Berkumpul Bersama Keluarga di Surga

Wahai Ayah Bunda Engkau Muaddib

📝 Pemateri: Ustadz Dr. Wido Supraha, M.Si.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

A. Di Balik Kelelahan Selalu Ada Kebahagiaan

Ayah Bunda, di kala Allah ﷻ menitipkan anak, sejatinya Allah ﷻ Maha Mengetahui bahwa siapapun yang dititipi-Nya pasti mampu mengemban amanah itu. Bukankah Allah ﷻ telah menutup surat Al-Baqarah dengan firman-Nya:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ وَٱعۡفُ عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَآۚ أَنتَ مَوۡلَىٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَٰفِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.

Mendidik anak bukanlah pekerjaan sambilan, karena tentu tidaklah pantas mengemban amanah Allah dengan teknik ‘sambilan’. Pekerjaan yang dilakukan dengan tidak profesional (ihsan, itqan), tidak akan menghasilkan prestasi yang maksimal. Padahal, Ayah Bunda jangan sampai lupa bahwa target orang tua adalah melahirkan generasi yang membahagiakan Rasulullah ﷺ kelak di Jannah. Rasulullah ﷺ berpesan:

تَزَوَّجُوْا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَـامَةِ، وَلاَ تَكُوْنُوْا كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى

“Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari Kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani.”

Bangganya Nabi ﷺ pada jumlah umatnya yang banyak, bukanlah sekedar pada aspek kuantitas-nya, namun tentunya dibanggakan karena aspek kualitasnya. Kualitas yang terwujud dalam kondisi kebahagiaan (as-sa’adah) di Jannah. Peran dan kelelahan Ayah Bunda adalah bagian dari kerja bersama umat Islam sepanjang sejarah zaman.

Tidak ada kebahagiaan tanpa didahului kelelahan. Lebih baik lelah di awal dan meraih ketenangan jiwa di akhir kehidupan. Lebih baik banyak menangis di awal daripada menangis di akhir. Selalu ada kebahagiaan di akhir sebuah kelelahan.

B. Pendidikan itu Ta’dib

Pendidikan adalah proses untuk meneteskan ‘sesuatu’ secara perlahan-lahan kepada manusia. Ini definisi dasar secara umum dalam perspektif Barat. Dalam pengembangannya, pendidikan adalah proses memfasilitasi pembelajaran, atau penanaman pengetahuan, kemampuan, nilai, keyakinan, dan kebiasaan.

Barat mengerti bagaimana teknik memfasilitasi lahirnya pendidikan modern, namun kesulitan dalam menentukan apakah ‘sesuatu’ yang baik untuk ditanamkan ke dalam jiwa manusia. Hal ini karena sejarah Barat adalah sejarah kelanjutan peradaban Islam namun dengan dihilangkannya jejak-jejak Tuhan dari isinya. Pada akhirnya Barat hari ini harus lebih banyak menelurkan spekulasi filosofis daripada melanjutkan proses pendidikan yang pernah melahirkan kegemilangan peradaban Islam di masanya.

Allah ﷻ telah berfirman dalam Surat At-Tahrim [66] ayat 6:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Ayat ini menyeru kepada orang-orang yang mengaku beriman kepada-Nya untuk menjaga dirinya dan kemudian menjaga keluarganya dari api neraka. Menurut ‘Ali ibn Abi Thalib r.a., makna menjaga keluarga dari api neraka adalah dengan proses pendidikan agar tertanamnya adab dan ilmu dalam diri keluarga.

Tanggung jawab ini dibebankan kepada orang-orang beriman, Ayah dan Bunda.

Suka tidak suka, di saat Allah ﷻ telah menitipkan amanah anak, maka pada saat itu, Ayah Bunda, dinobatkan sebagai pendidik. Pendidik itu bukan saja digugu, namun juga ditiru. Persoalannya adalah, proses peniruan ini boleh jadi lebih efektif daripada proses pengguguan.

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, adab bermakna mendisiplinkan pikiran dan jiwa. Adab terlahir sebagai buah dari kelengkapan sifat-sifat baik dalam pikiran dan jiwa. Sebuah kedisiplinan untuk melakukan yang benar dan meluruskan kesalahan.

Proses penanaman adab inilah esensi pendidikan dalam pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) sehingga menargetkan lahirnya manusia beradab (a good man), bukan sekedar warga negara baik (a good citizen). Warga negara baik belum tentu lahir dari manusia baik, namun manusia baik akan selalu ingin menjadi warga negara yang baik.

Di dalam bahasa Arab, pendidikan itu sendiri terkadang menggunakan diksi ta’lim, tadris, tadrib, atau tarbiyah. Namun al-Attas meyakinkan murid-muridnya bahwa ada diksi yang lebih komprehensif dan mencakup seluruh diksi pendidikan yang ada, yakni ta’dib. Diksi ini terpilih sebagaimana sudut pandang pendidikan sebagai proses secara bertahap untuk menanamkan adab ke dalam jiwa manusia.

Ayah Bunda yang belum siap menjadi pendidik di saat amanah telah dibebankan, tidak punya pilihan lain kecuali segera mempersiapkannya. Seorang pendidik selalu bekerja menanamkan adab dalam jiwa manusia dan karenanya ia dipanggil sebagai muaddib. Seorang muaddib adalah juga sosok mu’allim, mudarris, mudarrib, dan murabbi.

C. Membagi Nikmat Adab, bukan Mengajarkan Adab

Menjadi seorang muaddib, bukanlah sekedar mengajarkan adab kepada murid, baik murid biologis maupun murid ideologis. Seorang muaddib sejatinya sekedar membagi apa-apa yang telah ia nikmati dari adab. Hal ini karena siapapun yang telah menikmati adab-adab baik yang telah ia pelajari, maka akan tumbuh energi kebaikan yang berlebih dalam dirinya, dan kelebihan itulah yang dibaginya kepada murid-muridnya.

Membagi kelebihan dari kebaikan dirinya yang meluap atau meluber itu akan mendorong getaran-getaran ketulusan atau keikhlasan yang akan masuk ke dalam relung jiwa seorang murid dengan sangat efektif. Hal ini tidak akan diperoleh dengan hanya menyampaikan apa yang diketahui, namun lebih dari itu, mengalirkan apa yang telah dinikmati.

Ketika muaddib mengetahui pelajaran baru tentang adab-adab buruk, maka yang segera terlintas dalam jiwanya adalah sederet daftar lengkap tentang dirinya untuk menjadi bahan evaluasi, adakah dirinya memiliki sebagian dari adab-adab buruk tersebut. Sadar akan kekurangan diri adalah awal perbaikan diri. Tidak sadar akan kekurangan diri akan sulit diperbaiki.

Membagi nikmat adab dengan demikian berbeda dengan mengajarkan adab. Sudut pandang membagi nikmat adab akan melahirkan energi membagi dengan penuh cinta, bukan emosi tanpa rencana. Membagi akan melahirkan semangat kolaboratif di antara muaddib untuk hasil maksimal dari anak didiknya.

Dengan demikian, memperhatikan tumbuh berseminya adab pada diri sendiri jauh lebih prioritas dan utama sebelum berpikir untuk menanamkan adab pada orang lain, seperti muridnya.

Allah ﷻ berfirman dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 44 dan Surat Ash-Shaff [61] ayat 3:

۞أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?

كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ

Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

Menegakkan adab wajib dimulai dari hal-hal yang paling kecil. Tidak lahir peradaban kecuali dibangun oleh orang-orang yang mencintai dan tidak meremehkan adab-adab baik. Sekecil apapun sebuah kebaikan, tetap besar di sisi Allah.

Suatu ketika Rasulullah ﷺ pernah menyampaikan pengadaban kepada murid-muridnya:

عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

Dar ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.”

[HR. Tirmidzi No. 6469]

Hadits ini mendidik jiwa manusia untuk profesional dalam membaca setiap huruf dalam Al-Qur’an. Profesionalismenya akan dibalas Allah ﷺ dengan sesuatu yang lebih baik. Jika satu huruf sederhana seperti ‘alif’ tidak diremehkan, maka ini potensi besar untuk kemudian kelak dapat mengamalkan seluruh ayat-ayat suci-Nya yang berjumlah 6236 ayat. Jangan bersemangan ingin menegakkan agama sebelum terbiasa menegakkan setiap huruf di dalam Al-Qur’an.

Orang tua lebih wajib menanamkan adab pada jiwa anaknya, murid biologisnya. Jangan sampai anaknya tumbuh besar tanpa ada kontribusi apa pun dari Ayah Bundanya. Tidak menjadi orang tua yang diam dan autis, sibuk dengan pekerjaannya sendiri, melainkan selalu kreatif dan komunikatif. Allah ﷻ berfirman dalam Surat Luqman [31] ayat 16:

يَٰبُنَيَّ إِنَّهَآ إِن تَكُ مِثۡقَالَ حَبَّةٖ مِّنۡ خَرۡدَلٖ فَتَكُن فِي صَخۡرَةٍ أَوۡ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ أَوۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَأۡتِ بِهَا ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٞ

(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

D. Adab itu Berawal dari Kedisiplinan Berpikir

Manusia diciptakan Allah dengan 3 (tiga) unsur besar, yakni akal (mind), jiwa (soul) dan jasad (body). Akal meraih pengetahuan, jiwa menghayati apa yang telah diketahui hingga berbuah kepahaman, dan jasad siap menjalankan apapun yang diperintahkan jiwa berbasis penghayatannya.

Akal memiliki posisi paling awal dan paling mulia dalam dunia pendidikan. Al-Qur’an mendorong pembacanya untuk aktif menggunakan akalnya untuk berpikir. Dalam bentuk kata kerja, kata akal digunakan sebanyak 22 kali (ya’qilun) dan 24 kali (ta’qilun).

Akal dituntut untuk terus berpikir, terutamanya berpikir tentang ayat-ayat Allah, baik yang tertulis (qauliyah) maupun yang tersebar di muka bumi (kauniyah). Proses berpikir dimulai dari membaca (iqra), mengamati (observation), meneliti (exploration), dan ekspedisi (comparation). Akal pada akhirnya memberikan informasi selengkap dan sejelas mungkin untuk dihidangkan kepada jiwa.

Kelengkapan informasi yang dimiliki oleh akal inilah yang kemudian akan dicerna, dicoba untuk dipahami, hingga dihayati oleh jiwa. Jiwa atau kalbu adalah karunia besar kepada manusia. Kalbu inilah yang tidak dimiliki oleh hewan. Allah ﷻ berfirman dalam surat Al-A’rāf [7] ayat 179:

وَلَقَدۡ ذَرَأۡنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Seseorang yang tahu tentu berbeda dengan yang paham. Target pendidikan bukan sekedar melahirkan manusia yang tahu, tapi hingga manusia yang paham mendalam. Jika manusia berawal hidup di muka bumi ini dalam kondisi belum mengetahui (jahl), maka pendidikan akan membawanya terus meningkat kepada posisi mengetahui (‘alim), terus kepada posisi memahami (fahim), dan berakhir pada posisi memahami dengan sangat mendalam (faqih). Proses pendidikan ini yang disebut dengan tafaqquh. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ

Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia faham dalam agama.

[HR. al-Bukhari No. 71 dan Muslim No. 1037]

Penghayatan yang mendalam adalah proses yang harus dilalui agar terlahir kepahaman, dan karenanya ilmu akan membawa kepada terbukanya hakikat Allah. Jika ilmu hanya berhenti pada mengetahui, sementara hati tidak memahami, maka hati tidak akan dapat menggerakan jasad untuk bergerak melahirkan amal-amal kebaikan.

Manusia perlu memiliki alasan-alasan kunci atas segala sesuatu yang dilakukannya. Jika seseorang mampu menghadirkan minimal 1 (satu) saja alasan maka ia akan bertahan bahkan optimal dalam kebaikan yang telah dimulainya. Jika tidak, akan selalu ada sekian banyak alasan untuk meninggalkan kebaikan yang telah dilakukannya.

Al-Qur’an memberikan bimbingannya tentang bagaimana membangun kedisiplinan berpikir. Bimbingan ini akan melahirkan struktur berpikir yang komprehensif, terstruktur dan sistematis. Keteraturan dalam proses berpikir inilah yang disebut sebagai kedisiplinan berpikir dan keadilan berpikir.

Disiplin berpikir akan melahirkan kemampuan untuk memprioritaskan apa yang terbaik di antara yang baik. Selanjutnya akan mudah menyusun tahapan-tahapan yang harus dilalui. Begitu pula akan tergambar secara detail apa-apa yang harus diketahui.

Mempelajari apapun pada dasarnya terhukumi wajib. Namun di antara yang wajib itu ada yang bersifat wajib individu (fardhu ‘ayn) dan wajib kelompok (fardhu kifayah). Allah ﷺ membimbing manusia untuk mendahulukan tafaqquh fi ad-Dīn sebagai bagian dari wajib individu karena terkait keselamatan di dunia dan akhirat, knowledge of pre-requisites, sebelum ilmu untuk kehidupan dan tugas jasadnya di dunia, knowledge of sciences. Allah ﷻ berfirman dalam surat At-Taubah [9] ayat 122:

۞وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Kedisiplinan berpikir akan mendorong lahirnya kedisiplinan jiwa, dan pada akhirnya akan tercermin pada kedisiplinan jasad. Keputusan-keputusan apapun di dunia pasti berawal dari kedisiplinan berpikir manusia. Islam hadir membawa pada keteraturan.

Proses pendidikan manusia dengan demikian harus berujung pada target yang jelas. Ketiadaan target tidak akan melahirkan kesibukan untuk menjalani program kerja yang harus disusun secara bertahap menuju target dimaksud. Disebutkan bahwa dalam proses memperbaiki diri, terdapat 10 (sepuluh) capaian (muwashshafat) yang perlu dicapai[3]:

إِصْلاَحُ نَفْسِهِ حَتَّى يَكُوْنَ: قَوِيَّ الْجِسْمِ، مَتِيْنَ الْخُلُقِ، مُثَقَّفَ الْفِكْرِ، قَادِرًا عَلىَ الْكَسْبِ, سَلِيْمَ اْلعَقِيْدَةِ، صَحِيْحَ اْلعِبَادَةِ، مُجَاهِدًا لِنَفْسِهِ، حَرِيْصًا عَلَى وَقْتِهِ، مُنَظَّمًا فيِ شُؤُوْنِهِ، ناَفِعًا لِغَيْرِهِ، وَذَلِكَ وَاجِبُ كُلِّ أَخٍ عَلَى حِدَّتِهِ

Memperbaiki dirinya hingga tercapai: kekuatan jasad, kebagusan akhlak, keluasan wawasan berpikir, kemandirian ekonomi, sehingga memudahkan tercapainya akidah yang lurus, ibadah yang benar, mujahadah jiwa, penghormatan waktu, keteraturan urusan, kemanfaatan diri bagi lingkungannya, dan hal ini wajib bagi setiap manusia untuk meraihnya.

E. Tadabbur Al-Qur’an Awal Pendidikan

Tidak ada yang bebas nilai di dunia (value-free), seluruhnya terikat dengan nilai (value laden). Jika manusia berpikir tidak dengan Al-Qur’an, maka boleh jadi ia berpikir dengan hawa nafsunya, pengalaman hidupnya (experience), referensi bacaan, dan atau masukan dari lingkungannya (environment), dan seluruhnya bersifat terbatas (limited) dan berpotensi besar mengandung kesalahan (error).

Manusia didorong untuk membaca Al-Qur’an dan memahami isi Al-Qur’an agar setiap keputusan hidupnya dibuat oleh akal yang mengetahui kebenaran Al-Qur’an dan kalbu yang menikmati kandungannya. Dengan kebenaran yang diketahuinya, manusia tidak akan menjadi peragu. Demikianlah target akhir pendidikan Islam adalah melahirkan pribadi yang berakhlak, pribadi yang beradab.

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.

Ayah Bunda yang tidak memiliki kurikulum dalam pendidikan murid/anaknya, maka sejatinya ia memiliki kurikulum juga, yakni kurikulum tanpa kurikulum. Tentu ini bukanlah pilihan yang baik. Kurikulum dengan demikian perlu disusun sedemikian rupa agar terbangun adab, dan tentunya adab terbaik yang ingin dicapai adalah adab berbasis Al-Qur’an, sebagaimana Nabi ﷺ dengan akhlak Al-Qur’an, dengan adab-adab Al-Qur’an.

Sesiapa manusia yang tidak pernah sempat untuk mengambil materi-materi adab dari Al-Qur’an disindir Allah sebagaimana Surat Muhammad [47] ayat 24:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?

Metode mengambil pelajaran dari Al-Qur’an inilah yang disebut dengan tadabbur. Sesiapa yang mentadabburi Al-Qur’an, mulai dari ayat-ayat-nya hingga huruf-huruf-nya, maka ia akan menjadi Mukmin yang kokoh dan tidak seperti buih di lautan. Akan terlahir pribadi yang yakin bukan peragu, dan demikianlah tujuan diturunkan Al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman dalam Surat Shad [38] ayat 29:

كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.

Allah juga berfirman dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 147:

ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.

Wallahu a’lam bish showab

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

Sebarkan! Raih Pahala

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

KESUKSESAN SEJATI

Allāh ﷻ berfirman dalam Surat Al-A’rāf [7] ayat 126:

وَمَا تَنْقِمُ مِنَّا إِلَّا أَنْ آمَنَّا بِآيَاتِ رَبِّنَا لَمَّا جَاءَتْنَا ۚ *رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ*

_Dan engkau tidak melakukan balas dendam kepada kami, melainkan karena kami beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami.” (Mereka berdoa), *“Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan matikanlah kami dalam keadaan muslim (berserah diri kepada-Mu).”*_

📌 Betapapun tingginya tingkat kemusyrikan seseorang, jika Allāh ﷻ menghendaki kematian yang _husnul khatimah_, maka tidak ada siapapun yang dapat menghalanginya

📌 Husnul khatimah adalah akhir kehidupan manusia dalam kondisi yang terbaik, mudah mengucapkan kalimat thayyibah, dan sedang berprasangka baik kepada Allāh ﷻ

📌 Kondisi akhir terbaik ada pada puncak tawakkal-nya dengan meniadakan _ilah_ dalam wujud apapun

📌 Keimanan tegak di atas keilmiahan sehingga lahir ketenangan, pada saat itu muncul keberanian dan motivasi untuk menatap hari setelah kematian

📌 Dengan kehendak Allāh, di pagi hari mereka musyrik, namun di petang hari wafat sebagai syuhadā, meski merasakan hukuman salib pertama, dan hukuman pemotongan tangan dan kaki secara bersilangan

📌 Para senior pakar sihir yang akhirnya beriman ini, dalam penghayatannya, telah mewariskan do’a yang pantas kita dawamkan selaku manusia yang mengaku telah lama beriman, agar melibatkan Allāh untuk memberikan akhir yang baik, kesuksesan sejati, bagi kita:

*_Rabbanā afrigh ‘alainā shabran, wa tawaffanā muslimīn._*

Jakarta, 19 Shafar 1439 H

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

Sebarkan! Raih Pahala

MENGHAFAL SURAT AL-BAQARAH ADALAH SYARAT AWAL KEPEMIMPINAN​

Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda:

 تعلموا القرآن واقرؤوه، فإن مثل القرآن لمن تعلمه فقرأ وَقَامَ بِهِ كَمَثَلِ جِرَابٍ مَحْشُوٍّ مسْكًا يَفُوحُ رِيحُهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ، وَمَثَلَ مَنْ تَعَلَّمَهُ، فَيَرْقُدُ وَهُوَ فِي جَوْفِهِ، كَمَثَلِ جِرَابٍ أوكِي عَلَى مِسْكٍ

​Pelajarilah dan bacalah Al-Qur’an. karena sesungguhnya perumpamaan Al-Qur’an bagi orang yang mempelajarinya, membacanya dan mengamalkannya, seperti sebuah wadah yang penuh minyak kesturi, yakni bau wanginya menyebar ke setiap tempat. Dan perumpamaan orang yang mempelajarinya, lalu dia tidur, sedangkan Al-Qur’an telah dihafalnya, seperti sebuah wadah yang tertutup, di dalamnya terdapat minyak kesturi.​ [Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah]

​’Ibrah:​
1⃣ Nasihat di atas hadir karena pernyataan seorang sahabat yang tidak terpilih menjadi salah seorang pemimpin delegasi karena tidak mau menghafal dan mempelajari Surat Al-Baqarah karena khawatir tidak bisa mengamalkannya;

2⃣ Surat Al-Baqarah yang mengandung 287 ayat, 6221 kata, 25.500 huruf mengandung keutamaan besar bagi para sahabatnya, yakni mereka yang menghafalkan, mempelajari, dan mengamalkannya;

3⃣ Harumnya para penjaga Qur’an menunjukkan kemuliaan yang besar dari aktivitas menghafalnya;

4⃣ Menghafal Al-Baqarah adalah langkah awal sebelum menghafal 7 (tujuh) surat yang panjang, agar kelak dicatat sebagai orang ‘alim;

Diriwayatkan oleh Abu Sa’id, dari Sulaiman ibnu Bilal, dari Habib ibnu Hindun, dari Urwah, dari Aisyah, bahwa Rasulullah Muhammad ﷺ pernah bersabda:

مَنْ أَخَذَ السَّبْعَ الْأُوَلَ مِنَ الْقُرْآنِ فَهُوَ حَبْرٌ

​Barang siapa yang mengambil (hafal) tujuh surat yang pertama dari Al-Qur’an, maka dia adalah orang yang alim.​

🍂 Menghafalkan surat Al-Baqarah adalah syarat awal kepemimpinan.

Petistiwa Gerhana Bulan & Matahari adalah Pelajaran Aqidah ; Pondasi Utama Kita dalam BerIslam​

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنًسْتَعِيْنُهُ وَنًسْتَغْفِرُهْ وَنًعُوذً ِبِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّابَعْدُ؛

​Ma’asyiral mukminin rahimakumullah,​
Matahari dan bulan adalah di antara tanda-tanda kekuasaan Allah . Keduanya bergerak dan berputar dalam orbit yang ditetapkan sehingga melahirkan ragam fenomena alam untuk diambil pelajaran dan hikmahnya oleh umat manusia.

هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ ٱلشَّمۡسَ ضِيَآءٗ وَٱلۡقَمَرَ نُورٗا وَقَدَّرَهُۥ مَنَازِلَ لِتَعۡلَمُواْ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلۡحِسَابَۚ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ يُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَعۡلَمُونَ
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

Allahu Akbar, Allah SWT menghadirkan kembali fenomena gerhana bulan. Peristiwa itu terjadi saat pergerakan bulan berada di bawah bayang bumi karena cahaya matahari terhalang bumi. Gerhana bulan total terjadi saat posisi bumi berada antara bulan dan matahari dalam posisi garis lurus. Namun begitu, peristiwa gerhana bulan 31 Januari 2018 ini begitu spesial bagi kalangan saintis, karena termasuk fenomena langka, karena posisi bulan akan berada pada posisi terdekatnya dengan bumi, sehingga ukuran bulan akan terlihat jauh lebih besar. Fenomena ini dikenal dengan sebutan supermoon, meskipun tidak akan benar-benar gelap karena piringan bulan tidak tepat melewati jalur pusat umbra bumi. Kemungkinan besar bulan akan berwarna merah kegelapan, karena posisi bulan yang berdekatan dengan pusat kerucut bayang umbra bumi. Menurut Muhammad Irfan, Astronom Observatorium Boscha, peristiwa bulan ditutup bayang umbra bumi sekitar 1 jam 16 menit saja.

​Ma’asyiral mukminin rahimakumullah​,
Seluruh fenomena yang datang karena pergerakan matahari dan bulan ditegaskan tidak terkait sama sekali dengan fenomena kematian seseorang bahkan yang paling mulia sekalipun di atas bumi.  Demikianlah keilmiahan ajaran Islam yang membedakan mana konten keimanan yang menjadi bagian dari pelajaran aqidah, dan mana konten yang mendorong tumbuh kembang sains.

Diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a. bahwa Nabi Muhammad  ﷺ bersabda:

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Al-Bukhari No. 1044)

Pelajaran utama dari peristiwa alam Gerhana seperti tadi malam sejatinya adalah pelajaran Tauhid, pelajaran yang menjadi dasar pondasi keislaman kita yang paling mendasar. Bukankah aqidah yang lurus (salimul aqidah) adalah konten utama dalam fase perbaikan diri (ishlah an-nafsi), kekohannya sangat menentukan tahapan amal yang harus dilalui berikutnya oleh setiap Muslim dalam kehidupan. Kemulian hidup dan mati kita sangat ditentukan pada kualitas tauhid kita.

​Ma’asyiral mukminin rahimakumullah,​
Terkait peristiwa gerhana, memori kita segera menyusun ulang sejarah bagaimana kesedihan yang dirasakan oleh Nabi kita yang mulia, Muhammad ﷺ, ketika wafat puteranya yang bernama Ibrahim pada usia 16 atau 17 bulan dalam masa disusui di perbukitan Madinah, dititipkan pada pasangan keluarga Abu Saif al-Qain dan Ummu Saif Khaulah binti Mundzir al-Anshariyah r.a., seorang pandai besi,  Seluruh anak beliau ﷺ wafat saat Nabi masih hidup, kecuali Fatimah r.a. Kehilangan 6 (enam) orang anak tentunya terasa jauh lebih berat daripada 1 (satu) orang anak. Telah kita ketahui bahwa 5 (lima) orang anak lahir sebelum kenabian, yakni Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah, sementara Abdullah lahir setelah kenabian. Kisah wafatnya kedua putera beliau tatkala masih kecil, Abdullah dan Qasim, ternyata harus terulang kembali saat beliau dikaruniai seorang anak dari Mariyah al-Qibthiyah, Ibrahim, yang mengalami sakit keras hingga meninggal dunia.

حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ وَشَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ كِلاَهُمَا عَنْ سُلَيْمَانَ وَاللَّفْظُ لِشَيْبَانَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ لِي اللَّيْلَةَ غُلاَمٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيمَ ثُمَّ دَفَعَهُ إِلَى أُمِّ سَيْفٍ اِمْرَأَةِ قَيْنٍ يُقَالُ لَهُ أَبُو سَيْفٍ فَانْطَلَقَ يَأْتِيهِ وَاتَّبَعْتُهُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى أَبِي سَيْفٍ وَهُوَ يَنْفُخُ بِكِيْرِهِ قَدِ امْتَلَأَ الْبَيْتُ دُخَانًا فَأَسْرَعْتُ الْمَشْيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا أَبَا سَيْفٍ أَمْسِكْ جَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمْسَكَ فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّبِيِّ فَضَمَّهُ إِلَيْهِ وَقَالَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُولَ
فَقَالَ أَنَسٌ لَقَدْ رَأَيْتُهُ وَهُوَ يَكِيدُ بِنَفْسِهِ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَمَعَتْ عَيْنَا رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ تَدْمَعُ الْعَيْنُ وَيَحْزَنُ الْقَلْبُ وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَاللهِ يَا إِبْرَاهِيمُ إِنَّا بِكَ لَمَحْزُونُونَ

Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid dan Syaiban bin Farrukh, keduanya dari Sulaiman dan lafazh ini milik Syaiban; Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Al Mughirah; Telah menceritakan kepada kami Tsabit al-Bunani dari Anas bin Malik  dia berkata:
Rasulullah  ﷺ pernah bersabda: Pada suatu malam anakku lahir, yaitu seorang bayi laki-laki, lalu kuberi nama dengan nama bapakku, Ibrahim. Kemudian anak itu beliau berikan kepada Ummu Saif, isteri seorang pandai besi, yang bernama Abu Saif. Rasulullah ﷺ mendatanginya dan aku ikut menyertai beliau. Ketika kami sampai di rumah Abu Saif, aku dapatkan dia sedang meniup Kirnya (alat pemadam besi) sehingga rumah itu penuh dengan asap. Maka aku segera berjalan di depan Rasulullah ﷺ  lalu kuberi tahu Abu Saif; Hai, Abu Saif! Berhentilah! Rasulullah  ﷺ telah datang! Maka dia pun berhenti. Kemudian Nabiﷺ  menanyakan bayinya, lalu diserahkan ke pangkuan beliau. Nabiﷺ  mengucapkan kata-kata sayang apa saja yang Allah kehendaki. Kata Anas: Kulihat bayi itu begitu tenang di pangkuan beliau saat ajal datang kepadanya. Maka Rasulullah  ﷺ menangis mengucurkan air mata. Kata beliau: Air mata boleh mengalir, hati boleh sedih, tetapi kita tidak boleh berkata-kata kecuali yang diridlai Rabb kita. Demi Allah, wahai Ibrahim, kami sungguh sedih karenamu! (Shahih Muslim 2315-62)

Kematian Ibrahim dalam kondisi belum selesai masa menyusuinya, sehingga disebutkan bahwa kedua orang tua susuannya akan menyempurnakan susuannya kelak di Surga.

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَاللَّفْظُ لِزُهَيْرٍ قَالاَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عَمْرِو بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالْعِيَالِ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ إِبْرَاهِيمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِينَةِ فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ فَيَدْخُلُ الْبَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَخَّنُ وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ ثُمَّ يَرْجِعُ قَالَ عَمْرٌو فَلَمَّا تُوُفِّيَ إِبْرَاهِيمُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ اِبْنِي وَإِنَّهُ مَاتَ فِي الثَّدْيِ وَإِنَّ لَهُ لَظِئْرَيْنِ تُكَمِّلاَنِ رَضَاعَهُ فِي الْجَنَّةِ

Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Muhammad bin Abdullah bin Numair lafazh ini milik Zuhair keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Ismail yaitu Ibnu ‘Ulayyah dari Ayyub dari Amru bin Sa’id dari Anas bin Malik ra dia berkata:
Tidak pernah kulihat orang yang lebih penyayang terhadap keluarganya melebihi Rasulullah  ﷺ  . Anas ra berkata: Ibrahim (anak beliau) disusukan pada suatu keluarga di sebuah kampung di perbukitan Madinah. Pada suatu hari beliau pergi menengoknya, dan kami ikut bersama beliau. Beliau masuk ke rumah yang kala itu penuh dengan asap, karena orang tua pengasuh Ibrahim adalah seorang tukang pandai besi. Kemudian Nabi ﷺ menggendong Ibrahim seraya menciumnya, setelah itu beliau pun pulang. Kata ‘Amru; “Tatkala Ibrahim wafat, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Ibrahim adalah anakku. Dia meninggal dalam usia menyusu. Kedua orang tua pengasuhnya akan menyempurnakan susuannya nanti di surga.” (Shahih Muslim 2316-63)

Disebutkan ketika Ibrahim wafat, dalam kisah berikut ini:

حَدَّثَنَا الۡحَسَنُ بۡنُ عَبۡدِ الۡعَزِيزِ: حَدَّثَنَا يَحۡيَى بۡنُ حَسَّانَ: حَدَّثَنَا قُرَيۡشٌ، هُوَ ابۡنُ حَيَّانَ، عَنۡ ثَابِتٍ، عَنۡ أَنَسِ بۡنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: دَخَلۡنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ عَلَى أَبِي سَيۡفٍ الۡقَيۡنِ، وَكَانَ ظِئۡرًا لِإِبۡرَاهِيمَ عَلَيۡهِ السَّلَامُ، فَأَخَذَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِبۡرَاهِيمَ فَقَبَّلَهُ وَشَمَّهُ، ثُمَّ دَخَلۡنَا عَلَيۡهِ بَعۡدَ ذٰلِكَ، وَإِبۡرَاهِيمُ يَجُودُ بِنَفۡسِهِ، فَجَعَلَتۡ عَيۡنَا رَسُولِ اللهِ ﷺ تَذۡرِفَانِ، فَقَالَ لَهُ عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ بۡنُ عَوۡفٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ: وَأَنۡتَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَقَالَ: (يَا ابۡنَ عَوۡفٍ، إِنَّهَا رَحۡمَةٌ). ثُمَّ أَتۡبَعَهَا بِأُخۡرَى، فَقَالَ ﷺ: (إِنَّ الۡعَيۡنَ تَدۡمَعُ، وَالۡقَلۡبُ يَحۡزَنُ، وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرۡضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبۡرَاهِيمُ لَمَحۡزُونُونَ). رَوَاهُ مُوسَى، عَنۡ سُلَيۡمَانَ بۡنِ الۡمُغِيرَةِ، عَنۡ ثَابِتٍ، عَنۡ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ.
Al-Hasan bin ‘Abdul ‘Aziz telah menceritakan kepada kami: Yahya bin Hassan menceritakan kepada kami: Quraisy bin Hayyan menceritakan kepada kami, dari Tsabit, dari Anas bin Malik ra, beliau berkata:
Kami masuk bersama Rasulullah  ﷺ  ke rumah Abu Saif Al-Qain, beliau adalah suami ibu susu Ibrahim ra. Rasulullah   ﷺ  mengambil Ibrahim, lalu menciumnya. Kemudian kami masuk lagi beberapa saat kemudian, pada saat Ibrahim mendekati ajalnya. Mulailah kedua mata Rasulullah ﷺ berlinang air mata. ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra berkata kepada beliau: Engkau juga (menangis), wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya (tangisan) ini adalah rahmat (kasih sayang).” Lalu beliau kembali menangis. Beliau ﷺ bersabda, “Sesungguhnya mata ini menangis, hati ini berduka, namun kita tidak mengatakan kecuali perkataan yang Rabb kita ridhai. Dan sesungguhnya kami benar-benar berduka berpisah denganmu, wahai Ibrahim.”
Musa meriwayatkannya, dari Sulaiman bin Al-Mughirah, dari Tsabit, dari Anas ra, dari Nabi ﷺ

Bersamaan saat wafatnya Ibrahim ra, ternyata terjadi pula gerhana matahari di Madinah. Dari Al-Mughiroh bin Syu’bah, beliau berkata,
كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ، فَقَالَ النَّاسُ كَسَفَتِ الشَّمْسُ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ »
Di masa Rasūlullah ﷺ pernah terjadi gerhana matahari ketika hari kematian Ibrahim. Kemudian orang-orang mengatakan bahwa munculnya gerhana ini karena kematian Ibrahim. Lantas Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalat dan berdo’alah.’” (HR. Al-Bukhari no. 1043)

Redaksi hadits yang berbunyi ‘Jika kalian melihat gerhana, maka shalat dan berdo’alah’ dimaknai oleh sebagian ulama sebagai wajibnya melaksanakan shalat Gerhana, sebagaimana Imam Abu Hanifah dan  Imam Asy-Syaukani. Shalat gerhana dapat disebut dengan khusūf (الخسوف) dan juga kusūf (الكسوف), meskipun kemudian yang lebih banyak digunakan adalah khusūf untuk gerhana bulan dan kusūf untuk gerhana matahari. Allah SWT berfirman dalam Surat Fushshilat ayat 37:
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِ ٱلَّيۡلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُۚ لَا تَسۡجُدُواْ لِلشَّمۡسِ وَلَا لِلۡقَمَرِ وَٱسۡجُدُواْۤ لِلَّهِۤ ٱلَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak sembah.

Nabi Muhammad  ﷺ juga berpesan,
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَهُوَ شَيْبَانُ النَّحْوِيُّ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِيُّ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ سَلَّامٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ خَبَرِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ قَالَ
لَمَّا انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ بِ الصَّلَاةَ جَامِعَةً فَرَكَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ فِي سَجْدَةٍ ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي سَجْدَةٍ ثُمَّ جُلِّيَ عَنْ الشَّمْسِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ مَا رَكَعْتُ رُكُوعًا قَطُّ وَلَا سَجَدْتُ سُجُودًا قَطُّ كَانَ أَطْوَلَ مِنْهُ
Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah ﷺ , maka diserukanlah (kepada kaum muslimin) dgn seruan, Ash-Shalātu Jāmi’ah (Marilah kita menunaikan shalat jama’ah). Maka Rasulullah ruku’ dua raka’at dalam satu kali sujud, kemudian beliau berdiri lalu ruku’ lagi dua raka’at dalam satu kali sujud. Setelah itu matahari sudah kembali normal, maka Aisyah pun berkata, Saya sama sekali tak pernah melakukan ruku’ & tak pula sujud yg lebih panjang darinya. (HR. Muslim No.1515)

Shalat Gerhana Bulan dihukumi hasanah dalam madzhab Hanafiyah, mandubah dalam madzhab Al-Malikiyah, Sunnah Muakkadah dalam madzhab Asy-Syafi’iyah dan Hanabilah. Shalat ini dikerjakan dengan dua rakaat dan menambah ruku’ di setiap rakaatnya, membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang panjang, dan memperlama ruku’ dan sujudnya, sebagaimana riwayat dari Ibn ‘Abbas berikut:
كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  فَصَلَّى الرَّسُول  وَالنَّاسُ مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الأْوَّل ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأْوَّل
Dari Ibnu Abbas ra berkata, “Terjadi gerhana matahari dan Rasulullah ﷺ melakukan shalat gerhana. Beliau berdiri sangat panjang sekira membaca surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku’ sangat panjang lalu berdiri lagi dengan sangat panjang namun sedikit lebih pendek dari yang pertama. Lalu ruku’ lagi tapi sedikit lebih pendek dari ruku’ yang pertama. Kemudian beliau sujud. Lalu beliau berdiri lagi dengan sangat panjang namun sidikit lebih pendek dari yang pertama, kemudian ruku’ panjang namun sedikit lebih pendek dari sebelumnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

​Ma’asyiral mukminin rahimakumullah,​
​Kokohnya aqidah​ mendorong untuk ​membaguskan ibadah​. Bagusnya Ibadah ​mendorong kemuliaan akhlak​. Mulianya akhlak mendorong lahirnya amal. Puncaknya amal adalah ​jihad fi sabilillah​, namun ketika puncak amal itu belum terbuka untuk kita, maka kita tetap didorong untuk memenuhi tahapan amal mulai dari ​menyempurnakan perbaikan diri, membangun keluarga Islami, membimbing masyarakat agar senang dengan kehidupan Islam, membebaskan negeri dari segala bentuk penjajahan, mendorong seluruh kebijakan negara agar memenuhi kebutuhan kaum muslimin, mendorong persatuan di antara negara-negara Muslim, hingga kita lahirkan peradaban Islami yang memimpin dunia ini, dimana seluruh umat manusia merasa terpenuhi seluruh hak-hak mendasarnya dalam kehidupan, dan pada saat itulah, Islam hidup dengan segala kelengkapannya sebagai rahmat bagi sekalian alam.​
Mari kita wujudkan bersama.

​(Khutbah Shalat Gerhana Bulan, 31 Jan 2018)​

Berkata Baik atau Diam​

Assalamu ‘alaikum warahmatullah,

Alhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah, wa ‘ala alihi washahbihi wa man walahu, laa haula wa laa quwwata illaa billah,

Materi yang akan dibahas kali ini adalah

Berkata yang baik atau diam
Studi kasus: Komika

🍂 ​Al-Qur’an

Pertama kita coba tadabburi 3 (tiga) ayat Allah:

➡ ​Surat Al-Isra’ [17] ayat 36:

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوولًا

‘Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawaban.’

➡ ​Surat Qaf [50] ayat 18:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

‘Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’

➡ ​Surat Al-Infithar [82] ayat 10-12:

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ( )كِرَامًا كَاتِبِينَ( )يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ

‘Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah), dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.’

🌙 Dari ketiga ayat ini Allah ﷻ menguatkan hamba-Nya agar menghadirkan perasaan selalu diawasi oleh-Nya, dan keyakinan bahwa setiap geraknya ada yang mencatat, yakni malaikat yang mulia lagi taat.

🍃 ​As-Sunnah

➡ ​Dari Sahl bin Sa’id r.a., Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.”​ (HR. Al-Bukhari No. 6474)

➡ ​Dari Abu Hurairah r.a., Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.”​ (HR. Al-Bukhari No. 6018)

➡ ​Dari Abdullah ibn ‘Umar r.a., Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya.”​ (HR. Al-Bukhari No. 10)

💫 Dari ketiga hadits yang mulia ini, Nabi Muhammad ﷺ mengingatkan kepada kita akan nikmat Allah berupa otot yang paling kuat dalam jasad, yakni lidah. Keberadaannya akan membawa manusia ke Jannah, tapi keberadaannya pun dapat membawa manusia ke Neraka.

🌾 Jika dihayati lebih mendalam, setiap muslim jika mengikuti tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka akan membawa dirinya pada sosok manusia cerdas (al-kayyis), karena terbiasa dengan:

Berpikir dahulu sebelum berbicara, bukan berbicara dahulu baru kemudian berpikir.

Para ‘ulama telah mengingatkan kita dengan kata-kata mutiaranya yang luar biasa,

1⃣ Banyak yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam (Ibn Hibban)

2⃣ 🌾 Jika dihayati lebih mendalam, setiap muslim jika mengikuti tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka akan membawa dirinya pada sosok manusia cerdas (al-kayyis), karena terbiasa dengan:

Berpikir dahulu sebelum berbicara, bukan berbicara dahulu baru kemudian berpikir.

Para ‘ulama telah mengingatkan kita dengan kata-kata mutiaranya yang luar biasa,

1⃣ Banyak yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam (Ibn Hibban)

2⃣ Dia perlu menyadari bahwa dia diberi dua telinga, sedangkan diberi hanya satu mulut, supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. (Ibn Hibban)

3⃣ Apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Jika demikian adanya, bolehkah kita menggunakan lisan ini untuk bercanda?

Terdapat beberapa keterangan tentang senangnya Nabi ﷺ bercanda,

➡ Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ الْعَبْدُ الإِيمَانَ كُلَّهُ حَتَّى يَتْرُكَ الْكَذِبَ فِى الْمُزَاحَةِ وَيَتْرُكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ صَادِقاً

“Seseorang tidak dikatakan beriman seluruhnya sampai ia meninggalkan dusta saat bercanda dan ia meninggalkan debat walau itu benar.”​ (HR. Ahmad 2:352)

➡ Dari ‘Abdullah ibn Umar r.a., Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

إِنِّي لأَمْزَحُ , وَلا أَقُولُ إِلا حَقًّا

“Aku juga bercanda namun aku tetap berkata yang benar.”​ (HR. Thabrani dalam Al-Kabir 12: 391)

➡ Dari ayah dari Bahz bin Hakim r.a., Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

لاَ تُكْثِرُ الضَّحَكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحَكِ تُمِيْتُ القَلْبَ

“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.”​ (HR. Abu Daud no. 4990)

➡ Dari Abu Hurairah r.a., Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

لاَ تُكْثِرُ الضَّحَكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحَكِ تُمِيْتُ القَلْبَ

“Janganlah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.”​ (Shahihul Jami’ no. 7345)

💫 Bercanda ternyata dibutuhkan agar hidup tidak monoton, membangkitkan semangat, menguatkan persaudaraan, meningkatkan rasa cinta, dan menghilangkan kepenatan, rasa bosan, dan kelesuan, sehingga hidup lebih bergairah. Namun Islam juga mengingatkan bahwa terlalu sering bercanda, bahkan menyebabkan gelak tawa yang berlebihan justeru akan mematikan hati, pada saat itu hati menjadi keras, dan khawatir sulit menerima ilmu.

Pada akhirnya, segala sesuatu yang terlalu kurang dan terlalu lebih menyebabkan ketidakseimbangan.

Terakhir, Ibn Hibban pernah berkata, “Menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan itu lebih mudah daripada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan.”

Bagaimana agar bercanda menjadi indah dalam Islam?

1. Meluruskan Tujuan
Seperti jika melihat ummahat yang sedang sedih, bimbang, galau, maka hendaknya ada yang datang untuk membahagiakannya dari sahabat wanitanya.

2. Jangan Melewati Batas
Batasi secukupnya hingga sahabat kita kembali riang gembira dan terbuka.

3. Pastikan mereka senang dicandai
Jangan lakukan untuk mereka yang baru antum kenal, lihat juga situasi yang tepat.

4. Jangan bercanda pada hal yang serius
Jangan lakukan jika situasi sedang membahas hal yang serius karena menjadi perkara yang kontra produktif.

5. Jangan menakut-nakuti
Tidak boleh bercanda seperti menyembunyikan sepatu, senjata perang, atau barang-barang yang dimiliki sehingga lahir ketakutan.

6. Tinggalkan berdusta
Jangan berdusta.

7. Jangan melecehkan agama
Jangan menjadikan agama sebagai permainan.

Lihat Q.S. At-Taubah [9] ayat 64-65:

يَحۡذَرُ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيۡهِمۡ سُورَةٞ تُنَبِّئُهُم بِمَا فِي قُلُوبِهِمۡۚ قُلِ ٱسۡتَهۡزِءُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ مُخۡرِجٞ مَّا تَحۡذَرُونَ ٦٤ وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥

64. Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu
65. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dgn Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?

Sebagai kesimpulan:
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
🔸 ​Silahkan bercanda namun jagalah diri dengan Adab Bercanda.

🔹 ​Meraih ridha Allah melahirkan kemuliaan, meraih ridha manusia melahirkan kehinaan.

Jin yang Menyukai Manusia

Assalaamu’alaikum wr.wb ustadz/ ah..
Saya mau tanya ustadz,Apakah benar bahwa ada jin yang menyukai manusia ?
jin yang menyukai manusia akan selalu menghalangi dalam hal jodoh ?
dan tanda-tandanya
Yaitu merasa pusing ktika masuk waktu asar ke atas
Serta merasa tertindih saat tidur tidak bisa bergerak.
Sering merasa lemas padahal tidak melakukan kegiatan apa-apa.
dan ada beberapa tanda lainya..

Lalu.. Bagaimana cara menghilangkan rasa suka jin terhadap manusia?
Manis-A22

Jawaban
————–

‌و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته

Ibu, kemungkinan jin menyukai manusia tentu bisa saja terjadi, bahkan terjadi pernikahan antara jin dan manusia telah terjadi dalam rentang sejarah sejak dahulu hingga hari ini.
Adapun jodoh adalah ketetapan dari Allah Swt., maka hendaknya seseorang dapat pro-aktif mencari jodohnya dengan berbagai cara yang disyariatkan dan bernilai mulia.

Di sisi lain, hendaknya manusia sentiasa menjaga dirinya dari gangguan jin yang jahat atau syaithon agar Allah Swt memudahkan seluruh urusannya. Untuk menjaga diri dari gangguan jin dan syaithan, hendaknya kita sentiasa membaguskan kualitas tauhid kita, dan memperbaharui konsep dasar-dasar keimanan kita. Ini adalah pondasi paling asasi.
Berikutnya hendaknya sentiasa meminta perlindungan Allah Swt dengan merutinkan wirid-wirid al-ma’tsurat baik di pagi dan petang hari. Ini menjadi agenda harian kita.

Adapun jika betul-betul nantinya membutuhkan bantuan dari pihak ketiga dapat menghubungi ustadz/ah terdekat.

Semoga Allah Swt melindungi kita dari bisikan, gangguan dan kejahatan syaithan. Perlakukanlah syaithan sebagai musuh, jangan pernah kita takuti.

Wallahu a’lam.

Bolehkah Menjalankan Wasiat Untuk Membagi Warisan Tidak Menggunakan Hukum Islam

Assalaamu ‘alaikum wr wb ustadz/ ah..
Menurut hukum Islam, bagian harta warisan untuk 2 orang anak perempuan kan sama dengan bagian 1 orang anak laki-laki. Atau, bagian 1 orang anak laki-laki sama dengan 2 kali bagian 1 orang anak perempuan.
Bapak saya baru-baru ini wafat. Ternyata ketika masih hidup, bapak meninggalkan surat wasiat. Isinya bahwa jika bapak meninggal, bapak saya tidak mau mengikuti hukum Islam yang sudah ada bahwa anak laki-laki bagiannya lebih banyak (dua kali lipat) dari perempuan. Tujuan almarhum bapak adalah agar semua anaknya mendapat bagian yang sama rata jumlahnya, tidak ada yg dibedakan.
Ditulis sendiri oleh bapak dengan tulisan tangannya.
Ini bagaimana, ustadz..?? Wasiatnya ini sah atau tidak..?? Boleh dijalankan atau tidak..??
Karena bertentangan dengan batasan/ketentuan hukum Islam tentang bagian warisan.
Mohon penjelasannya.
Jazakumullaah.
Wassalam.
-A13-

Jawaban
————–

‌و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته

Sebelumnya kami turut berduka cita atas kembalinya beliau ke sisi-Nya, semoga Allah Swt meluaskan kuburnya, menghapuskan dosa-dosanya, dan memasukkannya ke Jannah.

Pertanyaan Anda terkait dengan masalah waris, maka pembagian waris langsung dibagi oleh Allah Jalla wa ‘Ala, maka makhluknya diharamkan membuat aturan sendiri, sementara Sang Khalik telah menetapkan pembagian untuk masing-masing. Dalam hal ini tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Jalla wa ‘Ala.

Semoga Allah mengumpulkan kita bersama di Jannah, bersama ketaatan kita kepada perintah-nya, keridhoan kita kepada aturan-nya, dan kesungguhan kita dalam meraih cinta-Nya.

Wallahu a’lam.

Memilih Pemimpin yang Paling Baik di Antara yang Buruk

Assalamualaikum ustadz/ah..
Tanya ustad Assalamu’alaikum bagaimana sikap kita berpolitik dalam memilih caleg/kep daerah smuanya tdk ada yg amanah kalau gak pilih non muslim yg mimpin kalau pilih muslim jg gak amanah dosakah kt kalau golput wassalamu’alaikum
#Pertanyaan dari I-11

Jawaban
————–

‌و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته

📌 Tidak amanahnya calon Muslim ke depan, tiada manusia yang mengetahui. Amanahnya calon non-muslim tiada manusia yang mengetahui. Allah yang membolak-balikkan hati manusia.

📌 Tugas Muslim adalah memilih pemimpin Muslim, sebagaimana komando non-muslim adalah memilih pemimpin non-Muslim.

📌 Memilih pemimpin Muslim adalah urusan Muslim kepada Allah, korupsinya pemimpin Muslim adalah urusan beliau dengan Allah

📌 Memilih yang bertanggung jawab adalah memilih dan melanjutkan dengan mengawasi, menasihati, dan melaporkan kepada yang berwajib, dan menggantinya juga dengan pemimpin Muslim

📌 Berdiskusi masalah Islam dengan pemimpin Muslim masih lebih berpotensi memiliki ketersambungan daripada selainnya

Wallahu a’lam.

RUMAH PUSAT PERSEMAIAN ADAB​

📚 Allah ﷻ berfirman dalam Surat An-Nahl [16] ayat 68:

وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.

📚 Juga dalam surat An-Naml [27] ayat 18:

حَتَّىٰ إِذَا أَتَوْا عَلَىٰ وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam maskan-maskan (sarang-sarang) mu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.”

♦️ ​Bait​ (rumah) mengandung makna tempat (maskan) bermalam, tempat beristirahat, tempat berlindung dari panas, angin dan hujan

♦️ ​Maskan​ (rumah tempat tinggal) mengandung makna tempat menyerap energi ketenangan dalam istirahatnya hingga seseorang menemukan ketentraman dan kebahagiaan jiwanya.

♦️ Maksimalkan fungsi ​bait​ atau ​maskan​ untuk mencapai tujuan filsafatnya dengan variasi amal shalih yang diridhai-Nya seperti memperbanyak tilawah Al-Qur’ān, shalat Sunnah berjama’ah, halaqah keluarga, pembiasaan-pembiasaan baik, ​mau’izhah hasanah​, agar adab mulia terinternalisasikan dari pusatnya langsung: rumah.

✨ ​Wallāhu a’lam,

Memilih Pemimpin yang Tidak Taat Agama

Assalaamu ‘alaikum Wr.Wb. ustadz..
Terkait surat Ali ‘Imran ayat 28 : “Janganlah orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dst…”
Bagaimana bila ada pemilu, dan kita merasa calon pemimpin adalah orang yang tidak taat agama, bahkan berbeda agama.

Apa yang harus kita lakukan?
Apa lebih baik golput saja?
✍ Pertanyaan dari member A13

Jawaban
———-

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته

Jika ada pemimpin yang tidak taat agama namun dia memiliki kekuatan dan manajemen yang baik, maka kekuatannya untuk umat dan ketidaktaatannya adalah untuk dirinya sendiri.

Adapun jika pemimpin itu berbeda agama, dan tidak ada pilihan lain selain seluruhnya beda agama, maka diserahkan kepada para ulama yang otoritatif di masanya, kepada pihak yang mana yang paling membawa maslahah kepada umat secara keseluruhan di atas komunikasi yang telah dibangun dan komitmen tertulis yang telah dibuat.

Wallahu a’lam.