakan: walagha – yalaghu,  dengan difathahkan pada keduanya, artinya minum dengan ujung lidahnya, atau dia memasukan lidahnya padanya lalu menggerak-gerakannya. Berkata Ats Tsa’lab: yaitu memasukan lidahnya ke dalam air dan selainnya dari semua benda cair, lalu dia menggerak-gerakannya.  Ibnu Durustawaih menambahkan: baik dia minum atau tidak minum.  Berkata Ibnu Makki: “Jika dia menjilatnya pada sesuatu yang cair (padat) itu disebut la’iqa.” Al Mutharrizi berkata: “Jika dia menjilatnya pada sesuatu yang kosong maka itu disebut lahisa.” (Fathul Bari, 1/274. 1379H. Darul Ma’rifah, Beirut)

📋2⃣ . Hadits ini menunjukkan najisnya liur anjing, dan ini menjadi pandangan jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan sebagian ulama ada yang mengkategorikannya sebagai najis mughallazhah (najis berat)

            Hal ini sangat jelas, yakni ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa sucinya bejana yang airnya telah diminum oleh anjing adalah dengan cara dicuci tujuh kali dan yang pertamanya dicampur dengan tanah, itu menunjukkan batas antara suci dan najis. Najisnya ketika anjing minum di dalamnya, dan sucinya ketika dibersihkan tadi.

           Namun, pada kenyataannya para imam kaum muslimin berbeda pendapat tentang kenajisan anjing. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok besar.

1⃣ Pertama, yang menyatakan bahwa seluruh tubuh Anjing adalah najis, luar maupun dalam. Inilah pandangan Imam Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya.

2⃣ Kedua, yang menyatakan bahwa najisnya Anjing adalah hanya liurnya saja, anggota tubuh yang lain adalah suci. Inilah pandangan  jumhur (mayoritas) ulama, dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,  Imam Asy Syaukani,  Syaikh Sayyid Sabiq dan lain-lain.

3⃣ Ketiga, yang menyatakan seluruhnya adalah suci termasuk air liurnya. Inilah pandangan Imam Malik, dan diikuti oleh  Syaikh Yusuf Al Qaradhawi.

Mari kita lihat alasan masing-masing kelompok.

🔶Kelompok pertama. Mereka berargumen dengan hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ

📌“Jika Seekor Anjing minum di bejana kalian, maka cucilah tujuh kali.”    (HR. Bukhari No. 172, Muslim No. 279, 90, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 288, Malik dalam Al Muwaththa’ No. 65, menurut Riwayat Yahya Al Laits. Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 536, Al Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal AatsarNo. 467)

Sementara dari jalur Abu Hurairah lainnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

📌“Sucinya bejana kalian jika seekor Anjing minum di dalamnya adalah dengan mencucinya tujuh kali, dan yang  pertamanya dengan tanah.”   (HR. Muslim No. 279, 91 , Ahmad No. 9511, Ad Daruquthni, 1/64, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 1840, 37395, Abu ‘Uwanah No. 540)

Hadits ini menunjukkan bahwa liur anjing adalah najis berat. Jika yang diminum adalah airnya, lalu kenapa yang diperintah untuk dicuci juga bejananya? Bukankah cukup dengan dibuang saja airnya? Padahal bejananya tidak dijilat, hanya airnya saja yang kena.  Perintah untuk mencuci sampai tujuh kali bejana menunjukkan kenajisannya, sebab jika memang suci, pastilah tidak akan ada perintah tersebut. Demikian alasan mereka.

Selain itu mereka juga mengqiyaskan bahwa najisnya liur, menunjukkan najisnya seluruh tubuh anjing. Lagi pula anjing punya kebiasaan menjilat-jilat tubuhnya, sehingga tubuhnya terbungkus oleh liurnya yang najis.

Berkata Imam Ash Shan’ani Rahimahullah ketika mengomentari hadits di atas:

وَهُوَ ظَاهِرٌ فِي نَجَاسَةِ فَمِهِ ، وَأُلْحِقَ بِهِ سَائِرُ بَدَنِهِ قِيَاسًا عَلَيْهِ ، وَذَلِكَ ؛ لِأَنَّهُ إذَا ثَبَتَ نَجَاسَةُ لُعَابِهِ ، وَلُعَابُهُ جُزْءٌ مِنْ فَمِهِ ، إذْ هُوَ عِرْقُ فَمِهِ ، فَفَمُهُ نَجِسٌ ، إذْ الْعِرْقُ جُزْءٌ مُتَحَلِّبٌ مِنْ الْبَدَنِ ، فَكَذَلِكَ بَقِيَّةُ بَدَنِهِ

📌“Secara zhahir, mulutnya pun najis. Ketika dia menjilati seluruh badannya maka itu menjadi qiyas atasnya. Hal itu karena  sudah pasti najisnya liur anjing, dan liur merupakan bagian dari mulutnya. Ketika mulutnya berkeringat maka mulutnya juga najis. Jika keringat bagian yang keluar dari badan, maka demikian juga anggota badan lainnya (juga najis).”    (Subulus Salam, 1/22. Maktabah Mushthafa Al Baabiy Al Halabiy)

🔶Kelompok kedua. Inilah jumhur (mayoritas). Mereka mengakui bahwa liur anjing adalah najis, tetapi anggota tubuh lainnya adalah suci. Dalil kelompok ini berdasarkan hadits-hadits di atas juga, yang menunjukkan kenajisan anjing dikaitkan dengan air liurnya. Selain itu, sebagaimana tertera dalam Shahih Al Bukhari, pada masa lalu anjing lalu lalang di masjid nabi tetapi mereka tidak diusir dan tidak pula dibersihkan bekas tapak kaki mereka.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الكلب: وهو نجس ويجب غسل ما ولغ فيه سبع مرات، أولاهن بالتراب

📌“Anjing, dia najis dan wajib mencuci apa-apa yang dijilatnya sebanyak tujuh kali dan yang pertamanya dengan tanah.” (lalu beliau menyebutkan hadits di atas) Tetapi beliau juga berkata:

أما شعر الكلب فالاظهر أنه طاهر، ولم تثبت نجاسته.

📌“Adapun bulu anjing, yang benar adalah suci tidak ada dalil yang kuat yang menyebutnya najis.”   (Fiqhus Sunnah, 1/29. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menguatkan pendapat ini, katanya:

أَمَّا الْكَلْبُ فَلِلْعُلَمَاءِ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ مَعْرُوفَةٍ : أَحَدُهَا : أَنَّهُ نَجِسٌ كُلُّهُ حَتَّى شَعْرُهُ كَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ . وَالثَّانِي : أَنَّهُ طَاهِرٌ حَتَّى رِيقُهُ كَقَوْلِ مَالِكٍ فِي الْمَشْهُورِ عَنْهُ . وَالثَّالِثُ : أَنَّ رِيقَهُ نَجِسٌ وَأَنَّ شَعْرَهُ طَاهِرٌ وَهَذَا مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ الْمَشْهُورُ عَنْهُ وَهَذِهِ هِيَ الرِّوَايَةُ الْمَنْصُورَةُ عِنْدَ أَكْثَرِ أَصْحَابِهِ وَهُوَ الرِّوَايَةُ الْأُخْرَى عَنْ أَحْمَد وَهَذَا أَرْجَحُ الْأَقْوَالِ .

📌“Adapun anjing, para ulama kita terbagi atas tiga pendapat: Pertama. Bahwa anjing najis seluruhnya termasuk bulunya, inilah pendapat Asy Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. Kedua. Bahwa anjing adalah suci termasuk liurnya inilah pendapat yang masyhur (terkenal) dari Malik. Ketiga. Bahwa liurnya adalah najis, dan bulunya adalah suci, inilah madzhab yang masyhur dari Abu Hanifah, dan inilah riwayat yang didukung oleh mayoritas pengikutnya, dan inilah riwayat lain dari Ahmad. Inilah pendapat yang lebih kuat.” (Majmu’ Fatawa, 21/616. Cet. 3, 2005M-1426H. Darul Wafa’)

Beliau juga berkata:

فَأَحَادِيثُهُ كُلُّهَا لَيْسَ فِيهَا إلَّا ذِكْرُ الْوُلُوغِ لَمْ يَذْكُرْ سَائِرَ الْأَجْزَاءِ فَتَنْجِيسُهَا إنَّمَا هُوَ بِالْقِيَاسِ

📌Semua hadits-haditsnya, hanya menunjukkan Al Wulugh (menjilat, meminum), tidak menunjukkan seluruh bagian tubuh. Maka pengharamannya hanyalah qiyas saja.(Ibid,  21/617)

Beliau menjelaskan pendapat Imam Ahmad bin Hambal dalam masalah bulu anjing. Bahwa ada dua riwayat dari Imam Ahmad Rahimahullah, demikian katanya:

إحْدَاهُمَا : أَنَّهُ طَاهِرٌ وَهُوَ مَذْهَبُ الْجُمْهُورِ كَأَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ . وَالرِّوَايَةُ الثَّانِيَةُ : أَنَّهُ نَجِسٌ كَمَا هُوَ اخْتِيَارُ كَثِيرٍ مِنْ مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِ أَحْمَد وَالْقَوْلُ بِطَهَارَةِ ذَلِكَ هُوَ الصَّوَابُ .

📌“Riwayat pertama, bahwa itu adalah suci, dan ini adalah madzhab jumhur seperti Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan Malik.  Riwayat kedua, bahwa itu adalah najis, sebagaimana yang dipilih oleh kebanyakan para pengikut Imam Ahmad. Namun, yang menyatakan kesuciannya, maka itulah yang benar.” (Ibid,21/619)

 Bahkan beliau juga menyatakan lebih jauh lagi bahwa bulu babi juga suci.

وَالْقَوْلُ الرَّاجِحُ هُوَ طَهَارَةُ الشُّعُورِ كُلِّهَا : شَعْرُ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ وَغَيْرُهُمَا بِخِلَافِ الرِّيقِ وَعَلَى هَذَا فَإِذَا كَانَ شَعْرُ الْكَلْبِ رَطْبًا وَأَصَابَ ثَوْبَ الْإِنْسَانِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ كَمَا هُوَ مَذْهَبُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ : كَأَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَد فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ : وَذَلِكَ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْأَعْيَانِ الطَّهَارَةُ فَلَا يَجُوزُ تَنْجِيسُ شَيْءٍ وَلَا تَحْرِيمُهُ إلَّا بِدَلِيلِ .

📌“Dan pendapat yang kuat adalah sucinya bulu seluruh hewan: bulu anjing, babi, dan selain keduanya. Sedangkan liur terjadi perbedaan pendapat. Oleh karena itu jika bulu anjing basah dan mengenai pakaian manusia maka tidak mengapa, sebagaiama itu menjadi madzhab jumhur fuqaha: seperti Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya. Hal itu karena asal dari berbagai benda adalah suci, maka tidak boleh menajiskan sesuatu dan mengharamkan kecuali dengan dalil.”    (Ibid, 21/617)

🔶Kelompok ketiga. Kalangan yang mengatakan bahwa semua tubuh anjing adalah suci termasuk liurnya. Inilah pandangan Imam Malik, Imam Daud Azh Zhahiri, dan Imam Az Zuhri. Mereka  beralasan:

إنَّ الْأَمْرَ بِالْغَسْلِ لِلتَّعَبُّدِ لَا لِلنَّجَاسَةِ

📌                “Sesungguhnya perintah untuk mencucinya itu bermakna ta’abbud(peribadatan), bukan berarti najis.” (Subulus Salam, 1/22)

                Alasan lain dalam Al Muntaqa Syarh Al Muwatha’ , Imam Abul Walid Sulaiman bin Khalaf Al Baji Rahimahullah menyebutkan:

وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا نَقُولُهُ أَنَّ هَذَا حَيَوَانٌ يَجُوزُ الِانْتِفَاعُ بِهِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ فَكَانَ طَاهِرًا كَالْأَنْعَامِ

📌                “Dalilnya adalah apa-apa yang telah kami sebutkan, bahwa hewan ini boleh dimanfaatkan tanpa alasan terdesak, maka ia termasuk suci sebagaimana hewan ternak.”(Imam Sulaiman bin Khalaf Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwatha’, 1/67)

                Dalil lainnya adalah ayat Al Quran yang membolehkan makanan hasil buruan tanpa memerintahkan mencucinya:

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (4)

 📌               “Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang Dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya.” (QS. Al Maidah (5): 4)

                Syaikh Prof. Dr. Yusuf Al Qaradhawy Hafizhahullah mengatakan: “Sedangkan saya sendiri cenderung pada pendapat Imam Malik bahwa semua yang hidup adalah suci. Oleh sebab itulah, dibolehkan bagi kita memakan hasil buruannya. Dan perintah Nabi untuk mencuci apa yang dijilat anjing adalah sesuatu yang ta’abbudi.” (Syaikh Yusuf Al Qarahawy,Fikih Thaharah, Hal. 22. Cet. 1, 2004M. Pustaka Al Kautsar)

                Yang dimaksud ta’abbudi  oleh Imam Malik di sini adalah bahwa perintah tersebut bernilai ibadah yang tanpa harus tahu sebab dan hikmahnya, melainkan terima jadi saja, karena ini masalah peribadatan.

                Berkata Al Ustadz Asy Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah :

و الأصل في العبادات التعبد دون الالتفات إلى المعاني , وفي العاديات الالتفات إلى الأسرار و الحكم و المقاصد

📌                Dasar dari peribadatan adalah ketundukan (ta’abbud) bukan mencari-cari kepada makna-maknanya, sedangkan dasar dari kebiasaan (adat) adalah mengkaji rahasia, hikmah, dan maksud-maksudnya. (Lihat Ushul ‘Isyrin No. 5)

                Demikianlah pembahasan khilafiyah para imam tentang status kenajisan anjing.

📋3⃣ . Apakah ini berlaku untuk semua anjing atau tertentu saja?

🔹Bersambung🔹
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…