Alam Kubur

Membacakan Al Fatihah Untuk Orang Meninggal

Pertanyaan

Assalamualaikum, mau bertanya:
Bagaimana membacakan atau mengirimkan alfatihah untuk orang yang sudah meninggal hukumnya? Syukran
Dari 🅰4⃣3⃣

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته

Bismillah wal Hamdulillah

Masalah ini diperselisihkan sesama Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah ..

A.  Para Imam Ahlus Sunnah Yang MELARANG Membaca Al Quran Untuk Mayit

1.  Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu dan sebagian pengikutnya

Syaikh Athiyah Shaqr mengatakan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik memakruhkan membaca Al Quran di kubur, alasannya karena tak ada yang sah dari sunah tentang hal itu. (Fatawa Al Azhar, 7/458)
Namun, kami dapati dalam  kitab lain bahwa kalangan Hanafiyah terjadi perbedaan antara waktu makruhnya itu, berikut ini keterangannya:

تُكْرَهُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ عِنْدَ الْمَيِّتِ حَتَّى يُغَسَّل وَأَمَّا حَدِيثُ مَعْقِل بْنِ يَسَارٍ مَرْفُوعًا اقْرَءُوا سُورَةَ يس عَلَى مَوْتَاكُمْ   فَقَال ابْنُ حِبَّانَ : الْمُرَادُ بِهِ مَنْ حَضَرَهُ الْمَوْتُ ، وَيُؤَيِّدُهُ مَا أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا وَابْنُ مَرْدُوَيْهِ مَرْفُوعًا مَا مِنْ مَيِّتٍ يُقْرَأُ عِنْدَهُ يس إِلاَّ هَوَّنَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَخَالَفَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي الْمُحَقِّقِينَ ، فَأَخَذَ بِظَاهِرِ الْخَبَرِ وَقَال : بَل يُقْرَأُ عَلَيْهِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَهُوَ مُسَجًّى وَفِي الْمَسْأَلَةِ خِلاَفٌ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَيْضًا . قَال ابْنُ عَابِدِينَ : الْحَاصِل أَنَّ الْمَيِّتَ إِنْ كَانَ مُحْدِثًا فَلاَ كَرَاهَةَ ، وَإِنْ كَانَ نَجِسًا كُرِهَ . وَالظَّاهِرُ أَنَّ هَذَا أَيْضًا إِذَا لَمْ يَكُنِ الْمَيِّتُ مُسَجًّى بِثَوْبٍ يَسْتُرُ جَمِيعَ بَدَنِهِ ، وَكَذَا يَنْبَغِي تَقْيِيدُ الْكَرَاهَةِ بِمَا إِذَا قَرَأَ جَهْرًا

“Dimakruhkan menurut Hanafiyah membaca Al Quran di sisi mayit sampai dia dimandikan. Ada pun hadits Ma’qil bin Yasar, secara marfu’: Bacalah surat Yasin atas orang yang mengalami sakaratul maut di antara kalian. Ibnu Hibban mengatakan maksudnya adalah bagi orang yang sedang menghadapi kematian. Hal ini didukung oleh riwayat Ibnu Abi Dunia dan Ibnu Mardawaih, secara marfu’: Tidaklah seorang mayit dibacakan di sisinya surat Yasin, melainkan Allah akan mudahkan baginya.  Sebagian peneliti muta’akhir (masa belakangan) berbeda dengannya, dengan mengambil makna zhahir dari khabar (hadits) itu, dengan berkata: “Bahkan dibacakan atasnya setelah wafatnya dan dia sudah dibungkus oleh kafan.” Ada pun tentang doa, kalangan Hanafiyah juga terjadi perbedaan pendapat. Berkata Ibnu ‘Abidin: “Kesimpulannya, sesungguhnya jika mayit itu  dalam kondisi hadats maka tidaklah makruh, jika dia bernajis maka makruh. Secara zhahir ini juga berlaku jika mayit belum dibungkus dengan kain yang menutup seluruh tubuhnya. Demikian juga pemakruhan dibatasi  jika membacanya secara Jahr (dikeraskan). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/8. Mawqi’ Ruh Al Islam)

2.   Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu dan sebagian pengikutnya

Syaikh Ibnu Abi Jamrah mengatakan bahwa Imam Malik memakruhkan membaca Al Quran di kuburan. (Syarh Mukhtashar Khalil, 5 /467)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah mengatakan dalam Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu:

قال المالكية: تكره القراءة عند الموت إن فعله استناناً كما يكره القراءة بعد الموت، وعلى القبر؛ لأنه ليس من عمل السلف

Berkata  kalangan Malikiyah: dimakruhkan membaca Al Quran baik ketika naza’ (sakaratul maut) jika dilakukan menjadi kebiasaan, sebagaimana makruh membacanya setelah wafat, begitu pula di kubur, karena hal itu tidak pernah dilakukan para salaf (orang terdahulu). (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/599. Maktabah Misykah)

Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ يُكْرَهُ قِرَاءَةُ شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ مُطْلَقًا

“Menurut Malikiyah, dimakruhkan secara mutlak membaca apa pun dari Al Quran.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 16/8. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)

3.  Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu dan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah

Dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Imam Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan Surat An Najm ayat 18:  “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”

كما لا يحمل عليه وزر غيره، كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه. ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم؛ ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه، ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء، ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة، رضي الله عنهم، ولو كان خيرا لسبقونا إليه، وباب القربات يقتصر فيه على النصوص، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء، فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما

“Sebagaimana dia tidak memikul dosa orang lain, begitu pula pahala, ia hanya akan diperoleh melalui usahanya sendiri. Dari ayat yang mulia ini, Imam Asy Syafi’i Rahimahullah dan pengikutnya berpendapat bahwa pahala bacaan Al Quran tidaklah sampai kepada orang yang sudah wafat karena itu bukan amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menganjurkannya dan tidak pernah memerintahkannya, dan tidak ada nash (teks agama) yang mengarahkan mereka ke sana, dan tidak ada riwayat dari seorang sahabat pun yang melakukannya, seandainya itu baik tentulah mereka akan mendahului kita dalam melakukannya. Bab masalah qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) harus berdasarkan nash, bukan karena qiyas atau pendapat-pendapat. Sedangkan, mendoakan dan bersedekah, telah ijma’ (sepakat) bahwa keduanya akan sampai kepada mayit, karena keduanya memiliki dasar dalam syara’. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz.7, Hal. 465. Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Cet. 2, 1999M-1420H)

Dari apa yang disampaikan Imam Ibnu Katsir ini ada beberapa point:

1.  Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya menyatakan pahala membaca Al Quran tidaklah sampai sebagaimana dosa seseorang tidaklah dipikul oleh orang lain.

2.  Tidak ada anjuran dan perintah, dan tidak ada nash dari Rasulullah, tidak ada riwayat dari sahabat yang melakukannya. Seandainya baik, pasti mereka orang pertama yang akan melaksanakannya.

3.  Tidak boleh qiyas dalam perkara ibadah ritual.

4.  Doa dan bersedekah atas nama mayit adalah boleh menurut ijma’, karena memiliki dasar dalam syariat.

Namun Imam An Nawawi mengatakan dalam Riyadhus Shalihin, bahwa Imam Asy Syafi’i mengatakan disunnahkan membaca Al Quran di sisi kubur, jika sampai khatam maka itu bagus.   (Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 117. Mawqi’ Al Warraq)

Namun yang masyhur (terkenal) dari Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya adalah mereka menolak keyakinan sampainya pahala bacaan Al Quran ke mayit. Imam Asy Syaukani menyatakan keterangan sebagai berikut:

والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن

“Yang masyhur dari madzhab Asy Syafi’i dan jamaah para sahabat-sahabatnya adalah bahwa pahala membaca Al Quran tidaklah sampai ke mayit.”

Asy Syaukani juga mengutip perkataan Imam Ibnu Nahwi, seorang ulama madzhab Asy Syafi’i, dalam kitab Syarhul Minhaj, sebagai berikut:

لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور

“Yang masyhur menurut madzhab kami, pahala bacaan Al Quran tidaklah sampai ke mayit.” (Nailul Authar, 4/142. Maktabah Ad da’wah Al Islamiyah)

Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ لاَ يُقْرَأُ عِنْدَ الْمَيِّتِ قَبْل الدَّفْنِ لِئَلاَّ تَشْغَلَهُمُ الْقِرَاءَةُ عَنْ تَعْجِيل تَجْهِيزِهِ

“Dan pendapat Syafi’iyah bahwa tidaklah dibaca Al Quran di sisi mayit sebelum dikubur, agar pembacaan itu tidaklah mengganggu kesibukan dalam menyegerakan pengurusan jenazah.”  (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/8. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dari keterangan para imam di atas, maka janganlah langsung menuding Wahabi kepada muslim lainnya yang tidak mau membaca Al Quran untuk mayit. Apakah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’i adalah Wahabi karena mereka makruhkan hal itu? Bagaimana mungkin mereka disebut Wahabi,  padahal gerakan Wahabiyah baru ada hampir sepuluh Abad setelah zaman tiga imam ini!?

4.  Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah

Beliau mengatakan:

وَكَانَ مِنْ هَدْيِهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ تَعْزِيَةُ أَهْلِ الْمَيّتِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ هَدْيِهِ أَنْ يَجْتَمِعَ لِلْعَزَاءِ وَيَقْرَأَ لَهُ الْقُرْآنَ لَا عِنْدَ قَبْرِهِ وَلَا غَيْرِهِ وَكُلّ هَذَا بِدْعَةٌ حَادِثَةٌ مَكْرُوهَةٌ

“Di antara petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bertakziah ke keluarga mayit. Dan, bukanlah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkumpul di rumah keluarga mayit untuk menghibur, lalu membaca Al Quran untuk si mayit baik di kuburnya, atau di tempat lain. Semua ini adalah bid’ah yang dibenci.” (Zaadul Ma’ad, 1/527. Muasasah Ar Risalah)

Namun, dalam kitab beliau yang lain yakni Ar Ruh, justru beliau membolehkan dan banyak meriwayatkan dari salaf tentang membaca Al Quran untuk mayit. Insya Allah akan kami ketengahkan juga.

5.  Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi Rahimahullah

Beliaulah yang disebut sebagai perintis gerakan Wahabi, walau beliau tidak pernah mengatakan hal itu dan tidak pernah meniatkan adanya gerakan atau faham Wahabi. Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullah mengutip darinya, sebagai berikut:

إن القراءة عند القبور، وحمل المصاحف إلى المقبور كما يفعله بعض الناس يجلسون سبعة أيام ويسمونها الشدة، وكذلك اجتماع الناس عند أهل الميت سبعة أيام ويقرءون فاتحة الكتاب، ويرفعون أيديهم بالدعاء للميت فكل هذا من البدع والمنكرات المحدثة التي يجب إزالتها، والحديث المروي في قراءة سورة يس في المقبرة لم يعز إلى شيء من كتب الحديث المعروفة، والظاهر عدم صحته، انتهى

“ Sesungguhnya  membaca dan membawa Al Quran di kubur sebagaimana yang dilakukan sebagian manusia hari ini, mereka duduk selama tujuh hari dan menamakan itu sebagai kesungguhan, begitu pula berkumpul di rumah keluarga si mayit selama tujuh hari membaca Al Fatihah, dan mengangkat tangan untuk berdoa untuk si mayit, maka semua ini adalah bid’ah munkar yang diada-adakan, dan harus dihilangkan. Ada pun periwayatan hadits tentang membaca Yasin di kuburan tidak ada yang kuat satu pun di antara kitab-kitab  hadits yang terkenal, secara zhahir menunjukkan itu tidaklah shahih.”  (Syaikh Shalih Fauzan, Al Bayan Li Akhtha’i Ba’dhil Kitab, Hal. 171. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Hadits yang dimaksud adalah:

من زار قبر والديه كل جمعة ، فقرأ عندهما أو عنده *( يس )* غفر له بعدد كل آية أو حرف

“Barangsiapa yang menziarahi kubur dua orang tuanya setiap Jum’at, lalu dibacakan Yasin pada sisinya, maka akan diampunkan baginya setiap ayat atau huruf.”

Hadits ini palsu. Ibnu ‘Adi berkata: “Hadits ini batil dan tidak ada asalnya sanad ini.” Ad Daruquthni mengatakan: “Hadits ini palsu, oleh karena itu Ibnul Jauzi memasukkan hadits ini kedalam kitabnya Al Maudhu’at (hadits-hadits palsu).”   (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, As Silsilah Adh Dha’ifah, 1/127/ 50)

6.  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah

Beliau berkata:

أما جلوس أهل الميت أو غيرهم يوما أو أكثر لقراءة القرآن وإهدائه إلى الميت فبدعة لا أصل لها في الشرع المطهر

Ada pun duduknya keluarga mayit atau selainnya, sehari atau lebih, untuk membaca Al Quran dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit maka itu bid’ah, tidak ada sadarnya dalam syariat yang suci. (Majmu’ Fatawa Ibni Baaz, 13/397)

7.  Syaikh Shalih bin Abdullah Fauzan Hafizhahullah

Beliau berkata dalam kitab Al Mulakhash Al Fiqhi sebagai berikut:

أما من مات فأنه لا يقرأ عليه، فالقراءة على الميت بعد موته بدعة

“Ada pun bagi orang sudah wafat maka tidaklah dibacakan Al Quran, maka membacakan Al Quran untuk mayit sesudah wafatnya adalah bid’ah …”

Dia juga berkata:

فالقراءة على الميت عند الجنازة أو على القبر أو لروح الميت، كل هذا من البدع

“Maka, membaca Al Quran  atas mayit di sisi jenazah atau di kubur atau untuk arwah mayit, semua ini adalah bid’ah.” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/296-297. Mawqi’ Ruh Al Islam)

8.  Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah

Beliau mengatakan dalam Syarh Sunan Abi Daud:

وأما القراءة عند الأموات فلا تفعل لا بـ (يس) ولا غيرها؛ لأنه لم يثبت في ذلك شيء عن النبي صلى الله عليه وسلم

“Adapun membaca di sisi mayit, maka janganlah dilakukan, tidak dengan surat Yasin dan tidak pula dengan selainnya, sebab tak satu pun yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang itu.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud No. 363. Maktabah Misykat)

Dan masih banyak lainnya.

B.  Para Imam Ahlus Sunnah Yang  MEMBOLEHKAN  Membaca Al Quran Untuk Mayit

1.  Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma

Beliau adalah seorang sahabat Nabi, ayahnya adalah  Amr bin Al ‘Ash, Gubernur Mesir pada masa Khalifah Umar. Dalam kitab Syarh Muntaha Al Iradat, disebutkan demikian:

وَعَنْ ابْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ كَانَ يُسْتَحَبُّ إذَا دُفِنَ الْمَيِّتُ أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا ، رَوَاهُ اللَّالَكَائِيُّ ، وَيُؤَيِّدُهُ عُمُومُ { اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ }

Dari  Abdullah bin Amru, bahwa dia menganjurkan jika mayit dikuburkan hendaknya dibacakan pembuka  surat Al Baqarah, dan akhir surat Al Baqarah. Ini diriwayatkan oleh Imam Al Lalika’i. Hal ini dikuatkan oleh keumuman hadits: Bacalah Yasin kepada orang yang menghadapi sakaratul maut. (Imam Al Bahuti, Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16. Mawqi’ Al Islam)

Hanya saja dalam kitab ini tidak disebutkan validitas riwayat tersebut, apakah shahih  dari Ibnu Amr?
Tetapi, ada riwayat dari Muhammad bin Al Jauhari, dia berkata, telah mengabarkan kepadaku  Mubasysyir, dari ayahnya, bahwa dia berwasiat jika dikuburkan maka hendaknya dibacakan surat Al Fatihah, Al Baqarah, dan sampai selesai membacanya. Aku mendengar bahwa Ibnu Amru juga mewasiatkan demikian.  (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/78)

Mubaysyir ini dinilai tsiqah (bisa dipercaya) oleh Imam Ahmad.

2.  Imam Asy Syafi’i Rahimahullah

Tercatat dalam kitab Riyadhushshalihin:

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَبُّ أن يُقرَأَ عِنْدَهُ شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْدهُ كانَ حَسن

Berkata Asy Syafi’i Rahimahullah: disukai membaca Al Quran di sisi kubur dan jika sampai khatam maka itu bagus. (Hal. 295, Muasasah Ar Risalah)

Kitab Riyadhushshalihin disusun sejak delapan Abad yang lalu, tidak ada yang meragukan  pernyataan ini, sampai akhirnya Syaikh Al Albani meragukannya,  sebab menurutnya dalam madzhab Asy Syafi’i yang masyhur justru tidak sampainya bacaan Al Quran untuk mayit.

Namun dalam kitab yang lain, yakni _Al Qira’ah ‘Indal Qubur_, karta Abu Bakar Al Khalal, terdapat riwayat pembolehan membaca Al Quran di kubur oleh Imam Asy Syafi’i.

Abu Bakar Al Khalal berkata:

أخبرني روح بن الفرج ، قال : سمعت الحسن بن الصباح الزعفراني ، يقول : « سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال : لا بأس به »

Mengabarkan kepadaku Ruh bin Al Faraj, katanya: Aku mendengar Al Hasan bin Ash Shabaah Az Za’farani berkata: “Aku bertanya kepada Asy Syafi’i tentang membaca Al Quran di sisi kubur, Beliau menjawab: Tidak apa-apa.” (Lihat riwayat No. 6)

Nah, dari sini kita mendapatkan keterangan dari Imam Asy Syafi’i.

Pertama, Beliau menyatakan TIDAK SAMPAI pahala bacaan Al Quran buat mayit seperti yang dikisahkan Imam Ibnu Katsir, dan ini menjadi pendapat yang masyhur golongan Syafi’iyah.

Kedua, Beliau membolehkan membaca Al Quran di sisi kubur, bahkan jika sampai khatam itu adalah bagus. Sebagaimana dikatakan Imam Abu Bakar Al Khalal dan Imam An Nawawi.

Jika keduanya shahih dari Imam Asy Syafi’i, maka apakah memang baginya kedua hal ini berbeda? Mengirim pahala adalah satu hal, sedangkan membaca di sisi kubur adalah hal yang lain?  Yang satu tidak sampai pahalanya berdalil surat An Najm ayat 39, yang satu dibolehkan karena untuk mencari berkahnya Al Quran bagi mayit? Wallahu A’lam

3.  Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Syarhul Kabir:

وقال أحمد ويقرءون عند الميت إذا حضر ليخفف عنه بالقرآن يقرأ (يس) وأمر بقراءة فاتحة الكتاب

Berkata Ahmad: bahwa mereka membacakan Al Quran (surat Yasin) pada sisi mayit untuk meringankannya, dan juga diperintahkan membaca surat Al Fatihah. (Imam Ibnu Qudamah, Syarh Al Kabir, 2/305. Darul Kitab Al ‘Arabi).

Imam Al Bahuti juga mengatakan:

قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ

Imam Ahmad mengatakan, bahwa  semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16)

Imam Ibnu Qudamah mengatakan, diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal, beliau berkata: “Jika kalian memasuki kuburan maka bacalah ayat kursi tiga kali, qul huwallahu ahad, kemudian katakan: Allahumma inna fadhlahu li Ahlil Maqabir.” (Al Mughni, 5/78)

Dahulu Imam Ahmad membid’ahkan membaca Al Quran di kuburan, lalu dia meralat pendapatnya itu. Imam Ibnu Qudamah menceritakan perubahan pada Imam Ahmad tersebut, sebagai berikut:
Diceritakan, bahwa Imam Ahmad melarang Dharir untuk membaca Al Quran di kuburan, Imam Ahmad berkata:  “Membaca Al Quran di kuburan adalah bid’ah.”  Lalu Muhammad bin Qudamah Al jauhari bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, apa pendapatmu tentang Mubasysyir Al Halabi?” Imam Ahmad menjawab: “Dia tsiqah (bisa dipercaya).”

Lalu Muhammad bin Al Jauhari berkata, telah mengabarkan kepadaku  Mubasysyir, dari ayahnya, bahwa dia berwasiat jika dikuburkan maka hendaknya dibacakan pembuka surat Al Baqarah, dan sampai selesai membacanya. Aku mendengar bahwa Ibnu Umar juga mewasiatkan demikian.  (Al Mughni, 5/78) berawal dari sinilah Imam Ahmad, meralat pendapatnya, yang tadinya membid’ahkan membaca Al Quran di kuburan, menjadi membolehkannya bahkan menganjurkannya.

4.  Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Tertulis dalam Majmu’ Al Fatawanya:

وسئل عن قراءة أهل البيت : تصل إليه ؟ والتسبيح والتحميد، والتهليل والتكبير، إذا أهداه إلى الميت يصل إليه ثوابها أم لا ؟
فأجاب :
يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه . والله أعلم .
وسئل : هل القراءة تصل إلى الميت من الولد أو لا على مذهب الشافعي ؟
فأجاب :
أما وصول ثواب العبادات البدنية كالقراءة، والصلاة، والصوم فمذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها تصل، وذهب أكثر أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها لا تصل . والله أعلم .

Beliau ditanya tentang membaca Al Quran ang dilakukan keluarga; apakah sampai kepada mayit? Begiju juga tasbih, tahmid, takbir, jika dihadiahkan olehnya untuk mayit , sampaikah pahalanya kepadanya atau tidak?

Beliau menjawab:

“Pahala bacaan Al Quran keluarganya itu sampai kepada mayit, dan tasbih mereka, takbir, serta semua bentuk dzikir mereka kepada Allah Ta’ala jika dia hadiahkan kepada mayit, maka sampai kepadanya. Wallahu A’lam”

Beliau ditanya: menurut madzhab Syafi’I apakah pahala membaca Al Quran akan sampai kepada mayit dari anak atau tidak?

Beliau menjawab:

“Ada pun sampainya pahala ibadah-ibadah badaniah seperti membaca Al Quran, shalat, dan puasa, maka madzhab Ahmad, Abu Hanifah, segolongan sahabat Malik, Syafi’i, menatakan bahwa hal itu sampai pahalana. Sedangkan pendapat kebanyakan sahabat Malik, Syafi’I, mengatakan hal itu tidak sampai.” Wallahu A’lam   (Majmu’ Fatawa, 34/324. Darul Maktabah Al Hayah)

5.  Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah

Dalam kitab Ar Ruh Beliau berkata:

وقد ذكر عن جماعة من السلف أنهم أوصوا أن يقرأ عند قبورهم وقت الدفن قال عبد الحق يروى أن عبد الله بن عمر أمر أن يقرأ عند قبره سورة البقرة وممن رأى ذلك المعلى بن عبد الرحمن وكان الامام أحمد ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع عن ذلك وقال الخلال في الجامع كتاب القراءة عند القبور اخبرنا العباس بن محمد الدورى حدثنا يحيى بن معين حدثنا مبشر الحلبى حدثني عبد الرحمن بن العلاء بن اللجلاج عن أبيه قال قال أبى إذا أنامت فضعنى في اللحد وقل بسم الله وعلى سنة رسول الله وسن على التراب سنا واقرأ عند رأسى بفاتحة البقرة فإنى سمعت عبد الله بن عمر يقول ذلك قال عباس الدورى سألت أحمد بن حنبل قلت تحفظ في القراءة على القبر شيئا فقال لا وسألت يحيى ابن معين فحدثنى بهذا الحديث قال الخلال وأخبرني الحسن بن أحمد الوراق حدثنى على بن موسى الحداد وكان صدوقا قال كنت مع أحمد بن حنبل ومحمد بن قدامة الجوهرى في جنازة فلما دفن الميت جلس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر الحلبي قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم فأخبرني مبشر عن عبد الرحمن بن العلاء اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك فقال له أحمد فارجع وقل للرجل يقرأ وقال الحسن بن الصباح الزعفراني سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال لا بأس بها وذكر الخلال عن الشعبي قال كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرءون عنده القرآن قال وأخبرني أبو يحيى الناقد قال سمعت الحسن بن الجروى يقول مررت على قبر أخت لي فقرأت عندها تبارك لما يذكر فيها فجاءني رجل فقال إنى رأيت أختك في المنام تقول جزى الله أبا على خيرا فقد انتفعت بما قرأ أخبرني الحسن بن الهيثم قال سمعت أبا بكر بن الأطروش ابن بنت أبي نصر بن التمار يقول كان رجل يجيء إلى قبر أمه يوم الجمعة فيقرأ سورة يس فجاء في بعض أيامه فقرأ سورة يس ثم قال اللهم إن كنت قسمت لهذه السورة ثوابا فاجعله في أهل هذه المقابر فلما كان يوم الجمعة التي تليها جاءت امرأة فقالت أنت فلان ابن فلانة قال نعم قالت إن بنتا لي ماتت فرأيتها في النوم جالسة على شفير قبرها فقلت ما أجلسك ها هنا فقالت إن فلان ابن فلانة جاء إلى قبر أمه فقرأ سورة يس وجعل ثوابها لأهل المقابر فأصابنا من روح ذلك أو غفر لنا أو نحو ذلك

“Pernah disebutkan sebagian para salaf, bahwa mereka mewasiatkan supaya dibacakan diatas kubur mereka di waktu penguburannya. Telah berkata Abdul Haq, diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar pernah menyuruh supaya diabacakan diatas kuburnya surah Al Baqarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Mu’alla bin Hanbal, pada mulanya mengingkari pendapat ini karena masih belum menemui sesuatu dalil mengenainya, kemudian menarik balik pengingkarannya itu setelah jelas kepadanya bahwa pendapat itu betul.

Berkata Al Khallal di dalam kitabnya ‘Al-jami’ dalam Kitab Qira’an ‘Indal Qubur: Telah berkata kepadaku Al Abbas bin Muhammad Ad Dauri, berbicara kepadaku Yahya bin Ma’in, berbicara kepadaku Mubasyyir Al Halabi, berbicara kepadaku Abdurrahman bin Al-Ala’ bin Lajlaj, dari ayahnya, katanya : Ayahku telah berpesan kepadaku, kalau dia mati, maka kuburkanlah dia di dalam lahad, kemudian sebutkanlah : Dengan Nama Allah, dan atas agama Rasulullah ! Kemudian ratakanlah kubur itu dengan tanah, kemudian bacakanlah dikepalaku dengan pembukaan surat Al Baqarah, karena aku telah mendengar Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu menyuruh membuat demikian. Berkata Al Abbas Ad Dauri kemudian : Aku pergi bertanya Ahmad bin Hanbal,  apakah dia  menghafal sesuatu tentang membaca diatas kubur. Maka katanya : Tidak ada ! kemudian aku bertanya pula Yahya bin Ma’in, maka dia telah menerangkan kepadaku bicara yang menganjurkan yang demikian.

Berkata Al Khallal, telah memberitahuku Al Hasan bin Ahmad Al Warraq, berbicara kepadaku Ali bin Musa Al-Haddad, dan dia adalah seorang yang berkata benar, katanya : Suatu saat saya bersama-sama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al Jauhari menghadiri suatu jenazah. Setelah selesai mayit itu dikuburkan, maka telah duduk seorang yang buta membaca sesuatu diatas kubur itu. Maka ia disangkal oleh Imam Ahmad, katanya : Wahai fulan ! Membaca sesuatu diatas kubur adalah bid’ah !   Ketika kita keluar dari pekuburan itu, berkata Muhammad bin Qudamah Al Jauhari kepada Imam Ahmad bin Hanbal : Wahai Abu Abdullah ! Apa pendapatmu tentang si Mubasysyir Al-Halabi ? Jawab Imam Ahmad : Dia seorang yang dipercayai. Berkata Muhammad bin Qudamah Al Jauhari seterusnya : Aku  telah menulis sesuatu darinya !  Imam Ahmad berkata : Ya ? Berkata Muhammad bin Qudamah : Telah memberitahuku Mubasysyir, dari Abdurrahman Bin Al Ala’ bin Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berpesan, kalau dia dikuburkan nanti, hendaklah dibacakan dikepalanya ayat-ayat permulaan surat Al Baqarah, dan ayat-ayat penghabisannya, sambil katanya : Aku mendengar Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mewasiatkan orang yang membaca demikian itu.

Mendengar itu, maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepada Muhammad bin Qudamah : Kalau begitu aku tarik penolakanku itu. Dan suruhlah orang buta itu membacakannya.

Berkata Al  Hasan bin As Sabbah Az Za’farani pula : Saya pernah menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i, kalau boleh dibacakan sesuatu diatas kubur orang, maka Jawabnya : Boleh, Tidak mengapa !

Al Khalal pun telah menyebutkan lagi dari As-sya’bi, katanya : Adalah Kaum Anshar, apabila mati seseorang diantara mereka, senantiasalah mereka mendatangi kuburnya untuk membacakan sesuatu dari Al-Qur’an.

Asy-sya’bi berkata, telah memberitahuku Abu Yahya An Naqid, katanya aku telah mendengar Al Hasan bin Al-Haruri berkata : Saya telah mendatangi kubur saudara perempuanku, lalu aku membacakan disitu Surat Tabarak (Al-Mulk), sebagaimana yang dianjurkan. Kemudian datang kepadaku seorang lelaki dan memberitahuku, katanya : Aku mimpikan saudara perempuanmu, dia berkata : Moga-moga Allah memberi balasan kepada Abu Ali (yakni si pembaca tadi) dengan segala yang baik. Sungguh aku mendapat manfaat yang banyak dari bacaannya itu.

Telah memberitahuku Al-Hasan bin Haitsam, katanya aku mendengar Abu Bakar Al Athrusy berkata : Ada seorang lelaki datang ke kubur ibunya pada hari jum’at, kemudian ia membaca surat Yasin disitu. Bercerita Abu Bakar seterusnya : Maka aku pun datang kekubur ibuku dan membaca surah Yasiin, kemudian aku mengangkat tangan : Ya Allah ! Ya Tuhanku ! Kalau memang Engkau memberi pahala lagi bagi orang yang membaca surat ini, maka jadikanlah pahala itu bagi sekalian ahli kubur ini !

Apabila tiba hari jum’at yang berikutnya, dia ditemui seorang wanita. Wanita itu bertanya : Apakah kau fulan anak si fulanah itu ? Jawab Abu Bakar : Ya ! Berkata wanita itu lagi : Puteriku telah meninggal dunia, lalu aku bermimpikan dia datang duduk diatas kuburnya. Maka aku bertanya : Mengapa kau duduk disini ? Jawabnya : Si fulan anak fulanah itu telah datang ke kubur ibunya seraya membacakan Surat Yasin, dan dijadikan pahalanya untuk ahli kuburan sekaliannya. Maka aku pun telah mendapat bahagian daripadanya, dan dosaku pun telah diampunkan karenanya.” (Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Ar Ruh, Hal. 5. Maktabah Al Misykah)

Demikian dari Imam Ibnul Qayyim. Sebagian ulama –seperti Syaikh Al Albani- menganggap bahwa kitab Ar Ruh adalah tidak benar dinisbatkan sebagai karya Imam Ibnul Qayyim, sekali pun benar, mestilah kitab ini dibuat olehnya ketika masih muda. Dengan kata lain, pendapat Beliau dalam Zaadul Ma’ad tentang bid’ahnya membaca Al Quran di kubur, telah merevisi pendapat yang ada dalam Ar Ruh. Sementara ulama lain mengatakan, benar bahwa Ar Ruh adalah karya Imam Ibnul Qayyim jika dilihat dari gaya penulisannya yang jelas khas dan cita rasa beliau, bagi yang terbiasa membaca karya-karyanya, hal ini akan mudah diketahui. Wallahu A’lam

6.  Imam Jalauddin As Suyuthi Rahimahullah

Beliau mengatakan:

أَنَّ سُنَّةَ الْإِطْعَامِ سَبْعَةُ أَيَّامٍ، بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى الْآنَ بِمَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ، فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لَمْ تُتْرَكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى الْآنَ، وَأَنَّهُمْ أَخَذُوهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ الْأَوَّلِ. [وَرَأَيْتُ] فِي التَّوَارِيخِ كَثِيرًا فِي تَرَاجِمِ الْأَئِمَّةِ يَقُولُونَ: وَأَقَامَ النَّاسُ عَلَى قَبْرِهِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، وَأَخْرَجَ الْحَافِظُ الْكَبِيرُ أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ عَسَاكِرَ فِي كِتَابِهِ الْمُسَمَّى ” تَبْيِينُ كَذِبِ الْمُفْتَرِي فِيمَا نُسِبَ إِلَى الْإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ “: سَمِعْتُ الشَّيْخَ الْفَقِيهَ أَبَا الْفَتْحِ نَصْرَ اللَّهِ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْقَوِيِّ الْمِصِّيصِيَّ يَقُولُ: تُوُفِّيَ الشَّيْخُ نَصْرُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْمَقْدِسِيُّ فِي يَوْمِ الثُّلَاثَاءِ التَّاسِعِ مِنَ الْمُحَرَّمِ سَنَةَ تِسْعِينَ وَأَرْبَعِمِائَةٍ بِدِمَشْقَ، وَأَقَمْنَا عَلَى قَبْرِهِ سَبْعَ لَيَالٍ نَقْرَأُ كُلَّ لَيْلَةٍ عِشْرِينَ خَتْمَةً

Bahwasanya disunahkan memberikan makanan selama tujuh hari (di rumah mayit, pen), telah sampai kepadaku bahwa hal itu terus berlangsung sampai saat ini di Mekkah dan Madinah. Kenyataannya hal itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat Nabi ﷺ sampai saat ini (zaman Imam As Suyuthi), dan sesungguhnya generasi khalaf telah   mengambil dari generasi salaf sampai generasi awal Islam. Aku melihat dalam banyak kitab-kitab sejarah dan biografi para imam, bahwa mereka mengatakan: “Manusia menetap di kuburnya (para imam, pen) selama tujuh hari membaca Al Quran. Diriwayatkan oleh Al Hafizh Al Kabir Abul Qasim bin ‘Asakir dalam kitabnya yang bernama “Tabyin Kadzib Al Muftara” yang disandarkan sebagaikarya Imam Abul Hasan Al Asy’ari: “Aku mendengar Asy Syaikh Al Faqih Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bin Abdul Qawwi Al Mishshishiy berkata: Telah wafat Asy Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisiy di hari selasa, tanggal 9 Muharam, 490H di Damaskus, kamu menetap di kuburnya selama tujuh malam dan membaca Al Quran tiap malam sebanyak 20 kali khatam.    (Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Hawi Lil Fatawi, Juz. 2 Hlm. 234)

Imam As Suyuthi juga menceritakan (dan ini sering dijadikan dalil tahlilan selama tujuh hari dan empat puluh hari oleh pihak yang mendukung tahlilan):

روى أحمد بن حنبل في الزهد وأبو نعيم في الحلية   عن طاوس أن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام إسناده صحيح وله حكم الرفع وذكر بن جريج في مصنفه عن عبيد بن عمير أن المؤمن يفتن سبعا والمنافق أربعين صباحا وسنده صحيح أيضا

Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Az Zuhd, Abu An Nu’aim dalam Al Hilyah, dari Thawus bahwasanya mayit akan mendapatkan ujian dikuburnya selama tujuh hari, maka para sahabat nabi menyukai untuk memberikan makan selama tujuh itu. Isandnya shahih dan hukumnya sebagai hadits marfu’. Ibnu Juraij dalam Mushannafnya menyebutkan dari ‘Ubaid bin ‘Amir bahwa seorang mu’min diuji selama tujuh hari sedangkan orang munafik diuji selama empat puluh hari. (Imam As Suyuthi, Ad Dibaj ‘Alash Shahih Muslim, Juz. 2, Hlm. 490. Atsar-atsar ini juga terdapat dalam kitabnya Imam Ibnul Jauzi, Shifatush Shafwah, Juz. 1, Hlm. 454)

7.  Imam Asy Syaukani Rahimahullah

Dalam kitab Nailul Authar-nya, Ketika membahas tentang hadits dari Ibnu Abbas, tentang pertanyaan seorang laki-laki, bahwa ibunya sudah meninggal apakah sedekah yang dilakukannya membawa manfaat buat ibunya? Rasulullah menjawab: ya. (HR. Bukhari, At Tirmidzi, Abu Daud, dan An Nasa’i)

Dalam menjelaskan hadits ini, dia mengatakan:

وَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي غَيْرِ الصَّدَقَةِ مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ هَلْ يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ ؟ فَذَهَبَتْ الْمُعْتَزِلَةُ إلَى أَنَّهُ لَا يَصِلُ إلَيْهِ شَيْءٌ وَاسْتَدَلُّوا بِعُمُومِ الْآيَةِ وَقَالَ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ : إنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ انْتَهَى

Telah ada  perbedaan pendapat para ulama, apakah  ‘sampai atau tidak’ kepada mayit,  perihal amal kebaikan selain sedekah?   Golongan  mu’tazilah (rasionalis ekstrim) mengatakan, tidak sampai sedikit pun. Mereka beralasan dengan keumuman ayat (yakni An Najm: 39, pen).  Sementara, dalam Syarh Al Kanzi Ad  Daqaiq, disebutkan: bahwa manusia menjadikan amalnya sebagai pahala untuk orang selainnya, baik itu dari shalat, puasa, haji, sedekah, membaca Al Quran, dan semua amal kebaikan lainnya, mereka sampaikan hal itu kepada mayit, dan menurut Ahlus Sunnah hal itu bermanfaat bagi mayit tersebut. Selesai. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 4/92. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Imam Asy Syaukani telah memberikan dalil untuk masing-masing amal kebaikan yang bisa disampaikan kepada mayit, baik puasa, haji, sedekah, dan juga membaca Al Quran. (Ibid, 4/93)

8.  Al Imam Al Hafizh Fakhruddin Az Zaila’i Rahimahullah

Perlu diketahui, ayat yang dijadikan dalil oleh Imam Asy Syafi’i, menurut Ibnun Abbas telah dimansukh (dihapus). Dalam Tafsir Ibnu Jarir tentang An Najm ayat 39: “Manusia tidaklah mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.”  Disebutkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut mansukh (dihapus, yang dihapus bukanlah teksnya, tetapi hukumnya, pen) oleh ayat lain yakni, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka ..”  maka anak-anak akan dimasukkan ke dalam surga karena kebaikan yang dibuat bapak-bapaknya. (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari,  Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, 22/546-547)

Sementara dalam kitab Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad Daqaiq, disebutkan bahwa An Najm ayat 39 tersebut dikhususkan untuk kaum Nabi Musa dan Ibrahim, karena di dalam rangkaian ayat tersebut   diceritakan tentang  kitab suci mereka berdua, firmanNya: “Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?” (QS. An Najm (53): 36-37)

Ada juga yang mengatakan, maksud ayat tersebut (An Najm 39) adalah untuk orang kafir, sedangkan orang beriman, maka baginya juga mendapatkan manfaat usaha dari saudaranya. (Imam Fakhruddin Az Zaila’i, Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad Daqaiq, 5/132)

9.  Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi  dan Imam Kamaluddin bin Al Hummam Rahimahumallah

ومنها ما رواه أبو داود “اقرءوا على موتاكم سورة يس” وحينئذ فتعين أن لا يكون قوله تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} [النجم:39] على ظاهره، وفيه تأويلات أقربها ما اختاره المحقق ابن الهمام أنها مقيدة بما يهبه العامل يعني ليس للإنسان من سعي غيره نصيب إلا إذا وهبه له فحينئذ يكون له

“Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud: “Bacalah surat Yasin atas orang yang menghadapi kematian di antara kalian.” Saat itu tidaklah ayat: Manusia tidaklah mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya (An Najm: 39) diartikan secara zhahir. Ayat ini memliki banyak takwil. Yang paling dekat dengan kebenaran adalah apa yang telah dipilih oleh Al Muhaqqiq Ibnu Al Hummam, bahwa ayat itu tidak termasuk  orang yang menghadiahkan amalnya. Artinya, tidaklah bagi manusia mendapatkan bagian selain apa yang diusahakannya, kecuali jika dia menghibahkan kepada orang lain, maka saat itu menjadi milik orang tersebut.” (Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi, Al Bahrur Raiq Syarh Kanz Ad Daqaiq,  3/84.    Dar Ihya At Turats)

Dalam kitab Fathul Qadir –nya Imam Ibnul Hummam, pada Bab Al Hajj ‘anil Ghair, setelah beliau  memaparkan hadits-hadits tentang amal shalih yang bisa dilakukan orang hidup dan bermanfaat untuk orang mati, seperti doa, haji, sedekah, dan terakhir dia menyebut hadits tentang membaca surat Yasin. Lalu beliau mengatakan, bahwa siapa saja yang berbuat amal kebaikan untuk orang lain maka dengannya Allah Ta’ala akan memberinya manfaat dan hal itu telah sampai secara mutawatir  (diceritakan banyak manusia dari zaman ke zaman yang tidak mungkin mereka sepakat untuk dusta, pen). (Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Fathul Qadir, 6/134)

10.  Imam Ibnu Rusyd Al Maliki Rahimahullah

Imam Muhammad Al Kharrasyi mengatakan dalam kitabnya, Syarh Mukhtashar Khalil:

Dalam An Nawazil-nya, Ibnu Rusyd mengatakan: “Jika seseorang membaca Al Quran dan menjadikan pahalanya untuk mayit, maka hal itu dibolehkan. Si Mayit akan mendapatkan pahalanya, dan sampai juga kepadanya manfaatnya. Insya Allah Ta’ala.” (Imam Muhammad Al Kharrasyi, Syarh Mukhtashar  Khalil, 5/467)

11.  Imam Al Qarrafi Al Maliki Rahimahullah

Beliau mengatakan, “Yang benar adalah bahwa bagi orang yang sudah wafat akan mendapat keberkahan dari membaca Al Quran, sebagaimana seseorang yang mendapatkan keberkahan karena bertetanggaan dengan orang shalih, maka hendaknya jangan sampai dibiarkan begitu saja mayat dari perkara membaca Al Quran dan  tahlil (membaca Laa Ilaha Illallah) yang dilakukan saat dikuburnya.” (Imam Ahmad An Nafrawi, Al Fawakih Ad Dawani, 3/283)

12.  Imam Ibnu Hajar Al Haitami Asy Syafi’i Rahimahullah

Dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj beliau mengatakan –setelah mengutip hadits membaca Yasin untuk orang yang sedang sakaratul maut-  bahwa hendaknya diperdengarkan bacaan Al Quran bagi mayit agar mendapatkan keberkahannya sebagaimana orang hidup, jika diucapkan salam saja boleh, tentu membacakannya Al Quran adalah lebih utama. Mereka telah menerangkan bahwa dianjurkan bagi para peziarah dan pengantar untuk membacakan bagian dari Al Quran. (Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 10/371)

13.  Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah

Beliau membolehkan membaca Al Quran untuk mayit bahkan setelah dikuburkan, dan ada sebagian pengikut Syafi’i lainnya menyatakan itu sunah. (Imam Syihabuddin Ar ramli, Nihayatul Muhtaj, 2/428)

14.  Syaikh Hasanain Makhluf Rahimahullah (Mufti Mesir pada masanya)

Beliau  mengatakan –setelah memaparkan berbagai hadits tentang fadhilah Yasin dan analisa yang cukup panjang-  bahwa dibolehkan membaca  surat Yasin pada orang sakit untuk meringankannya, juga pada orang yang  mengalami sakaratul maut, dan boleh juga membacanya untuk orang yang sudah wafat dengan alasan untuk meringankannya. (Fatawa Al Azhar, 5/471)

15.  Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah (Mufti Mesir pada masanya)

Setelah beliau memaparkan hadits-hadits tentang pembacaan Yasin untuk orang wafat, beliau mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang waktu pembacaannya. Ada yang mengatakan sebelum wafat (ketika sakaratul maut) demi meringankan keluarnya ruh, dan saat itu pun malaikat hadir  mendengarkannya untu menurunkan rahmat. Ada juga yang mengatakan dibaca setelah wafat, baik sebelum di kubur atau sesudah dikubur, sama saja. Dan dibolehkan membaca Yasin dengan menghadiahkan pahalanya, Insya Allah itu bermanfaat bagi mayit, dan surat Yasin memiliki keutamaan itu dan juga pengaruhnya. Sedangkan pendapat beliau sendiri, membaca surat Yasin adalah sama saja waktunya, baik ketika sakaratul maut atau setelah wafatnya. Malaikat ikut mendengarkannya, mayit mendapatkan faidahnya karena hadiah tersebut, dan si pembaca juga mendapatkan pahala, begitu pula pendengarnya akan mendapatkan pelajaran dan hikmah darinya. (Fatawa Al Azhar, 8/295)

📚Kesimpulan

Demikianlah perselisihan ini.   Namun, masih ada jalan keluar yang bisa kita tempuh untuk keluar dari perselisihan ini, yakni semua ulama sepakat (ijma’) bahwa berdoa untuk sesama muslim, baik masih sehat, orang sakit, sakaratul maut, dan orang yang sudah meninggal adalah dibolehkan, sebagaimana yang sudah kami jelaskan. Maka, bagi yang tetap ingin mengirimkan pahala membaca Al Quran, sebaiknya ia lakukan dalam bentuk doa saja, setelah dia membaca Al Quran: “Ya Allah, jadikanlah bacaan Al Quranku tadi sebagai rahmat bagi si fulan, dan berikanlah pahalanya bagi si fulan.” Inilah cara yang ditempuh oleh sebagian ulama –seperti Imam Muhammad Al Kharrasyi,  Imam Ahmad An Nafrawi, Imam Abdul Karim As Salusi-  untuk menengahi dua arus pemikiran ini. Jadi,    membaca Al Quran tidak langsung diniatkan untuk si mayit, tapi ia berdoa kepada Allah Ta’ala semoga pahala bacaan Al Qurannya disampaikan untuk si mayit.

Dalam kitab Al Madkhal disebutkan bahwa barangsiapa yang ingin menyampaikan pahala bacaan Al Quran untuk mayit tanpa ada perselisihan pendapat, maka hendaknya dia menjadikannya sebagai doa, seperti: Allahuma awshil tsawaba Dzalik (Ya Allah, sampaikanlah pahala ini ..) (Syarh Mukhtashar Khalil, 5/468. Al Fawakih Ad Dawani, 3/283).

Terakhir, kami sampaikan pandangan bijak dari seorang ulama masa kini, Beliau tidak menyetujui membaca Al Quran untuk orang yang sudah wafat, tetapi pandangannya yang jernih dan sikapnya pun dewasa. Berikut ucapan Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim:

أما أن نذهب إلى الميت، أو إلى القبر ونقرؤها فبعض العلماء يقول: كان بعض السلف يحب أن يقرأ عنده يس، وبعضهم يحب أن تقرأ عنده سورة الرعد، وبعضهم سورة البقرة، كل ذلك من أقوال السلف ومن أفعالهم، فلا ينبغي الإنكار في ذلك إلى حد الخصومة، ولو أن إنساناً عرض وجهة نظره واكتفى بذلك فقد أدى ما عليه، لكن أن تؤدي إلى الخصومة والمنازعة والمدافعة فهذا ليس من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم في البيان، وفي الدعوة إلى الله أو إلى سنة رسول الله

“Adapun kami pergi menuju mayit, atau kubur, dan kami membaca Al Quran. Maka sebagian ulama mengatakan: “Dahulu kaum salaf menyukai membaca surat Yasin di samping mayit, sebagian lagi menyukai membaca surat Ar Ra’du, dan sebagian lain surat Al Baqarah. Semua ini merupakan ucapan dan perbuatan kaum salaf (terdahulu). Maka, tidak semestinya mengingkari hal itu hingga lahir kebencian. Seandainya manusia sudah menyampaikan pandangannya maka hal itu sudah cukup, dan dia telah menunaikan apa yang seharusnya. Tetapi jika demi melahirkan  permusuhan, perdebatan, dan  menyerang, maka ini bukanlah sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam memberikan penjelasan, dan bukan cara dakwah kepada Allah dan kepada sunah Rasulullah.” (Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh Bulughul Maram, Hal. 113. Maktabah Misykah)

Wallahu A’lam


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Hukum Gambar

Ustadz Farid Nu’man Hasan

Assalamualaikum, afwan saya mau bertanya di zaman yang semakin berkembang ini kita pasti tau yang namanya selfie, disini saya mau bertanya bagaimana pandangan islam tentang foto selfie itu sendiri, terlebih lagi jika di posting di media sosial bukan kah ini dapat membuat kaum adam ataupun kaum hawa dpt tertarik satu sama lain ?dan juga bukan kah kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan kita kpd yang bukan muhrim ?syukron😊

===========
Jawaban

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

Untuk pertanyaan ini sudah di web manis, silahkan adik-adik cek d sana ya

HUKUM GAMBAR/FOTO

http://www.manis.id/2016/10/hukum-gambarfoto.html?m

Bolehkah Dana Sisa Kegiatan Dipakai Untuk Pribadi?

Ustadz Farid Nu’man Hasan

Misalnya ada sebuah proyek. Nah, dari dana yang dianggarkan ternyata sisa. Lalu, oleh beberapa orang dana tersebut dipakai sendiri alias dipakai diluar kebutuhan. Nah, tetapi di laporan pertanggungjawaban sisa dana tersebut ditulis dengan memakai nota palsu. Nah, itu bagaimana hukum nya ya? Kalau bisa jawaban nya udah ada besok atau lusa ya kak..
#MFT A02

Jawaban
========

Itu namanya Al-Gisy (menipu), dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من غشنا فليس منا

“Siapa yg menipu kami maka bukan golongan kami.” (HR. Muslim)

Wallahu A’lam

Ibadah Dibarengi Niat dan Tujuan Duniawi, apakah Syirik?

Ustadz Farid Nu’man Hasan

Assalamu’alaikum wr. wb
Ustad Farid Nu’man, kalau puasa Daud dg niat spy sehat apakah termasuk syirik..?
Jazakallah khair
Atas jawaban ustad.

•••••••••••••••••••••••••••••••••

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Sesungguhnya Islam sangat perhatian kepada amal, terlebih lagi terhadap “pendorong” dibalik sebuah amal. Nilai sebuah amal ditentukan oleh pendorongnya itu, itulah niat.

Hal ini didasarkan pada hadist:

نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ

“Niat seorang mu’min lebih baik dari pada amalnya.” (HR. Ath Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 6/185-186, dari Sahl bin Sa’ad As Saidi. Imam Al-Haitsami mengatakan: “Rijal hadits ini mautsuqun (terpercaya), kecuali Hatim bin ‘Ibad bin Dinar Al Jursyi, saya belum melihat ada yang menyebutkan biografinya.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/61)

⇨ Allah Ta’ala melihat seorang hamba dari niatnya

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada penampilan kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim 4/1987, dari Abu Hurairah)

Hujjatul Islam, Al-Imam Al-Ghazali Rahimahullah mengatakan:

وَإِنَّمَا نَظَرَ إِلَى الْقُلُوبِ لأَِنَّهَا مَظِنَّةُ النِّيَّةِ ، وَهَذَا هُوَ سِرُّ اهْتِمَامِ الشَّارِعِ بِالنِّيَّةِ فَأَنَاطَ قَبُول الْعَمَل وَرَدَّهُ وَتَرْتِيبَ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ بِالنِّيَّةِ

“Sesungguhnya Dia melihat kepada hati lantaran hati adalah tempat niat, inilah rahasia perhatian  Allah terhadap niat. Maka, diterima dan ditolaknya amal tergantung niatnya, dan pemberian pahala dan siksa juga karena niat.” (Ihya ‘Ulumuddin, 4/351)

Oleh karena itu, jika seseorang beribadah  targetnya adalah akhirat, maka dia mendapatkannya. Jika targetnya adalah dunia maka dia akan mendapatkannya, tapi dia tidak mendapatkan akhirat.

Allah SWT berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)

Demikianlah, jika amal-amal akhirat dilakukan untuk target duniawi semata-mata, tidak ada tujuan akhirat sama sekali, begitu keras ancamannya. Sebab itu merupakan bentuk kesyirikan.

Disebutkan dalam Shahih Muslim, kisah Mujahidin, Qari, dan seorang dermawan, yang semuanya masuk  neraka, lantaran amal shalih mereka, jihad, membaca Al-Qur’an, dan sedekah bukan mencari ridha Allah SWT tetapi tujuan duniawi semata.

⇨ Lalu .., Bagaimana Dengan Amal Shalih Yang bercampur?

Seseorang beramal akhirat, tujuannya akhirat, tapi ada noda tujuan dunia. Apakah ini tetap berpahala atau justru siksa? Ataukah tidak berpahala dan juga tidak ada siksa? Ataukah masing-masing dapat bagiannya, dia diberikan pahala karena niat akhiratnya dan dia juga berdosa karena noda dunianya.

Hal ini seperti seseorang pergi haji dengan niat berdagang, puasa sunnah sekalian diet, wudhu untuk kesegaran, dan semisalnya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa amal ini gugur. Hal ini berdasarkan hadits Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu:

جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال  أرأيت رجلا غزا يلتمس الأجر والذكر ماله فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا شيء له فأعادها ثلاث مرات يقول له رسول الله صلى الله عليه و سلم لا شيء له ثم قال إن الله لا يقبل من العمل إلا ما كان له خالصا وابتغي به وجهه

Datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW dan dia bertanya: “Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang  berperang dalam rangka mencari balasan harta dunia?” Maka Rasulullah SAW menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi sampai tiga kali, semua di jawab oleh Rasulullah SAW : “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Lalu Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali amal itu ikhlas  berharap wajahNya semata.” (HR. An-Nasa’i No. 3140, hasan shahih)

Inilah pendapat Imam Ibnu Rajab dalam Jaami’ Al-‘Uluum wal Hikam, saya akan kutip bagian yang penting saja:

واعلم أنَّ العمل لغيرِ الله أقسامٌ : فتارةً يكونُ رياءً محضاً ، بحيثُ لا يُرادُ به سوى مراآت المخلوقين لغرضٍ دُنيويٍّ ، كحالِ المنافِقين في صلاتهم ، كما قال الله – عز وجل – : { وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللهَ إلاَّ قَلِيلاً }   .
وقال تعالى : { فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ } الآية
وكذلك وصف الله تعالى الكفار بالرِّياء في قوله : { وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَراً وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ الله } ((5)) .
وهذا الرِّياءُ المحضُ لا يكاد يصدُرُ من مُؤمنٍ في فرض الصَّلاةِ والصِّيامِ ، وقد يصدُرُ في الصَّدقةِ الواجبةِ أو الحجِّ ، وغيرهما من الأعمال الظاهرةِ ، أو التي يتعدَّى نفعُها ، فإنَّ الإخلاص فيها عزيزٌ ، وهذا العملُ لا يشكُّ مسلمٌ أنَّه حابِطٌ ، وأنَّ صاحبه يستحقُّ المقتَ مِنَ اللهِ والعُقوبة

Ketahuilah bahwa amal karena selain Allah ada beberapa macam; kadang karena semata-mata riya, yang tidak dimaksudkan pamer kepada makhluk dengan motivasi duniawi, seperti keadaan kaum munafik dalam shalat mereka, sebagaimana firman Allah SWT :

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali hanya sedikit.” (QS. An-Nisa: 142)

Ayat yang lain:

“Celakah bagi orang yang shalat, yaitu orang yang lalai dari shalatnya, yaitu mereka yang shalatnya ingin dilihat manusia.” (QS. Al-Ma’un: 4-5)

Begitu juga Allah SWT mensifatkan orang-orang kafir dengan riya, dalam firman-Nya:

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal: 47)

Inilah riya yang murni, hampir-hampir seorang mukmin tidak akan muncul perasaan itu dalam shalat dan puasanya. Tapi bisa jadi muncul pada amal sedekah, haji, atau lainnya, yang merupakan amal zhahir atau kelihatan hasilnya. Ikhlas dalam amal-amal ini merupakan sesuatu yang amat berharga dan mulia. Tidak ragu lagi, bahwa amal seperti ini bisa menggugurkan pahala, bahkan itu layak dibenci Allah dan mendapatkan hukuman. (Jaami’ Al-‘Uluum wal Hikam, 3/30)

Sementara itu, ulama lain mengatakan bahwa amal shalih yang bercampur dorongan duniawi tetap di terima oleh Allah SWT walau tidak sesempurna yang ikhlas secara total.

Alasannya adalah:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah: 7-8)        

Ayat lain:

    إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
             
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 40)

Inilah yang diikuti oleh Imam Al-Ghazali Rahimahullah, Beliau mengatakan:

أما الذي لم يرد به إلا الرياء فهو عليه قطعاً وهو سبب المقت والعقاب وأما الخالص لوجه الله تعالى فهو سبب الثواب وإنما النظر في المشوب وظاهر الأخبار تدل على أنه لا ثواب له   وليس تخلو الأخبار عن تعارض فيه والذي ينقدح لما فيه والعلم عند الله أن ينظر إلى قدر قوة الباعث فإن كان الباعث الديني مساوياً للباعث النفسي تقاوماً وتساقطاً وصار العمل لا له ولا عليه وإن كان باعث الرياء أغلب وأقوى فهو ليس بنافع وهو مع ذلك مضر ومفض للعقاب
نعم العقاب الذي فيه أخف من عقاب العمل الذي تجرد للرياء ولم يمتزج به شائبة التقرب
وإن كان قصد التقرب أغلب بالإضافة إلى الباعث الآخر فله ثواب بقدر ما فضل من قوة الباعث الديني

Orang yang beramal semata karena riya, sudah pasti amalnya itu menyebabkan kebencian dan siksa dari Allah SWT. Sedangkan yang melakukan karena ikhlas, maka amal itu menjadi sebab datangnya pahala dari Allah.

Yang perlu dikaji lagi adalah amalan yang niatnya bercampur. Menurut zhahir hadits ada yang menyebut bahwa amal itu tidak ada pahalanya. Namun, hadist lain menunjukkan sebaliknya. Yang bisa dikatakan dalam masalah ini -dan ilmunya pada sisi Allah SWT- bisa dilihat dari sisi kekuatan motivasinya amal. Jika  motivasi keagamaan sejajar dengan motivasi pribadi, baik ukuran dan timbangan, maka amal itu tidak mendatangkan pahala dan dosa.

Jika pendorong riya lebih dominan dan kuat, maka amal itu tidak bermanfaat, dan bahkan bisa mendatangkan siksa. Namun, siksa ini lebih ringan daripada siksa amal yang semata karena riya, dan tidak dicampuri motivasi untuk taqarrub kepada Allah SWT.

Jika tujuan taqarrub lebih dominan dari pada motivasi lainnya, maka dia mendapatkan pahala sesuai kekuatan motivasi agama. (Ihya ‘Ulumuddin, 4/384)

Apa yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali sangat bagus dan memuaskan, baik secara dalil naqli dan akal. Semoga rahmat Allah SWT atasnya dan kita semua.

Demikian. Wallahu A’lam

Perbuatan dan Keyakinan yang Membuat Pelakunya menjadi Kafir dari Islam

Ustadz Farid Nu’man Hasan

Berikut ini tertera dalam kitab Minhajul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al-Jazairi Rahimahullah:

1⃣ Siapa pun yang memaki Allah ﷻ, atau seorang Rasul dari rasul-rasul-Nya, atau malaikat-malaikat-Nya ‘Alaihimussalam, maka dia kafir.

2⃣ Siapa pun yang mengingkari rububiyah Allah ﷻ, atau risalahnya seorang Rasul, atau menyangka bahwa adanya seorang nabi setelah penutup para Nabi, Sayyidina Muhammad ﷺ, maka dia kafir.

3⃣ Siapa pun yang mengingkari sebuah kewajiban diantara kewajiban-kewajiban syariat yang telah disepakati, seperti shalat atau zakat atau shaum atau haji atau berbakti kepada kedua orang tua atau jihad misalnya, maka dia kafir.

4⃣ Siapa pun yang membolehkan hal-hal yang telah disepakati keharamannya, dan termasuk perkara yang telah diketahui secara pasti dalam agama, seperti zina, atau meminum khamr, atau mencuri, atau membunuh, atau sihir misalnya, maka dia kafir.

5⃣ Siapa pun yang mengingkari satu surat saja dalam Al-Qur’an, atau satu ayat, atau satu huruf saja, maka dia kafir.

6⃣ Siapa pun yang mengingkari satu sifat saja di antara sifat-sifat Allah ﷻ, seperti Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Pengasih, maka dia kafir.

7⃣ Siapa pun yang terang-terangan meremehkan ajaran agama baik pada kewajibannya, atau sunah-sunahnya, atau mengejeknya, atau melecehkannya, atau melempar mushaf ke tempat kotor, atau menginjaknya dengan kaki, menghina dan melecehkannya, maka dia kafir.

8⃣ Siapa pun yang meyakini tidak ada hari kebangkitan, tidak ada siksaan, dan tidak ada kenikmatan pada hari kiamat nanti, atau menganggap azab dan nikmat itu hanyalah bermakna maknawi (tidak sebenarnya), maka dia kafir.

9⃣ Siapa pun yang menyangka bahwa para wali lebih utama dibanding para nabi, atau menyangka bahwa ibadah telah gugur bagi para wali, maka dia telah kafir.

Semua hal ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) umumnya kaum muslimin, setelah firman Allah Ta’ala:

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”

Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela’nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal. (QS. At-Taubah: 65-66)

Maka, ayat ini menunjukkan bahwa setiap orang yang terang-terangan mengolok-olok Allah, atau sifat-sifat-Nya, atau syariat-Nya, atau Rasul-Nya, maka dia kafir.

(Selesai)

📚 Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, Hal. 378-379. Cet. 4. 1433H-2012M. Maktabah Al-‘Ulum wal Hikam. Madinah

Shalat Wajib Bolong-bolong

Ustadz Farid Nu’man Hasan

Assalamu’alaikum. Ustad saya mau nanya..jika ada orang yang sholat wajibnya  selalu tidak ful 5 waktu
Apa sholat itu diterima oleh Allah swt.?

======================
Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah .., Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Sungguh malang orang yang mengaku muslim tapi tidak shalat. Pengakuan kosong yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Berikut ini berbagai kecaman untuk mereka yang sengaja meninggalkan shalat.

📌Kecaman Dalam Al Quran

Allah Ta’ala telah mengecam mereka dalam berbagai ayatNya:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam (19): 59)

Mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Saqar. Allah Ta’ala berfirman:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (42) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43)

 “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” mereka menjawab: “Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS. Al Muddatsir (74):42-43)

Mereka mengalami kesulitan sakaratul maut. Allah Ta’ala berfirman:

كَلا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (27) وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ (28) وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ (29) إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ (30) فَلا صَدَّقَ وَلا صَلَّى (31) وَلَكِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (32) ثُمَّ ذَهَبَ إِلَى أَهْلِهِ يَتَمَطَّى (33) أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى (34) ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى (35)

“Sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”, dan Dia yakin bahwa Sesungguhnya Itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran), kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). kecelakaanlah bagimu   dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu   dan kecelakaanlah bagimu.” (QS. Al Qiyamah (75): 26-35)

 Mereka juga diancam dengan neraka Wail (kecelakaan). Allah Ta’ala berfirman:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (5)

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Ma’un (107): 4-5)

📌Kecaman Dalam Al Hadits

 Dalam berbagai hadits shahih, orang yang sengaja meninggalkan shalat disebut kafir. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة

“Batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran   adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim No. 82, At Tirmidzi No. 2752, Ibnu Majah No. 1078, Ad Darimi No. 1233, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf 7/222/43, Ibnu Hibban No. 1453, Musnad Ahmad No. 15183, tahqiq: Syu’aib Al Arna’uth, Adil Mursyid, dll)

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر

“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barang siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. At Tirmidzi No. 2621, katanya: hasan shahih gharib, An Nasa’i No. 463, Ibnu Majah No. 1079, Ibnu Hibban No. 1454, Sunan Ad Daruquthni, Bab At Tasydid fi Tarkish Shalah No. 2, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 6291, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/222/45, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 11, katanya: “isnadnya shahih dan kami tidak mengetahui adanya cacat pada jalur  dari berbagai jalur. Semuanya telah berhujjah dengan Abdullah bin Buraidah dari ayahnya. Muslim telah berhujjah dengan Al Husein bin Waqid, Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya dengan lafaz ini. Hadits ini memiliki penguat yang shahih sesuai syarat mereka berdua.” Ahmad No. 22937, Syaikh

Syu’aib Al Arna’uth mengatakan: sanadnya qawwy (kuat). Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya)

Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من حافظ عليها كانت له نورا وبرهانا ونجاة من النار يوم القيامة ومن لم يحافظ عليها لم تكن له نورا ولا نجاة ولا برهانا وكان يوم القيامة مع قارون وفرعون وهامان وأبي بن خلف

“Barangsiapa yang menjaga shalatnya maka baginya cahaya, bukti, dan keselamatan dari neraka pada hari kiamat. Barangsiapa yang tidak menjaganya maka dia tidak memiliki cahaya dan tidak selamat (dari api neraka), dan tidak memiliki bukti, serta pada hari kiamat nanti dia akan hidup bersama Qarun, Fir’aun, Hamman, dan Ubai bin Khalaf.” (HR. Ad Darimi No. 2721, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Misykah Al Mashabih No. 578. Syaikh Sayyiq Sabiq mengatakan sanadnya jayyid (baik), Fiqhus Sunnah, 1/93. Dar Al Kitab Al ‘Arabi. Ahmad No. 6576, kata pentahqiqnya: sanadnya hasan)

Imam Al Mundziri Rahimahullah mengatakan:

وقال ابن أبي شيبة قال النبي صلى الله عليه وسلم : من ترك الصلاة فقد كفر
وقال محمد بن نصر المروزي سمعت إسحاق يقول صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة كافر
 
Berkata Ibnu Abi Syaibah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka dia telah kafir.”

Berkata Muhammad bin Nashr Al Marwazi, aku mendengar Ishaq berkata: “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat, maka dia telah kafir.” (Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Cet. 5, Maktabah Al Ma’arif. Riyadh)

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من ترك صلاة العصر فقد حبط عمله
 
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat ashar, maka telah terhapus amalnya.” (HR. Bukhari No. 528, An Nasa’i No. 474, Ibnu Hibban No. 1470, Ahmad No. 22959, Ibnu Khuzaimah No. 336)

Sementara dalam hadits lain, bahwa orang yang meninggalkan shalat boleh dihukum mati ( tentu setelah keputusan  mahkamah syariah). Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة المكتوبة، وصوم رمضان

Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal ( untuk dibunuh), (yakni):  Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Ya’ala dan Ad Dailami dishahihkan oleh Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid: aku tidak mengetahui melainkan hadits ini  telah dimarfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan, Majma’ Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Tapi Syaikh Al Albani mendhaifkannya dalam Dhaiful Jami’ No. 3696)

📌Kafirkah Yang Meninggalkan Shalat?

  Manusia meninggalkan shalat karena dua keadaan:

1.  Mengingkari kewajibannya.

 Dia tidak shalat karena menurutnya shalat lima waktu itu bukan kewajiban. Jenis ini adalah kafir, murtad dari Islam, tidak ada perselisihan atas hal itu dan merupakan kesepakatan kaum muslimin.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

ترك الصلاة جحودا بها وإنكارا لها كفر وخروج عن ملة الاسلام، بإجماع المسلمين.

Meninggalkan shalat karena menolak dan mengingkarinya, maka itu adalah kafir dan keluar dari agama Islam menurut ijma’ kaum muslimin. (Fiqhus Sunnah, 1/92)

2.  Tidak shalat tapi masih mengakui kewajibannya tapi meninggalkan karena malas, tenggelam kesibukan yang tidak beralasan, dan semisalnya. Maka para ulama berbeda pendapat, ada yang menilainya kafir dan murtad, ada yang menilainya masih muslim tapi fasiq dan berdosa besar.
Alasannya banyak hadits-hadits yang menyatakan kafirnya meninggalkan shalat dan hukumnya adalah mati, sebagaimana hadits-hadits yang sudah kami sebut sebelumnya. Begitu pula pandangan para sahabat nabi secara umum.

📌Kecaman dan Fatwa Dari Para Sahabat

Secara umum, para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meny

atakan kafirnya oang yang se

ngaja meninggalkan shalat. Dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كان أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة
 
  Para sahabat nabi tidaklah memandang suatu perbuatan yang dapat kufur jika ditinggalkan melainkan meninggalkan shalat.” (HR. At Tirmidzi No. 2757, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2622)

  Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mencatat dalam Al Muhalla-nya:

وَقَدْ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلاةَ فَرْضٍ وَاحِدَةٍ مُتَعَمِّدًا حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا فَهُوَ كَافِرٌ مُرْتَدٌّ.

  “Telah datang dari Umar, Abdurrahman bin ‘Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, dan selain mereka dari kalangan sahabat Radhiallahu ‘Anhum, bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib sekali saja secara sengaja hingga keluar dari waktunya, maka dia kafir murtad.” (Al Muhalla, 1/868. Mawqi’ Ruh Al Islam)

  Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu ‘Anhuma, mengatakan:
ومن ترك الصلاة فلا دين له.

  “Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya.” (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 5/508. Darul Fikr)

  Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu berkata:

لا إيمان لمن لا صلاة له ولا صلاة لمن لا وضوء له رواه ابن عبد البر وغيره موقوفا

  “Tidak ada iman bagi yang tidak shalat, dan tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu.” Diriwayatkan Ibnu Abdil Bar dan selainnya secara mawquf. (Atsar ini Shahih mawquf. Lihat Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Maktabah Al Ma’arif)

Imam Al Mundziri Rahimahullah menyebutkan:

وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة عمدا من غير عذر حتى يذهب وقتها كافر

  “Demikian pula, dahulu   pendapat ulama dari orang yang dekat dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yakni para sahabat), bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa ‘udzur, sampai habis waktunya, maka dia kafir.” (Ibid)

  Tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat juga menjadi pendapat umumnya ahli hadits, sebagaimana keterangan berikut dari Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah yang  mengatakan:

الإمام أحمد   وكثير من علماء أهل الحديث يرى تكفير تارك الصلاة .
وحكاه إسحاق بن راهويه   إجماعا منهم حتى إنه جعل قول من قال : لا يكفر بترك هذه الأركان مع الإقرار بها من أقوال المرجئة . وكذلك قال سفيان بن عيينه : المرجئة سموا ترك الفرائض ذنبا بمنزلة ركوب المحارم ، وليسا سواء ، لأن ركوب المحارم متعمدا من غير استحلال : معصية ، وترك الفرائض من غير جهل ولا عذر : هو كفر . وبيان ذلك في أمر آدم وإبليس وعلماء اليهود الذين أقروا ببعث النبي صلي الله عليه وسلم ولم يعملوا بشرائعه . وروي عن عطاء ونافع مولى ابن عمر أنهما سئلا عمن قال : الصلاة فريضة ولا أصلي ، فقالا : هو كافر . وكذا قال الإمام أحمد .

Imam Ahmad dan kebanyakan ulama ahli hadits berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Ishaq bin Rahawaih menceritakan adanya ijma’ di antara mereka (ahli hadits), sampai-sampai dijadikan sebuah ungkapan barangsiapa yang mengatakan: tidak  kafirnya orang yang meninggalkan rukun-rukun ini dan orang itu masih mengakui rukun-rukun tersebut, maka ini adalah termasuk perkataan murji’ah. Demikian juga perkataan Sufyan bin ‘Uyainah: orang murji’ah menamakan meninggalkan kewajiban adalah sebagai dosa dengan posisi yang sama dengan orang yang menjalankan keharaman. Keduanya tidaklah sama, sebab menjalankan keharaman dengan tanpa sikap ‘menghalalkan’ merupakan maksiat, dan meninggalkan kewajiban-kewajiban bukan karena kebodohan dan tanpa ‘udzur, maka dia kufur. Penjelasan hal ini adalah dalam perkara Adam dan Iblis, dan ulama Yahudi yang mengakui diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mereka tidak mengamalkan syariat-syariatnya. Diriwayatkan dari Atha’ dan Nafi’ pelayan ibnu Umar, bahwa mereka berdua ditanya tentang orang yang mengatakan: Shalat adalah wajib tetapi saya tidak shalat.” Mereka berdua menjawab: Dia kafir. Ini juga pendapat Imam Ahmad.” (Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 1/9. Mawqi’ Ruh Al Islam)

  Syaikh Sayyid Sabiq

Rahimahullah mengatakan, tenta

ng pihak yang mengkafirkan orang yang tidak shalat:

ومن غير الصحابة أحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه، وعبد الله بن المبارك، والنخعي، والحكم بن عتيبة وأبو أيوب السختياني، وأبو داود الطيالسي، وأبو بكر بن أبي شيبة، وزهير بن حرب، وغيرهم رحمهم الله تعالى

  Dari selain sahabat nabi, adalah Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahuyah, Abdullah bin Al Mubarak, An Nakha’i, Al Hakam bin ‘Utaibah, Abu Ayyub As Sukhtiyani, Abu Daud Ath Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan selain mereka, Rahimahumullah Ta’ala. (Fiqhus Sunnah, 1/93)  
 
  Imam Asy Syaukani Rahimahullah menguatkan pendapat ini, karena syaari’ (pembuat syariat) telah menamakan orang yang meninggalkan shalat dengan sebutan kafir, dan menjadi dinding pembatas antara seseorang dengan penyebutan kafir adalah shalat. (Ibid, 1/95)

  Sementara itu, mayoritas ulama mengatakan orang yang meninggalkan shalat karena sengaja, baik karena malas, atau alasan yang tidak syar’i lainnya, bahwa dia masih muslim tapi fasiq.

  Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

رأي بعض العلماء الاحاديث المتقدمة ظاهرها يقتضي كفر تارك الصلاة وإباحة دمه، ولكن كثيرا من علماء السلف والخلف، منهم أبو حنيفة، مالك، والشافعي، على أنه لا يكفر، بل يفسق ويستتاب، فإن لم يتب قتل حد أعند مالك والشافعي وغيرهما. وقال أبو حنيفة: لا يقتل بل يعزر ويحبس حتى يصلي، وحملوا أحاديث التكفير على الجاحد أو المستحل للترك،

  Pandangan sebagian ulama bahwa hadits-hadits yang lalu, secara zahir menunjukkan bahwa kafirnya orang yang meninggalkan shalat secara  sengaja dan darahnya halal ditumpahkan, tetapi banyak ulama salaf dan khalaf diantaranya Abu Hanifah, Malik, dan Asy Syafi’i yang mengatakan tidak kafir, tetapi fasiq dan mesti dimintai tobatnya. Jika dia tidak bertobat maka mesti dihukum mati menurut Malik dan Syafi’i, sedangkan Abu Hanifah mengatakan: tidak dibunuh tetapi hukum ta’zir dan dikucilkan sampai dia shalat. Golongan ini memaknai hadits-hadits kafirnya meninggalkan shalat adalah jika karena meningkari atau dia menghalalkan meninggalkan shalat. (Fiqhus Sunnah, 1/94-95)

  Selain itu, mereka juga berdalil dengan beberapa dalil lainnya, di antaranya:

  Firman Allah Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

  Sesungguhnya Allah tidak alan mengampuni dosa menyukutukan diriNya, tetapi Dia mengampuni dosa selain itu bagi yang dikehendakiNya. (QS. An Nisa: 48, 116)

  Jelas menurut ayat ini, dosa selain syirik masih berpotensi Allah Ta’ala ampunkan, dan meninggalkan shalat termasuk di antaranya.

  Alasan lain, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لِكُلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةٌ (دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ) يَدْعُو بِهَا وَأُرِيدُ أَنْ أَخْتَبِئَ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي فِي الْآخِرَةِ

Setiap nabi memiliki doa yang dikabulkan, dan aku ingin menyimpan dulu doaku sebagai syafaat bagi umatku di akhirat nanti. (HR. Al Bukhari No. 6304, Muslim No. 198)

   Jadi, seluruh umat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan mendapatkan syafaat dari Allah Ta’ala melalui doa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

  Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

  Manusia paling bahagia adalah yang mendapatkan syafaatku pada hari kiamat, yaitu manusia yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah secara tulus dari hatinya atau jiwanya. (HR. Al Bukhari No. 99)

Dalil lainnya adalah, dari Huraits bin Al Qabishah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya pada hari kiamat nanti  yang pertama kali dihitung dari amal seorang

hamba adalah shalatnya, jika ba

gus shalatnya maka dia telah beruntung dan selamat. Jika buruk maka dia telah merugi dan menyesal. Jika shalat wajibnya ada kekurangan maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Lihatlah apakah hambaKu memiliki shalat sunah? Hendaknya disempurnakan kekurangan shalat wajibnya itu dengannya.” Kemudian diperhitungkan semua amalnya dengan cara demikian. (HR. At Tirmidzi No. 413, katanya: hasan, Abu Daud No. 864, Ahmad No. 9494, Ad Darimi No. 1355, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3813, dll. Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 9494)

 Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah  mengatakan demikian:

تارك الصلاة عمدا لا يشرع له قضاؤها ولا تصح منه، بل يكثر من التطوع

  Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, tidak disyariatkan untuk mengqadhanya dan tidak sah jika dia melaksanakannya, tetapi hendaknya dengan memperbanyak shalat sunah. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/274)

  Hadits ini menunjukkan bahwa memperbanyak shalat sunnah dapat menutupi kekurangan shalat wajib yang ditinggalkan, maka itu tanda bah dia tidak kafir, sebab shalat sunnahnya orag kafir tentu tidak bermanfaat. Sementara ulama lain memahami bahwa makna hadits ini bukan “shalat wajib yang ditinggalkan” disempurnakan oleh shalat sunnah, tetapi shalat yang tidak bagus kualitasnya akan ditutupi oleh shalat sunnah, dia masih shalat tapi kurang bagus kualitasnya, sebab tidak mungkin shalat wajib bisa terbayar oleh shalat sunnah.

📌 Dialog Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad Rahimahumallah

  Imam As Subki bercerita dalam Thabaqat Syafi’iyah:

حكى أن أحمد ناظر الشافعى فى تارك الصلاة فقال له الشافعى يا أحمد أتقول إنه يكفر قال نعم
قال إذا كان كافرا فبم يسلم
قال يقول لا إله إلا الله محمد رسول الله ( صلى الله عليه وسلم )
قال الشافعى فالرجل مستديم لهذا القول لم يتركه
قال يسلم بأن يصلى قال صلاة الكافر لا تصح ولا يحكم بالإسلام بها فانقطع أحمد وسكت

Dikisahkan bahwa Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i berdebat tentang orang yang meninggalkan shalat.

  Imam Asy Syafi’i bertanya kepada Imam Ahmad: “Wahai Ahmad, apakah engkau mengatakan orang yang meninggalkan shalat itu kafir?”

  Imam Ahmad menjawab: “Ya.”

  Imam Asy Syafi’i bertanya lagi: “Lalu, bagaimana caranya dia berislam lagi?”

  Imam Ahmad menjawab: “Dia mesti mengucapkan Laa Ilaaha Illallahu Muhammad Rasulullah.”

  Imam Asy Syafi’i berkata: “Dia masih mengucapkan kalimat itu, dia tidak pernah meninggalkan kalimat syahadat.”

Imam Ahmad mengatakan: “Kalau begitu dia melakukan shalat (untuk kembali Islam).”

  Imam Asy Syafi’i menjawab: “Shalatnya orang kafir itu tidak sah, dan dengan itu dia tidak dihukumi sebagai Islam.” Maka Imam Ahmad pun terdiam. (Imam Tajuddin As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 2/61)

  Bagi kami, di tengah kondisi umat Islam yang sakit mentalnya dan umumnya lemah keberagamaannya, maka posisi mereka dihadapan para da’i dan ulama bagaikan pasien dihadapan dokter. Mereka mesti dihidupkan harapannya bukan ditakut-takuti. Maka, pendapat umumnya ulama madzhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’i, lebih sesuai dengan kondisi zaman ini. Sebab, umat saat ini akan lari dan membenci agama jika dicekoki pandangan yang mengkafirkan mereka, karena itu mengerikan bagi mereka. Sehingga masalah ini tidak terhenti pada adu kuat dalil saja, tapi juga bagaimana psikologis umat Islam sebagai manath-objek dari fiqihnya, juga menjadi perhatian para pemerhati masalah seperti ini.

Wallahu A’lam

Memahami Al Quran; Antara Mentadabburi dan Menafsirkan

Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan.S.S.

Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah:

والتفسير كشف المراد عن اللفظ المشكل

 📌               “Tafsir adalah menyingkap maksud dari lafaz yang mengandung musykil (kesulitan). (Tuhfah Al Ahwadzi, 8/177. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah Al Munawarah)

 Jika kita melihat definisi tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Al Mubarkafuri, maka upaya menafsirkan Al Quran bukanlah pekerjaan ringan dan begitu saja diserahkan kepada sembarang manusia. Di sinilah letak ketergelinciran sebagian manusia, awalnya hanya ingin tadabbur (merenungkan/memperhatikan) isi Al Quran dan mendapatkan hikmahnya, ternyata mereka telah melampaui batas apa yang mereka inginkan, jatuh  pada tahap ngutak-ngatik makna-makna rumit yang menggelisahkan akalnya, hingga akhirnya dia menafsirkannya sendiri dengan hawa nafsu dan tanpa ilmu.

Allah Ta’ala memerintahkan kita agar mentadabburi Al Quran dan memahami isinya.

📌“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad (47): 24)

📌“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa (4): 82)

Tadabbur adalah upaya untuk mendapatkan pelajaran dari Al Quran dengan memikirkan hal-hal yang tersurat darinya.  Kejernihan hati, keikhlasan niat, serta akal yang sehat merupakan media yang harus dipersiapkan agar mendapatkan bimbingan Al Quran.  Imam Al Ghazali menerangkan bahwa membaca Al Quran yang paling baik adalah dengan melibatkan tiga unsur   manusia ketika membacanya. Lisan sebagai penjaga huruf-hurufnya agar benar dan tartil. Akal untuk merenungkan isinya. Hati untuk menerima pelajaran dan bimbingan darinya. Inilah tadabbur yang benar.

Pada titik ini, maka upaya seorang muslim untuk memahami Al Quran dan mencari hikmahnya akan mendapatkan hasil yang baik, pelajaran yang banyak, dan berkah bagi pelakunya. Hendaknya  seorang muslim memperhatikan betul masalah ini agar mereka tidak melangkah ke tempat yang bukan bagiannya, tidak berpikir ke wilayah yang bukan kekuasaannya, dan justru bertindak diluar koridor bimbingan Al Quran. Jika, dia menemukan kata-kata sulit dan makna-makna rumit yang belum difahaminya dan jauh dari pengetahuannya, maka hendaknya dia tundukkan hawa nafsu dan emosinya untuk mengembalikan itu semua kepada yang ahlinya. Sebab, saat itu para ahli tafsirlah yang memiliki otoritas, kecuali jika  dia sudah layak juga disebut sebagai ahli tafsir dan telah memenuhi syarat-syaratnya, dan manusia pun telah mengakuinya.

Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah mengatakan:

 والقرآن الكريم والسنة المطهرة مرجع كل مسلم في تعرف أحكام الإسلام ، ويفهم القرآن طبقا لقواعد اللغة العربية من غير تكلف ولا تعسف ، ويرجع في فهم السنة المطهرة إلى رجال الحديث الثقات .

📌  “Al Quran Al Karim dan Sunah yang suci, merupakan referensi setiap muslim dalam mengetahui hukum-hukum Islam. Memahami Al Quran mesti sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dengan tanpa takalluf (memaksakan) dan ta’assuf (menyimpang), dan mengembalikan pemahaman tentang as sunah yang suci kepada para rijalul hadits yang tsiqat (kredibel).” (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ Ar Rasail, Hal. 305. Al Maktabah At Taufiqiyah. Kairo)

Demikian. Wallahu A’lam

Menafsirkan Al Quran Tanpa Ilmu adalah Perbuatan Terlarang*

Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan.S.S.

Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja. Menafsirkan Al Quran tanpa ilmu, bukan hanya merusak pemahaman terhadap agama, membawa absurditas, serta membawa kerusakan bagi manusia lantaran Al Quran dijadikan bahan permainan akal manusia dan hawa nafsunya. Melainkan juga pelakunya mendapatkan ancaman dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

                 Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار

     📌           “Barangsiapa yang berkata tentang (isi) Al Quran dengan tanpa ilmu, maka disediakan baginya tempat duduk di neraka.” (HR. At Tirmidzi No. 4022, katanya: hasan shahih)

                Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ومن قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار

📌“Barangsiapa yang berkata tentang (isi) Al Quran dengan akal pikirannya semata, maka disediakan bagianya tempat duduk di neraka.” (HR. At Tirmidzi No. 4023, katanya: hasan)

Bagaimana maksud hadits yang mulia ini? Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah (w. 1353H):

“ومن قال” أي من تكلم “في القرآن” أي في معناه أو قراءته “برأيه” أي من تلقاء نفسه من غير تتبع أقوال الأئمة من أهل اللغة والعربية المطابقة للقواعدالشرعية بل بحسب ما يقتضيه عقله وهو مما يتوقف على النقل بأنه لا مجال للعقل فيه كأسباب النزول والناسخ والمنسوخ وما يتعلق بالقصص والأحكام

    📌            “Wa man qaala” yaitu barang siapa yang berbicara, “fil Quran” yaitu tentang makna Al Quran atau bacaannya, “bi Ra’yihi ” yaitu sesuai dengan nafsunya dengan tanpa mengikuti perkataan para imam ahli bahasa dan arab,  (tanpa) menyesuaikan dengan kaidah-kaidah syariat. Bahkan akalnya harus mengikuti apa-apa yang disikapi oleh dalil, karena sesungguhnya tidak ada tempat bagi akal di dalamnya, seperti masalah asbabun nuzul, nasikh mansukh, dan hal yang terkait dengan kisah dan hukum. (Tuhfah Al Ahwadzi, 8/278-279)

                Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah (w. 774H) dengan tegas mengharamkan tafsir bir ra’yi (tafsir dengan akal/rasio), dengan ucapannya:

فأما تفسير القرآن بمجرد الرأي فحرام

   📌             “Ada pun tafsir Al Quran semata-mata dengan ra’yu, maka itu haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits-hadits di atas. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/10. Dar Thaibah Lin Nasyr wat Tauzi’)        

                Menafsirkan Al Quran dengan akal yakni tafsir bir ra’yi tidak selamanya terlarang, selama orang tersebut melakukannya dengan ijtihad yang benar, memahami seluk beluk bahasa Arab dengan baik dan niat yang bersih. Dan ini jelas tidak semua orang mampu melakukannya. Hendaknya dikembalikan kepada spesialisnya.

Wallahu A’lam

Mazhab zhahiri

Ustadz Menjawab
Jum’at, 11 November 2016
Ustadz Farid Nu’man

Assalamu’alaikum ustadz/ah.. Mazhab zhahiri ini masuk kelompok mana ya? Bisa kasih pencerahan?

🌴🌴🌴Jawaban

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Ttg madzhab Zhahiri (tekstualist), .. dipondasikan oleh Imam Daud Azh Zhahiri, lalu dikembangkan oleh Imam Ibnu Hazm Azh Zhahiri .., mereka termasuk Ahlus Sunnah wal Jamaah, tetapi tidak berkembang.

Sebenarnya dahulu madzhab fiqih dlm Ahlus Sunnah bukan hanya 4; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, tapi juga ada Al Auza’i, Ath Thabari, juga Azh Zhahiri, tapi secara komunal mereka punah, yg tersisa hanya pemikiran para pendirinya, tapi tidak ada yang melanjutkan dan menyebarkan.

Madzhab Zhahiri, sumber fiqihnya adalah Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’ tp mereka menolak qiyas. Mereka berpatokan pada zhahiriyah nash (teks yang tersurat), tidak terlalu memperhatikan makna tersirat dari nash.

Cth .., kata nabi jika seorg gadis dilamar, maka DIAMnya berarti setuju. Madzhab ini memahami secara kaku, maka jika gadis itu tidak diam, tapi malah menjawab YA, maka berarti dia tidak setuju. Sebab setuju itu ya diam, bukan menjawab. Padahal kita memahami, jika diam itu bermakna setuju maka  apalagi jika dijawab Iya.
Nah, kekakuan ini kadang membuat madzhab ini nabrak mainstream.

Wallahu a’lam

Kemunafikan Itu Akhirnya Terbongkar

📆 Kamis, 09 Shafar 1438 H/10 November 2016

📘 Ibadah

📝 Ustadz Farid Nu’man Hasan

============================
🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃

Sangat mudah bagi Allah Ta’ala membuka tirai kemunafikan sebagian manusia. Hanya dengan satu peristiwa Allah Ta’ala mempertontonkan mereka secara gamblang. Mereka mudah kita temukan di di dunia nyata dan maya.

Perhatikan firman Allah Ta’ala berikut, lalu lihat apa yang sedang hangat terjadi di negeri kita…

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih.” (QS. An-Nisa: 138)

Allah Ta’ala memerintahkan agar memberikan kabar untuk kaum munafikin dengan azab yang pedih bagi mereka.

Lalu, siapakah orang munafik yang dimaksud?

الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۚ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا

“(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari ‘izzah di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua ‘izzah kepunyaan Allah.” (QS. An-Nisa: 139)

Ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan dengan terang beberapa karakter orang munafik…

1⃣ Mengangkat orang kafir sebagai pemimpin, penolong, pelindung, seraya membuang jauh-jauh orang-orang beriman. Bahkan lebih parah lagi, untuk kasus Indonesia, mereka menjadi pasukan khusus orang kafir tersebut, serta mereka pun mengolok-olok, menghina, memfitnah, dan makar terhadap orang-orang beriman.

2⃣ Mereka melakukannya karena dunia yaitu ‘izzah dari orang kafir, baik itu perlindungan, harta, proyek, dan keakraban.

3⃣ Padahal semua ‘izzah (kemuliaan, kehormatan, kekuatan) berasal dari Allah Ta’ala semata.

Kemudian… Allah Ta’ala menunjukkan karakter lain dalam ayat selanjutnya, yaitu mereka tetap duduk bersama orang kafir walau mereka tahu ayat-ayat Allah Ta’ala dinista. Bagi mereka dinistanya ayat-ayat Allah Ta’ala bukan masalah, masalah bagi mereka adalah jika orang kafir kecintaannya itu yang dinista, barulah mereka bangkit bergerak.

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisa: 140)

Jadi, sikap diam saja saat Al-Qur’an diolok-olok dan dia pun mengetahuinya tapi masih tetap duduk bersama mereka maka itu cukup menunjukkan bahwa dia termasuk golongan kuffar.

Kemudian…

ان الله جامع الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

“Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.” (QS. An-Nisa: 140)

Ini merupakan hasil akhir bagi kaum munafikin yang mendukung, membela, dan melindungi orang-orang kafir yang merendahkan Islam. Bahkan, kepada yang tetap diam bersama penista saat Al-Qur’an dinista. Mereka satu cluster di akhirat, tidak terpisah, sebab pada hakikatnya mereka satu walau lahiriyahnya berbeda.

Ibrahim An-Nakha’i Rahimahullah mengatakan:

وإِن الرجل ليجلس في المجلس، فيتكلم بالكلمة، فيسخط الله بها، فيصيبه السّخط، فيعمّ من حوله.

“Seseorang yang duduk dalam sebuah majelis di sana membicarakan hal yang membuat Allah murka, maka murka Allah turun kepadanya,  bahkan menimpa secara umum bagi yang sekitarnya pula.” (Imam Ibnul Jauzi,  Zaadul Masiir, 1/487)

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah