Artikel berjudul ‘Siapakah Syi’ah’ ditulis dengan asumsi awal bahwa seluruh peserta grup telah bersepakat akan kesesatan ajaran syi’ah. Persoalannya kemudian adalah bagaimana kontribusi kita untuk dapat mengobati mereka yang terjangkiti wabah virus syi’ah. Pengobatan tidak bisa dilakukan sebelum kita mengetahui sumber persoalannya, dan sumber persoalan itu ada pada metodologi dan struktur keilmuan syi’ah. Jangankan syi’ah, aliran sesat seperti ‘lia eden’, yang dipimpin oleh seorang wanita yang kurang waras pun diikuti oleh bukan sembarang orang, minimal diketahui diikuti juga oleh sekaliber profesor.
Maka bagaimana metodologi umat Islam dalam menuntut ilmu adalah menjadi sesuatu yang jauh lebih penting, karena persoalan kehidupan tidak hanya satu, sementara metodologi yang benar akan memudahkannya untuk melakukan filterisasi terhadap seluruh arus informasi sebelum menjadikannya ilmu dan membentuk struktur berpikir di dalam jiwanya. Mengobati dengan mengetahui persoalan utamanya akan jauh lebih efektif, terlebih ketika cara kita dalam mengobati sesuatu terus menerus saling disempurnakan dalam kebersamaan kita, diperkaya dengan pengalaman dari seluruh sahabat-sahabat Group Manis yang akan meningkatkan kualitas kebersamaan kita dalam mempertahankan kemurnian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Maka tulisan terkait Syi’ah memang tidak akan cukup dengan satu tulisan pembuka tersebut dan hal yang lebih penting berikutnya adalah bagaimana kita pun dapat menjawab syubhat-syubhat yang dipropagandakan syi’ah secara ilmiah. Insya Allah, tulisan berikutnya dengan tema yang lebih mendalam akan dituliskan.
Referensi dalam tulisan tersebut seluruhnya diambil dari para pembela ahlus sunnah yang telah mengkaji perbandingan antara Sunni – syi’ah dalam waktu yang lama. Nama-nama yang dikutip dikenal sebagai ulama yang juga terlibat dan berkontribusi aktif membela Aqidah Ahlus Sunnah dari ragam penyimpangan manusia. Sebagai contoh Prof. Dr. Ahmad bin Sa’ad al-Ghamidi. Buku yang ditulisnya betul-betul merupakan hasil diskusi dan surat-menyurat dengan seorang yang juga Guru Besar dari negeri syi’ah iran, bahkan mengajar di 8 universitas di negeri tersebut.
Prof. Dr. Muhammad al-Qazwini. Dengan semangat taqiyah-nya, al-Qazwini mengunjungi Syaikh al-Ghamidi pada bulan Ramadhan 1423H untuk tujuan awal dialog dan taqrib antara Sunni dan syi’ah. Ketika Syaikh al-Ghamidi menyetujuinya, sejak saat itulah hingga dua tahun kemudian, surat-menyurat di antara mereka terus berlangsung secara intens, dan syaikh al-Ghamidi berhasil mempertahankan pendapatnya secara ilmiah dan penuh hikmah terhadap seluruh hujjah yang disampaikan oleh orang syi’ah tersebut.
Berikutnya Syaikh asy-Syatsri, beliau sebagai pengajar tetap di Masjid Quba, Saudi Arabia, telah melahirkan karya untuk menjawab seluruh syubhat yang dipropagandakan syi’ah, tidak dengan dalil-dalil Ahlus Sunnah, namun seluruhnya menggunakan referensi kitab-kitab mu’tabar syi’ah, sehingga umat mengetahui begitu rapuhnya struktur ilmu mereka, bahkan pertentangan demi pertentangan hadir dalam sejarah mereka, sehingga tidak mengherankan jika syi’ah terpecah dalam kelompok-kelompok sekte dalam jumlah yang cukup banyak.
Imam Syahrastani dalam kitabnya yang membahas aliran-aliran dalam Islam, bahkan membagi syi’ah kepada lebih dari 30 golongan.
Perbedaan yang membesar berawal dari ketidaksepakatan akan siapa yang tepat sebagai pengganti Husain.
Aqidah syi’ah yang mengagungkan taqiyah akan membuat sulit bagi mereka yang berkeinginan ‘tabayun’, karena bagi umat Islam yang awam, dan tidak memiliki pondasi aqidah dan bahasa yang kuat, dikhawatirkan akan dengan mudah jatuh kedalam pelukan syi’ah, sementara para ulama otoritatif pun telah pernah mencoba model pendekatan seperti ini dengan seluruh kapasitas yang mereka miliki, dan kemudian berakhir dengan kekecewaan demi kekecewaan.
=======
Maraji’
1] Drs. KH. Moh. Dawam Anwar, Katib Aam PBNU
1994-1998, dalam makalahnya berjudul “Inilah Haqiqat
Syi’ah”.
2] KH. Thohir Abdullah al-Kaff, Mantan Ketua Yayasan Al-
Bayyinat Bidang Dakwah, dalam makalahnya berjudul
“Perkembangan Syi’ah di Indonesia”.
Oleh: Ustadz DR. Wido Supraha