Meraih Kemuliaan Dengan Iman dan Ilmu

Kamis, 26 Muharam 1438 H/27 Oktober 2016

Ibadah

Ustadz Farid Nu’man Hasan

============================

Allah Ta’ala berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Kandungan ayat ini:

• Allah Ta’ala meninggikan derajat orang beriman dan berilmu dengan banyak tingkatan dibanding yang tidak beriman dan berilmu.

• Iman saja tanpa ilmu akan mudah diperdayai, bahkan beriman tapi sedikit daya guna.

• Berilmu tapi tanpa iman, membuatnya tidak bermanfaat, bahkan ketiadaan iman membuat ilmunya bisa membawa petaka bagi diri dan orang lain.

Imam Al-Qurthubi Rahimahullah menjelaskan:

أَيْ فِي الثَّوَابِ فِي الْآخِرَةِ وَفِي الْكَرَامَةِ فِي الدُّنْيَا، فَيَرْفَعُ الْمُؤْمِنَ عَلَى مَنْ لَيْسَ بِمُؤْمِنٍ وَالْعَالِمَ عَلَى مَنْ لَيْسَ بِعَالِمٍ. وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: مَدَحَ اللَّهُ الْعُلَمَاءَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ. وَالْمَعْنَى أَنَّه ُيَرْفَعُ اللَّهُ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ عَلَى الَّذِين َآمَنُوا وَلَمْ يُؤْتَوُا الْعِلْمَ (دَرَجاتٍ) أَيْ دَرَجَاتٍ فِي دِينِهِمْ إِذَا فَعَلُوا مَا أُمِرُوا بِهِ.

“Yaitu ketinggian balasan yang diperolehnya di kehidupan akhirat, dan ketinggian karamah (kemuliaan) di dunia. Maka, Allah meninggikan orang beriman di atas yang tidak beriman, dan meninggikan orang berilmu di atas yang tidak  berilmu.

Ibnu Mas’ud berkata: “Allah memuji para ulama dalam ayat ini.”

Dalam ayat ini Allah meninggikan orang yang diberikan ilmu di atas orang beriman yang tidak diberikan ilmu.

(Banyak derajat) yaitu derajat dalam agama mereka jika mereka menjalankan apa-apa  yang diperintahkan.”

• Imam Al-Qurthubi, Jami’ Lil Ahkam Al-Qur’an, 17/299

LAKI LAKI BERDANDAN

Ustadz Menjawab
Kamis, 27 Oktober 2016
Ustadz Farid Nu’man

Assalamu’alaikum, ustadz/ustadzah
Bagaimana hukumnya laki-laki metroseksual. Yg seneng dandan, pake minyak wangi, baju sesuai style terkini entah niatnya untuk gaya , tuntutan pekerjaan dll. Lantas bagaimana batas laki-laki dalam berias atau berdandan??

Jawaban

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Rasulullah itu pakai farfum, minyak rambut, menyisir (tp tdk sering), suka dgn baju putih, pernah merah, hijau dan bercorak ..

Dulu ada pemuda yg kumel, dia disuruh pulang oleh Ibnu Abbas, diminta rapi agar istrinya jg senang .. sbb istri jg berhak melihat suaminya rapi ..

Batasannya adalah selama tdk memakai emas dan sutra, tidak menyerupai style wanita, tdk meniru2 non muslim (ini biasanya sering terjadi pd model rambut) gak peduli cocok apa gak dgn bentuk tubuh dan wajah, dan dari bahan yg halal dan suci.
Ada pun “berlebihan” memang tdk boleh, jika ibadah sunah saja tdk boleh berlebihan apalagi sekedar memperindah diri .

Wallahu a’lam

4 MAHZAB

Ustadz Menjawab
Rabu, 26 Oktober 2017
Ustadz Farid Nu’man Hasan

Assalamualaikum wr wb Ustadz/ah..
Saya mau tanya kita muslim sama2 tau bahwa ada 4 mahzab dan kita tau bahwa 4 mahzab itu hidup setelah rasulullah, Namun yang saya lihat saat ini banyak para kalangan muslim membahas ikut salah satu tata cara dari mahzab tersebut lebih jauh saya perhatikan ke 4 mahzab tersebut tidaklah menciptakan sakte atau aliran lambat laun muridnyalah yg menciptakan sakte tersebut di dalam islam atau di dlam Alquran menyatakan bahwa ikutilah Allah dan rosul serta ulil amri ulil amri yakni para ulama namun ada lanjutan ayat apa bila ulil amri tersebut bertentangan kembalilah kepada Allah dan rasul. Adapun dalam satu ajaran islam bahwa kita muslim di haramkan dalam berpecah belah bahwa Allah menyatakan bukanlah tanggungmu muhammad orang yg memecah belah aliran tersebut
yang saya tanyakan Adalah bagaimana setatus islam ini? Kita mengikuti 4 mahzab atau baginda? Dalam suatu hadist dikatakan 2 pusaka yg tidak akan tersesat yakni Alquran dan Hadist, tentulah hadist soheh munurut ustad bagaimna tanggapannya bila ada serang hamba Allah atau ummat nabi yang mengklaim dirinya bukan mengikuti salah satu 4 mahzab namun mengikuti rasul?

Jawaban
——-

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihiwa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

📌 Dalam masalah gerakan anti madzhab, lalu mereka menyerang para imam madzhab dan yang mengikutinya, jelas itu adalah perbuatan yang tidak terpuji.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah mengkritik para penggiat anti madzhab ini dengan menyusun kitab: Raf’ul malam an a’immatil a’lam.

Beliau telah melucuti pihak-pihak yang telah berlaku kasar dan sombong terhadap para imam-imam madzhab, dan Beliau telah berhasil mengembalikan madzhab dan para pendirinya pada kedudukan yang seharusnya mereka terima.

Sejak dahulu hingga kini selalu ada golongan yang selalu menyerukan kembali kepada Al Quran dan As Sunnah. Seruan ini baik dan patut didukung, tetapi ternyata dibalik mulia seruan ini ada “azab” di dalamnya. Meminjam istilah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, “Kalimatul haq yuradu bihal baathil.” Kalimat yang benar untuk dimaksudkan pada hal yang batil.

Dibalik seruan ini mereka hendak mengubur dalam-dalam warisan pemikiran para imam kaum muslimin, dengan slogan “Cukup Al Quran dan As Sunnah,” dan lemparlah ke tong sampah pemikiran Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Inilah golongan Neo Zhahiriyah  yang selalu ada setiap zaman, mereka hendak memposisikan dirinya sebagai mujtahid yang setara dengan para imam tersebut bahkan melebihinya, sehingga mereka tidak butuh mengutip, menimbang, mengkaji, dan  menganalisa, dari istimbath para imam-imam ini. Bagi mereka, “Kami adalah laki-laki dan mereka juga laki-laki, kami juga bisa menggali langsung dari Al Quran dan As Sunnah!” Akhirnya, mereka justru terjebak pada keadaan yang mereka tidak benarkan sendiri, yakni mendirikan madzhab baru, “madzhab tanpa madzhab.”

Ini adalah sikap ekstrim yang tidak dibenarkan syariat, akal, dan adat manusia. Bagaimana pun, manusia yang hidup zaman ini tidak bisa lepas dari para pendahulunya. Ulama yang hidup masa modern juga tidak bisa melepas total dengan para ulama terdahulu (salaf). Sebab, para ulama masa lalu menyiapkan kaidah ilmu  dan tonggak-tonggak dalam memahami dasar-dasar agama adalah diperuntukkan anak dan cucu mereka seperti kita yang hidup masa kini. Saat ini kita sudah dimudahkan dengan rumusan berbagai kaidah dan ilmu yang mereka buat, itu adalah warisan yang sangat mahal, yang belum tentu kita mampu menciptakan seperti mereka. Namun, di mata orang yang picik,   para imam-imam ini dianggap pemecah belah agama, dan kita tidak boleh taklid kepada mereka. Wallahul Musta’an!

📌 Di sisi lain, ada pula golongan lain yang menjadi lawannya. Mereka bersikap ekstrim pula dalam mengkultuskan pendapat madzhab. Mereka begitu fanatik dengan pendapat madzhabnya dan mengingkari pendapat madzhab lain. Walaupun pendapat tersebut lemah. Akhirnya, mereka menjadi junudul madzhab (tentara-tentara madzhab) bukan junudullah (tentara-tentara Allah). Marahnya mereka karena madzhab, ridha pun karena madzhab. Pedang mereka siap terhunus dan taring mereka siap menerkam siapa-siapa saja yang mengkritik pendapat imam madzhabnya. Kuat lemahnya hujjah tidak lagi menjadi ukuran, tapi ukuran itu dilihat dari “Setiap orang  yang berbeda dengan madzhab kami maka dia sesat dan menempuh bukan jalan kaum beriman.”

Sikap ini juga tidak benar dan tercela, bahkan sama sekali bukan cerminan akhlak dari para imam madzhab, tidak Hanafi, tidak Maliki, tidak Syafi’i, dan tidak pula Hambali.

Para bintang dunia ini, tidak pernah mengajak orang lain untuk selalu mengkultuskan pendapatnya, salah dan benar harus diikuti.
 
Maka, sikap anti madzhab di satu sisi dan kultus madzhab di sisi lain, keduanya sama-sama keliru dan berbahaya. Bahkan para imam dan tokoh madzhab seperti Imam Abu Yusuf (Hanafi), Imam Al Ghazali (Syafi’i), Imam An Nawawi (syafi’i), Imam Ibnul ‘Arabi  (Maliki), Imam Ibnu Taimiyah (Hambali), mereka adalah sebaik-baiknya imam pengikut madzhab, tapi mereka terbuka dengan pihak lain, tidak fanatik, dan berjalan bersama dalil-dalil.

Allah Ta’ala mengajarkan kita untuk menempuh jalan tengah, adil, dan seimbang:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

  “Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan ..” (QS. Al Baqarah (2): 143)

  Ayat lain:

أَلا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ (8) وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ (9)

  Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS. Ar Rahman (55): 8-9)

  📌 Ada pun tentang Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah, dia adalah seorang ulama hadits masa kini yang telah menghabiskan hampir semua umurnya untuk berkhidmat kepada sunah nabi. Telah banyak pengakuan dan penghargaan baginya, baik yang datang dari kawan dan lawan.

Telah ada kritikan baginya seperti yang dilakukan oleh Syaikh Hammud At Tuwaijiri Rahimahullah dalam beberapa masalah, padahal   secara garis pemikiran mereka berdua tidak berbeda.  Syaikh Al Qaradhawi pun –yang pernah memuji Syaikh Al Albani- pernah mengkritiknya dalam hal pengingkarannya terhadap zakat pertanian, dan banyak lagi dari para ulama lainnya, termasuk kritik dari Syaikh Said Ramadhan Al Buthi Rahimahullah.

Namun, saling kritik dalam dunia ilmu adalah hal yang biasa dan sudah terjadi sejak masa lalu. Dan, hal itu sama sekali tidak menjatuhkan nama dan kehormatan Syaikh Al Albani Rahimahullah dan ulama lainnya.

Dalam konteks gerakan anti madzhab, maka jalan yang ditempuh oleh Syaikh Al Albani tidaklah demikian. Bagi orang yang akrab dengan karya-karyanya, akan menyimpulkan bahwa metode beliau adalah madzhabnya Ahlul Hadits atau Ashhabul Hadits, itu pun tidak mutlak, sebab dalam berbagai pembahasan Beliau juga mengikuti pendapat para imam madzhab. Madzhab Ahlul Hadits ini pun sudah ada sejak masa lalu dan mesti tetap diberikan peluang dan ruang hidup sebagaimana lainnya. Bagi yang dekat dengan karya-karya para fuqaha, mereka akan sering mendapatkan informasi, “menurut Malikiyah begini, Hambali begitu, ada pun ahli hadits mereka begini …. .”

Sebagai misal dalam hal turun sujud, apakah lutut dahulu atau tangan dahulu? Saya akan kutipkan paparan Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah sebagai berikut:

 ذهب الجمهور إلى استحباب وضع الركبتين قبل اليدين، حكاه ابن المنذر عن عمر النخعي ومسلم بن يسار وسفيان الثوري وأحمد وإسحاق وأصحاب الرأي قال: وبه أقول، انتهى.
وحكاه أبو الطيب عن عامة الفقهاء.
وقال ابن القيم: وكان صلى الله عليه وسلم يضع ركبتيه قبل يديه ثم يديه بعدهما ثم جبهته وأنفه هذا هو الصحيح الذي رواه شريك عن عاصم بن كليب عن أبيه.
عن وائل بن حجر قال: رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه، وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه ولم يرو في فعله ما يخالف ذلك، انتهى.
وذهب مالك والاوزاعي وابن حزم إلى استحباب وضع اليدين قبل الركبتين، وهو رواية عن أحمد. قال الاوزاعي: أدركت الناس يضعون أيديهم قبل ركبهم. وقال ابن أبي داود: وهو قول أصحاب الحديث.
 
“Menurut madzhab jumhur ulama, disunahkan meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan. Demikian itu diceritakan Ibnul Mundzir dari Umar, An Nakha’i, Muslim bin Yasar, Sufyan Ats Tsauri , Ahmad, Ishaq dan ashabur ra’yi (pengikut Abu Hanifah). Dia berkata: “Aku juga berpendapat demikian.” Abu Thayyib menceritakan hal ini dari umumnya para fuqaha.

Ibnul Qayyim mengatakan: Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meletakkan lututnya sebelum tangannya, kemudian tangannya, lalu diikuti dengan keningnya dan hidungnya. Inilah yang shahih yang diriwayatkan oleh Syarik dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya, dari Wail bin Hujr, dia berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika dia sujud dia meletakkan lututnya sebelum tangannya, dan jika dia akan bangkit, dia mengangkat tangannya sebelum lututnya. Dan tidak ada riwayat yang bertentangan dengan apa yang dilakukannya itu.” Selesai.

Sedangkan madzhab Imam Malik, Al Auza’i , dan Ibnu Hazm, menyunnahkan meletakkan tangan sebelum lutut, itu juga merupakan satu riwayat dari Ahmad. Berkata Al Auza’i: “Aku melihat manusia meletakkan tangan mereka sebelum lututnya.”

Berkata Ibnu Abi Daud: “Ini adalah PENDAPAT PARA AHLI HADITS.”   (Fiqhus Sunnah, 1/164. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Telah masyhur bahwa Syaikh Al Albani mengikuti pendapat ahli hadits dalam hal ini sebagaimana yang kita lihat dalam Shifat Shalat Nabi.

Contoh lain adalah dalam menyikapi penguasa yang zalim dan menyimpang. Para ulama berbeda pendapat antara yang memilih untuk bersabar saja sebagaimana pendapat Ahli Hadits, atau yang menurunkan pemimpin tersebut sebagaimana pendapat Imam Al Ghazali, Imam Ibnu Hazm, Imam Al Mawardi, dan lainnya.

Jadi, madzhab ahli hadits sudah ada sejak lama. Bahkan tidak sedikit kitab yang secara khusus menempatkan pendapat para ahli hadits dalam bidang aqidah, seperti Al Intishar Li Ashhabil Hadits karya Imam Abu Muzhaffar As Sam’ani, lalu  I’tiqad Ahl As Sunnah Syarh Ashhab Al Hadits karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al Khamis.

Syaikh Al Albani juga sering menyandarkan pendapatnya pada pendapat imam madzhab. Ketika Beliau membahas “membaca Al fatihah bagi makmum” beliau memilih pendapat Imam Ahmad  dan Imam Malik, bahwa membaca Al Fatihah bagi Makmum adalah wajib ketika shalat sirr, namun tidak membacanya ketika shalat dijaharkan, tetapi mesti mendengarkan bacaan imam.

Dalam mengharamkan alat-alat musik (lihat kitab Tahrim Alat Ath Tharb) beliau mengikuti dan mengulang-ulang bahwa imam empat madzhab mengharamkan musik.

Kesimpulan, Syaikh Al Albani juga bermadzhab yakni madzhab Ahli Hadits, dan kadang Beliau mengikuti pendapat imam madzhab fiqih yang dipandangnya kuat dalilnya.

Pengingkaran beliau lakukan kepada orang yang fanatik madzhab, bukan kepada madzhabnya. Inilah yang bisa kita lihat jika langsung membaca karya-karyanya. Hanya saja,  Syaikh Al Albani kerap menggunakan pilihan kata yang pedas dan keras kepada orang-orang yang dikritiknya. Bisa kita lihat dalam muqadimah Tahrim Alat Ath Tharb, beliau begitu pedas dalam mengkritik tiga ulama sekaligus, yakni Syaikh Abu Zahrah, Syaikh Muhammad Al Ghazali, dan Syaikh Al Qaradhawi, seakan tiga ulama ini benar-benar bodoh dihadapannya. Juga antara beliau dengan Syaikh Hammud At Tuwaijiri, yang keduanya sama-sama pedas dalam mengkritik, tapi dalam kehidupan nyata keduanya baik-baik saja.

Belum lagi kritikan beliau terhadap Syaikh Hasan As Saqqaf (pengarang kitab Tanaqudhat Al Albani – Kontradiksinya Al Albani), atau Syaikh Habiburrahman Al A’zhami, atau Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, dan masih banyak lainnya. Sehingga hampir-hampir  saja kita katakan bahwa mereka adalah ulama yang saling bermusuhan dan membenci satu sama lain.

Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

Doa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Saat Keluar Rumah

Senin, 23 Muharrom 1438H / 24 Oktober 2016

HADITS DAN FIQIH

Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan.S.S.

Dari Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

مَا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ بَيْتِي قَطُّ إِلَّا رَفَعَ طَرْفَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ: «اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ، أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ، أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ، أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ، أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah keluar dari rumah kecuali beliau melihat ke langit seraya berdoa:

*”ALLAHUMMA A’UUDZU BIKA AN ADHILLA AW UDHALLA AW AZILLA AW UZALLA AW AZHLIMA AW UZHLAMA AW AJHALA AW UJHALA ‘ALAYYA”*

 (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ketersesatan atau disesatkan, tergelincir atau digelincirkan, menzhalimi atau dizhalimi dan membodohi atau dibodohi).”

—–

HR. Abu Daud No. 5094,  An Nasa’i No. 5486,  Al Hakim No.1907, beliau berkata: “Shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim.”

Berkata Ath Thayyibi Rahimahullah:

فَاسْتُعِيذَ مِنْ هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا بِلَفْظٍ سَلِسٍ مُوجَزٍ وَرُوعِيَ الْمُطَابَقَةُ الْمَعْنَوِيَّةُ وَالْمُشَاكَلَةُ اللَّفْظِيَّةُ كَقَوْلِ الشَّاعِرِ

Maka hendaknya meminta perlindungan dari semua keadaan ini dengan kata-kata  yang ringan, ringkas, indah, yang begitu serasi antara makna dan bentuk katanya, seperti sya’ir.

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 9/272

AURAT WANITA

Ustadz Menjawab
Ahad, 23 Oktober 2016
Ustadz Farid Nu’man

Assalamualaikum..Izin bertanya ustadz..
Dalam hal merawat diri, bagaimana ketika wanita/pria ketika ber spa?

Terkhusus kepada istri, yg mau spa khusus di salon muslimah, ini seperti apa?jatuhkah larangan dikarenakan menampakkan aurat kepada orang lain??

Jawaban

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Spa pd prinsipnya tdk apa2, tp tetap menjaga aurat dr laki2 yg bukan mahram .., lalu bgmn dgn wanita lajn?

Wanita ada 2 aurat ..

1. Mughallazhah, berat, seperti dibawah leher, dada sampai lutut, ini hanya boleh dilihat oleh suami

2. Aurat mukhafafah, ringan, seperti sepanjang tangan, leher, betis, rambut, .. ini boleh terlihat oleh mahramnya (ortu, kakak, adik, paman, kakek, anak, keponakan), dan juga wanita muslimah lain ..

Lengkapnya kpd siapa aja boleh terlihat, baca ayat ini ya .

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, *atau wanita-wanita islam,* atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur: 31)

Ada pun kpd laki2 yg bukan mahram (ipar dan sepupu termasuk bukan mahram), tidak boleh menampakkan semua jenis aurat tsb.
Wallahu a’lam

HUKUMNYA HAMIL SEBELUM MENIKAH

Ustadz Menjawab
Sabtu, 22 Oktober 2016
Ustadz Farid Nu’man

Assalamu’alaikum ustadz/ah…
Apabila seorang laki2 dan wanita berbuat zina di sebelum menikah , tetapi pada akhirnya kedua’nya menikah apa hukumnya??
Apakah dosa itu dihapus / bagaimana??

Terimakasih.

saya tambah pertanyaannya,  kemudian lahir anaknya padahal waktu menikah itu si wanita sdg hamil, apakah sudah lahir anaknya, mereka menikah lagi?
Syukron… #A41

JAWABAN
————–

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Nikahnya orang zina itu haram hingga ia bertaubat, baik dengan pasangan zinanya atau dengan orang lain.”

Inilah yang benar tanpa diragukan lagi. Demikianlah pendapat segolongan ulama salaf dan khalaf, di antara mereka yakni Ahmad bin hambal dan lainnya.

Tetapi kebanyakan ulama salaf dan khalaf membolehkannya, yaitu pendapat Imam Yang tiga, hanya saja Imam Malik mensyaratkan rahimnya bersih (kosong/tidak hamil).

Abu Hanifah membolehkan akad sebelum  istibra’ (bersih dari kehamilan) apabila ternyata dia hamil, tetapi jika dia hamil tidak boleh  jima’ (hubungan badan) dulu  sampai dia melahirkan.

Asy Syafi’i membolehkan akad secara mutlak akad dan hubungan badan, karena air sperma zina itu tidak terhormat, dan hukumnya tidak bisa dihubungkan nasabnya, inilah alasan Imam Asy Syafi’i.

Abu Hanifah memberikan rincian antara hamil dan tidak hamil, karena wanita hamil apabila dicampuri, akan menyebabkan terhubungnya anak yang bukan anaknya, sama sekali berbeda dengan yang tidak hamil.”

# Nikahnya Wanita Hamil Harus dirinci sebagai berikut:
1. Hamil karena suaminya sendiri, tetapi suaminya meninggal atau wafat, dia jadi janda. Bolehkah menikah dan dia masih hamil?
Sepakat kaum muslimin seluruhnya, wanita hamil dan dia menjanda ditinggal mati suami atau cerai, hanya baru boleh nikah setelah masa iddahnya selesai, yaitu setelah kelahiran bayinya. Tidak boleh baginya nikah ketika masih hamil, karena ‘iddahnya belum selesai.

2. Gadis Hamil karena berzina, bolehkah dia menikah?
Jika yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya, maka menurut Imam Asy Syafi’i adalah boleh. Imam Abu Hanifah juga membolehkan tetapi tidak boleh menyetubuhinya sampai ia melahirkan.
Imam Ahmad mengharamkannya. Begitu pula Imam Malik dan Imam Ibnu Tamiyah.
Sedangkan, jika yang menikahinya adalah laki-laki lain, maka menurut Imam Ibnu taimiyah juga tidak boleh kecuali ia bertaubat, yang lain mengatakan boleh, selama ia bertobat plus Iddahnya selesai (yakni sampai melahirkan), inilah pendapat Imam Ahmad. Demikian.
Wallahu A’lam

Perbuatan dan Keyakinan Yang Membuat Pelakunya menjadi kafir dari Islam

Jumat, 20 Muharram 1438H / 21 Oktober 2016

AQIDAH

Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan

Berikut ini tertera dalam kitab Minhajul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairi Rahimahullah:

1. Siapa pun  yang memaki Allah ﷻ, atau seorang Rasul dari rasul-rasulN, atau malaikat-malaikatNya ‘Alaihimussalam, maka dia kafir.

2. Siapa pun yang mengingkari rububiyah Allah ﷻ, atau risalahnya seorang Rasul, atau menyangka bahwa adanya seorang nabi setelah penutup para Nabi, Sayyidina Muhammad ﷺ, maka dia kafir.

3. Siapa pun yang mengingkari sebuah kewajiban diantara kewajiban-kewajiban syariat yang telah disepakati, seperti shalat atau zakat atau shaum atau haji atau berbakti kepada kedua orang tua atau jihad misalnya, maka dia kafir.

4. Siapa pun yang membolehkan hal-hal yang telah disepakati keharamannya, dan termasuk perkara yang telah diketahui secara pasti dalam agama, seperti zina, atau meminum khamr, atau mencuri, atau membunuh, atau sihir misalnya, maka dia kafir.

5. Siapa pun yang mengingkari satu surat saja dalam Al Quran, atau satu ayat, atau satu huruf saja, maka dia kafir.

6. Siapa pun yang mengingkari satu sifat saja di antara sifat-sifat Allah ﷻ, seperti Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Pengasih, maka dia kafir.

7. Siapa pun yang terang-terangan meremehkan ajaran agama baik pada kewajibannya, stau sunah-sunahnya, atau mengejeknya, atau melecehkannya, atau melempar mushaf ke tempat kotor, atau menginjaknya dengan kaki, menghina dan melecehkannya, maka dia kafir.

8. Siapa pun yang meyakini tidak ada hari kebangkitan, tidak ada siksaan, dan tidak ada kenikmatan pada hari kiamat nanti, atau menganggap azab dan nikmat itu hanyalah bermakna maknawi (tidak sebenarnya), maka dia kafir.

9. Siapa pun yang menyangka bahwa para wali lebih utama dibanding para nabi, atau menyangka bahwa ibadah telah gugur bagi para wali, maka dia telah kafir.

Semua hal ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) umumnya kaum muslimin, setelah firman Allah Ta’ala:

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”

“Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela’nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.”
 (QS. At Taubah: 65-66)

Maka, ayat ini menunjukkan bahwa setiap orang yang terang-terangan mengolok-olok Allah, atau sifat-sifatNya, atau syariatNya, atau RasulNya, maka dia kafir.

Maroji:
Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairi, Minhajul Muslim, Hal. 378-379. Cet. 4. 1433H-2012M. Maktabah Al ‘Ulum wal Hikam. Madinah

Hukum Memakai Henna

Ustadz Menjawab
Kamis, 20 Oktober 2016
Ustadz Farid Nu’man

Assalamu’alaikum ustadz/ah..
Ustadz mau tanya…hukum memakai henna itu apa ya ust?
Tmn ana tanya dalilnya…

Jawaban:
————-

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
 Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Memakai henna, atau pacar cina, atau apa saja yang mewarnai tangan atau kuku, selama berasal dr bahan suci dan tidak mencelakan kulit, serta tidak menghalangi wudhu tidak apa-apa.

Dasarnya adalah ayat :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka (kaum mu’minah) Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”
(QS. An Nuur: 31)

Apakah yang biasa nampak atau terlihat dari kaum mu’minah?

Abdullah bin Abbas mengatakan maksud kalimat itu adalah celak, pewarna tangan, dan cincin.   Mujahid berkata: cincin, pewarna tangan, dan celak mata. Ibnu Zaid mengatakan: celak mata, pewarna tangan, dan cincin, mereka mengatakan demikianlah yang dilihat oleh manusia.  Sedangkan Imam Ibnu Jarir, setelah dia memaparkan berbagai tafsir ini, beliau mengatakan:

وأولى الأقوال في ذلك بالصواب: قول من قال: عنى بذلك: الوجه والكفان، يدخل في ذلك إذا كان كذلك: الكحل، والخاتم، والسوار، والخضاب.

“Pendapat yang paling unggul dan benar adalah pendapat yang mengartikannya dengan wajah dan dua telapak tangan, dan jika demikian maka celak, cincin, gelang, dan pewarna tangan termasuk di dalamnya.” (Detilnya lihat Tafsir Ath Thabari, 19/156-158)

Dalil lain, dahulu Nabi ﷺ merasa heran ketika ada tangan wanita yang tidak memakai henna, dan itu menunjukkan memakai henna adalah umum bagi wanita saat itu,

 Lengkapnya sebagai berikut, Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, Beliau bercerita:

أن امرأة مدت يدها إلى النبي صلى الله عليه و سلم بكتاب فقبض يده فقالت يا رسول الله مددت يدي إليك بكتاب فلم تأخذه فقال إني لم أدر أيد امرأة هي أو رجل قالت بل يد امرأة قال لو كنت امرأة لغيرت أظفارك بالحناء

“Ada seorang wanita yang menjulurkan tangannya kepada Nabi ﷺ dengan memegang sebuah kitab, lalu nabi menahan tangannya. “

Wanita itu bertanya: “Wahai Rasulullah, aku julurkan tanganku kepadamu dengan memberikan kitab, tapi engkau tidak mengambilnya?”

Nabi menjawab: “Aku tidak tahu ini tangan laki-laki atau tangan wanita?”

Wanita itu menjawab: “Ini tangan wanita.”

Lalu Nabi bersabda: “Jika kamu wanita maka ubahlah warna kukumu dengan henna.” (HR. An Nasa’i No. 5089, Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 6002, hadits ini hasan.)

Wallahu a’lam.

Perbuatan dan Keyakinan yang Membuat Pelakunya menjadi Kafir dari Islam

Rabu, 18 Muharam 1438 H/19 Oktober 2016

Aqidah

Ustadz Farid Nu’man Hasan

============================

Berikut ini tertera dalam kitab Minhajul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al-Jazairi Rahimahullah:

1. Siapa pun yang memaki Allah ﷻ, atau seorang Rasul dari rasul-rasul-Nya, atau malaikat-malaikat-Nya ‘Alaihimussalam, maka dia kafir.

2. Siapa pun yang mengingkari rububiyah Allah ﷻ, atau risalahnya seorang Rasul, atau menyangka bahwa adanya seorang nabi setelah penutup para Nabi, Sayyidina Muhammad ﷺ, maka dia kafir.

3. Siapa pun yang mengingkari sebuah kewajiban diantara kewajiban-kewajiban syariat yang telah disepakati, seperti shalat atau zakat atau shaum atau haji atau berbakti kepada kedua orang tua atau jihad misalnya, maka dia kafir.

4. Siapa pun yang membolehkan hal-hal yang telah disepakati keharamannya, dan termasuk perkara yang telah diketahui secara pasti dalam agama, seperti zina, atau meminum khamr, atau mencuri, atau membunuh, atau sihir misalnya, maka dia kafir.

5. Siapa pun yang mengingkari satu surat saja dalam Al-Qur’an, atau satu ayat, atau satu huruf saja, maka dia kafir.

6. Siapa pun yang mengingkari satu sifat saja di antara sifat-sifat Allah ﷻ, seperti Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Pengasih, maka dia kafir.

7. Siapa pun yang terang-terangan meremehkan ajaran agama baik pada kewajibannya, atau sunah-sunahnya, atau mengejeknya, atau melecehkannya, atau melempar mushaf ke tempat kotor, atau menginjaknya dengan kaki, menghina dan melecehkannya, maka dia kafir.

8. Siapa pun yang meyakini tidak ada hari kebangkitan, tidak ada siksaan, dan tidak ada kenikmatan pada hari kiamat nanti, atau menganggap azab dan nikmat itu hanyalah bermakna maknawi (tidak sebenarnya), maka dia kafir.

9. Siapa pun yang menyangka bahwa para wali lebih utama dibanding para nabi, atau menyangka bahwa ibadah telah gugur bagi para wali, maka dia telah kafir.

Semua hal ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) umumnya kaum muslimin, setelah firman Allah Ta’ala:

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”

Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela’nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal. (QS. At-Taubah: 65-66)

Maka, ayat ini menunjukkan bahwa setiap orang yang terang-terangan mengolok-olok Allah, atau sifat-sifat-Nya, atau syariat-Nya, atau Rasul-Nya, maka dia kafir.

(Selesai)

Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, Hal. 378-379. Cet. 4. 1433H-2012M. Maktabah Al-‘Ulum wal Hikam. Madinah

Makna Pemimpin Dalam Al Maidah 51

Ustadz Menjawab
Rabu, 19 Oktober 2016
Ustadz Farid Nu’man Hasan

Assalamu’alaikum..Ustad saya salah satu member WA Manis. Saya ingin menanyakan atau nitip pertanyaan yg masih terkait QS Al Mai’dah 51:
1. Kata “pemimpin” itu apakah berarti luas atau spesifik dalam hal politik saja?
2. Apakah “pemimpin” itu termasuk jg RT RW Lurah Camat sampai presiden kt tidak boleh yg non-muslim?
3. Sebagai pegawai (pns, swasta, bumn) apakah “pemimpin” itu termasuk jg supervisor, manager dan direktur tidak boleh yg non-muslim?
4. Saya sebelumnya pernah di pimpin manager non-muslim bagaimana hal ini? Apakah hal seperti ini boleh? (Alhamdulillah saat ini atasan muslim)

Terimakasih atas jawabannya

جَزَا كَ الله خَيْرًا كَثِيْرًا

Dari group manis I19

Jawaban
———-

Wa’Alaikumussalam wa rahmatullah ..
Bismillah wal hamdulillah ..
1.  Definisi Wali (jamaknya auliya’), sudah diterangkan para ulama, khususnya tentang surat Al Maidah ayat 51 tersebut.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata:

ينهى تعالى عباده المؤمنين عن موالاة اليهود والنصارى، الذين هم أعداء الإسلام وأهله، قاتلهم الله، ثم أخبر أن بعضهم أولياء بعض، ثم تهدد وتوعد من يتعاطى ذلك
  Allah Ta’ala melarang hamba-hambaNya yang beriman memberikan loyalitasnya kepada Yahudi dan Nasrani, mereka adalah musuh Islam dan umatnya, semoga Allah memerangi mereka, lalu Allah mengabarkan bahwa sebagian mereka menjadi penolong atas lainnya, lalu Allah mengancam orang yang melakukan hal itu. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/132)
  Imam An Naisaburi menjelaskan status orang beriman yang memilih mereka sebagai pemimpin:
الذين ظلموا أنفسهم بموالاة الكفرة فوضعوا الولاء في غير موضعه
Merekalah orang-orang yang menzalimi diri sendiri dengan memberikan kepemimpinan orang kafir, mereka meletakkan loyalitas bukan pada tempatnya. (Tafsir An Naisaburi, 3/174)
  Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata kepada Abu Musa Al Asy’ari yang telah mengangkat salah satu Nashrani sebagai Kaatib (sekretaris) di propinsinya:
لا أكرمهم إذ أهانهم الله ، ولا أعزهم إذا أذلهم الله ، ولا أدنيهم إذ أبعدهم الله
Jangan hormati mereka saat Allah menghinakan mereka, jangan muliakan mereka saat Allah rendahkan mereka, dan jangan dekati mereka saat Allah menjauhkan mereka. (Ibid)

Demikian tegas sikap para ulama dalam hal ini. Ada pun secara bahasa, apakah makna wali ? Wali jamaknya adalah auliya’ yang berati penolong dan kekasih.  (Tafsir Ath Thabari, 9/319)

Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, yang mengusai (pemimpin).  (Al Munawwir, Hal. 1582)

  Maka, jelaslah bahwa umat Islam tidak dibenarkan menjadikan orang kafir sebagai penolong, kekasih, teman dekat, dan pemimpin mereka. Sebab wali kita hanyalah kepada Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman. Ada sebagian penulis yang mengatakan bahwa larangan itu hanyalah tentang larangan menjadikan mereka sebagai “teman dekat” bukan larangan sebagai pemimpin, .. ini merupakan syubhat pemikiran yang kacau. Seharusnya berpikir, jika mengangkat sebagai teman dekat saja tidak boleh apalagi jadi pemimpin?? Inilah qiyas aula, yakni jk mereka tidak boleh sebagai teman apalagi sebagai pemimpin, lebih  tidak boleh lagi.
Penulis2 ini mencoba membela calon pemimpin non muslim, tp justru hujjah mereka memperkuat hujjah kami.

  Apa yang dilakukan Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu menunjukkan bahwa larangan pada ayat itu berlaku untuk semua level dan jenis kepemimpinan, baik imamul a’zham (khalifah), sampai yang terendah di rumah tangga.

Pertanyaan 2,3, 4 …

Ada sebagian orang dengan sinis (bahkan setengah ngambek) mengatakan: “Ya sudah kalau tidak mau dipimpin orang kafir, sekalian saja anda keluar kerja, kan pimpinan perusahaan juga orang kafir.”
Maka ucapan ini ada beberapa kesalahan:
–  Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota, Kepala desa, rw, rt adalah kepemimpinan yang memiliki WILAYAH dan OTORITAS, sedangkan manajer, direktur, adalah kepemimpinan yang hanya memiliki otoritas tanpa tanpa wilayah atau daerah.
–  Pemimpin2 tersebut dipilih langsung oleh rakyat atau wakilnya, rakyat punya power, keinginan dan daya sendiri untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpinnya. Sedangkan manajer, direktur, adalah pimpinan yang ditentukan oleh atasannya lagi, seperti owner misalnya. Sedangkan karyawan (sebagai rakyat di perusahaan) tidak punya kekuatan sama sekali untuk memilih, mereka menerima begitu saja. Contoh, jika ada seorang guru muslim di mutasi dari sekolah X ke Y, ternyata di Y kepala sekolahnya non muslim, maka dia tidak bersalah sebab dia tidak ada daya untuk memilih siapa kepala sekolahnya, sebab itu maunya kanwil.

–  Ada kondisi kaum muslimin minoritas dan lemah, maka mereka sama sekali tidak bersalah jika dipimpin non muslim. Kondisi pengecualian selalu ada, dan syariah sudah mengantisipasi itu. Seperti keadaan di NTT, Papua, atau Amerika, Eropa, sebagian Afrika, dll.

Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Rabb kami, jangan hukum kami jika kami lupa dan melakukan kesalahan yang tidak kami inginkan .. (QS. Al Baqarah: 286)

Nabi ﷺ bersabda:

إن الله وضع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

Sesungguhnya Allah meletakkan (membiarkan) kesalahan umatku yang: salah tidak sengaja, lupa, dan terpaksa untuk melakukannya. (HR. Ibnu Majah No. 2045, shahih)

Bahkan jika kondisi seperti itu (lemah dan minoritas), merka masih diberikan peluang untuk memberikan haknya, mereka bisa memanfaatkan itu walau calon2 yang ada adalah non muslim semua. Syariat mengizinkan mereka untuk memilih yang lebih ringan bahayanya di antara calon2 yang ada. Misal, Jika semua calon yang ada adlh non muslim, lalu ada yang sangat anti Islam  versus  yang netral,  tentu lebih baik memilih yang netral, demi kemaslahatan umat Islam.

Maka, tidak pantas, tidak cocok, tidak apple to apple, menyamakan dua hal yang berbeda, seperti:

–  Kepemimpinan Wilayah dengan kepemimpinan non wilayah
–  Kondisi mayoritas dengan minoritas
–  Kondisi kuat dengan kondisi lemah
–  Kondisi mampu memilih dengan tanpa mampu memilih.

Semua ini ada sikap dan fiqihnya sendiri yang berbeda-beda. Wallahu A’lam