SHOLAT SYURUQ

Ustadz Menjawab
Rabu, 02 November 2016
Ustadz Farid Nu’man

Assalamualaykum…
Sholat syuruq itu apa harus di Masjid? Di rumah Boleh apa tidak? Dan definition tdk Boleh beranjak itu apa mulai selesai sholat subuh, diam di tempat dia sholat? Kalau misalnya ingin BAK/BAB bgm?
Satu lagi, mana yg lbh afdol, selesai sholat wajib langsung rawatib ba’diyah atau berdzikir berdoa dulu baru rawatib ba’diyah. 🅰1⃣3⃣
Syukron

Jawaban
——-

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Silahkan membuka web ini untuk menemukan jawaban.

http://www.iman-islam.com/2015/11/shalat-isyraq.html?m=1

Wallahu a’lam.

Rambu-Rambu Bagi Yang Ikut Serta Dalam Muzhaharah Saliimah (Aksi Damai) 4 Nov 2016

Rabu, 2 Shafar 1438H / 2 Nopember 2016

MUAMALAH

Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan

1. Luruskan niat untuk mencari ridha Allah, bukan untuk pujian dan obsesi pribadi-duniawi.

2. Pasang wajah yang menarik, senyum, sapa dan salam kepada saudara seperjuangan, wartawan, dan kepada pihak keamanan.

3. Berkata-kata yang baik tanpa mengurangi ketegasan, dan hindari kata-kata kotor, caci maki, sumpah serapah kepada siapa pun.

4. Tertib di jalan dan di tempat aksi, serta memberikan hak pengguna jalan lainnya.

5. Tidak merusak fasilitas umum, pepohonan, pedagang kaki lima, dan milik orang lain.

6. Tetap menjaga kebersihan dengan membawa kantong sampah kresek sendiri dan membuang pada tempatnya.

7. Tidak terpancing oleh ajakan-ajakan negatif, seperti menyerang polisi, merubuhkan pohon, pemarka jalan, dan lainnya, yang datangnya dari peserta aksi damai lainnya, yang dimungkinkan sebagai provokasi dari pihak yang ingin merusak jalannya aksi damai.

8. Tetap ikuti korlap dan komanda acara, Insya Allah tidak akan mudah terprovokasi.

9. Siapkan fisik yang prima, bawa makanan dan minuman yang cukup.

10. Tetap jaga wudhu untuk shalat,  menjaga kemungkinan sulitnya air wudhu karena banyaknya peserta aksi.

11. Akhiri aksi damai dengan kebaikan, tidak lupa mendoakan kebaikan kepada pemimpin negara agar Allah memberikan petunjuk kepadanya, serta doa untuk para ulama, guru, kiayi, habaib, mujahidin, du’at, aktifis Islam, secara khusus Indonesia .. dan umumnya bagi seluruh kaum muslimin di dunia.

12. Lalu bertawakal kepada Allah Ta’ala atas hasil usaha dari Aksi Damai ini.

13. Membubarkan diri dengan tertib dan meninggalkan tempat aksi dalam keadaan bersih dan rapi; sehingga Aksi ini mendapatkan kesan positif bagi masyarakat dan semoga  mendapatkan ridha Allah Ta’ala.

Wallahu A’lam

Belajar Agama Itu Mesti Jelas Rujukannya

📆 Selasa, 1 Shafar 1438H / 1 November 2016

📚 *HADITS DAN FIQIH*

📝 Pemateri: *Ustadz Farid Nu’man Hasan.S.S.*

Era medsos membuat mudah mendapatkan sumber informasi, begitu pula tentang konten-konten keislaman. Ini bagus. Tp, negatifnya adalah kesadaran untuk mengetahui sumber sering diabaikan. Dapat info langaung BC, dpt ilmu langsung share, padahal tidak ada sandarannya (baca: sanad). Ini jd bahaya, sebab ada dusta dan kepalsusan didalamnya.

Oleh karena itu para ulama memberikan nasihat, di antaranya Imam Abdullah bin Al Mubarak Rahimahullah:

الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء

📌Isnad (sandaran) itu bagian dari agama, seandainya bukan karena isnad niscaya manusia akan sembarangan dan senaknya berbicara. (Shahih Muslim bisyarhi An Nawawi, 1/77)

Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah berkata:

  الإسناد سلاح المؤمن، فإذا لم يكن معه سلاح فبأي شيء يقاتل

📌Isnad itu senjata bagi seorang mu’min, jika dia tidak memiliki senjata maka dengan apa dia berperang? (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 1/27)

📖 *Membaca buku sudah cukup?*

Pada dasarnya berjumpa dan bermajelis dengan guru itulah yang utama. Hal ini bisa diperoleh di pesantren, berkunjung ke rumah guru, atau hadir dalam ta’lim para guru. Sehingga terjadi kesinambungan ilmu dari syaikh ke muridnya.

Zaman ini, ketika kesibukan duniawi manusia luar biasa, lonjakan penduduk juga sangat tinggi, sementara mereka ingin belajar agama untuk bekal hidupnya, apakah hanya membaca buku saja sudah cukup tanpa adanya guru? Sebagian ulama memang melarang seperti itu, seperti Imam Asy Syafi’i, Sulaiman bin Musa, dll, sebab  khawatir adanya ketergelinciran pemahaman, tanpa guru dia sulit membedakan mana haq dan batil.

Tapi, tidak semua ulama menyetujui itu. Sebagian lain mengatakan boleh saja, asalkan buku yang ditelaahnya adalah karya ulama yang mautsuq (bisa dipercaya).

Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah berkata:

أما الاعتماد على كتب الفقه الصحيحة الموثوق بها فقد اتفق العلماء في هذا العصر على جواز الاعتماد عليها والاستناد إليها لأن الثقة قد حصلت بها كما تحصل بالرواية ولذلك اعتمد الناس على الكتب المشهورة في النحو واللغة والطب وسائر العلوم لحصول الثقة بها وبعد التدليس

📌Ada pun berpegang kepada buku-buku fiqih yang shahih dan terpercaya, maka para ulama zaman ini sepakat atas kebolehan bersandar kepadanya. Sebab, seorang yang bisa dipercaya sudah cukup mencapai tujuan sebagaimana tujuan pada periwayatan. Oleh karena itu, manusia yang bersandar pada buku-buku terkenal baik nahwu, bahasa, kedokteran, atau disiplin ilmu lainnya, sudah cukup untuk mendapatkan posisi “tsiqah/bisa dipercaya” dan jauh dari kesamaran.
(Imam As Suyuthi, Asybah wa Nazhair, Hal. 310. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Beirut)

Tapi, hal ini tidak berlaku bagi para qari Al Quran, sebab khusus itu mesti talaqqi kepada guru.

Maka dikatakan:

فعلى قارئ القرآن ان يأخذ قرائته على طريق التلقّى و الإسناد عن الشيوخ الآخذين عن شيوخهم كى يصل الى تأكد من أن تلاوته تطابق ما جاء عن رسول الله صلى الله عليه و سلم

📌Wajib bagi qari untuk mengambil bacaan Al Qurannya dengan metode talaqqi, dan mengambil sanad dari para guru yang juga mengambil dari guru-guru mereka agar terjadi kesinambungan bacaannya dan sebagai pemastian bahwa bacaannya sesuai dengan apa yang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Haqqut Tilawah, Hal. 46)

Demikian. Wallahu A’lam

Wudhu Pakai Air Hangat, Bolehkah?

Senin, 30 Muharram 1438H / 31 Oktober 2016

FIKIH DAN HADITS

Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan

Sebagian ulama ada yang memakruhkan berudhu dengan air hangat, berdasarkan hadits-hadits larangan berwudhu dengan air musyammas (air hangat karena panas matahari).

Dari Muhammad bin Al Fath, dari Muhammad bin Al Husein Al Bazaz, dari Amru bin Muhammad Al A’syam, dari Falih, dari Az Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:

نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يتوضأ بالماء المشمس أو يغتسل به وقال إنه يورث البرص

Rasulullah ﷺ melarang berwudhu atau mandi dengan air hangat karena terik matahari. Beliau mengatakan: itu dapat menyebabkan kusta. (HR. Ad Daruquthni, 1/38)

Hadits ini dhaif. Berkata Ad Daruqthni:
“Amru bin Muhammad Al A’syam itu munkar haditsnya, tidak ada yang meriwayatkan dari Falih kecuali dirinya. Dan tidak shahih dari Az Zuhri.”  (Ibid)

Sehingga lemahnya hadits ini tidak cukup baginya untuk dijadikan acuan utama.
Jadi, wajar jika umumnya ulama membolehkannya untuk beruwdhu, baik hangat karena matahari atau direbus baik dengan api unggun atau listri.

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berkata:

ولا أكره الماء المشمس إلا أن يكره من جهة الطب

Aku tidak memakruhkan air musyammas (air hangat karena terik matahari), melainkan makruhnya itu dari sisi kedokteran saja.
(Ma’rifatus Sunan,23/507)

Imam Ali Al Qari Rahimahullah menjelaskan:

واعلم أن استعمال الماء المشمس مكروه على الأصح من مذهب الشافعي والمختار عند متأخري أصحابه عدم كراهيته وهو مذهب الأئمة الثلاثة والماء المسخن غير مكروه بالإتفاق

Ketahuilah, bahwa menggunakan air musyammas itu makruh menurut yang shahih dari madzhab Syafi’i, namun yang dipilih oleh Syafi’iyah generasi belakangan adalah tidak makruh, dan itulah pendapat para imam yang tiga (Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad). Ada pun air rebusan TIDAKLAH MAKRUH menurut kesepakatan ulama. (Mirqah Al Mafatih, 2/422)

Sedangkan bertayamum karena air sangat dingin, dan dengan itu dia khawatir atas kesehatan dirinya,  juga tidak apa-apa. Syaikh Abu Bakar Al Jazairi Rahimahullah mengatakan:

Jika air sangat dingin dan tidak api yang bisa memanaskannya, dan dia yakin bisa sakit jika menggunakan air dingin tersebut, maka dia bisa bertayamum dan shalat dengannya, itu tidak apa-apa. Sebab Abu Daud meriwayatkan dengan sanadyang jayyid, bahwa Nabi ﷺ menyetujui Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu  melakukan itu. ( Minhajul Muslim, Hal. 141, Cat kaki No. 4. Maktabah Al ‘Ulum wa Hikam. Madinah)

Wallahu A’lam

Meraih Kemuliaan Dengan Iman dan Ilmu

Kamis, 26 Muharam 1438 H/27 Oktober 2016

Ibadah

Ustadz Farid Nu’man Hasan

============================

Allah Ta’ala berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Kandungan ayat ini:

• Allah Ta’ala meninggikan derajat orang beriman dan berilmu dengan banyak tingkatan dibanding yang tidak beriman dan berilmu.

• Iman saja tanpa ilmu akan mudah diperdayai, bahkan beriman tapi sedikit daya guna.

• Berilmu tapi tanpa iman, membuatnya tidak bermanfaat, bahkan ketiadaan iman membuat ilmunya bisa membawa petaka bagi diri dan orang lain.

Imam Al-Qurthubi Rahimahullah menjelaskan:

أَيْ فِي الثَّوَابِ فِي الْآخِرَةِ وَفِي الْكَرَامَةِ فِي الدُّنْيَا، فَيَرْفَعُ الْمُؤْمِنَ عَلَى مَنْ لَيْسَ بِمُؤْمِنٍ وَالْعَالِمَ عَلَى مَنْ لَيْسَ بِعَالِمٍ. وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: مَدَحَ اللَّهُ الْعُلَمَاءَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ. وَالْمَعْنَى أَنَّه ُيَرْفَعُ اللَّهُ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ عَلَى الَّذِين َآمَنُوا وَلَمْ يُؤْتَوُا الْعِلْمَ (دَرَجاتٍ) أَيْ دَرَجَاتٍ فِي دِينِهِمْ إِذَا فَعَلُوا مَا أُمِرُوا بِهِ.

“Yaitu ketinggian balasan yang diperolehnya di kehidupan akhirat, dan ketinggian karamah (kemuliaan) di dunia. Maka, Allah meninggikan orang beriman di atas yang tidak beriman, dan meninggikan orang berilmu di atas yang tidak  berilmu.

Ibnu Mas’ud berkata: “Allah memuji para ulama dalam ayat ini.”

Dalam ayat ini Allah meninggikan orang yang diberikan ilmu di atas orang beriman yang tidak diberikan ilmu.

(Banyak derajat) yaitu derajat dalam agama mereka jika mereka menjalankan apa-apa  yang diperintahkan.”

• Imam Al-Qurthubi, Jami’ Lil Ahkam Al-Qur’an, 17/299

LAKI LAKI BERDANDAN

Ustadz Menjawab
Kamis, 27 Oktober 2016
Ustadz Farid Nu’man

Assalamu’alaikum, ustadz/ustadzah
Bagaimana hukumnya laki-laki metroseksual. Yg seneng dandan, pake minyak wangi, baju sesuai style terkini entah niatnya untuk gaya , tuntutan pekerjaan dll. Lantas bagaimana batas laki-laki dalam berias atau berdandan??

Jawaban

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Rasulullah itu pakai farfum, minyak rambut, menyisir (tp tdk sering), suka dgn baju putih, pernah merah, hijau dan bercorak ..

Dulu ada pemuda yg kumel, dia disuruh pulang oleh Ibnu Abbas, diminta rapi agar istrinya jg senang .. sbb istri jg berhak melihat suaminya rapi ..

Batasannya adalah selama tdk memakai emas dan sutra, tidak menyerupai style wanita, tdk meniru2 non muslim (ini biasanya sering terjadi pd model rambut) gak peduli cocok apa gak dgn bentuk tubuh dan wajah, dan dari bahan yg halal dan suci.
Ada pun “berlebihan” memang tdk boleh, jika ibadah sunah saja tdk boleh berlebihan apalagi sekedar memperindah diri .

Wallahu a’lam

4 MAHZAB

Ustadz Menjawab
Rabu, 26 Oktober 2017
Ustadz Farid Nu’man Hasan

Assalamualaikum wr wb Ustadz/ah..
Saya mau tanya kita muslim sama2 tau bahwa ada 4 mahzab dan kita tau bahwa 4 mahzab itu hidup setelah rasulullah, Namun yang saya lihat saat ini banyak para kalangan muslim membahas ikut salah satu tata cara dari mahzab tersebut lebih jauh saya perhatikan ke 4 mahzab tersebut tidaklah menciptakan sakte atau aliran lambat laun muridnyalah yg menciptakan sakte tersebut di dalam islam atau di dlam Alquran menyatakan bahwa ikutilah Allah dan rosul serta ulil amri ulil amri yakni para ulama namun ada lanjutan ayat apa bila ulil amri tersebut bertentangan kembalilah kepada Allah dan rasul. Adapun dalam satu ajaran islam bahwa kita muslim di haramkan dalam berpecah belah bahwa Allah menyatakan bukanlah tanggungmu muhammad orang yg memecah belah aliran tersebut
yang saya tanyakan Adalah bagaimana setatus islam ini? Kita mengikuti 4 mahzab atau baginda? Dalam suatu hadist dikatakan 2 pusaka yg tidak akan tersesat yakni Alquran dan Hadist, tentulah hadist soheh munurut ustad bagaimna tanggapannya bila ada serang hamba Allah atau ummat nabi yang mengklaim dirinya bukan mengikuti salah satu 4 mahzab namun mengikuti rasul?

Jawaban
——-

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihiwa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

📌 Dalam masalah gerakan anti madzhab, lalu mereka menyerang para imam madzhab dan yang mengikutinya, jelas itu adalah perbuatan yang tidak terpuji.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah mengkritik para penggiat anti madzhab ini dengan menyusun kitab: Raf’ul malam an a’immatil a’lam.

Beliau telah melucuti pihak-pihak yang telah berlaku kasar dan sombong terhadap para imam-imam madzhab, dan Beliau telah berhasil mengembalikan madzhab dan para pendirinya pada kedudukan yang seharusnya mereka terima.

Sejak dahulu hingga kini selalu ada golongan yang selalu menyerukan kembali kepada Al Quran dan As Sunnah. Seruan ini baik dan patut didukung, tetapi ternyata dibalik mulia seruan ini ada “azab” di dalamnya. Meminjam istilah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, “Kalimatul haq yuradu bihal baathil.” Kalimat yang benar untuk dimaksudkan pada hal yang batil.

Dibalik seruan ini mereka hendak mengubur dalam-dalam warisan pemikiran para imam kaum muslimin, dengan slogan “Cukup Al Quran dan As Sunnah,” dan lemparlah ke tong sampah pemikiran Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Inilah golongan Neo Zhahiriyah  yang selalu ada setiap zaman, mereka hendak memposisikan dirinya sebagai mujtahid yang setara dengan para imam tersebut bahkan melebihinya, sehingga mereka tidak butuh mengutip, menimbang, mengkaji, dan  menganalisa, dari istimbath para imam-imam ini. Bagi mereka, “Kami adalah laki-laki dan mereka juga laki-laki, kami juga bisa menggali langsung dari Al Quran dan As Sunnah!” Akhirnya, mereka justru terjebak pada keadaan yang mereka tidak benarkan sendiri, yakni mendirikan madzhab baru, “madzhab tanpa madzhab.”

Ini adalah sikap ekstrim yang tidak dibenarkan syariat, akal, dan adat manusia. Bagaimana pun, manusia yang hidup zaman ini tidak bisa lepas dari para pendahulunya. Ulama yang hidup masa modern juga tidak bisa melepas total dengan para ulama terdahulu (salaf). Sebab, para ulama masa lalu menyiapkan kaidah ilmu  dan tonggak-tonggak dalam memahami dasar-dasar agama adalah diperuntukkan anak dan cucu mereka seperti kita yang hidup masa kini. Saat ini kita sudah dimudahkan dengan rumusan berbagai kaidah dan ilmu yang mereka buat, itu adalah warisan yang sangat mahal, yang belum tentu kita mampu menciptakan seperti mereka. Namun, di mata orang yang picik,   para imam-imam ini dianggap pemecah belah agama, dan kita tidak boleh taklid kepada mereka. Wallahul Musta’an!

📌 Di sisi lain, ada pula golongan lain yang menjadi lawannya. Mereka bersikap ekstrim pula dalam mengkultuskan pendapat madzhab. Mereka begitu fanatik dengan pendapat madzhabnya dan mengingkari pendapat madzhab lain. Walaupun pendapat tersebut lemah. Akhirnya, mereka menjadi junudul madzhab (tentara-tentara madzhab) bukan junudullah (tentara-tentara Allah). Marahnya mereka karena madzhab, ridha pun karena madzhab. Pedang mereka siap terhunus dan taring mereka siap menerkam siapa-siapa saja yang mengkritik pendapat imam madzhabnya. Kuat lemahnya hujjah tidak lagi menjadi ukuran, tapi ukuran itu dilihat dari “Setiap orang  yang berbeda dengan madzhab kami maka dia sesat dan menempuh bukan jalan kaum beriman.”

Sikap ini juga tidak benar dan tercela, bahkan sama sekali bukan cerminan akhlak dari para imam madzhab, tidak Hanafi, tidak Maliki, tidak Syafi’i, dan tidak pula Hambali.

Para bintang dunia ini, tidak pernah mengajak orang lain untuk selalu mengkultuskan pendapatnya, salah dan benar harus diikuti.
 
Maka, sikap anti madzhab di satu sisi dan kultus madzhab di sisi lain, keduanya sama-sama keliru dan berbahaya. Bahkan para imam dan tokoh madzhab seperti Imam Abu Yusuf (Hanafi), Imam Al Ghazali (Syafi’i), Imam An Nawawi (syafi’i), Imam Ibnul ‘Arabi  (Maliki), Imam Ibnu Taimiyah (Hambali), mereka adalah sebaik-baiknya imam pengikut madzhab, tapi mereka terbuka dengan pihak lain, tidak fanatik, dan berjalan bersama dalil-dalil.

Allah Ta’ala mengajarkan kita untuk menempuh jalan tengah, adil, dan seimbang:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

  “Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan ..” (QS. Al Baqarah (2): 143)

  Ayat lain:

أَلا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ (8) وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ (9)

  Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS. Ar Rahman (55): 8-9)

  📌 Ada pun tentang Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah, dia adalah seorang ulama hadits masa kini yang telah menghabiskan hampir semua umurnya untuk berkhidmat kepada sunah nabi. Telah banyak pengakuan dan penghargaan baginya, baik yang datang dari kawan dan lawan.

Telah ada kritikan baginya seperti yang dilakukan oleh Syaikh Hammud At Tuwaijiri Rahimahullah dalam beberapa masalah, padahal   secara garis pemikiran mereka berdua tidak berbeda.  Syaikh Al Qaradhawi pun –yang pernah memuji Syaikh Al Albani- pernah mengkritiknya dalam hal pengingkarannya terhadap zakat pertanian, dan banyak lagi dari para ulama lainnya, termasuk kritik dari Syaikh Said Ramadhan Al Buthi Rahimahullah.

Namun, saling kritik dalam dunia ilmu adalah hal yang biasa dan sudah terjadi sejak masa lalu. Dan, hal itu sama sekali tidak menjatuhkan nama dan kehormatan Syaikh Al Albani Rahimahullah dan ulama lainnya.

Dalam konteks gerakan anti madzhab, maka jalan yang ditempuh oleh Syaikh Al Albani tidaklah demikian. Bagi orang yang akrab dengan karya-karyanya, akan menyimpulkan bahwa metode beliau adalah madzhabnya Ahlul Hadits atau Ashhabul Hadits, itu pun tidak mutlak, sebab dalam berbagai pembahasan Beliau juga mengikuti pendapat para imam madzhab. Madzhab Ahlul Hadits ini pun sudah ada sejak masa lalu dan mesti tetap diberikan peluang dan ruang hidup sebagaimana lainnya. Bagi yang dekat dengan karya-karya para fuqaha, mereka akan sering mendapatkan informasi, “menurut Malikiyah begini, Hambali begitu, ada pun ahli hadits mereka begini …. .”

Sebagai misal dalam hal turun sujud, apakah lutut dahulu atau tangan dahulu? Saya akan kutipkan paparan Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah sebagai berikut:

 ذهب الجمهور إلى استحباب وضع الركبتين قبل اليدين، حكاه ابن المنذر عن عمر النخعي ومسلم بن يسار وسفيان الثوري وأحمد وإسحاق وأصحاب الرأي قال: وبه أقول، انتهى.
وحكاه أبو الطيب عن عامة الفقهاء.
وقال ابن القيم: وكان صلى الله عليه وسلم يضع ركبتيه قبل يديه ثم يديه بعدهما ثم جبهته وأنفه هذا هو الصحيح الذي رواه شريك عن عاصم بن كليب عن أبيه.
عن وائل بن حجر قال: رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه، وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه ولم يرو في فعله ما يخالف ذلك، انتهى.
وذهب مالك والاوزاعي وابن حزم إلى استحباب وضع اليدين قبل الركبتين، وهو رواية عن أحمد. قال الاوزاعي: أدركت الناس يضعون أيديهم قبل ركبهم. وقال ابن أبي داود: وهو قول أصحاب الحديث.
 
“Menurut madzhab jumhur ulama, disunahkan meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan. Demikian itu diceritakan Ibnul Mundzir dari Umar, An Nakha’i, Muslim bin Yasar, Sufyan Ats Tsauri , Ahmad, Ishaq dan ashabur ra’yi (pengikut Abu Hanifah). Dia berkata: “Aku juga berpendapat demikian.” Abu Thayyib menceritakan hal ini dari umumnya para fuqaha.

Ibnul Qayyim mengatakan: Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meletakkan lututnya sebelum tangannya, kemudian tangannya, lalu diikuti dengan keningnya dan hidungnya. Inilah yang shahih yang diriwayatkan oleh Syarik dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya, dari Wail bin Hujr, dia berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika dia sujud dia meletakkan lututnya sebelum tangannya, dan jika dia akan bangkit, dia mengangkat tangannya sebelum lututnya. Dan tidak ada riwayat yang bertentangan dengan apa yang dilakukannya itu.” Selesai.

Sedangkan madzhab Imam Malik, Al Auza’i , dan Ibnu Hazm, menyunnahkan meletakkan tangan sebelum lutut, itu juga merupakan satu riwayat dari Ahmad. Berkata Al Auza’i: “Aku melihat manusia meletakkan tangan mereka sebelum lututnya.”

Berkata Ibnu Abi Daud: “Ini adalah PENDAPAT PARA AHLI HADITS.”   (Fiqhus Sunnah, 1/164. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Telah masyhur bahwa Syaikh Al Albani mengikuti pendapat ahli hadits dalam hal ini sebagaimana yang kita lihat dalam Shifat Shalat Nabi.

Contoh lain adalah dalam menyikapi penguasa yang zalim dan menyimpang. Para ulama berbeda pendapat antara yang memilih untuk bersabar saja sebagaimana pendapat Ahli Hadits, atau yang menurunkan pemimpin tersebut sebagaimana pendapat Imam Al Ghazali, Imam Ibnu Hazm, Imam Al Mawardi, dan lainnya.

Jadi, madzhab ahli hadits sudah ada sejak lama. Bahkan tidak sedikit kitab yang secara khusus menempatkan pendapat para ahli hadits dalam bidang aqidah, seperti Al Intishar Li Ashhabil Hadits karya Imam Abu Muzhaffar As Sam’ani, lalu  I’tiqad Ahl As Sunnah Syarh Ashhab Al Hadits karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al Khamis.

Syaikh Al Albani juga sering menyandarkan pendapatnya pada pendapat imam madzhab. Ketika Beliau membahas “membaca Al fatihah bagi makmum” beliau memilih pendapat Imam Ahmad  dan Imam Malik, bahwa membaca Al Fatihah bagi Makmum adalah wajib ketika shalat sirr, namun tidak membacanya ketika shalat dijaharkan, tetapi mesti mendengarkan bacaan imam.

Dalam mengharamkan alat-alat musik (lihat kitab Tahrim Alat Ath Tharb) beliau mengikuti dan mengulang-ulang bahwa imam empat madzhab mengharamkan musik.

Kesimpulan, Syaikh Al Albani juga bermadzhab yakni madzhab Ahli Hadits, dan kadang Beliau mengikuti pendapat imam madzhab fiqih yang dipandangnya kuat dalilnya.

Pengingkaran beliau lakukan kepada orang yang fanatik madzhab, bukan kepada madzhabnya. Inilah yang bisa kita lihat jika langsung membaca karya-karyanya. Hanya saja,  Syaikh Al Albani kerap menggunakan pilihan kata yang pedas dan keras kepada orang-orang yang dikritiknya. Bisa kita lihat dalam muqadimah Tahrim Alat Ath Tharb, beliau begitu pedas dalam mengkritik tiga ulama sekaligus, yakni Syaikh Abu Zahrah, Syaikh Muhammad Al Ghazali, dan Syaikh Al Qaradhawi, seakan tiga ulama ini benar-benar bodoh dihadapannya. Juga antara beliau dengan Syaikh Hammud At Tuwaijiri, yang keduanya sama-sama pedas dalam mengkritik, tapi dalam kehidupan nyata keduanya baik-baik saja.

Belum lagi kritikan beliau terhadap Syaikh Hasan As Saqqaf (pengarang kitab Tanaqudhat Al Albani – Kontradiksinya Al Albani), atau Syaikh Habiburrahman Al A’zhami, atau Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, dan masih banyak lainnya. Sehingga hampir-hampir  saja kita katakan bahwa mereka adalah ulama yang saling bermusuhan dan membenci satu sama lain.

Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

Doa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Saat Keluar Rumah

Senin, 23 Muharrom 1438H / 24 Oktober 2016

HADITS DAN FIQIH

Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan.S.S.

Dari Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

مَا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ بَيْتِي قَطُّ إِلَّا رَفَعَ طَرْفَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ: «اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ، أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ، أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ، أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ، أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah keluar dari rumah kecuali beliau melihat ke langit seraya berdoa:

*”ALLAHUMMA A’UUDZU BIKA AN ADHILLA AW UDHALLA AW AZILLA AW UZALLA AW AZHLIMA AW UZHLAMA AW AJHALA AW UJHALA ‘ALAYYA”*

 (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ketersesatan atau disesatkan, tergelincir atau digelincirkan, menzhalimi atau dizhalimi dan membodohi atau dibodohi).”

—–

HR. Abu Daud No. 5094,  An Nasa’i No. 5486,  Al Hakim No.1907, beliau berkata: “Shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim.”

Berkata Ath Thayyibi Rahimahullah:

فَاسْتُعِيذَ مِنْ هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا بِلَفْظٍ سَلِسٍ مُوجَزٍ وَرُوعِيَ الْمُطَابَقَةُ الْمَعْنَوِيَّةُ وَالْمُشَاكَلَةُ اللَّفْظِيَّةُ كَقَوْلِ الشَّاعِرِ

Maka hendaknya meminta perlindungan dari semua keadaan ini dengan kata-kata  yang ringan, ringkas, indah, yang begitu serasi antara makna dan bentuk katanya, seperti sya’ir.

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 9/272

AURAT WANITA

Ustadz Menjawab
Ahad, 23 Oktober 2016
Ustadz Farid Nu’man

Assalamualaikum..Izin bertanya ustadz..
Dalam hal merawat diri, bagaimana ketika wanita/pria ketika ber spa?

Terkhusus kepada istri, yg mau spa khusus di salon muslimah, ini seperti apa?jatuhkah larangan dikarenakan menampakkan aurat kepada orang lain??

Jawaban

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Spa pd prinsipnya tdk apa2, tp tetap menjaga aurat dr laki2 yg bukan mahram .., lalu bgmn dgn wanita lajn?

Wanita ada 2 aurat ..

1. Mughallazhah, berat, seperti dibawah leher, dada sampai lutut, ini hanya boleh dilihat oleh suami

2. Aurat mukhafafah, ringan, seperti sepanjang tangan, leher, betis, rambut, .. ini boleh terlihat oleh mahramnya (ortu, kakak, adik, paman, kakek, anak, keponakan), dan juga wanita muslimah lain ..

Lengkapnya kpd siapa aja boleh terlihat, baca ayat ini ya .

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, *atau wanita-wanita islam,* atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur: 31)

Ada pun kpd laki2 yg bukan mahram (ipar dan sepupu termasuk bukan mahram), tidak boleh menampakkan semua jenis aurat tsb.
Wallahu a’lam

HUKUMNYA HAMIL SEBELUM MENIKAH

Ustadz Menjawab
Sabtu, 22 Oktober 2016
Ustadz Farid Nu’man

Assalamu’alaikum ustadz/ah…
Apabila seorang laki2 dan wanita berbuat zina di sebelum menikah , tetapi pada akhirnya kedua’nya menikah apa hukumnya??
Apakah dosa itu dihapus / bagaimana??

Terimakasih.

saya tambah pertanyaannya,  kemudian lahir anaknya padahal waktu menikah itu si wanita sdg hamil, apakah sudah lahir anaknya, mereka menikah lagi?
Syukron… #A41

JAWABAN
————–

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Nikahnya orang zina itu haram hingga ia bertaubat, baik dengan pasangan zinanya atau dengan orang lain.”

Inilah yang benar tanpa diragukan lagi. Demikianlah pendapat segolongan ulama salaf dan khalaf, di antara mereka yakni Ahmad bin hambal dan lainnya.

Tetapi kebanyakan ulama salaf dan khalaf membolehkannya, yaitu pendapat Imam Yang tiga, hanya saja Imam Malik mensyaratkan rahimnya bersih (kosong/tidak hamil).

Abu Hanifah membolehkan akad sebelum  istibra’ (bersih dari kehamilan) apabila ternyata dia hamil, tetapi jika dia hamil tidak boleh  jima’ (hubungan badan) dulu  sampai dia melahirkan.

Asy Syafi’i membolehkan akad secara mutlak akad dan hubungan badan, karena air sperma zina itu tidak terhormat, dan hukumnya tidak bisa dihubungkan nasabnya, inilah alasan Imam Asy Syafi’i.

Abu Hanifah memberikan rincian antara hamil dan tidak hamil, karena wanita hamil apabila dicampuri, akan menyebabkan terhubungnya anak yang bukan anaknya, sama sekali berbeda dengan yang tidak hamil.”

# Nikahnya Wanita Hamil Harus dirinci sebagai berikut:
1. Hamil karena suaminya sendiri, tetapi suaminya meninggal atau wafat, dia jadi janda. Bolehkah menikah dan dia masih hamil?
Sepakat kaum muslimin seluruhnya, wanita hamil dan dia menjanda ditinggal mati suami atau cerai, hanya baru boleh nikah setelah masa iddahnya selesai, yaitu setelah kelahiran bayinya. Tidak boleh baginya nikah ketika masih hamil, karena ‘iddahnya belum selesai.

2. Gadis Hamil karena berzina, bolehkah dia menikah?
Jika yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya, maka menurut Imam Asy Syafi’i adalah boleh. Imam Abu Hanifah juga membolehkan tetapi tidak boleh menyetubuhinya sampai ia melahirkan.
Imam Ahmad mengharamkannya. Begitu pula Imam Malik dan Imam Ibnu Tamiyah.
Sedangkan, jika yang menikahinya adalah laki-laki lain, maka menurut Imam Ibnu taimiyah juga tidak boleh kecuali ia bertaubat, yang lain mengatakan boleh, selama ia bertobat plus Iddahnya selesai (yakni sampai melahirkan), inilah pendapat Imam Ahmad. Demikian.
Wallahu A’lam