Memutar Badan Bagi Imam Setelah Selesai Shalat adalah Sunnah

Dari Jabir bin Yazid bin Al Aswad, dari ayahnya, dia berkata:

شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّتَهُ فَصَلَّيْتُ مَعَهُ صَلَاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ قَالَ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ وَانْحَرَف

“Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku shalat subuh bersamanya di masjid Al Khaif.” Ia berkata; “Ketika beliau selesai melakasanakan shalat subuh dan Beliau memutar badannya …. ” (Hr. At Tirmidzi No. 219, katanya: hasan shahih)

 Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah berkata:

قلت والظاهر أن المعنى انحرف عن القبلة وقال بن حجر أي جعل يمينه للمأمومين ويساره للقبلة كما هو السنة

Aku berkata: yang benar maknanya adalah berpaling dari kiblat. Ibnu Hajar berkata: yaitu menjadikan posisi sebelah kanan badan ke arah Ma’mun, dan bagian kiri ke arah kiblat. Sebagaimana itu adalah sunnah.

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 2/3. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

Wallahu A’lam

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

Allah Ta’ala dan RasulNya Telah Menjamin Kemenangan Bagi Kaum Muslimin

Allah Ta’ala berfirman:

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (8) هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (9)

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut mereka, namun Allah menyempurnakan cahaya (agama)Nya walau orang-orang kafir membencinya. Dialah (Allah) yang mengutus RasulNya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas semua agama-agama, walau orang-orang musyrik membencinya. (Qs. Ash Shaf: 8-9)

Dalam Tafsir Al Muyassar:

الله هو الذي أرسل رسوله محمدا بالقرآن ودين الإسلام؛ ليعليه على كل الأديان المخالفة له، ولو كره المشركون ذلك.

Allah, Dialah yang mengutus seorang rasul yaitu Muhammad, dengan membawa Al Quran dan agama Islam, untuk meninggikannya di atas semua agama yang menyelisihinya, walau orang-orang musyrik membenci agama itu (Islam). (Tafsir Al Muyassar, 10/122)

Dari Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

بَشِّرْ هَذِهالْأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالرِّفْعَةِ، وَالدِّينِ، وَالنَّصْرِ، وَالتَّمْكِينِ فِي الْأَرْضِ

“Berikan kabar gembira kepada umat ini dengan keagungan, ketinggian, agama, pertolongan, dan kedudukan kuat di muka bumi.”

(HR. Ahmad No. 21220, Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan: isnaduhu qawwiy-isnadnya kuat. Juga diriwayatkan oleh Asy Syaasyi No. 1491, Al Hakim, 4/311. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 6834, 10335, juga dalam Dalail An Nubuwah, 6/317-318 , dari jalan Zaid bin Al Hibab, dan lain-lain. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 2825)

Bisa jadi, kaum muslimin kalah di beberapa front pertempuran, beberapa mimbar perjuangan, dan beberapa  periode pertarungan …. Tapi, itu tidak seberapa dibanding kemenangan besar yang telah dan akan mereka raih.

Imam Asy Syaukani Rahimahullah berkata:

وهذا الوعد لهم بالنصر ، والغلبة لا ينافيه انهزامهم في بعض المواطن ، وغلبة الكفار لهم ، فإن الغالب في كل موطن هو : انتصارهم على الأعداء ، وغلبتهم لهم ..

“Ini adalah janji pertolongan untuk mereka, dan kemenangan  tidak berarti meniadakan adanya kekalahan mereka di beberapa medan perang, dan kemenangan orang-orang kafir terhadap mereka, sebab pemenang dalam semua medan adalah pertolongan untuk mereka atas musuh-musuhnya, kemenangan mereka atas musuh-musuh tersebut ….” (Fathul Qadir, 6/224. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Wallahul Musta’an

Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan.S.S.

Ikhlas, Apaan sih?

◑●◐ Ikhlas secara etimologis (bahasa), berasal dari kata khalasha, yang artinya murni, tak bercampur, jelas, dan bersih.

◑●◐ Secara terminologis (istilah syariat), ikhlas adalah meeniatkan amal hanya untuk Allah ﷺ semata.

◐ Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah berkata:

والخالص : إذا كان للّه

Ikhlas adalah jika amal itu hanya untuk Allah ﷻ. (Imam Abu Ishaq Ats Tsa’labi An Naisaburi, Al Kasyf wal Bayan,   9/356)

◑● Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah berkata:

هو ابتغاء رضوان اللّه وحده ورجاء ثوابه دون منّ عليكم ولا ثناء من الناس ولا توقع مكافأة تنقص الأجر ولا طلب مجازاة منكم ولا إرادة شكر منكم لنا بل هو خالص لوجه اللّه تعالى.

“Yaitu mencari ridha Allah ﷻ semata-mata dan mengharapkan pahala-Nya bukan pemberian dari kalian dan pujian manusia, dan bukan piagam penghargaan, sertifikat, dan ucapan terima kasih dari kalian untuk kami, tapi murni mengharap wajah Allah ﷻ.” (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 29/290)

So, amal untuk Allah, karena Allah, bukan untuk mengharap semua  target duniawi baik pujian, penghargaan, balasan, persetujuan,  ucapan terima kasih, kedudukan, pencitraan, dan lainnya.

Wallahu A’lam

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

Gue Bingung Ama Elu Pade … (Betawi punya gaya)

Ade ustadz nyang ngaruhin umat Islam untuk golput, haram katanye nyoblos, syirik akbar  ..

Die gak ngerase tuh ustadz lagi ngelakuin pelemahan suara umat Islam

Tapi di sebelah sonoh, para pastur dan pendeta justru lagi pade gabrak gubruk ngewajibin  jamaahnya buat milih yang seagama

Kalo ada yang ogah-ogahan milih, ntu pastur dan pendeta abis-abisan membela-bela n muji-muji calonnya biar calonnya laku

Beda amat ya … , yang atu dilemahin ama tokoh agamanye, yang atu malah dikuatin ama tokoh agamanye ..

Lucunya .. kalo yang menang nanti orang kafir, die yang ngelemahin umat Islam malah pada demo “tolak pemimpin kafir!”  .. Lha elu kemana tong kemaren ? Bukannya elu juga punya andil kemenangan ntu kafir???

Itu Kafir kalo mau dikalahin .. ya elu ikut bejuang bareng ama org Islam nyang lain .., sebab pertarungan rilnya di kotak suara, bukan seminar dan mu’tamar

Gue ingetin ye .. Pemikiran doang tanpa pergerakan itu omdo .. Pergerakan tanpa pemikiran itu penyimpangan ..

Trus .. ada juga yg lebih unik nih, yg doyan golput jg … katanye kalo orang kafir menang tetap mesti ditaati karena menang secara sah, jd die itu ulil amri .. gubrak!

Eh tong .. Ulil amri itu kata Ibnu Abbas n murid2nye ya ulama, ahli fiqih, ahli agama, atau pemimpin Islam .. ini ngapa org kafir yg digelari Ulil Amri? ..

Udah ah .. puyeng gue liat tingkah elu pada .. superrr ekslusip

@DariBocahBetawiyangkagakredhokotakelahirannyadipimpinamaorangyangkagakshalatjumatdanmenghalalkanbabi

Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan.S.S.

Wartawan, Reporter, Redaksi, dan Media Hitam

Syahdan, ada seorang pejabat diwawancarai kerumunan wartawan.

“Makanan apa yang bapak sukai?” Tanya seorang wartawan.
“Pada prinsipnya semua makanan saya suka yang penting cocok aja,” jawab si pejabat.
“Apakah Bapak suka gado-gado?” Tanya wartawan lainnya.
Pejabat menjawab, “Maaf saya tidak bisa makan gado-gado, saya kurang sehat …. sudah dulu ya saya ada urusan lagi.” Wawancara pun selesai.

Keesokan harinya muncul berita di stasiun KOMPRES TV: PEJABAT INI ANTI MAKANAN DAERAH.
Sementara stasiun MISRO TV:  GADO-GADO TIDAK MASUK SELERA PEJABAT INI.
Ada lagi di portal berita online JENTIKNEWS.COM: LUPA DIRI GADO-GADO PUN DITOLAKNYA.

Padahal pejabat tersebut menolak gado-gado karena asam uratnya parah dan mesti menghindar kacang-kacangan, dan dia sudah menyebut “kurang sehat”.

Di atas hanyalah ilustrasi saja, yang bisa jadi mewakili gambaran yang terjadi pada sebagian  media mainstream, khususnya media Islamophobia. Pembunuhan karakter dengan fitnah keji terhadap seseorang yang ditarget untuk dihancurkan reputasinya; baik dia pejabat, politisi, atlet, dan tokoh ulama. Bisa dilakukan dengan memutilasi wawancara atau framing. Kejujuran memang sifat yang mahal dan sulit diraih oleh mereka. Apalagi jika “korban” adalah lawan politik dan lawan ideologi mereka atau lawan pemilik media.

Apa yang mereka lakukan adalah buhtan, kebohongan keji, yang disindir dalam hadits Nabi ﷺ.  Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu:

أَنَّهُ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْغِيبَةُ قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ ».

Bahwasanya ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ : “Wahai Rasulullah, Apakah ghibah itu?” Beliau bersabda: “Kamu menceritakan tentang saudaramu apa-apa yang dia tidak suka.” Ditanyakan lagi: “Apa pendapatmu jika pada saudaraku memang seperti yang aku katakan.”
Beliau bersabda: “Jika apa yang kamu katakan memang ada, maka kamu telah menghibahinya. Jika apa yang kamu katakan tidak ada padanya, maka kamu telah melakukan buhtan (kebohongan keji).” (HR. Muslim No. 2589)

Mereka-mereka ini adalah orang-orang bangkrut (muflis), sebagaimana dialog berikut ini:

أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang bangkrut) itu?” Para sahabat menjawab,”Muflis  itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.” Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Muflis   dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci ini,  menuduh orang lain (tanpa hak), makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang  yang menjadi korbannya  akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka (korban) akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim No. 2581)

Dari Hafsh bin ‘Ashim Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika dia selalu mengatakan setiap apa-apa yang dia dengar. (HR. Muslim No. 6)

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan.S.S.

Terpaksa Khulu’

Assalamu’ alaikum wr wb..Izin bertanya ustadz, Teman(akhwat) khulu di paksa orangtuanya. selang beberapa bulan karena saling menyayangi balik lagi / menikah lagi sampai sekarang. Bagaimana hukumnya ustadz khulu dipaksa?

A42

Assalamualaikum Afwan ustadz terkait khulu’ diatas jika mas kawinnya sebagian sdh dijual utk kperluan keluarga bagaimana ustadz?

Jawaban
————–

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Bismillah wal Hamdulillah…

Tentang khulu (cerai gugat dr istri), yang dipaksa oleh pihak lain, sementara mereka berdua tidak mau bercerai. Maka, ada dua pendapat.

1. Tidak sah

Sebab dari Ibnu Abbas, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 إن الله وضع عن أمتي الخطأ والنسيان ، وما استكرهوا عليه .

“Allah meletakkan/tidak menilai salah prilaku umatku yang: salah tidak sengaja, lupa, dan terpaksa.” (Hr. Ibnu Majah No. 2045. Shahih)

Ini pendapat jumhur, sebab dia melakukan bukan atas keinginannya dan bukan pilihan sadarnya.

2. Tetap sah

Dalilnya adalah tentang kisah isteri Tsabit bin Qais bin Syammas Radhiallahu anhu ketika dia datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguh saya tidak mencela Tsabit bin Qais dalam masalah akhlak dan agamanya, akan tetapi saya tidak ingin kufur dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Apakah engkau bersedia mengembalikan kebunnya?” Sebelumnya Tsabit telah memberinya mahar sebuah kebun. Lalu wanita tersebut berkata, “Baik wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada sang suami, “Terimalah kebun darinya dan ceraikanlah dia.”

Ini dalil bahwa pemerintah/hakim boleh intervensi untuk memerintahkan suami menceraikan istrinya atas keinginan istrinya, jika alasannya syar’i.

Namun, untuk kasus yang ditanyakan, maka pendapat pertama lebih kuat yaitu tidak sah, sebab suami-istri ini masih saling menyayangi.

Wallahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Farid Nu’man

Niatlah Yang Menentukan Baik atau Buruknya amal

Baik tidaknya amal perbuatan seseorang itu tergantung kepada baik tidaknya niat amal perbuatan  tersebut. Bisa jadi ada dua orang yang melakukan amal kebaikan yang sama secara kasat mata, tetapi berbeda nilai di sisi Allah ﷻ karena perbedaan niatnya.

Misalnya, ada dua orang ke masjid, tapi punya niat yang berbeda. Yang satu mencari kebaikan atau mengajarkan kebaikan, yang satu lagi ada tujuan duniawi, maka, kedua orang ini dinilai beda oleh syariat.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

من دخل مسجدنا هذا ليتعلم خيرا أو يعلمه كان كالمجاهد فى سبيل الله ومن دخله لغير ذلك كان كالناظر إلى ما ليس له

“Barang siapa yang masuk ke dalam masjid kami ini, dengan tujuan untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya maka dia seperti mujahid fi sabilillah. Dan barang siapa yang memasukinya untuk tujuan selain itu, maka dia seperti orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan kepunyaannya.” (HR. Ahmad No. 8587, Ibnu Hibban No. 78. Hadits ini hasan menurut Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiq Beliau terhadap Shahih Ibnu Hibban)

Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr Hafizhahullah mengatakan:

فمن جاء إلى المسجد من أجل أن يصلي فيه، أو من أجل أن يشهد الجماعة التي هي واجبة، أو من أجل أن يُحصّل الأجر في المسجد بالذكر وقراءة القرآن، فهو حظه وله ما أراد، ومن لم يدخل المسجد لهذا العمل العظيم، وإنما دخله لأمر من الأمور التي لا علاقة لها بالدين والطاعة فهو حظه، وله ما أراد من العمل بلا أجر

“Barangsiapa yang datang ke masjid untuk shalat, atau untuk menghadiri shalat berjamaah, atau mencari pahala dengan berdzikir dan membaca Al-Qur’an, maka dengan ini dia akan mendapatkan sesuai apa yang diinginkannya. Ada pun yang masuk ke masjid  untuk melakukan amal yang tidak ada kaitan dengan perkara agama dan ketaatan, maka dia mendapatkan sesuai apa yang diinginkannya itu, dan tidak   mendapatkan pahala.” (Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 066. Maktabah Al-Misykah)

Tapi, ini tidak berlaku bagi “niat baik” dibalik sebuah kejahatan. Seperti ikut berjudi dengan niat mendakwahi para penjudi, berzina untuk mendakwahi PSK, dan semisalnya. Karena niat yang baik tidak mengubah yang haram menjadi halal, kecuali ada dalilnya.

Kaidahnya:

الغاية لا تبرر الوسيلة إلا بدليل

“Tujuan (yang baik) tidaklah membuat baik sarana (yang haram) kecuali dengan adanya dalil.” (Syaikh Walid bin Rasyid  bin Abdul Aziz bin Su’aidan, Tadzkir Al-Fuhul bitarjihat Masail Al-Ushul, Hal. 3. Lihat juga Talqih Al-Ifham Al-‘Aliyah, 3/23)

Contoh, berbohong untuk mendamaikan saudara yang bermusuhan. Caranya “berbohong” tapi tujuannya baik, untuk mendamaikan, ini dibolehkan karena ada dalilnya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي (بِالَّذِي) يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا

“Bukan kategori pembohong orang yang mendamaikan manusia yang berselisih, lalu dia menyampaikan hal-hal yang baik (tentang salah satu pihak), dan mengatakan hal-hal yang baik.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Wallahu A’lam

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

Berdo’a Setelah Shalat Wajib, Mestikah Diingkari?

Sebagian orang mengingkari adanya do’a setelah shalat wajib. Mereka mengingkari saudara-saudaranya yang berdo’a, dengan alasan tidak ada sunahnya berdo’a setelah shalat, yang ada hanyalah berdzikir saja. Benarkah sikap seperti ini?

Mayoritas Ulama Mengatakan Berdo’a setelah Shalat Wajib itu SUNNAH

Imam Al-Bukhari, dalam kitab Shahih-nya, – jauh sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan bahwa TIDAK ADA BERDO’A SETELAH SHALAT- ,  telah menulis BAB  AD DU’A BA’DA ASH SHALAH (Bab Tentang Do’a Setelah Shalat).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata tentang itu:

قوله: “باب الدعاء بعد الصلاة” أي المكتوبة، وفي هذه الترجمة رد على من زعم أن الدعاء بعد الصلاة لا يشرع

“Ucapannya (Al-Bukhari), “Bab Tentang Doa Setelah Shalat” yaitu shalat wajib. Pada bab ini, merupakan bantahan atas siapa saja yang menyangka bahwa berdo’a setelah shalat tidak disyariatkan.” (Bantahan lengkap beliau terhadap Imam Ibnul Qayyim, lihat di Fathul Bari, 11/133-135. Darul Fikr)

Imam Ja’far Ash Shadiq Radhiallahu ‘Anhu -salah satu guru Imam Abu Hanifah-  berkata:

  الدعاء بعد المكتوبة أفضل من الدعاء بعد النافلة كفضل المكتوبة على النافلة.

“Berdo’a setelah shalat wajib lebih utama dibanding berdo’a setelah shalat nafilah, sebagaimana kelebihan shalat wajib atas shalat nafilah.” (Fathul Bari, 11/134. Tuhfah Al-Ahwadzi, 2/197. Darus Salafiyah. Lihat juga Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 10/94. Maktabah Ar Rusyd)

Sementara  Syaikh  Abdurrahman Al-Mubarakfuri Rahimahullah juga mengatakan:

لا ريب في ثبوت الدعاء بعد الانصراف من الصلاة المكتوبة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قولاً وفعلاً، وقد ذكره الحافظ بن القيم أيضاً في زاد المعاد حيث قال في فصل: ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول بعد انصرافه من الصلاة ما لفظه: وقد ذكر أبو حاتم في صحيحه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول عند إنصرافه من صلاته اللهم أصلح لي ديني الذي جعلته عصمة أمري ، واصلح لي دنياي التي جعلت فيها معاشي…

“Tidak ragu lagi, kepastian adanya berdo’a setelah selesai shalat wajib dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik secara ucapan atau perbuatan. Al-Hafizh Ibnul Qayyim telah menyebutkan juga dalam Zaadul Ma’ad ketika dia berkata dalam pasal: Apa-apa Saja yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Ucapkan Setelah selesai shalat. Demikian bunyinya: Abu Hatim telah menyebutkan dalam Shahih-nya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata setelah selesai shalatnya: “Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang telah menjaga urusanku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang aku hidup di dalamnya…” (Tuhfah Al-Ahwadzi, 2/197)

Berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al-‘Azhim Abadi Rahimahullah :

“في دبر كل صلاة” : أي عقبها وخلفها أو في آخرها

“Pada dubur kulli ash shalah, yaitu setelah dan belakangnya, atau pada akhirnya.” (‘Aunul Ma’bud, 4/269. Darul Kutub Al-‘Ilmiyah)

Imam Badruddin Al-‘Aini Rahimahullah juga juga mengatakan:

واستحباب المواظبة على الدعاء المذكور عقيب كل صلاةٍ

“Dan  disunahkan menekuni  doa dengan do’a tersebut pada setiap selesai shalat.” (Imam Al-‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 5/433. Maktabah Ar Rusyd)

Para ulama Kuwait, yang tergabung dalam Tim penyusun kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah mengatakan:

يُسْتَحَبُّ لِلإِْمَامِ وَالْمَأْمُومِينَ عَقِبَ الصَّلاَةِ ذِكْرُ اللَّهِ وَالدُّعَاءُ بِالأَْدْعِيَةِ الْمَأْثُورَةِ

“Disunnahkan bagi imam dan makmum setelah selesai shalat untuk berdzikir kepada Allah dan berdo’a dengan do’a-do’a ma’tsur.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 6/214. Wizaratul Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah)

Dalam kitab yang sama juga disebutkan:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ مَا بَعْدَ الصَّلاَةِ الْمَفْرُوضَةِ مَوْطِنٌ مِنْ مَوَاطِنِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ

“Pendapat MAYORITAS fuqaha adalah bahwa waktu setelah shalat  fardhu merupakan waktu di antara waktu-waktu dikabulkannya do’a.” (Ibid, 39/227).

Di halaman yang sama, dikutip perkataan  Imam Mujahid sebagai berikut:

إِنَّ الصَّلَوَاتِ جُعِلَتْ فِي خَيْرِ الأَْوْقَاتِ فَعَلَيْكُم

ْ بِالدُّعَاءِ خَلْفَ الصَّلَوَاتِ

“Sesungguhnya pada shalat itu, dijadikan sebagai waktu  paling baik bagi kalian untuk berdo’a, (yakni) setelah shalat.” (Ibid)

Demikianlah perkataan para imam kaum muslimin dan dalil-dalil yang sangat jelas tentang do’a setelah shalat wajib, yang mereka sampaikan.

Maka, sangat tidak dibenarkan sikap sinis dan menyalahkan saudara sesama muslim yang meyakini dan melakukan do’a setelah shalat wajib. Seharusnya dalam masalah ini kita berlapang dada.

Wallahu A’lam

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

Sholat Sendirian Setelah Adzan

Assalamualaikum ustadz/ah…
Adzan di masjid tapi ga ada satupun yg datang
Trus Shalat sendirian di masjid
Apakah masih dlm kategori shalat sendirian atau masuk salam kategori shalat berjama’ah? # i-11

Jawaban
————–

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Bismillah wal Hamdulillah ..
Orang yang berniat ingin shalat berjamaah di masjid, tetapi sesampainya di sana dia tertinggal jamaah atau seorang diri, tak ada satu pun manusia mendatangi masjid kecuali dirinya, maka Allah Ta’ala tetap memberikannya nilai pahala berjamaah. Hal ini dengan syarat dia tidak menyengaja untuk berlambat-lambat menuju masjid.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu‘Alaihi wa Sallam bersada:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا أَعْطَاهُ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلَّاهَا وَحَضَرَهَا لَا

يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجْرِهِمْ شَيْئًا

“Barang siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke mesjid (untuk berjamaah) dan dia lihat jamaah sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan seperti pahala orang yang hadir dan berjamaah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.”   (HR. An Nasa’i No. 855, Abu Daud No. 564, Ahmad No. 8590, Al Hakim No. 754, katany shahih sesuai syarat Imam Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6163)

Berkata Imam Abul Hasan Muhammad Abdil Hadi As Sindi Rahimahullah:

ظَاهِره أَنَّ إِدْرَاك فَضْل الْجَمَاعَة يَتَوَقَّف عَلَى أَنْ يَسْعَى لَهَا بِوَجْهِهِ وَلَا يُقَصِّر فِي ذَلِكَ سَوَاء أَدْرَكَهَا أَمْ لَا فَمَنْ أَدْرَكَ جُزْء مِنْهَا وَلَوْ فِي التَّشَهُّد فَهُوَ مُدْرِك بِالْأَوْلَى وَلَيْسَ الْفَضْل وَالْأَجْر مِمَّا يُعْرَف بِالِاجْتِهَادِ فَلَا عِبْرَة بِقَوْلِ مَنْ يُخَالِف قَوْله الْحَدِيث فِي هَذَا الْبَاب أَصْلًا .

 “Secara zhahir, hakikat keutamaan jamaah adalah dilihat dari kesungguhan dia untuk melaksanakannya, tanpa memperlambat diri atau menunda-nunda. Jika demikian, ia tetap dapat pahala jamaah, baik sempat bergabung dengan jamaah atau tidak. Maka, barang siapa yang mendapatkan jamaah sedang tasyahud, maka pahalanya sama dengan yang ikut sejak rakat pertama. Adapun urusan pahala dan keutamaan tidak dapat diketahui dengan ijtihad. Jadi, sepatutnya kita tidak peduli dengan pendapat yang bertentangan dengan hadits-hadits di atas.”  (Syarh Sunan An Nasa’i, 2/113. Syamilah)
Demikian.

Wallahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Farid Nu’man

Bangkitnya Neo Jabariyah

Jabariyah atau Jabriyah adalah firqah (kelompok) yang meyakini bahwa manusia dipaksa pada semua perbuatannya, manusia tidak mampu memilih (ikhtiyar) dengan apa yang mereka alami, baik dan buruk, semuanya perbuatan Allah Ta’ala melalui diri mereka.

Paham ini menganggap manusia bagaikan wayang yang sama sekali tidak kuasa berbuat apa, tidak memiliki kuasa, kebebasan, kehendak, dan kemauan. Sehingga, apa yang terjadi pada manusia dan kehidupannya mesti diterima saja, pasrah, biarkan, jangan otak atik, semua sudah diatur Allah Ta’ala, manusia terima jadi saja.

Lawan Jabariyah adalah Qadariyah. Qadariyah meyakini semua yang manusia alami, baik dan buruk, detil dan global, adalah murni dari manusia. Allah Ta’ala sama sekali tidak punya peran kecuali menciptakan saja. Kedua kelompok ini sama-sama tersesat, hanya melihat satu dalil namun melupakan yang lainnya. Insya Allah dilain waktu semoga ada pembahasan secara khusus tentang keduanya.

Jabariyah Kontemporer/masa kini

Belakangan ini begitu kentara aroma Jabariyah, mungkin lebih tepatnya Neo Jabariyah – Jabariyah Gaya Baru. Mereka menyerukan kepasrahan kepada umat Islam terhadap kezaliman pemimpin; biarkan saja, pasrah, ini sudah taqdir, walau harta kita dirampas dan punggung kita digebuk taati saja – seraya menyitir hadits yang berisi seputar itu.

Mereka mengambil satu dalil tapi melupakan dalil lain, sehingga terjadi gambaran pincang tentang menyikapi pemimpin zalim. Ditambah lagi mengutip perkataan ulama yang sesuai keinginan mereka tapi menutup mata dari perilaku para ulama tersebut yang justu begitu progresif terhadap para penguasa zalim.

Al-Qur’an dan As-Sunnah Mengajarkan Tidak Diam Terhadap Penguasa Zalim

Allah Ta’ala memerintahkan Nabi Musa ‘Alaihissalam untuk menda’wahi Fir’aun, bukan memerintahkan untuk duduk berpangku tangan:

اذْهَبْ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ

“Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun sebab dia telah melampaui batas.” (QS. An-Naziat: 17)

Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam berdialog dengan Namrudz dari Babilonia yang disaksikan oleh para pembesar dan pengawalnya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala ceritakan dalam Al-Qur’an:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah (2): 258)

Tentang ayat ini, Zaid bin Aslam mengatakan, bahwa raja pertama yang diktator di muka bumi adalah Namrudz. Manusia keluar rumah serta menjejerkan makanan di depan Namrudz. Begitu pula Ibrahim pun ikut melakukannya bersama manusia. Masing-masing mereka dilewati oleh Namrudz dan dia bertanya; “Siapakah Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Engkaulah!” hingga giliran Ibrahim, Namrudz bertanya: “Siapakah Tuhanmu?” Ibrahim menjawab: “Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan.” Namrudz menjawab: “Aku bisa menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari di Timur dan menenggelamkannya di Barat.” Maka bungkamlah orang kafir itu.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 5/433. Muasasah Ar-Risalah, Tahqiq: Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)

Ada pun As-Sunnah, begitu banyak tuntunan melakukan nasihat dan amar ma’ruf nahi mungkar kepada para penguasa.

Dari Abu Ruqayyah  Tamim bin Aus Ad Dari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ يَارَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ: للهِ،ولكتابه، ولِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ .  رواه مسلم

“Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan orang umumnya.” (HR. Muslim No. 55)

Dari Abu Said Al-Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘Adil di depan penguasa  atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud No. 4344.  At-Tirmidzi No. 2174, katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah No. 4011, Ahmad No.  18830, dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq (perkataan yang benar) )

Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan shahih. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 18830),  juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. (As Silsilah Ash Shahihah No. 491)

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله

“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata penguasa tirani, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.” (HR.  Ath-Thabarani dalam Al-Awsath No. 4079, Al-Hakim, Al-Mustdarak ‘Ala Ash-Shaihain, No. 4884, katanya shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Al-Bazzar No. 1285. Syaikh Al-Albany  mengatakan shahih dalam kitabnya, As-Silsilah Ash-Shahihah No. 374 )

Para ulama salaf dan khalaf juga menunjukkan posisinya yang tegas terhadap pemimpin yang zalim. Bukan pasrah, dan tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada mereka.

Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah berkata tentang Imam Ibnu Sirin Rahimahullah:

قال هشام: ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين

“Berkata Hisyam: Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas terhadap penguasa dibanding Ibnu Sirin.” (Siyar A’lam An-Nubala, 4/615)

Imam Adz-Dzahabi juga menceritakan, bahwa Imam Amr Asy-Sya’bi telah mengkritik penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak manusia (para  Ahli Qurra). Dari Mujalid, bahwa Asy-Sya’bi berkata:

فأتاني قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك زعيم القراء، فلم يزالوا حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء، فبلغني أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن الدنيا عليه أضيق من مسك جمل

“Maka, para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al-Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya. Maka, sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: “Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.” (Ibid, 4/304)

Begitu pula sikap Imam An-Nawawi terhadap Sultan Zhahir, Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam terhadap Najmuddin Ayyub, Imam Ibnu Taimiyah terhadap Sultan Ghazan, dan lain sebagainya.

Inilah Ahlus Sunnah, menyerahkan dan mengadukan kezaliman penguasa kepada Allah Ta’ala, tapi tidak melupakan amar ma’ruf nahi munkar kepada mereka walau dengan resiko mereka ditangkap, diusir, bahkan dibunuh.

Semoga Allah Ta’ala lindungi umat ini dari paham Jabariyah, Qadariyah, juga Murjiah dan Khawarij.

Wallahu A’lam

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan