Teruslah Melaju Untuk Menjemput Harapan

Pemateri: Ust. Umar Hidayat, M.Ag

Jalan-jalan menuju harapan akan dilalui dengan penuh kesabaran, begitulah tabiat orang beriman.
Mereka meyakini bahwa jalan yang dilalui bagian dari skenario Ilahi.
Sampainya pada harapan tak sedikit kan bertemu dengan ujian yang akan semakin menangguhkan.

Sebelum Allah memberikan kemenangan, sebelum Allah memberikan kemuliaan, yang tidak diberikan kecuali kepada orang-orang mulia yang Allah pilih, karena telah teruji, dan jujur dalam jihadnya.

Mungkin kita tidak menyadarinya kalau sesungguhnya kita sedang meniti jalan menuju kemuliaan. Allah telah menyediakan bilik surga yang khusus disediakan untuk para hambaNya yang lolos ujian.

Mungkin kita pernah mengalami masa-masa sulit ketika kita sedang bersenandung ikhtiar dalam kebaikan?

Sebaliknya menjadi aneh,
ketika kita dengan ringan kaki begitu mudahnya bila bersentuhan dengan keburukan.

Sebagai muslim, tentu kita meyakini kebenaran akan janji Allah SWT dalam Al Qur’an yang menyatakan,

“Sesungguhnya setelah kesulitan pasti ada kemudahan”.

Dia nyatakan itu sampai diulang dalam QS 94:5-6.

Pengulangan bukan lantaran Allah tidak bisa dipegang janjinya, tetapi justru dengan cara Allah ingin membesarkan hati manusia ketika bersahabat dengan kesusahan dan kesulitan.

“Man Jadda, wa jada”;

siapa yang tekun penuh kesungguhan pasti ia berhasil, demikian salah satu peribahasa Arab yang kita dengar sejak kita masa kanak-kanak.

Tekun yang berarti kita sejatinya kita merenda semua potensi dan kemampuan yang dimiliki secara maksimal untuk mengatasi segala rintangan dengan kerja keras dan kerja cerdas secara optimal terus-menerus.

Sunatullah yang boleh jadi sering kita alami. Semakin kita tekun, semakin banyak kemudahan dan energi positif yang menyebar pada lingkungan. Ya sebut saja sebagai “keberuntungan”.

Jadi, mari kita biasakan bercermin pada suara hati, karena dia yang paling jujur.

Bukankah saat kita melakukan semua tindakan kebaikan dengan sepenuh hati, termasuk mengatasi berbagai ujian yang merintanginya, segalanya menjadi begitu nikmat dan indah, bukan?

Dan, sebaliknya saat kita melakukan berbagai tindakan keburukan, ada suara hati yang sesungguhnya menolak, bukan?

Hasrat jiwa yang menggelora untuk membersamai anugerah akal dan hati secara maksimal demi kebaikan akan terasa menggetarkan diri, demikian pesan seorang ahli tasawuf.

Getaran ini bakal mampu menggerakkan berbagai tindakan nyata dalam kehidupan, terlebih lagi saat kita mampu menaklukkan segala yang merintanginya.

Keep spirit!

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Meminta Nafkah Dari Harta Yang Tidak Baik

Assalamu’alaikum. Afwan jiddan, ustadz/ah. Ada pertanyaan dari saudara jauh saya pribadi. Begini, misalnya dia lagi sangat butuh uang untuk membayar beberapa kebutuhan dan tagihan, dia seorang pelajar, untuk membiayai diri sendiri dia belum sanggup, karena kemungkinan besar akan mengganggu studinya. Sementara dia ragu akan penghasilan keluarganya yang membuat jimat/azimat, namun karena kebutuhan, dia tetap menerima dan memakai penghasilan tersebut dengan berharap ampunan dan memohon hidayah Allah atas anggota keluarganya tersebut. Dan dia (pelajar ini) jika mempunyai keluarga lain yang mempunyai usaha kayu ilegal, dan ada juga menjual minyak wangi untuk perdukunan dan sepertinya bekerja dengan jin. Kadang jika kebutuhannya betul-betul mendesak dia meminta kiriman uang juga dari keluarganya tersebut.

Bagaimana menurut ustadz/ah dengan perkara ini. Sementara dia pernah berusaha mencari rezeki yang .halal lagi baik, insya Allah, namun sangat menyita waktu, tenaga dan fikirannya tidak bisa fokus dalam studi.

————-

JAWABAN:

Wa’alaikumussalam warahmarullahi wabarakaatuh…

Jika anak dalam keadaan terpaksa, lalu dia memanfaatkan penghasilan orang tua dan tidak ada cara lain untuk mencukupi kebutuhannya, maka tidak mengapa dan dosanya ditanggung orang tuanya saja dalam kondisi seperti itu..

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 173)

Dra.Indra Asih

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Berteduh Di Jalan Ilahi

Ustadzah Rochma Yulika

Bila kita teguh berjalan di atas jalan kebenaran, niscaya Allah tak kan menyia-nyiakan apa yang kita lakukan sesedikit jua.

Walau kadang harus merasakan sakit semua akan sirna, gundah tak lagi menyesakkan, luka tak lagi merintihkan, kelelahan mampu diabaikan.

Bila kedukaan makin menghebat, ujian dirasa semakin dahsyat, dan nafsu semakin mengajak kepada jalan yang sesat. Maka teruslah berjuang untuk mengelolanya hingga menjadi pribadi yang kuat.

Semua kerugian yang kita rasakan, keletihan dan apa saja akan berganti dengan kebahagiaan, kegembiraan, dan kemuliaan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang berkata,”Aku, Surga dan tamanku ada di dalam dadaku, kemana pun aku pergi ia selalu bersamaku, tidak meninggalkanku. Jika aku dipenjara, bagiku itu adalah khalwah. Jika aku dibunuh, bagiku itu adalah syahadah. Dan jika aku diusir dari negeriku, bagiku itu adalah siyahah (jalan-jalan)

Sadari dan renungi bahwa setiap ujian yang bertandang itu selayaknya tamu, ia akan datang namun tak lama pun jua akan segera berlalu.

Kita perlu syukuri kala kita ditimpa musibah atau pun ujian sementara kita berada dalam ketaatan. Coba saja kita ingat banyak diantara mereka yang tinggal dalam kemewahan sementara mereka berada dalam kemaksiatan.

Hendaknya kita sama-sama merenungkan perkataan bijak dalam kitab sha’id al khatir, Ibnul Jauziy yang sedang mengadu kepada Rabbnya,

“Betapa beruntungnya diriku atas apa yang direnggut dariku. Betapa lapangnya penawananku kala buahnya aku berkhalwah dengan Mu. Betapa kayanya diriku ketika aku faqir kepada Mu. Betapa lembutnya diriku kala Engkau jadikan ciptaan Mu berlaku dzalim kepadaku.

Ah….
Sia-sialah masa yang hilang bukan dalam rangka berkhidmah kepada Mu, begitu pun waktu yang berlalu bukan dalam ketaatan kepada Mu.

Kala aku bangun menjelang fajar, tidurku sepanjang malam tidak lagi menyiksa diriku. Kala siang beranjak lepas, hilangnya seluruh hari itu tidak lagi melukaiku.

Aku tidak tahu bahwa diriku yang mati rasa ini dikarenakan sakit yang dahsyat. Kini hembusan angin kesejahteraan telah bertiup, aku telah dapat merasakan derita, dan aku tahu diriku kini sehat.

“Siapa yg menyerahkan Jiwanya untuk hidup demi agamanya (ISLAM) maka ia akan melalui hari-harinya dalam kelelahan,
Akan tetapi ia akan hidup dan mati dalam kemuliaan.”

(Syaikh Ahmad Yasin)
Wahai dzat yang Maha Agung anugerahnya, sempurnakanlah kesejahteraan bagi diriku.” Aamiin

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Bacaan Basmalah

Izin bertanya ust..
1.apakah kata “bismillah” merupakan bagian dr surat al fatihah, atau merupakan pembuka surat seperti surat lainnya
2.dlm pembacaan ketika jd imam shalat berjamaah,apakah bismillah diucapkan keras atau pelan

Jawaban:

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulilkah wa ba’d:

 1. Bismillahirrahmanirrahim Termasuk Al Fatihah atau Bukan?

Terjadi perbedaan dalam hal ini:

– Ataukah dia termasuk bagian dari ayat pertama pada setiap surat ?
– Ataukah dia sebagai bagian dari AlFatihah tapi tidak bagi surat lainnya?
– Atau apakah dia adalah sebagai pembatas surat saja bukan ayat tersendiri?
– Apakah dia termasuk  AYAT TERPISAH yang ditulis di awal setiap surat.?
– Ataukah dia termasuk bagian dari surat dan ditulisnya di awal surat  sebagai ayat pertama?

Jika diringkas maka perbedaan ini menjadi tiga kelompok:

Kelompok pertama, mereka mengatakan Basmalah merupakan bagian dari surat Al Fatihah dan semua surat lainnya, kecuali surat Al Bara’ah (At Taubah). Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Az Zubeir, Abu Hurairah dan Ali. Di kalangan tabi’in: Atha, Thawus, Mak-hul, Said bin Jubeir, Az Zuhri, dan ini juga pendapat Ibnul Mubarak,       Asy Syafi’i,   Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat darinya, Ishaq bin Rahawaih, dan Abdul Qasim bin Salam – Rahimahumullah.

Disebutkan  bahwa Imam Asy Syafi’i berpendapat pada sebagian  madzhabnyanya; bahwa Basmalah merupakan bagian dari Al Fatihah tapi bukan bagian surat lainnya. Dan diriwayatkan darinya pula bahwa Basmalah termasuk bagian dari sebagian surat dari keseluruhan surat yang ada. Imam Ibnu katsir mengatakan dua pendapat ini gharib (asing). (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/117)

            Mereka beralasan dengan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

 كان النبي صلى الله عليه وسلم  لَا يَعْرِفُ فَصْلَ السُّورَةِ حَتَّى تَنَزَّلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ        

            “Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah mengetahui batasan/pembagian surat , sampai turunlah  kepadanya: Bismillahirrahmanirrahim.” (HR.Abu Daud No. 788, Al Baihaqi dalamAs Sunannya No. 2206. Imam Ibnu Katsir mangatakan sanadnya shahih. Lihat Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/116. Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Syaikh Al Albani juga menyatakan shahih dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 788)

            Dari sinilah kita bisa melihat bahwa Basmalah adalah bagian dari setiap surat –selain memang sebagai pembatas- kecuali pada surat Al Bara’ah. Masalah kenapa surat Al Bara’ah tidak menggunakan Basmalah, Insya Allah akan dibahas pada kesempatan lain.

            Kelompok ini juga berdalil dengan riwayat Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الحمد لله رب العالمين سبع آيات: بسم الله الرحمن الرحيم إحداهن، وهي السبع المثاني والقرآن العظيم، وهي أم الكتاب

            “Al Hamdulillahi Rabbil ‘alamin  (maksudnya: surat Al Fatihah) ada tujuh ayat:Bismillahirrahmanirrahim adalah salah satunya. Dia adalah tujuh ayat yang diulang-ulang, Al Quran yang agung, dan dia sebagai Ummul Kitab.”

            Hadits ini juga diriwayatkan juga oleh Ad Daruquthni dari Abu Hurairah secara marfu’ , dan Beliau mengatakan: semuanya tsiqat (terpercaya). (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/103)

            Hadits ini sangat jelas menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammemasukkan  Basmalah  sebagai bagian dari surat Al Fatihah. Maka, ini menjadi pendapat yang sangat kuat.

Kelompok kedua, mereka mengatakan bahwa Basmalah BUKAN bagian dari Al Fatihah dan bukan pula surat lainnya. Inilah pendapat dari  Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya.

            Mereka beralasan bahwa hadits di atas hanya menyebutkan fungsi. Basmalah sebagai pembeda dan pemisah surat , bukan menyebutkan bahwa Basmalah adalah bagian dari setiap surat .

Alasan lainnya adalah, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:  “Aku membagi Ash Shalah (yakni surat Al Fatihah) menjadi dua bagian, dan untuk hambaKu sesuai apa yang dia inginkan.” Ketika hamba berkata Al Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin, maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: hamadani ‘abdiy -hambaKu telah memujiKu. Ketika hamba itu membaca Ar Rahmanirrahim, maka Allah ‘Azza wa Jallaberfirman: atsna ‘alayya ‘abdiy – hambaKu telah memujiKu. …. Dst. (HR. Muslim No. 395, At Tirmidzi No. 4027, Abu Daud No. 821, Ibnu Majah No. 3784, Ibnu Hibban No. 1784)

            Hadits ini menunjukkan bahwa tidak dibaca Basmalah  ketika membaca surat Al Fatihah. Ini menunjukkan bahwa Basmalah bukan bagian darinya.

            Hal ini juga diperkuat dari kisah Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu. Beliau ditanya oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

كيف تقرأ إذا افتتحت  الصلاة؟ قال: فقرأت عليه: { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }

            “Bagaimanakah bacaanmu  jika memulai shalat? Ubai menjawab: Aku membaca: Al Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin.”

            Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah  mengomentari hadits ini:

            “Abu Said di sini bukanlah Abu Said bin Al Mu’alli sebagaimana yang diyakini oleh Ibnul ‘Atsir dalam Al Jami’ Al Ushul, dan orang-orang yang mengikutinya. Sebab, Ibnul Mu’alli adalah seorang sahabat Anshar dan yang ini adalah seorang tabi’in dari Khuza’ah, oleh karena itu hadits ini adalah muttashil shahih (bersambung lagi shahih). Hadits ini secara zhahir munqathi’ (terputus), jika Abu Said ini tidaklah mendengarkannya dari Ubai bin Ka’ab, namun jika dia mendengarkannya dari Ubai maka ini sesuai syarat Muslim. Wallahu A’lam. “ (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/104)

            Riwayat ini menunjukkan bahwa Basmalah tidaklah dibaca ketika membaca surat Al Fatihah dan ini menjadi dalil bahwa dia bukan bagian darinya.

Kelompok ketiga,  kelompok ini mengatakan Basmalah merupakan ayat tersendiri  dan terpisah dari semua surat , dia bukan bagian darinya. Inilah pendapat Daud Azh Zhahiri, diceritakan juga dari Imam Ahmad bin Hambal. Dan, Abu Bakar Ar Razi menceritakan dari Abul Hasan Al Karkhi dan keduanya merupakan pembesar madzhab Abu Hanifah. Perbedaan dengan kelompok kedua adalah kelompok ini menyebut Basmalah sebagai ayat yang tersendiri.

            Demikian. Jika kita perhatikan maka pendapat kelompok pertama lebih kuat dan jelas argumennya. Wallahu A’lam

2. Ketika Shalat, Dikeraskan atau Pelankan?

            Lalu, apa kaitannya pembahasan ini dengan pertanyaan ‘membaca basmalah di keraskan atau dipelankan?’  Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

            “Ada pun yang terkait dengan menjaharkan Basmalah, maka perinciannya adalah sebagai berikut: bagi yang berpendapat bahwa Basmalah BUKAN bagian dari surat Al Fatihah maka mereka tidak menjaharkan, begitu juga menurut pihak yang mengatakan Basmalah adalah termasuk bagian ayat awal darinya.  Ada pun bagi kelompok yang mengatakan bahwa Basmalah adalah termasuk  bagian dari surat-surat di bagian awalnya. Maka mereka berbeda pendapat dalam hal ini.

            Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berpendapat bahwa Basmalah  DIJAHARKAN (dikeraskan), juga pada surat lainnya. Inilah pendapat banyak golongan dari sahabat tabi’in, para imam kaum  muslimin, baik salaf dan khalaf. Dari kalangan sahabat yang menjaharkan adalah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Muawiyah.  Ibnu Abdil Bar dan Al Baihaqi menceritakan bahwa ini juga  dilakukan Umar dan Ali. Sedangkan Al Khathib menukil dari khalifah yang empat yakni Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Tapi riwayat ini gharib (asing/menyendiri). Dari kalangan tabi’in adalah Said bin Jubeir, Ikrimah, Abu Qilabah, Az Zuhri, Ali bin Al Husein dan anaknya Muhammad, Said bin Al Musayyib, Atha, Thawus, Mujahid, Salim, Muhammad bin Ka’ab Al Qurzhi, Abu Bakar bin Amru bin Hazm, Abu Wail, Ibnu Sirin, Muhammad bin Al Munkadir,  Ali bin Abdullah bin Abbas dan anaknya Muhammad, Nafi’, Zaid bin Aslam, Umar bin Abdul Aziz, Al Azraq bin Qais, Habib bin Abi Tsabit, Abu Sya’ tsa’, Makhul, dan Abdullah bin Ma’qil bin Muqarrin.

            Imam Al Baihaqi menambahkan: Abdullah bin Shafwan dan Muhammad bin Al Hanafiyah. Sementara Imam Ibnu Abdil Bar menambahkan: Amru bin Dinar. (Tafsir Al Quran Al Azhim, 1/117)

            Demikianlah, sangat banyak para sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin yang berpendapat dikeraskannya membaca Basmalah ketika shalat. Dalil-dalil mereka adalah:

–          Imam An Nasa’i dalam Sunannya, Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya masing-masing, Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya; dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa beliau shalat dan dia mengeraskan membaca Basmalah, lalu setelah shalat selesai, dia berkata: “Sesungguhnya saya menyerupakan untuk kalian shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Hadits ini dishahihkan oleh Ad Daruquthni, Al Khathib, Al Baihaqi, dan lainnya)

–          Imam Al Hakim meriwayatkan dalam Al Mustadraknya,  dari Ibnu AbbasRadhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengeraskan membaca Bismillahirrahmanirrahim. (Katanya: hadits ini shahih)

–          Imam Al Bukhari dalam Shahihnya, meriwayatkan bahwa Anas bin MalikRadhiallahu ‘Anhu ditanya tentang bacaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia menjawab: “Adalah bacaan Beliau itu diberikan jarak yang panjang, kemudian dia membaca  Bismillahirrahmanirrahim, dengan memanjangkan Bismillah, memanjangkan Ar Rahman dan memanjangkan Ar Rahim. (juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi No. 2451, Ibnu Majah No. 4215)

–          Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Imam Abu Daud dalam Sunannya, Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, dan Imam Al Hakim dalam Al Mustadaraknya,  meriwayatkan: dari Ummu Salamah, dia berkata: “Bahwa Shalatnya RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam  membaca dengan diputus-putus; Bismillahirrahmanirrahim. Al Hamdulillahirabbil ‘alamin. Ar Rahmanirrahim. Malikiyaumiddin.”  (Imam Ad Daruquthni mengatakan: isnad hadits ini shahih)

–          Imam Asy Syafi’i dalam Musnadnya dan Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya meriwayatkan dari Anas Radhiallahu ‘Anhu; bahwa Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu shalat di Madinah dan dia tidak membaca Basmalah (mengecilkan suara), lalu orang Muhajirin yang hadir mengingkarinya, maka ketika dia shalat untuk kedua kalinya, maka dia membaca bismillah.”

–          Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya menyebutkan dari Nu’aim bin Al Majmar  katanya: Aku Shalat dibelakang Abu Hurairah, dia membaca Bismillahirrahmanirrahim kemudian membaca Ummul Kitab, hingga sampai Wa Ladhdhaallin, dia menjawab: Amin, dan manusia menjawab: Amin.” (HR. Ibnu Khuzaimah No. 499, Berkata Syaikh Al Abani: Al A’zhami berkata: sanadnya shahihseandainya Ibnu Abi Hilal tidak tercampur (hapalannya))

Demikianlah diantara dalil yang ada bagi kalangan yang mengatakan bahwa membaca Basmalah adalah dikeraskan. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah nampaknya memilih pendapat ini dengan menyebutnya sebagai: “hujjah yang mencukupi dan memuaskan.”  (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/118)

            Kelompok yang lain mengatakan bahwa membaca Basmalah TIDAK DIJAHARKAN. Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

وذهب آخرون إلى أنه لا يجهر بالبسملة في الصلاة، وهذا هو الثابت عن الخلفاء الأربعة وعبد الله بن مغفل، وطوائف من سلف التابعين والخلف، وهو مذهب أبي حنيفة، والثوري، وأحمد بن حنبل.

            “Pendapat kelompok yang lainnya adalah bahwa tidaklah mengeraskan Basmalah dalam shalat. Dan, ini telah pasti (tsabit) dari khalifah yang empat dan Abdullah bin Mughaffal, dan banyak kelompok dari  pendahulu tabi’in dan khalaf. Ini juga pendapat Abu Hanifah, Ats Tsauri, dan Ahmad bin Hambal.” (Ibid)

            Kelompok ini berdalil sebagai berikut:

–          Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman memulai bacaan dalam shalatnya dengan Alhamdulillahirabbil ‘alamin. (HR. Abu Daud No. 782. Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi DaudNo. 782)

–          Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Saya telah shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman, dan tak satu pun dari mereka yang mengeraskan bacaan Basmalah.”  (HR. An Nasa’i No. 907, Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 907. Juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 495)

–          Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Adalah shalatnya RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka memulainya dengan membaca: Al Hamdulillahirrabbil ‘alamin.” (HR. At Tirmidzi No. 246, katanya:hasan shahih. Syaikh Al Albani menyatakan shahih dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 246)

–          Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammemulai shalat dengan bertakbir lalu membaca: Alhamdulillahirabbil ‘Alamin.” (HR. Abu Daud No. 783, Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 783)

Demikianlah dalil-dalil bagi kelompok yang menyatakan bahwa membaca Basmalah tidak dikeraskan.

 Sementara Imam Malik berpendapat bahwa dalam shalat TIDAKLAH MEMBACA SAMA SEKALI bacaan Basmalah, baik keras (jahran) atau pelan (sirran). Beliau beralasan bahwa hadits-hadits di atas bukan menunjukkan sirr  (pélan), tetapi memang Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamtidak membaca Basmalah.  Alasan lainnya adalah:

–          Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah membaca Bismillahirrahmanirrahim, baik di awal dan di akhirnya. Yang seperti ini juga diriwayatkan dalam berbagai kitabSunan dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu.

 Tetapi, pendapat Imam Malik ini dianggap lemah, sebab dalam hadits-hadits di atas jelas sekali disebutkan kalimat: tak satu pun dari mereka yang mengeraskan bacaan Basmalah, artinya Basmalah tetaplah dibaca tetapi tidak keras. Ada pun hadits yang menyebutkan bahwa Nabi tidak membaca Basmalah, mesti ditakwil dan dikompromi dengan hadits lain,  yakni Beliau bukanlah tidak membaca tetapi   membacanya, hanya saja suaranya pelan seakan bagi pendengar tidak membacanya. Wallahu A’lam

Nah, dengan demikian ada dua pendapat yang kuat dan sama-sama ditopang oleh dalil-dalil yang shahih, yakni pendapat Pertama. membaca Basmalah secara keras. Pendapat kedua, membacanya secara pelan.

Kedua kelompok ini berdalil dengan hujjah yang sama-sama shahih, dan satu sama lain tidaklah dianggap merevisi (nasakh) yang lainnya, atau dianggap riwayat dhaif. Maka, pandangan yang paling seimbang adalah: Bahwa BENAR   Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengeraskan Basmalah sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih oleh sahabat yang melihat dan mendengarnya seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ummu Salamah, dan BENAR pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memelankan Basmalah sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih pula dari sahabat yang melihat dan mendengarnya seperti Anas bin Malik dan ‘Aisyah.

Inilah metode yang ditempuh oleh para ulama muhaqqiq (peneliti) seperti ‘Alim Rabbani Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah. Beliau berkata:

والإِنصاف الذي يرتضيه العالم المنصف، أنه صلى الله عليه وسلم جهر، وأسر، وقنت، وترك، وكان إسرارُه أكثَر من جهره، وتركه القنوتَ أكثر من فعله

“Pendapat yang bijak yang dibenarkan oleh para ulama yang objektif adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membaca secara keras dan pelan, pernah berqunut dan pernah meninggalkannya. Hanya saja memelankannya lebih banyak  dibanding mengeraskannya, dan meninggalkan qunut lebih banyak dibanding melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/272. Cet. 3. 1986M-1406H. Muasasah Ar Risalah. Beirut – Libanon)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

فهذه مآخذ الأئمة، رحمهم الله، في هذه المسألة وهي قريبة؛ لأنهم أجمعوا على صحة صلاة من جهر بالبسملة ومن أسر، ولله الحمد والمنة

Inilah jalannya para imam –Rahimahumullah- dalam masalah ini dan ini merupakan masalah yang bisa didekatkan, karena mereka sepakat bahwa sahnya shalat bagi yang mengeraskan dan memelankan. Walillahilhamd wa Minnah . (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/118)

Demikian pembahasan ini. Dari sini semoga kita bisa lebih arif dalam menyikapi bacaan  Basmalah ini. Membacanya, baik dikeraskan atau tidak, bukanlah bab permasalahan salah atau benar, sunah atau  bid’ah. tetapi, keduanya benar, hanya saja nabi lebih sering tidak mengeraskannya   Maka, tidak dibenarkan satu sama lain saling menyerang dan menyalahkan, apalagi sampai taraf menuduh sebagai pelaku bid’ah. Padahal duanya  merupakan perilaku nabi, sahabat tabi’in, dan imam kaum muslimin. Maka, jika kita berada di masjid yang biasa mengeraskan bacaan Basmalah, maka alangkah baik jika  kita mengikutinya -jika diminta menjadi imam- untuk menjaga persatuan hati dan menghilangkan kebencian. Begitu pula ditempat sebaliknya.  Inilah perilaku  ulama rabbani yang mendalam ilmunya yang sudah sepatutnya kita meneladaninya. Semoga bermanfaat.

Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Seputar Pernikahan

Assalamualaikum.. Ustadz. Maaf saya mau bertanya. Saya seorang janda dua anak dan sedang menuju tahap menikah insyaallah setelah lebaran. Apakah saya termasuk istri yang baik atau tidak dengan kondisi seperti itu ya pak ustad…??

Yang ingin saya tanyakan… Apakah boleh setelah menikah kami tidak bisa setiap hari bertemu dikarenakan saya bekerja didaerah Daan Mogot dan calon suami di Cikarang. Setelah didiskusikan calon suami saya sih menerima kondisi yang ada?

JAWABAN:

Wa ‘alaikumussalaam warahmatullah,

Sebelumnya, kami tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata betapa bahagianya hati-hati ini mendengar berita bahagia yang hadir dari Ibu Penanya. Semoga ini cara Allah Swt memasukkan ibu ke Surga-Nya bersama semakin sempurnanya Din Ibu, dan akan semakin terbuka lebarnya kesempatan untuk melakukan amal-amal shalih yang tidak bisa dilakukan kecuali setelah dengan ibadah pernikahan nantinya.

Sehubungan dengan pertanyaan Ibu, perlu kami sampaikan bahwa jawaban atas pertanyaan ini bukanlah boleh ataupun tidak boleh, karena tentunya saya meyakini bahwa realitas kehidupanlah yang membawa rencana pilihan Ibu sebagaimana ditanyakan. Namun begitu, tentunya sebagai seorang Muslim dan Muslimah yang sentiasa berusaha untuk Istiqomah, dan meraih ridho Ilahi dan Cinta-Nya yang tertinggi, kita akan selalu rindu untuk dapat melakukan amalan yang paling prioritas, bahkan kemudian beranjak kepada amalan unggulan.

Bagi seorang wanita, pernikahan sejatinya adalah Cara Allah untuk memuliakannya, dan memberikan kesempatan baginya untuk meningkatkan derajatnya, maqam-nya. Ibu dapat membaca tulisan saya di 2 (dua) link berikut ini:
Pernikahan, Cara Allah Swt Memuliakan Wanita (1): http://supraha.com/?p=414
Pernikahan, Cara Allah Swt Memuliakan Wanita (2 – Selesai): http://supraha.com/?p=421

Seorang Muslim/ah hendaknya jangan pernah merasa puas dan berhenti pada titik yang sudah dianggap nyaman. Ia harus terus bergerak membawa dirinya kepada kondisi yang jauh lebih baik, terutama karena keyakinannya yang utuh akan janji Allah Swt. Di antara janji Allah Swt adalah,

وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang sudah layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan menjadikan mereka kaya mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32).

Sifat Qana’ah akan ditambahkan kepada hamba-Nya yang selalu mendahulukan untuk meyakini janji-Nya. Terlebih ketika ia meyakini bahwa dirinya akan memiliki potensi untuk berdo’a tanpa adanya hijab, jika pernikahan yang diniatkannya itu betul-betul diniatkan untuk menjaga kesuciannya, sebagaimana sabda Nabi Saw.,

وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ
“… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An Nasai)

Tentunya kita memahami betapa besar kemuliaan dan balasan nan agung bagi seorang istri yang membangunkan suaminya di malam hari untuk tahajjud, menyiapkan sarapan untuknya, memberikan senyuman dan kecupan terbaik tuk melepasnya mencari rizqi Allah, bergandengan bersamanya ke majelis ilmu, berdiskusi bersamanya dalam membaguskan kualitas keturunan mereka, menjaga rumahnya, memanajemen seisi rumahnya, dan segudang kebaikan yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan nikmat pernikahan.

Sungguh esensi pernikahan adalah kebersamaan. Bersama menjaga diri dari fitnah dunia, bersama saling menguatkan dalam suka dan duka, bersama dalam menghiasi dan menutupi aib dan kelemahan. Maka rencanakanlah kebersamaan yang mendekati kesempurnaan itu, susunlah tahapan yang terukur dan jelas agar hadir kesempurnaan dalam kebersamaan. Semoga Allah Swt memudahkan langkah di atas seluruh rencana kehidupan yang telah kita adukan kepada-Nya semata.

Wassalam,
supraha.com

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Marah?! Tahan Lisan, Jangan Memaki !

Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.

Pernah dengar ada orang memaki saudara sesama muslim dengan panggilan buruk?

Seperti: ‘Hai bajingan!’, ‘Hai kaafir!’, ‘Hai Babi!’, ‘Hai Anjing ?’ Atau lainnya?  …………. Yuk kita lihat larangan keras dalam syariat Islam atas hal itu.

Allah ﷻ berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.

Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujurat: 11).

Para mufassir menerangkan tentang kalimat “walaa tanaabazuu bil alqaab” (dan jangan memanggil dengan gelar yang mengandung ejekan):

‘Ikrimah berkata: “Itu adalah perkataan seorang laki-laki kepada laki-laki lainnya wahai fasiq,   wahai kafir!”

Mujahid berkata: “Seorang laki-laki dipanggil dengan kekafiran padahal dia seorang muslim.”

Qatadah berkata: “Jangan kamu katakan kepada saudaramu seorang muslim kamu fasiq, kamu munafik, Allah melarang seorang muslim melakukan itu.”

Ibnu Zaid mengatakan: “Penamaan kepada seorang yang berbuat jelek yang sudah masuk Islam, wahai fasiq, wahai pezina.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya: “Seorang laki-laki melakukan perbuatan buruk, lalu dia bertaubat setelah itu, maka dilarang untuk mencelanya setelah dia bertaubat kesalahan yang telah lalu.” (Imam Ibnu Jarir, Jami’ul Bayan, 22/301)

Al Hasan berkata: “Orang Yahudi dan Nasrani yang sudah masuk Islam,  lalu mereka dipanggil setelah keislamannya: Wahai Yahudi! Wahai Nasrani! Maka hal itu dilarang.” ‘Atha berkata: “Itu adalah panggilan kepada saudaramu wahai anjing, wahai keledai, wahai babi!”  (Syaikh Faishal bin Abdil Aziz An Najdi, Tathriiz Riyadh Ash Shaalihin, Hal. 883).

Nabi ﷺ juga bersabda:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Memaki seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR. Bukhari No. 48)

Bentuk apa pun makian kepada seorang muslim adalah kefasikan, dan merupakan pembangkangan kepada Allah, RasulNya, dan lebih berat dari sekedar maksiat, seperti penjelasan Al Hafizh Ibnu Hajar berikut: “Sabdanya fusuuqun adalah al fisqu, secara bahasa artinya keluar. Secara syariat artinya keluar dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya, dan dalam definisi syariat hal itu itu lebih keras dari sekedar maksiat.” (Fathul Bari, 1/112).

Secara khusus, kita juga dilarang memaki dengan memanggil saudara kita dengan  menyebutkan nama hewan.

Ibrahim An Nakha’i berkata: “Dahulu mereka mengatakan: ‘Jika ada seorang laki-laki yang berkata kepada laki-laki lainnya: “Wahai keledai, wahai anjing,  wahai babi.” Maka Allah akan berkata kepadanya pada hari kiamat: “Apakah kau melihat Aku menciptakannya sebagai anjing? Atau keledai? Atau babi?” (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah, No. 26102. Semua perawinya terpercaya)

Dari Al ‘Ala bin Al Musayyib dari ayahnya, katanya: “Jangan kamu katakan kepada sahabatmu: ‘Wahai keledai, wahai anjing, wahai babi’. Sebab, akan dikatakan kepadamu pada hari kiamat nanti: ‘Apakah kau melihat aku menciptakannya sebagai anjing? Atau keledai? Atau babi?” (Ibid, No. 26100).

Maka, hindari caci maki dengan bahasa apa pun kepada saudara sesama muslim;  baik atasan kepada bawahan, suami kepada istri atau sebaliknya, orang tua kepada anak, seseorang kepada rekannya, dan sebagainya.

Semoga Allah ﷻ membimbing kita untuk tetap menjaga lisan dalam keadaan ridha dan marah. Amiin.

Wallahu A’lam…
         

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Berkata Yang Baik Atau Diam

Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.

Hadits

عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه :

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda

مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ : Barang siapa yang beriman kepada Allah
             
Yaitu siapa-siapa saja yang beriman dengan keimanan yang benar dan  sempurna kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
               
Berkata Syaikh Ismail  bin Muhammad Al  Anshari  Rahimahullah :

يؤمن : الإيمان الكامل المنجي من عذاب الله الموصل إلى رضاه. بالله : أنه الذي خلقه .
   
Yu’minu (mengimani): yaitu iman yang sempurna, yang dapat menyelamatkan dari azab Allah dan dapat menyampaikannya kepada ridhaNya.

Billahi (kepada Allah): yaitu bahwa Dialah yang menciptakannya. (Ar Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah Hadits No. 15)

وَاليَوْمِ الآخِرِ : dan hari akhir🔸
           
Yaitu beriman kepada hari kiamat dan semua kejadian setelahnya, seperti yaumul al ba’ts(hari dibangkitkan),  yaumul mahsyar (hari dikumpulkan di padang mahsyar), yaumul mizan (hari ditimbangnya amal), yaumul hisab (hari perhitungan amal), dan yaumul jaza (hari pembalasan).
               
Syaikh Ismail Al Anshari mengatakan:

 واليوم الآخر : أنه سيجازى فيه بعمله .
               
Dan hari akhir, yaitu   pada saat itulah amalnya akan diberikan balasan. (Ibid)
               
Sementara Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani  Rahimahullah meringkas sebagai berikut:

أَيْ مَنْ آمَنَ بِاَللَّهِ الَّذِي خَلَقَهُ وَآمَنَ بِأَنَّهُ سَيُجَازِيهِ بِعَمَلِهِ فَلْيَفْعَلْ الْخِصَال الْمَذْكُورَات .
             
 Yaitu barang siapa yang beriman kepada Allah yang telah menciptakannya dan beriman bahwa dia akan dibalas karena amalnya, maka kerjakanlah  perbuatan-perbuatan yang disebutkan. (Fathul Bari, 10/446)
 
خَيْرَاً  فَلْيَقُلْ  :
maka hendaknya dia berkata yang baik
           
Ini merupakan perintah (amr) yang menunjukkan kewajiban, sebab huruf lam di dalamnya berfungsi sebagai perintah dan himbauan (Lam lil amr). (lihat Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 168. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Oleh karenanya wajib bagi seorang mu’min untuk berkata yang baik-baik, jika tidak mampu berkata baik, maka wajib pula baginya diam.

Hal ini sesuai kaidah: Al Ashlu fil amri lil wujub (hukum dasar dari perintah menunjukkan kewajiban).
               
Syaikh Ismail Al Anshari juga menjelaskan:

هذه اللام لام الأمر ، ويجوز سكونها وكسرها لكونها بعد الفاء
               
Huruf lam di sini adalah lam berfungsi untuk perintah, boleh disukunkan dan dikasrahkan, karena posisinya setelah huruf fa. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, syarah No. 15)
               
Khairan (perkataan yang baik) banyak contohnya; seperti berkata jujur dan benar, berdzikir kepada Allah Ta’ala, amar ma’ruf nahi munkar, menyampaikan ilmu yang bermanfaat, dan semisalnya.

أَو لِيَصْمُتْ :
atau hendaknya dia diam
               
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

قَالَ أَهْل اللُّغَة : يُقَال : صَمَتَ يَصْمُت بِضَمِّ الْمِيم صَمْتًا وَصُمُوتًا وَصُمَاتًا أَيْ سَكَتَ
               
Ahli bahasa mengatakan: disebutkan; shamata – yashmutu dengan huruf mim yang didhammahkan, shamtan, shumuutan, shumaatan artinya diam. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/128)

Yakni ketika tidak mampu berkata yang baik. Bahkan perkataan yang tidak buruk namun tidak memiliki manfaat juga hendaknya dihindarikan, sebagai upaya membagus kualitas keislaman seseorang.
                Beliau Rahimahullah mengatakan dalam halaman lain:

وَفِيهِ : التَّصْرِيح بِأَنَّهُ يَنْبَغِي لَهُ الْإِمْسَاك عَنْ الْكَلَام الَّذِي لَيْسَ فِيهِ خَيْر وَلَا شَرّ ؛ لِأَنَّهُ مِمَّا لَا يَعْنِيه ، وَمِنْ حُسْن إِسْلَام الْمَرْء تَرْكه مَا لَا يَعْنِيه ، وَلِأَنَّهُ قَدْ يَنْجَرّ الْكَلَام الْمُبَاح إِلَى حَرَام . وَهَذَا مَوْجُود فِي الْعَادَة وَكَثِير
               
Pada hadits ini terdapat penjelasan agar dia menahan diri dari ucapan yang tidak ada kebaikan dan tidak juga buruk, karena hal itu termasuk hal yang tidak bermanfaat, dan di antara baiknya Islam seseorang adalah dia meninggalkan yang tidak bermanfaat, dan karena hal itu telah menggiring perkataan yang mubah menjadi haram. Hal ini biasa  dan banyak terjadi. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/163)
               
Faqihuzzaman Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin  Rahima hullah  mengatakan:

والمقصود بهذه الصيغة الحث والإغراء على قول الخير أوالسكوت كأنه قال: إن كنت تؤمن بالله واليوم الآخر فقل الخير أو اسكت.
               
Maksud dari bentuk kalimat ini adalah anjuran dan motivasi agar berkata yang baik atau diam, seakan Beliau bersabda: “jika kau beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ucapkanlah kebaikan atau diam!” (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 168)
               
Jika kita perhatikan, substansi dari kalimat ini adalah bimbingan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada umatnya untuk menjaga lisan.

Hadits-hadits seperti ini cukup banyak, di antaranya:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang Muslim adalah orang yang muslim lainnya selamat dari gangguan  lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari No. 11, Muslim No. 42, At Tirmidzi No. 2504, 2627,  Abu Daud No. 2481,  An Nasa’i No. 4995, Ibnu Hibban No. 196, 230, 399, Ahmad No. 6515, Ibnu Mandah dalam Al Iman No. 313, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam  Ash Shaghir No. 460, dan lainnya, dari berbagai sahabat nabi seperti Abu Hurairah, Abu Musa Al Asy’ari, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, Amir bin ‘Ubaid, Mu’adz bin Anas Al Juhni, Bilal bin Al Harits, Abdullah bin Amru)
               
Dari Amru bin ‘Anbasah  Radhiallahu ‘Anhu, bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Apakah Islam itu?” maka Beliau bersabda:

 أَنْ يُسْلِمَ قَلْبُكَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَنْ يَسْلَمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِكَ وَيَدِكَ
             
 Hendaknya kau mempasrahkan hatimu untuk Allah ‘Azza wa Jalla  dan menjaga muslim lainnya dari lisan dan tanganmu. (HR. Ahmad No. 17027, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih.

Imam Al Haitsami mengatakan: “semua rijalnya tsiqat.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/59)
               
Dari Abdullah bin Amru  Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ صَمَتَ نَجَا
           
Barang siapa yang diam maka dia telah selamat. (HR. At Tirmidzi No. 2501, Al Qudha’I dalam Musnad Asy Syihab No. 334, Ahmad No. 6481. Ibnu Abi Ad Dunya dalam Ash Shamtu wa Hifzhul Lisan No. 10. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan.  Lihat Tahqiq Musnad AhmadNo. 6481. Sementara Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No.  536. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “para perawinya tsiqat.” Lihat Fathul Bari, 11/309. Imam Al Mundziri menyandarkan hadits ini kepada Ath Thabarani, dan mengatakan:  “para perawinya tsiqat.” Lihat At Targhib,  3/536)
               
Dari Bara bin ‘Azib  Radhiallahu ‘Anhu, katanya: datang seorang Arab Badui yang menanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang amalan apa saja yang dapat memasukkanya ke dalam surga.

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  menyebutkan beberapa macam amal kebaikan, dan mengatakan:

فَإِنْ لَمْ تُطِقْ ذَلِكَ، فَكُفَّ لِسَانَكَ إِلَّا مِنَ الْخَيْرِ
               
Jika kau tidak mampu mengatakan itu, maka tahanlah lisanmu kecuali dari kebaikan.(HR. Ahmad No. 18647.

Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan:  shahih. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 69, Ath Thahawi dalam Syarh Musykilul Atsar No. 2744, Ibnu Hibban No. 374. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 2419. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 4335. Ibnul Mubarak dalam Al Bir wash Shilah No. 277, dan lain-lain)
               
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir  Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

قُلْت يَا رَسُول اللَّه مَا النَّجَاة ؟ قَالَ : أَمْسِكْ عَلَيْك لِسَانك
               
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?” Beliau bersabda: “Tahanlah olehmu lisanmu.” (HR. At Tirmidzi No. 2406, katanya: hasan. Syaikh Al Albani mengatakan:shahih lighairih. Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2741)

Namun jika mampu berbicara baik dan benar, bahkan dituntut untuk mengatakannya, maka bicaralah jangan diam.

Imam An Nawawi, mengutip dari Abul Qasim Al Qusyairi:

وَسَمِعْت أَبَا عَلِيّ الدَّقَّاقَ يَقُول : مَنْ سَكَتَ عَنْ الْحَقّ فَهُوَ شَيْطَان أَخْرَس .

Aku mendengar Abu ‘Ali Ad Daqaq berkata:
“Barang siapa yang diam dari kebenaran, maka dia adalah syetan bisu.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/128)

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah
         

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Ustadz Menjawab: Kedudukan "Bismillah" dalam Surat Al Fatihah

Ustadz Menjawab
Bismillah..
Izin bertanya ust..
1. Apakah kata “bismillah” merupakan bagian dr surat al fatihah, atau merupakan pembuka surat seperti surat lainnya
2. Dalam pembacaan ketika jd imam shalat berjamaah, apakah bismillah diucapkan keras atau pelan
Hatur nuhun..🙏
Jawaban:
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulilkah wa ba’d:
1. Bismillahirrahmanirrahim Termasuk Al Fatihah atau Bukan?
Terjadi perbedaan dalam hal ini:
- Ataukah dia termasuk bagian dari ayat pertama pada setiap surat ?
- Ataukah dia sebagai bagian dari AlFatihah tapi tidak bagi surat lainnya?
- Atau apakah dia adalah sebagai pembatas surat saja bukan ayat tersendiri?
- Apakah dia termasuk  AYAT TERPISAH yang ditulis di awal setiap surat.?
- Ataukah dia termasuk bagian dari surat dan ditulisnya di awal surat  sebagai ayat pertama?
Jika diringkas maka perbedaan ini menjadi tiga kelompok: 
Kelompok pertama, mereka mengatakan Basmalah merupakan bagian dari surat Al Fatihah dan semua surat lainnya, kecuali surat Al Bara’ah (At Taubah). Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Az Zubeir, Abu Hurairah dan Ali. Di kalangan tabi’in: Atha, Thawus, Mak-hul, Said bin Jubeir, Az Zuhri, dan ini juga pendapat Ibnul Mubarak, Asy Syafi’i, Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat darinya, Ishaq bin Rahawaih, dan Abdul Qasim bin Salam – Rahimahumullah.
Disebutkan  bahwa Imam Asy Syafi’i berpendapat pada sebagian  madzhabnyanya; bahwa Basmalah merupakan bagian dari Al Fatihah tapi bukan bagian surat lainnya. Dan diriwayatkan darinya pula bahwa Basmalah termasuk bagian dari sebagian surat dari keseluruhan surat yang ada. Imam Ibnu katsir mengatakan dua pendapat ini gharib (asing). (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/117)
Mereka beralasan dengan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
 كان النبي صلى الله عليه وسلم  لَا يَعْرِفُ فَصْلَ السُّورَةِ حَتَّى تَنَزَّلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ         
“Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah mengetahui batasan/pembagian surat , sampai turunlah  kepadanya: Bismillahirrahmanirrahim.” (HR.Abu Daud No. 788, Al Baihaqi dalamAs Sunannya No. 2206. Imam Ibnu Katsir mangatakan sanadnya shahih. Lihat Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/116. Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Syaikh Al Albani juga menyatakan shahih dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 788)
Dari sinilah kita bisa melihat bahwa Basmalah adalah bagian dari setiap surat –selain memang sebagai pembatas- kecuali pada surat Al Bara’ah. Masalah kenapa surat Al Bara’ah tidak menggunakan Basmalah, Insya Allah akan dibahas pada kesempatan lain.
Kelompok ini juga berdalil dengan riwayat Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الحمد لله رب العالمين سبع آيات: بسم الله الرحمن الرحيم إحداهن، وهي السبع المثاني والقرآن العظيم، وهي أم الكتاب
“Al Hamdulillahi Rabbil ‘alamin  (maksudnya: surat Al Fatihah) ada tujuh ayat:Bismillahirrahmanirrahim adalah salah satunya. Dia adalah tujuh ayat yang diulang-ulang, Al Quran yang agung, dan dia sebagai Ummul Kitab.”
Hadits ini juga diriwayatkan juga oleh Ad Daruquthni dari Abu Hurairah secara marfu’ , dan Beliau mengatakan: semuanya tsiqat (terpercaya). (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/103)
Hadits ini sangat jelas menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammemasukkan  Basmalah  sebagai bagian dari surat Al Fatihah. Maka, ini menjadi pendapat yang sangat kuat.
Kelompok kedua, mereka mengatakan bahwa Basmalah BUKAN bagian dari Al Fatihah dan bukan pula surat lainnya. Inilah pendapat dari  Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya.
Mereka beralasan bahwa hadits di atas hanya menyebutkan fungsi. Basmalah sebagai pembeda dan pemisah surat , bukan menyebutkan bahwa Basmalah adalah bagian dari setiap surat .
Alasan lainnya adalah, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:  “Aku membagi Ash Shalah (yakni surat Al Fatihah) menjadi dua bagian, dan untuk hambaKu sesuai apa yang dia inginkan.” Ketika hamba berkata Al Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin, maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: hamadani ‘abdiy -hambaKu telah memujiKu. Ketika hamba itu membaca Ar Rahmanirrahim, maka Allah ‘Azza wa Jallaberfirman: atsna ‘alayya ‘abdiy – hambaKu telah memujiKu. …. Dst. (HR. Muslim No. 395, At Tirmidzi No. 4027, Abu Daud No. 821, Ibnu Majah No. 3784, Ibnu Hibban No. 1784)
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak dibaca Basmalah  ketika membaca surat Al Fatihah. Ini menunjukkan bahwa Basmalah bukan bagian darinya.
Hal ini juga diperkuat dari kisah Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu. Beliau ditanya oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
كيف تقرأ إذا افتتحت  الصلاة؟ قال: فقرأت عليه: { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }
“Bagaimanakah bacaanmu  jika memulai shalat? Ubai menjawab: Aku membaca: Al Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin.”
Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah  mengomentari hadits ini:
“Abu Said di sini bukanlah Abu Said bin Al Mu’alli sebagaimana yang diyakini oleh Ibnul ‘Atsir dalam Al Jami’ Al Ushul, dan orang-orang yang mengikutinya. Sebab, Ibnul Mu’alli adalah seorang sahabat Anshar dan yang ini adalah seorang tabi’in dari Khuza’ah, oleh karena itu hadits ini adalah muttashil shahih (bersambung lagi shahih). Hadits ini secara zhahir munqathi’ (terputus), jika Abu Said ini tidaklah mendengarkannya dari Ubai bin Ka’ab, namun jika dia mendengarkannya dari Ubai maka ini sesuai syarat Muslim. Wallahu A’lam. “ (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/104)
Riwayat ini menunjukkan bahwa Basmalah tidaklah dibaca ketika membaca surat Al Fatihah dan ini menjadi dalil bahwa dia bukan bagian darinya.
Kelompok ketiga,  kelompok ini mengatakan Basmalah merupakan ayat tersendiri  dan terpisah dari semua surat , dia bukan bagian darinya. Inilah pendapat Daud Azh Zhahiri, diceritakan juga dari Imam Ahmad bin Hambal. Dan, Abu Bakar Ar Razi menceritakan dari Abul Hasan Al Karkhi dan keduanya merupakan pembesar madzhab Abu Hanifah. Perbedaan dengan kelompok kedua adalah kelompok ini menyebut Basmalah sebagai ayat yang tersendiri.
Demikian. Jika kita perhatikan maka pendapat kelompok pertama lebih kuat dan jelas argumennya. Wallahu A’lam
2. Ketika Shalat, Dikeraskan atau Pelankan?
Lalu, apa kaitannya pembahasan ini dengan pertanyaan ‘membaca basmalah di keraskan atau dipelankan?’  Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:
“Ada pun yang terkait dengan menjaharkan Basmalah, maka perinciannya adalah sebagai berikut: bagi yang berpendapat bahwa Basmalah BUKAN bagian dari surat Al Fatihah maka mereka tidak menjaharkan, begitu juga menurut pihak yang mengatakan Basmalah adalah termasuk bagian ayat awal darinya.  Ada pun bagi kelompok yang mengatakan bahwa Basmalah adalah termasuk  bagian dari surat-surat di bagian awalnya. Maka mereka berbeda pendapat dalam hal ini.
Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berpendapat bahwa Basmalah  DIJAHARKAN (dikeraskan), juga pada surat lainnya. Inilah pendapat banyak golongan dari sahabat tabi’in, para imam kaum  muslimin, baik salaf dan khalaf. Dari kalangan sahabat yang menjaharkan adalah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Muawiyah.  Ibnu Abdil Bar dan Al Baihaqi menceritakan bahwa ini juga  dilakukan Umar dan Ali. Sedangkan Al Khathib menukil dari khalifah yang empat yakni Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Tapi riwayat ini gharib (asing/menyendiri). Dari kalangan tabi’in adalah Said bin Jubeir, Ikrimah, Abu Qilabah, Az Zuhri, Ali bin Al Husein dan anaknya Muhammad, Said bin Al Musayyib, Atha, Thawus, Mujahid, Salim, Muhammad bin Ka’ab Al Qurzhi, Abu Bakar bin Amru bin Hazm, Abu Wail, Ibnu Sirin, Muhammad bin Al Munkadir,  Ali bin Abdullah bin Abbas dan anaknya Muhammad, Nafi’, Zaid bin Aslam, Umar bin Abdul Aziz, Al Azraq bin Qais, Habib bin Abi Tsabit, Abu Sya’ tsa’, Makhul, dan Abdullah bin Ma’qil bin Muqarrin.
Imam Al Baihaqi menambahkan: Abdullah bin Shafwan dan Muhammad bin Al Hanafiyah. Sementara Imam Ibnu Abdil Bar menambahkan: Amru bin Dinar. (Tafsir Al Quran Al Azhim, 1/117)
Demikianlah, sangat banyak para sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin yang berpendapat dikeraskannya membaca Basmalah ketika shalat. Dalil-dalil mereka adalah:
- Imam An Nasa’i dalam Sunannya, Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya masing-masing, Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya; dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa beliau shalat dan dia mengeraskan membaca Basmalah, lalu setelah shalat selesai, dia berkata: “Sesungguhnya saya menyerupakan untuk kalian shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Hadits ini dishahihkan oleh Ad Daruquthni, Al Khathib, Al Baihaqi, dan lainnya)
- Imam Al Hakim meriwayatkan dalam Al Mustadraknya,  dari Ibnu AbbasRadhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengeraskan membaca Bismillahirrahmanirrahim. (Katanya: hadits ini shahih)
- Imam Al Bukhari dalam Shahihnya, meriwayatkan bahwa Anas bin MalikRadhiallahu ‘Anhu ditanya tentang bacaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia menjawab: “Adalah bacaan Beliau itu diberikan jarak yang panjang, kemudian dia membaca  Bismillahirrahmanirrahim, dengan memanjangkan Bismillah, memanjangkan Ar Rahman dan memanjangkan Ar Rahim. (juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi No. 2451, Ibnu Majah No. 4215)
- Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Imam Abu Daud dalam Sunannya, Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, dan Imam Al Hakim dalam Al Mustadaraknya,  meriwayatkan: dari Ummu Salamah, dia berkata: “Bahwa Shalatnya RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam  membaca dengan diputus-putus; Bismillahirrahmanirrahim. Al Hamdulillahirabbil ‘alamin. Ar Rahmanirrahim. Malikiyaumiddin.”  (Imam Ad Daruquthni mengatakan: isnad hadits ini shahih)
- Imam Asy Syafi’i dalam Musnadnya dan Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya meriwayatkan dari Anas Radhiallahu ‘Anhu; bahwa Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu shalat di Madinah dan dia tidak membaca Basmalah (mengecilkan suara), lalu orang Muhajirin yang hadir mengingkarinya, maka ketika dia shalat untuk kedua kalinya, maka dia membaca bismillah.”
- Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya menyebutkan dari Nu’aim bin Al Majmar  katanya: Aku Shalat dibelakang Abu Hurairah, dia membaca Bismillahirrahmanirrahim kemudian membaca Ummul Kitab, hingga sampai Wa Ladhdhaallin, dia menjawab: Amin, dan manusia menjawab: Amin.” (HR. Ibnu Khuzaimah No. 499, Berkata Syaikh Al Abani: Al A’zhami berkata: sanadnya shahihseandainya Ibnu Abi Hilal tidak tercampur (hapalannya))
Demikianlah diantara dalil yang ada bagi kalangan yang mengatakan bahwa membaca Basmalah adalah dikeraskan. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah nampaknya memilih pendapat ini dengan menyebutnya sebagai: “hujjah yang mencukupi dan memuaskan.”  (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/118)
Kelompok yang lain mengatakan bahwa membaca Basmalah TIDAK DIJAHARKAN. Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:
وذهب آخرون إلى أنه لا يجهر بالبسملة في الصلاة، وهذا هو الثابت عن الخلفاء الأربعة وعبد الله بن مغفل، وطوائف من سلف التابعين والخلف، وهو مذهب أبي حنيفة، والثوري، وأحمد بن حنبل.
“Pendapat kelompok yang lainnya adalah bahwa tidaklah mengeraskan Basmalah dalam shalat. Dan, ini telah pasti (tsabit) dari khalifah yang empat dan Abdullah bin Mughaffal, dan banyak kelompok dari  pendahulu tabi’in dan khalaf. Ini juga pendapat Abu Hanifah, Ats Tsauri, dan Ahmad bin Hambal.” (Ibid)
Kelompok ini berdalil sebagai berikut:
- Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman memulai bacaan dalam shalatnya dengan Alhamdulillahirabbil ‘alamin. (HR. Abu Daud No. 782. Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi DaudNo. 782)
- Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Saya telah shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman, dan tak satu pun dari mereka yang mengeraskan bacaan Basmalah.”  (HR. An Nasa’i No. 907, Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 907. Juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 495)
- Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Adalah shalatnya RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka memulainya dengan membaca: Al Hamdulillahirrabbil ‘alamin.” (HR. At Tirmidzi No. 246, katanya:hasan shahih. Syaikh Al Albani menyatakan shahih dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 246)
- Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammemulai shalat dengan bertakbir lalu membaca: Alhamdulillahirabbil ‘Alamin.” (HR. Abu Daud No. 783, Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 783)
Demikianlah dalil-dalil bagi kelompok yang menyatakan bahwa membaca Basmalah tidak dikeraskan.
Sementara Imam Malik berpendapat bahwa dalam shalat TIDAKLAH MEMBACA SAMA SEKALI bacaan Basmalah, baik keras (jahran) atau pelan (sirran). Beliau beralasan bahwa hadits-hadits di atas bukan menunjukkan sirr  (pélan), tetapi memang Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamtidak membaca Basmalah.  Alasan lainnya adalah:
- Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah membaca Bismillahirrahmanirrahim, baik di awal dan di akhirnya. Yang seperti ini juga diriwayatkan dalam berbagai kitabSunan dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu.
Tetapi, pendapat Imam Malik ini dianggap lemah, sebab dalam hadits-hadits di atas jelas sekali disebutkan kalimat: tak satu pun dari mereka yang mengeraskan bacaan Basmalah, artinya Basmalah tetaplah dibaca tetapi tidak keras. Ada pun hadits yang menyebutkan bahwa Nabi tidak membaca Basmalah, mesti ditakwil dan dikompromi dengan hadits lain,  yakni Beliau bukanlah tidak membaca tetapi   membacanya, hanya saja suaranya pelan seakan bagi pendengar tidak membacanya. Wallahu A’lam
Nah, dengan demikian ada dua pendapat yang kuat dan sama-sama ditopang oleh dalil-dalil yang shahih, yakni pendapat Pertama. membaca Basmalah secara keras. Pendapat kedua, membacanya secara pelan.
Kedua kelompok ini berdalil dengan hujjah yang sama-sama shahih, dan satu sama lain tidaklah dianggap merevisi (nasakh) yang lainnya, atau dianggap riwayat dhaif. Maka, pandangan yang paling seimbang adalah: Bahwa BENAR   Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengeraskan Basmalah sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih oleh sahabat yang melihat dan mendengarnya seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ummu Salamah, dan BENAR pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memelankan Basmalah sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih pula dari sahabat yang melihat dan mendengarnya seperti Anas bin Malik dan ‘Aisyah.
Inilah metode yang ditempuh oleh para ulama muhaqqiq (peneliti) seperti ‘Alim Rabbani Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah. Beliau berkata:
والإِنصاف الذي يرتضيه العالم المنصف، أنه صلى الله عليه وسلم جهر، وأسر، وقنت، وترك، وكان إسرارُه أكثَر من جهره، وتركه القنوتَ أكثر من فعله
“Pendapat yang bijak yang dibenarkan oleh para ulama yang objektif adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membaca secara keras dan pelan, pernah berqunut dan pernah meninggalkannya. Hanya saja memelankannya lebih banyak  dibanding mengeraskannya, dan meninggalkan qunut lebih banyak dibanding melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/272. Cet. 3. 1986M-1406H. Muasasah Ar Risalah. Beirut – Libanon)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
فهذه مآخذ الأئمة، رحمهم الله، في هذه المسألة وهي قريبة؛ لأنهم أجمعوا على صحة صلاة من جهر بالبسملة ومن أسر، ولله الحمد والمنة
Inilah jalannya para imam –Rahimahumullah- dalam masalah ini dan ini merupakan masalah yang bisa didekatkan, karena mereka sepakat bahwa sahnya shalat bagi yang mengeraskan dan memelankan. Walillahilhamd wa Minnah . (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/118)
Demikian pembahasan ini. Dari sini semoga kita bisa lebih arif dalam menyikapi bacaan  Basmalah ini. Membacanya, baik dikeraskan atau tidak, bukanlah bab permasalahan salah atau benar, sunah atau  bid’ah. tetapi, keduanya benar, hanya saja nabi lebih sering tidak mengeraskannya   Maka, tidak dibenarkan satu sama lain saling menyerang dan menyalahkan, apalagi sampai taraf menuduh sebagai pelaku bid’ah. Padahal duanya  merupakan perilaku nabi, sahabat tabi’in, dan imam kaum muslimin. Maka, jika kita berada di masjid yang biasa mengeraskan bacaan Basmalah, maka alangkah baik jika  kita mengikutinya -jika diminta menjadi imam- untuk menjaga persatuan hati dan menghilangkan kebencian. Begitu pula ditempat sebaliknya.  Inilah perilaku  ulama rabbani yang mendalam ilmunya yang sudah sepatutnya kita meneladaninya. Semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam
Dipersembahkan Oleh
Majelis Iman Islam
www.iman-islam.com

Ustadz Menjawab: Bagaimana Hukumnya Jika Menjenguk Teman Perempuan yang bukan Muhrimnya

👳🏻 Ustadz Menjawab
Oleh : Ustadz Farid Nu’man
Assalamu alaikum.. Saya mau bertanya Ustadz, bagaimana hukumnya kalau ada teman perempuan yg sakit dan mau di jenguk di rumah/kosannya ? Syukran
-01
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Jawaban:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah .., bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ba’d:
Wanita   dibolehkan menjenguk laki-laki yang sedang sakit atau kebalikannya. Hal ini tertera tegas dalam kitab Shahih-nya Imam Al Bukhari dalam Bab “Iyadatun Nisaa Ar Rijaal” yang artinya wanita menjenguk kaum laki-laki. Tertera di sana:
وَعَادَتْ أُمُّ الدَّرْدَاءِ، رَجُلًا مِنْ أَهْلِ المَسْجِدِ، مِنَ الأَنْصَارِ
Ummu Ad Darda menjenguk seorang laki-laki ahli masjid dari kalangan Anshar. (HR. Al Bukhari, 7/116)
Begitu pula ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, Beliau menjenguk ayahnya dan Bilal bin Rabah Radhiallahu ‘Anhu yang sedang demam.
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ، وُعِكَ أَبُو بَكْرٍ وَبِلاَلٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَتْ: فَدَخَلْتُ عَلَيْهِمَا، قُلْتُ: يَا أَبَتِ كَيْفَ تَجِدُكَ؟ وَيَا بِلاَلُ كَيْفَ تَجِدُكَ؟
Ketika Rasulullah ﷺ sampai di Madinah, Abu Bakar dan Bilal mengalami demam. Lalu aku masuk menemui keduanya. Aku berkata: “Wahai ayah, bagaimana keadaanmu? Wahai Bilal bagaimana keadaanmu?” (HR. Al Bukhari No. 5654)
Namun, pembolehan ini terikat oleh syarat bahwa tetap menutup aurat secara sempurna dan aman dari fitnah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/118).
Syarat ini mesti ditambah yakni tidak tabarruj dan tidak khalwat (berdua-duaan), alias mesti ditemani oleh mahramnya atau orang lain yang bisa dipercaya.
Wallahu A’lam
FN
Dipersembahkan oleh
Majelis Iman Islam
www.iman-islam.com

Air di Bak Mandi Termasuk Air Me/ggenang?

Assalamu’alaikum.. Ustadzah. Saya mau tanya, Air yang menggenang apa termasuk air yang berada di bak mandi ya?

Seberapapun jumlah airnya tetap suci jika diambilnya menggunakan gayung ya?

Bila terkena najis,sementara baknya ukurannya besar bagaimana?

[Manis_A30]000
—————
JAWABAN:

Iya. Seperti air kolam renang. Ada juga kamar mandi yang ada bak rendam..seperti itu juga air tergenang. Kalau mau mandi di bak rendam, bersihkan hadasnya dulu.

Iya. Tidak ada batasnya asal tidak terkena najis. Asal tidak berubah warnanya, terbau najisnya, dan rasanya.

Bila ada 3 perubahan akibat najis airnya jadi mutanajis, tidak bisa untuk bersuci tapi boleh untuk mencuci, mengepel dll.

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com