LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender)

0
129

Pemateri: Dr. Wido Supraha (wido@supraha.com)

LGBT mulai ramai digunakan sekitar tahun 90-an di media-media Amerika untuk menggantikan istilah Gay untuk dapat meliputi cakupan penyimpangan seksual yang lebih luas.

Keberanian untuk membuka pembicaraan tentang hal yang tabu ini telah ditemukan dimulai sekitar tahun 50 atau 60-an dengan mengganti istilah homoseksual dengan homophile, kemudian dirubah menjadi gay di tahun 70-an. Terdapat istilah lain tapi tidak terlalu populer seperti sexual minority.

Komunitas dengan gejala penyakit kejiwaan ini, kemudian mengkonsolidasikan kekuatan mereka, sekaligus memanfaatkan berbagai celah di banyak negara, khususnya negara-negara yang telah melepaskan agama sebagai ruh negara dan politik, untuk menampilkan diri mereka di tengah alam kebebasan yang kebablasan.

Lahirlah kemudian beragam syubhat, pemikiran-pemikiran baru yang mencoba untuk semakin menguatkan eksistensi mereka, sekaligus mendorong tingkat penerimaan masyarakat religius sekalipun khususnya masyarakat yang tidak memprioritaskan ilmu dalam kehidupan mereka. Namun benarkah syubhat tersebut?

Mari kita kumpulkan sebagian di antara syubhat mereka tersebut, dan kita coba menjawabnya bersama-sama.

Nabi Luth a.s. tidak pernah berdakwah kepada kaum LGBT, dan bahkan kaum Nabi Luth a.s. bukanlah kaum LGBT

Al-Qur’an menggunakan bahasa yang sangat tinggi untuk menggambarkan betapa bejatnya kebiasaaan kaum nabi Luth bin Haran bin Azar a.s., putra dari saudara laki-laki Nabi Ibrahim a.s., sang Kekasih Allah itu. Telah hilang dari jiwa mereka rasa ketertarikan kepada wanita dikarenakan kebiasaan mereka mengikuti hawa nafsu syaithan dalam mencintai sesama jenis.

Bahkan kemudian, tamu Nabi Luth a.s. yang tentunya sangat layak untuk dihormati, tidak kurang menjadi target yang paling menarik bagi mereka. Inilah diantara yang dapat dipahami ketika Allah Swt berfirman,

وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ

“Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” (QS. Huud: 78)

Sebagai seorang Nabi, Luth a.s. telah berdakwah dengan berbagai upaya untuk mengobat penyakit yang diderita akal mereka. Ia mengingatkan sentiasa agar umatnya bertaubat, khususnya dari perilaku LGBT. Ini pemahaman yang jelas ketika Allah Swt berfirman,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ، إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al A’raf: 80-81)

Bahkan kemudian Allah Swt menguatkan ayat tersebut dengan firman-Nya,

أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ , وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ

“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Asy Syu’ara: 165-166)

Dalam setiap rencana strategis dakwah Nabi Luth a.s. selalu telah diketahui terlebih dahulu oleh lingkungan eksternal, hal ini karena pengkhianatan isterinya, sebuah pengkhianatan ideologis. Namun kita melihat bahwa LGBT tidak pernah ditoleransi oleh Nabi Luth a.s., tapi selalu dicarikan solusi penyembuhannya.

LGBT adalah karunia dari Tuhan

Faktanya hingga hari ini, seluruh penelitian tidak mampu membuktikan teori tersebut. Peneliti pertama yang memperkenalkan adanya gen gay adalah Magnus Hirscheld dari Jerman (1899), berikutnya ada Dr. Michael Bailey dan Dr. Richard Pillard di tahun 1991, dan dilanjutkan oleh Dean Hamer (seorang gay) di tahun 1993. Berbekal penelitian Dean Hamer, Prof. George Rice (Universitas Western Ontarion, Kanada) kembali riset di tahun 1999, dan Prof. Alan Sanders (Universitas Chicago) diketahui juga meneliti masalah gay di tahun 1998-1999, dan tidak menemukan apapun.

Lihat : trueorigin.org/gaygene01.php

“Kami menerima bahwa lingkungan mempunyai peranan membentuk orientasi seksual … Homoseksualitas secara murni bukan karena genetika. Faktor-faktor lingkungan berperan. Tidak ada satu gen yang berkuasa yang menyebabkan seseorang menjadi gay … kita tidak akan dapat memprediksi siapa yang akan menjadi gay.”

“Silsilah keluarga gagal menghasilkan apa yang kami harap temukan yaitu sebuah hukum warisan Mendelian yang sederhana. Faktanya, kami tidak pernah menemukan dalam sebuah keluarga bahwa homoseksualitas didistribusikan dalam rumus yang jelas seperti observasi Mendel dalam tumbuhan kacangnya.” (Dean Hamer. Mengenal pemikiran beliau dapat klik: https://www.youtube.com/watch?v=qJVkOKslXnQ)

Pencarian sebuah gen gay bukan suatu usaha pencarian yang bermanfaat. Saya tidak berpikir ada gen tunggal yang memerintah perilaku manusia yang sangat kompleks.

Ada berbagai komponen genetik dalam semua yang kita lakukan, dan adalah suatu kebodohan untuk menyatakan gen-gen tidak terlibat. Tapi saya tidak berpikir gen-gen itu menentukan.” (Ruth Hubbard, pengurus “The Council for Responsible Genetics”, penulis buku “Exploding the Gene Myth”).
Saksikan wawancara bersama Ruth Hubbard di http://gender.eserver.org/exploding-the-gene-myth.html)

American Psychiatric Association (APA) menerbitkan buku panduan psikologi berjudul Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders” (DSM). Di Indonesia, ada buku saku yang merupakan rangkuman singkat DSM bernama (Pedoman Penggolongan & Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ). Namun 5 (lima) dari 7 (tujuh) orang tim pembuat DSM adalah homo dan lesbian. Anggota task force APA terdiri dari Judith M Glassgold Psy. D sebagai ketua (Lesbian), Jack Dreschers MD (Homoseksual), A. Lee Beckstead Ph.D (Homoseksual), Beverly Grerne merupakan Lesbian, Robbin Lin Miler Ph.D (Bisexual), Roger L Worthington (Normal) tapi pernah mendapat “Catalist Award” dari LGBT Resource Centre, dan Clinton Anderson Ph.D (Homoseksual). (Lihat Rita Soebagyo dalam wawancara dengan Hidayatullah Online.)

Kecenderungan LGBT juga perlu diwaspadai dari pemilihan faktor makanan dengan banyak 3P (Pewarna, Pengawet dan Perasa) dan diperburuk semakin banyaknya radikal bebas seperti Polusi Udara dan Asap Rokok. Hal ini di antara yang memicu lahirnya penyakit degeneratif, maka kita menyaksikan adanya pria di usia 40 tahun yang telah memiliki anak dan istri kemudian diketahui bersifat transgender.

Gay bukan penyakit menular

66% faktor lingkungan sangat mempengaruhi jiwa seseorang menjadi Gay (Pandangan NiklasLangstrom, seorang Professor di Karolinska institutet, Senior Researcher, Correctional Services, Twitter: @NiklasLangstrom)

Para pendukung gay kemudian mencoba menularkan mereka dengan ragam aktifitas. Di dunia pendidikan, mereka mendorong konsep baru yakni bahwa orang tua harus memposisikan dirinya sebagai fasilitator bagi anak sejak kecil dalam menentukan pilihan gendernya, dan agama tidak boleh berperan mengintervensi.

Maka kemudian jangan terkejut jika ada seorang anak yang telah tertular pemikiran ini dengan tanpa berdosa berbicara di depan publik bahwa gender adalah anugerah dari Tuhan dan tidak boleh ada yang mengecam mereka yang berbeda gender.

Pakar Kedokteran Jiwa, Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater menyebutkan bahwa suara-suara yang menghalalkan perkawinan sejenis (homoseksual dan lesbian) sebenarnya lebih bersumber dari jiwa yang sakit, emosi yang tidak stabil dan nalar yang sakit.

Penyakit homo/lesbi ini bisa diobati. Kasus homoseksual tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui proses perkembangan psikoseksual seseorang, terutama faktor pendidikan keluarga di rumah dan pergaulan sosial.

Homoseksual dapat dicegah dan diubah orientasi seksualnya, sehingga seorang yang semula homoseksual dapat hidup wajar lagi (heteroseksual). (Dadang Hawari, Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual)

Sebagian dokter banyak menceritakan pengalaman mereka. Misalkan bagaimana seorang penderita gay baru datang ke dokter ketika duburnya sudah rusak. Ia kemudian tidak jadi berobat setelah melihat sendiri bagaimana tingkat kerusakan duburnya yang sangat parah.

Sebagian gay mungkin baru tersadarkan setelah nasi menjadi bubur, bahwa ternyata para pendukung LGBT tidak akan membersamai mereka di saat kondisi mereka semakin kritis.

Ketika para dokter dan perawat pun sangat berhati-hati memegang tubuh mereka yang mengidap banyak penyakit menjijikan, namun pada saat itu, hanya orang tua merekalah yang penuh ikhlas merawat mereka, meski sebelumnya merekalah orang tua yang paling keras mengecam perilaku anaknya.

Gay tidak bisa disembuhkan karena bukan penyakit

Sebagian psikiatri ketika merewind masa kecil seorang pengidap gay, menemukan bahwa kebanyakan biseksual memiliki trauma masa kecil dengan ibu atau bapaknya, sehingga ia lebih nyaman berbicara dengan selain orang tuanya.

Seorang anak yang tumbuh dengan kecenderungan ‘melambai’, mungkin karena ia dibesarkan di lingkungan dengan jumlah wanita lebih banyak (keluarga dekat atau teman sekolah), berpotensi akan terus menguat jika orang tua dan lingkungannya tidak segera meluruskan perilakunya atau pilihan-pilihan hidupnya.

Misalkan ketika seorang anak laki-laki lebih memilih penjepit rambut dan boneka, maka orang tua harus segera memberikan alternatif atas pilihannya.

Dalam hal ini peran ayah tidak boleh hilang. Sebagus apapun seorang ibu menceritakan kisah kepahlawanan pria, tidak akan sama jika ayah yang menceritakan dan meneladankannya.

Seorang anak yang terbiasa menonton media massa akan perilaku pria-pria yang sengaja ‘melambai’ dan tidak didampingi orang tuanya berpotensi untuk meniru, atau minimal menjadi sosok yang menerima keadaan.

Maka orang tua harus selalu menemani dan memberikan pelajaran positif bagi anaknya agar tetap tegas dalam kelelakiannya dan memandang bahwa apa yang disaksikannya adalah bentuk penyimpangan kejiwaan. Yang patut disayangkan film kartun Ipin dan Upin pun masih terdapat tokoh Bang Saleh yang dapat mengganggu perkembangan identitas anak.

Dalam konteks tumbuh kembang anak, terapi terhadap orang tua jauh lebih penting agar dapat lebih optimal membersamai anak-anaknya, sehingga wabah penyakit tidak keburu menjadi kronis dan sulit disembuhkan.

Sebagai penutup, mari kita cegah berkembangnya pemikiran dan nafsu LGBT minimal melalui cara berikut ini:

1.  Meningkatkan peran dan kualitas orang tua

2. Menguatkan pendidikan agama

3. Memperhatikan asupan makanan

4. Memperhatikan lingkungan pendukung

5. Memperhatikan bahaya informasi media

Wallahu A’lam.

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here