Oleh: Farid Nu’man Hasan, SS.
2⃣6⃣ *Umrah ketika Ramadhan adalah sebanding pahalanya seperti haji bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam*
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada seorang wanita Anshar bernama Ummu Sinan:
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي
“Sesungguhnya Umrah ketika bulan Ramadhan sama dengan memunaikan haji atau haji bersamaku.” (HR. Bukhari No. 1863, Muslim No. 1256)
2⃣7⃣ *Tentang Lailatul Qadar*
Secara spesifik, Lailatul Qadar ada pada sepuluh malam terakhir atau tujuh malam terakhir. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ
“Maka, barangsiapa yang ingin mendapatkan Lailatul Qadar, maka carilah pada sepuluh malam terakhir.” (HR. Bukhari No. 1105)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَنَّ رِجَالًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْمَنَامِ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ
“Sesungguhnya seorang laki-laki dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat Lailatul Qadr pada mimpinya pada tujuh hari terakhir. Maka bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Saya melihat mimpi kalian telah bertepatan pada tujuh malam terakhir, maka barangsiapa yang ingin mendapatkan Lailatul Qadar, maka carilah pada tujuh malam terakhir.” (HR. Bukhari No. 1911, 6590, Muslim No.1165 Ibnu Hibban No. 3675, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 8327, Ibnu Khuzaimah No. 2182, Malik dalam Al Muwaththa’ No. 697)
Bagaimanakah maksud tujuh malam terakhir? Tertulis penjelasannya dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, sebagai berikut:
قال أبو بكر هذا الخبر يحتمل معنيين أحدهما في السبع الأواخر فمن كان أن يكون صلى الله عليه وسلم لما علم تواطأ رؤيا الصحابة أنها في السبع الأخير في تلك السنة أمرهم تلك السنة بتحريها في السبع الأواخر والمعنى الثاني أن يكون النبي صلى الله عليه وسلم إنما أمرهم بتحريها وطلبها في السبع الأواخر إذا ضعفوا وعجزوا عن طلبها في العشر كله
Berkata Abu Bakar: Khabar ini memiliki dua makna. Pertama, pada malam ke tujuh terakhir karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tatkala mengetahui adaya kesesuaian dengan mimpi sahabat bahwa Lailatul Qadr terjadi pada tujuh malam terakhir pada tahun itu, maka beliau memerintahkan mereka pada tahun itu untuk mencarinya pada tujuh malam terakhir. Kedua, perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para sahabat untuk mencari pada tujuh malam terakhir dikaitkan jika mereka lemah dan tidak kuat mencarinya pada sepuluh hari semuanya. (Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah No. 2182)
Makna ini diperkuat lagi oleh hadits yang menunjukkan alasan kenapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mengintai tujuh hari terakhir.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي
Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Carilah dia pada sepuluh malam terakhir (maksudnya Lailatul Qadar) jika kalian merasa lemah atau tidak mampu, maka jangan sampai dikalahkan oleh tujuh hari sisanya.” (HR. Muslim No. 1165, 209)
📌 Kemungkinan besar adalah pada malam ganjilnya
Kemungkinan lebih besar adalah Lailatul Qadr itu datangnya pada malam ganjil sebagaimana hadits berikut:
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَإِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نُسِّيتُهَا وَإِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي وِتْرٍ
“Seseungguhnya Aku diperlihatkan Lailatul Qadar, dan aku telah dilupakannya, dan saat itu pada sepuluh malam terakhir, pada m
alam ganjil.” (HR. Bukhari No. 638, 1912, 1923)
Dalam riwayat lain:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Carilah oleh kalian Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir Ramadhan.” (HR. Bukhari No. 1913)
Ada dua pelajaran dari dua hadits yang mulia ini. Pertama, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri tidak tahu persis kapan datangnya Lailatu Qadar karena dia lupa. Kedua, datangnya Lailatul Qadar adalah pada malam ganjil di sepuluh malam terakhir.
📌 Malam ke 24, 25, 27 dan 29?
Imam Bukhari meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
التمسوا في أربع وعشرين
“Carilah pada malam ke 24.” (Atsar sahabat dalam Shahih Bukhari No. 1918)
Imam Bukhari juga meriwayatkan, dari ‘Ubadah bin Ash Shamit Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
“Maka carilah Lailatul Qadar pada malam ke sembilan, tujuh, dan lima (pada sepuluh malam terakhir, pen).” (HR. Bukhari No. 49, 1919)
Berkata seorang sahabat mulia, Ubay bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِي صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لَا شُعَاعَ لَهَا
“Demi Allah, seseungguhnya aku benar-benar mengetahui malam yang manakah itu, itu adalah malam yang pada saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk shalat malam, yaitu malam yang sangat cerah pada malam ke 27, saat itu tanda-tandanya hingga terbitnya matahari, pada pagi harinya putih terang benderang, tidak ada panas.” (HR. Muslim No. 762)
Bukan hanya Ubay bin Ka’ab, tapi juga sahabat yang lain. Salim meriwayatkan dari ayahnya Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
رَأَى رَجُلٌ أَنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى رُؤْيَاكُمْ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فَاطْلُبُوهَا فِي الْوِتْرِ مِنْهَا
“Seorang laki-laki melihat Lailatul Qadr pada malam ke 27. Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Aku melihat mimpi kalian pada sepuluh malam terakhir, maka carilah pada malam ganjilnya.” (HR. Muslim No. 1165)
Inilah riwayat yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama, bahwa kemungkinan besar Lailatul Qadr adalah pada malam ke 27. Namun, perselisihan tentang kepastiannya sangat banyak, sehingga bisa dikatakan bahwa jawaban terbaik dalam Kapan Pastinya Lailatul Qadr adalah wallahu a’lam.
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah:
وَقَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي لَيْلَة الْقَدْر اِخْتِلَافًا كَثِيرًا . وَتَحَصَّلَ لَنَا مِنْ مَذَاهِبهمْ فِي ذَلِكَ أَكْثَر مِنْ أَرْبَعِينَ قَوْلًا
“Para ulama berbeda pendapat tentang Lailatul Qadr dengan perbedaan yang banyak. Kami menyimpulkan bahwa di antara pendapat-pendapat mereka ada lebih 40 pendapat.” (Fathul Bari, 4/262. Darul Fikr)
🔹Bersambung🔸
Kumpulan Hadits-Hadits Shahih Tentang Shaum dan Ramadhan (3)
2⃣1⃣ *Terawih pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: 8 rakaat dan witir 3 rakaat*
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة
“Bahwa Rasulullah tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat shalat malam, baik pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (HR. Bukhari No. 2013, 3569, Muslim No. 738)
Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
جاء أبي بن كعب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إن كان مني الليلة شيء يعني في رمضان ، قال : « وما ذاك يا أبي ؟ » ، قال : نسوة في داري ، قلن : إنا لا نقرأ القرآن فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثمان ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ولم يقل شيئا
Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, semalam ada peristiwa pada diri saya (yaitu pada bulan Ramadhan).” Rasulullah bertanya: “Kejadian apa itu Ubay?”, Ubay menjawab: “Ada beberapa wanita di rumahku, mereka berkata: “Kami tidak membaca Al Quran, maka kami akan shalat bersamamu.” Lalu Ubay berkata: “Lalu aku shalat bersama mereka sebanyak delapan rakaat, lalu aku witir,” lalu Ubay berkata: “Nampaknya nabi ridha dan dia tidak mengatakan apa-apa.” (HR. Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 1801. Ibnu Hibban No. 2550, Imam Al Haitsami mengatakan: sanadnya hasan. Lihat Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 74)
2⃣2⃣ *Terawih pada masa Sahabat: 20 rakaat dan witir 3 rakaat serta terawih 36 rakaat dan witir 3 rakaat*
Pada masa sahabat, khususnya sejak masa khalifah Umar bin Al Khathab Radhilallahu ‘Anhu dan seterusnya, manusia saat itu melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat.
وصح أن الناس كانوا يصلون على عهد عمر وعثمان وعلي عشرين ركعة، وهو رأي جمهور الفقهاء من الحنفية والحنابلة وداود، قال الترمذي: وأكثر أهل العلم على ما روي عن عمر وعلي وغيرهما من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم عشرين ركعة، وهو قول الثوري وابن المبارك والشافعي، وقال: هكذا أدركت الناس بمكة يصلون عشرين ركعة
“Dan telah shahih, bahwa manusia shalat pada masa Umar, Utsman, dan Ali sebanyak 20 rakaat, dan itulah pendapat jumhur (mayoritas) ahli fiqih dari kalangan Hanafi, Hambali, dan Daud. Berkata At Tirmidzi: ‘Kebanyakan ulama berpendapat seperti yang diriwayatkan dari Umar dan Ali, dan selain keduanya dari kalangan sahabat nabi yakni sebanyak 20 rakaat. Itulah pendapat Ats Tsauri, Ibnul Mubarak. Berkata Asy Syafi’i: “Demikianlah, aku melihat manusia di Mekkah mereka shalat 20 rakaat.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/206
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah menyebutkan:
وَعَنْ يَزِيد بْن رُومَانَ قَالَ ” كَانَ النَّاس يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَر بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ” وَرَوَى مُحَمَّد بْن نَصْر مِنْ طَرِيق عَطَاء قَالَ ” أَدْرَكْتهمْ فِي رَمَضَان يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَة وَثَلَاثَ رَكَعَاتِ الْوِتْر “
“Dari Yazid bin Ruman, dia berkata: “Dahulu manusia pada zaman Umar melakukan 23 rakaat.” Dan Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Atha’, dia berkata: “Aku berjumpa dengan mereka pada bulan Ramadhan, mereka shalat 20 rakaat dan tiga rakaat witir.” (Fathul Bari, 4/253)
Beliau melanjutkan:
وَرَوَى مُحَمَّد اِبْن نَصْر مِنْ طَرِيق دَاوُدَ بْن قَيْس قَالَ ” أَدْرَكْت النَّاس فِي إِمَارَة أَبَانَ بْن عُثْمَان وَعُمْر بْن عَبْد الْعَزِيز – يَعْنِي بِالْمَدِينَةِ – يَقُومُونَ بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ ” وَقَالَ مَالِك هُوَ الْأَمْرُ الْقَدِيمُ عِنْدَنَا . وَعَنْ الزَّعْفَرَانِيِّ عَنْ الشَّافِعِيِّ ” رَأَيْت النَّاس يَقُومُونَ بِالْمَدِينَةِ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَبِمَكَّة بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ، وَلَيْسَ فِي شَيْء مِنْ ذَلِكَ ضِيقٌ “
Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari jalur Daud bin Qais, dia berkata: “Aku menjumpai manusia pada masa pemerintahan Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz –yakni di Madinah- mereka shalat 39 rakaat dan ditambah witir tiga rakaat.” Imam Malik berkata,”Menurut saya itu adalah perkara yang sudah lama.” Dari Az Za’farani, dari Asy Syafi’i: “Aku melihat manusia shalat di Madinah 39 rakaat, dan 23 di Mekkah, dan ini adalah masalah yang lapang.” (Ibid)
2⃣3⃣ *Orang yang sia-sia puasanya*
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ
Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar saja. (HR. Ahmad No. 9685, Ibnu Majah No. 1690, Ad Darimi No. 2720)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 9685), Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: hadits ini shahih. (Sunan Ad Darimi No. 2720. Cet. 1, 1407H. Darul Kitab Al ‘Arabi, Beirut)
2⃣4⃣ *Boleh mencium isteri jika mampu menahan diri*
Diriwayatkan dari Umar Radhilallahu ‘Anhu:
عنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
Suatu hari bangkitlah syahwat saya, lalu saya mencium isteri, saat itu saya sedang puasa. Maka saya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saya berkata: “Hari ini, Aku telah melakukan hal yang besar, aku mencium isteri padahal sedang puasa.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa pendapatmu jika kamu bekumur-kumur dengan air dan kamu sedang berpuasa?”, Saya (Umar) menjawab: “Tidak mengapa.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Lalu, kenapa masih ditanya?” (HR. Ahmad, No. 138, 372. Al Hakim, Al Mustadrak No. 1572, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 7808, 8044. Ibnu Khuzaimah No. 1999)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim. (Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 1572). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnadnya shahih sesuai syarat Imam Muslim. (Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 138). Syaikh Al A’zhami (Tahqiq Shahih Ibnu Khuzaimah No. 1999)
Hadits di atas menerangkan bahwa mencium isteri dan berkumur-kumur hukumnya sama yakni boleh, kecuali berlebihan hingga bersyahwat, apalagi mengeluarkan air mani.
Dari Abu Salamah, bahwa ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبل بعض نسائه وهو صائم. قلت لعائشة: في الفريضة والتطوع؟ قالت عائشة: في كل ذلك، في الفريضة والتطوع
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencium sebagian isterinya dan dia sedang puasa.” dan aku juga berpuasa.” Aku (Abu Salamah) berkata kepada ‘Aisyah: “Apakah pada puasa wajib atau sunah?” Beliau menjawab: “Pada semuanya, baik puasa wajib dan sunah.” (HR. Ibnu Hibban No. 3545)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Hadits ini shahih.” (Shahih Ibnu Hibban bitartib Ibni Balban, No. 3545)
2⃣5⃣ *Berpuasa ketika safar; diberikan pilihan antara tetap berpuasa atau berbuka, tergantung kekuatan orangnya*
Dari Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
يا رسول الله: أجد بي قوة على الصيام في السفر. فهل علي جناح ؟، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “هي رخصة من الله فمن أخذ بها فحسن. ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه”.
“Wahai Rasulullah, saya punya kekuatan untuk berpuasa dalam safar, apakah salah saya melakukannya?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Itu adalah rukhshah (keringanan) dari Allah, barang siapa yang mau mengambilnya (yakni tidak puasa) maka itu baik, dan barang siapa yang mau berpuasa maka tidak ada salahnya.” (HR. Muslim No. 1121. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, no. 7947. Ibnu Khuzaimah No. 2026)
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج إلى مكة عام الفتح في رمضان فصام حتى بلغ كراع الغميم فصام الناس معه فقيل له يا رسول الله إن الناس قد شق عليهم الصيام فدعا بقدح من ماء بعد العصر فشرب والناس ينظرون فأفطر بعض الناس وصام بعض فبلغه أن ناسا صاموا فقال أولئك العصاة
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar pada tahun Fath (penaklukan) menuju Mekkah pada saat Ramadhan. Dia berpuasa hingga sampai pinggiran daerah Ghanim. Manusia juga berpuasa bersamanya. Dikatakan kepadanya: “Wahai Rasulullah, nampaknya manusia kepayahan berpuasa.” Kemudian Beliau meminta segelas air setelah asar, lalu beliau minum, dan manusia melihatnya. Maka sebagian manusia berbuka, dan sebagian lain tetap berpuasa. Lalu, disampaikan kepadanya bahwa ada orang yang masih puasa.” Maka Beliau bersabda: “Mereka durhaka.” (HR. Muslim No. 1114. Ibnu Hibban No. 2706, An Nasa’i No. 2263. At Tirmidzi No. 710. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No.7935)
Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengkritik orang yang berpuasa dalam keadaan safar dan dia kesusahan karenanya.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفره. فرأى رجلا قد اجتمع الناس عليه. وقد ضلل عليه. فقال: “ماله ؟” قالوا: رجل صائم. فقال رسول الله عليه وسلم: “ليس من البر أن تصوموا في السفر”.
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tengah dalam perjalanannya. Dia melihat seseorang yang dikerubungi oleh manusia. Dia nampak kehausan dan kepanasan. Rasulullah bertanya: “Kenapa dia?” Mereka menjawab: “Seseorang yang puasa.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada kebaikan kalian berpuasa dalam keadaan safar.” (HR. Muslim No. 1115)
Jika diperhatikan berbagai dalil ini, maka dianjurkan tidak berpuasa ketika dalam safar, apalagi perjalanan diperkirakan melelahkan. Oleh karena itu, para imam hadits mengumpulkan hadits-hadits ini dalam bab tentang anjuran berbuka ketika safar atau dimakruhkannya puasa ketika safar. Contoh: Imam At Tirmidzi membuat Bab Maa Ja’a fi Karahiyati Ash Shaum fi As Safar (Hadits Tentang makruhnya puasa dalam perjalanan), bahkan Imam Ibnu Khuzaimah menuliskan dalam Shahihnya:
باب ذكر خبر روي عن النبي صلى الله عليه وسلم في تسمية الصوم في السفر عصاة من غير ذكر العلة التي أسماهم بهذا الاسم توهم بعض العلماء أن الصوم في السفر غير جائز لهذا الخبر
“Bab tentang khabar dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang penamaan berpuasa saat safar adalah DURHAKA tanpa menyebut alasan penamaan mereka dengan nama ini. Sebagian ulama menyangka bahwa berpuasa ketika safar adalah TIDAK BOLEH karena hadits ini.”
Tetapi, jika orang tersebut kuat dan mampu berpuasa, maka boleh saja dia berpuasa sebab berbagai riwayat menyebutkan hal itu, seperti riwayat Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu ‘Anhu di atas.
Ini juga dikuatkan oleh riwayat lainnya, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
لا تعب على من صام ولا من أفطر. قد صام رسول الله صلى الله عليه وسلم، في السفر، وأفطر.
“Tidak ada kesulitan bagi orang yang berpuasa, dan tidak ada kesulitan bagi yang berbuka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berpuasa dalam safar dan juga berbuka.” (HR. Muslim No. 1113)
Dari Ibnu Abbas juga:
سافر رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان. فصام حتى بلغ عسفان. ثم دعا بإنء فيه شراب. فشربه نهارا. ليراه الناس. ثم أفطر. حتى دخل مكة .قال ابن عباس رضي الله عنهما: فصام رسول الله صلى الله عليه وسلم وأفطر. فمن شاء صام، ومن شاء أفطر.
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengadakan perjalanan pada Ramadhan, dia berpuasa singga sampai ‘Asfan. Kemudian dia meminta sewadah air dan meminumnya siang-siang. Manusia melihatnya, lalu dia berbuka hingga masuk Mekkah.” Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata: “Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa dan berbuka. Barang siapa yang mau maka dia puasa, dan bagi yang mau buka maka dia berbuka.” (Ibid)
Dengan mentawfiq (memadukan) berbagai riwayat yang ada ini, bisa disimpulkan bahwa anjuran dasar bagi orang yang safar adalah berbuka. Namun, bagi yang kuat dan sanggup untuk berpuasa maka boleh saja berbuka atau tidak berpuasa sejak awalnya. Namun bagi yang sulit dan lelah, maka lebih baik dia berbuka saja. Wallahu A’lam
(Bersambung)
Kumpulan Hadits-Hadits Shahih Tentang Shaum dan Ramadhan (2)
Ini adalah risalah kecil tentang kumpulan hadits-hadits shahih seputar puasa (shaum) dan bulan Ramadhan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Pentingnya risalah ini adalah sebagai bahan referensi yang bisa dijadikan sandaran terpercaya dalam mengamalkan ajaran agama; khususnya tentang shaum dan Ramadhan. Selain itu, ini merupakan upaya meredam kebiasaan sebagian umat Islam, baik kaum terpelajar dan orang awam, yang sering menyampaikan hadits-hadits tentang shaum dan Ramadhan tanpa memberitahukan, atau tanpa mau tahu, tentang dari siapakah hadits itu berasal? Terlebih lagi bagaimana otentitas hadits tersebut; shahih atau dhaif?
Hendaklah seorang muslim lebih perhatian dengan pengamalan hadits-hadits shahih. Sebab, kesibukkan dengan hadits-hadits shahih akan dapat mengurangi tersebarnya hadits-hadits dhaif di tengah umat Islam.
Berikut ini adalah kumpulan hadits-hadits shahih tersebut, sejauh yang bisa kami kumpulkan. Selain itu, kami juga tambahkan seperlunya atsar shahih dari para sahabat dan tabi’in. Kami yakini upaya ini masih sangat memerlukan tambahan di sana sini, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Tabaraka wa Ta’ala.
1⃣1⃣ *Anjuran bersahur*
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
“Bersahurlah kalian, karena pada santap sahur itu ada keberkahan.” (HR. Bukhari No. 1923, Muslim No. 1095)
1⃣2⃣ *Keutamaan bersahur*
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Makan sahur adalah berkah, maka janganlah kalian meninggalkannya, walau kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikat mendoakan orang yang makan sahur. (HR. Ahmad No. 11086, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 11086)
Dari Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُور
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah pada makan sahur.” (HR. Muslim No. 1096)
1⃣3⃣ *Disunnahkan menta’khirkan sahur:*
Dari ‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحورا
Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling bersegera dalam berbuka puasa, dan paling akhir dalam sahurnya. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7916. Al Faryabi dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9025)
Imam An Nawawi mengatakan: “sanadnya shahih.” (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/362), begitu pula dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahkan menurutnya keshahihan hadits tentang bersegera buka puasa dan mengakhirkan sahur adalah mutawatir. (Lihat Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/199)
1⃣4⃣ *Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertadarus Al Quran bersama Malaikat Jibril*
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:
وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
Jibril menemuinya (nabi) pada tiap malam malam bulan Ramadhan, dan dia (Jibril) bertadarus Al Quran bersamanya. (HR. Bukhari No. 3220)
1⃣5⃣ *Kedermawanan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selama bulan Ramadhan melebihi hembusan angin*
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan kedermawanannya semakin menjadi-jadi saat Ramadhan apalagi ketika Jibril menemuinya. Dan, Jibril menemuinya setiap malam bulan Ramadhan dia bertadarus Al Quran bersamanya. Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar sangat dermawan dengan kebaikan melebihi angin yang berhembus. (HR. Bukhari No. 3220)
1⃣6⃣ *Memberikan makanan buat orang yang berbuka puasa*
Dari Zaid bin Khalid Al Juhani Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Barang siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang itu. (HR. At Tirmidzi No. 807, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 21676, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 3332. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3952. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6415. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan lighairih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 21676, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 3775)
1⃣7⃣ *Memperbanyak doa*
Dari AbuHurairah
Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوم
Ada tiga manusia yang doa mereka tidak akan ditolak: 1. Doa orang yang berpuasa sampai dia berbuka, 2. Pemimpin yang adil, 3. Doa orang teraniaya. (HR. At Tirmidzi No. 2526, 3598, katanya: hasan. Ibnu Hibban No. 7387, Imam Ibnul Mulqin mengatakan: “hadits ini shahih.” Lihat Badrul Munir, 5/152. Dishahihkan oleh Imam Al Baihaqi. Lihat Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, 1/85. Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2526)
1⃣8⃣ *Doa ketika berbuka puasa*
Berdoa diwaktu berbuka puasa juga diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Berikut ini adalah doanya:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika sedang berbuka puasa dia membaca: “Dzahaba Azh Zhama’u wab talatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.” (HR. Abu Daud No. 2357, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7922, Ad Daruquthni, 2/185, katanya: “isnadnya hasan.” An Nasa’i dalam As sunan Al Kubra No. 3329, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1536, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari- Muslim”. Al Bazzar No. 4395. Dihasankan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 4678)
1⃣9⃣ *I’tikaf di-‘asyrul awakhir (10 hari tertakhir) Ramadhan*
Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu.(HR. Bukhari No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari. (HR. Bukhari No. 694, Ahmad No. 8662, Ibnu Hibban No. 2228, Al Baghawi No. 839, Abu Ya’la No. 5843, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan, 2/53)
2⃣0⃣ *Tarawihnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam*
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di masjid, lalu manusia mengikutinya, keesokannya shalat lagi dan manusia semakin banyak, lalu pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak keluar bersama mereka, ketika pagi hari beliau bersabda:
قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
“Aku melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegahku keluar menuju kalian melainkan aku khawatir hal itu kalian anggap kewajiban.” Itu terjadi pada bulan Ramadhan. (HR. Bukhari No. 1129, Muslim No. 761)
🔹Bersambung🔸
Keluarga Rasulullah SAW
Assalamu’alaikum, ustadz/ustadzah ….Sekalian titip bertanya: terkait habib-habib yg terkenal di masyarakat. Dikatakan bahwa ahlul bait, masih garis keturunan Rasulullah SAW, apakah sanadnya sahih? Kemudian jika shahih bgmn seharusnya bersikap thdp ahlul bait?
Jawaban
————–
و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته
Kalangan Habaib atau Alawiyin, mereka merupakan keturunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Fathimah dan Ali Radhiallahu ‘Anhuma.
Mereka memiliki lembaga pentashih yg meneliti keabsahan silsilah keturunan nasab anggotanya sampai ke nabi atau tidak. Ada oknum2 yang mengaku habib, hanya modal wajah kearaban, pdhal bukan. Dengan tujuan mencari popularitas dunia dan kekayaan dan mengelabui org2 bodoh.
Dalam hadits At Tirmidzi, kita memang diperintah mengambil warisan keilmuan dari Ahli bait dan keturunannya. Dahulu, Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibnu Abbas, katanya begitulah kami menghomati keluarga nabi.
Namun, ketaqwaan adalah yang lebih utama. Walau keturunan nabi, tapi perilakunya tidak mencerminkan akhlak datuknya maka itu kebanggaan yg sia2. Nasabnya tidak mampu menolongnya.
Wallahu a’lam.
Kumpulan Hadits-Hadits Shahih Tentang Shaum dan Ramadhan (1)
Ini adalah risalah kecil tentang kumpulan hadits-hadits shahih seputar puasa (shaum) dan bulan Ramadhan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Pentingnya risalah ini adalah sebagai bahan referensi yang bisa dijadikan sandaran terpercaya dalam mengamalkan ajaran agama; khususnya tentang shaum dan Ramadhan. Selain itu, ini merupakan upaya meredam kebiasaan sebagian umat Islam, baik kaum terpelajar dan orang awam, yang sering menyampaikan hadits-hadits tentang shaum dan Ramadhan tanpa memberitahukan, atau tanpa mau tahu, tentang dari siapakah hadits itu berasal? Terlebih lagi bagaimana otentitas hadits tersebut; shahih atau dhaif?
Hendaklah seorang muslim lebih perhatian dengan pengamalan hadits-hadits shahih. Sebab, kesibukkan dengan hadits-hadits shahih akan dapat mengurangi tersebarnya hadits-hadits dhaif di tengah umat Islam.
Berikut ini adalah kumpulan hadits-hadits shahih tersebut, sejauh yang bisa kami kumpulkan. Selain itu, kami juga tambahkan seperlunya atsar shahih dari para sahabat dan tabi’in. Kami yakini upaya ini masih sangat memerlukan tambahan di sana sini, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Tabaraka wa Ta’ala.
1⃣ *Berpuasa karena melihat hilal, berhari raya juga karena melihat hilal, jika tertutup awan maka genapkan hingga tiga puluh hari*
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berhari rayalah karena melihatnya, jika hilal hilang dari penglihatanmu maka sempurnakan bilangan Sya’ban sampai tiga puluh hari. (HR. Bukhari No. 1909)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ
Maka berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berhari rayalah karena melihatnya, lalu jika kalian terhalang maka ditakarlahlah sampai tiga puluh hari. (HR. Muslim No. 1080, 4)
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Sesungguhnya sebulan itu 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya (hilal), dan janganlah kalian berhari raya sampai kalian melihatnya, jika kalian terhalang maka takarkan/perkirakan/hitungkanlah dia. (HR. Muslim No. 1080, 3)
2⃣ *Berpuasa Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu*
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 38, 1910, 1802)
Makna ‘diampuninya dosa-dosa yang lalu’ adalah dosa-dosa kecil, sebab dosa-dosa besar –seperti membunuh, berzina, mabuk, durhaka kepada orang tua, sumpah palsu, dan lainnya- hanya bias dihilangkan dengan tobat nasuha, yakni dengan menyesali perbuatan itu, membencinya, dan tidak mengulanginya sama sekali. Hal ini juga ditegaskan oleh hadits berikut ini.
3⃣ *Diampuni dosa di antara Ramadhan ke Ramadhan*
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ
“Shalat yang lima waktu, dari jumat ke jumat, dan ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus dosa di antara mereka, jika dia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim No. 233)
4⃣ *Shalat pada malam Lailatul Qadar menghilangkan dosa-dosa yang lalu*
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا، غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barang siapa yang shalat malam pada malam Lailatul Qadar karena iman dan ihtisab (mendekatkan diri kepada Allah) , maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 35, 38, 1802)
5⃣ *Shalat malam (tarawih) Pada Bulan Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu*
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barang siapa yang shalat malam pada Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari No. 37 1904, 1905)
6⃣ *Dibuka Pintu Surga, Dibuka pinta Rahmat, Ditutup Pintu Neraka, dan Syetan dibelenggu*
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَان فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِين
“Jika datang Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dibelenggu.” (HR. Muslim No. 1079)
Dalam hadits lain:
إذا كان رمضان فتحت أبواب الرحمة، وغلقت أبواب جهنم، وسلسلت الشياطين
“Jika bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu rahmat, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dirantai.” (HR. Muslim No. 1079)
7⃣ *Allah Ta’ala Langsung Membalas Pahala Puasa*
Firman Allah Ta’ala dalam hadist Qudsi :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ، فَهُوَ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Setiap amalan anak Adam itu adalah (pahala) baginya, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari No. 1795, Muslim No. 1151, Ibnu Majah No. 1638, 3823, Ahmad No. 7494, Ibnu Khuzaimah No. 1897, Ibnu Hibban No. 3416)
8⃣ *Disediakan Pintu Ar Rayyan bagi orang yang puasa*
Haditsnya:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di surga ada pintu yang dinamakan Ar Rayyan, yang akan dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat nanti, dan tidak ada yang memasuki melaluinya kecuali mereka. Dikatakan: “Mana orang-orang yang berpuasa? Maka mereka berdiri, dan tidak ada yang memasukinya seorang pun kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, maka pintu itu ditutup, dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk melaluinya.” (HR. Bukhari No. 1797, 3084, Muslim No. 1152, At Tirmidzi No. 762, Ibnu Majah No. 1640)
9⃣ *Bau mulut orang puasa lebih Allah Ta’ala cinta di banding kesturi*
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
… Demi Yang Jiwa Muhammad ada di tanganNya, bau mulut orang yang berpuasa lebih Allah cintai dibanding bau misk (kesturi) …” (HR. Bukhari No. 1904 dan Muslim No. 1151)
🔟 *Dua kebahagiaan bagi orang berpuasa*
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
للصائم فرحتان يفرحهما: إذا أفطر فرح، وإذا لقي ربه فرح بصومه
“Bagi orang berpuasa ada dua kebahagiaan: yaitu kebahagiaan ketika berbuka, dan ketika berjumpa Rabbnya bahagia karena puasanya.” (HR. Bukhari No. 1805, 7054. Muslim no. 1151. At Tirmidzi No. 766. An Nasa’i No. 2211, 2212, 2213, 2215, 2216. Ibnu Majah No. 1638. Ad Darimi No. 1769. Ibnu Hibban No. 3423. Al Baihaqi dalam As Sunan No. 7898. Ibnu Khuzaimah No. 1896. Abu Ya’la No. 1005. Ahmad No. 4256, dari Ibnu Mas’ud. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 10077. Abdurrazzaq No. 7898)
(Bersambung)
Penentuan awal Ramadhan – Polemik Ru’yah dan Hisab
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulullah wa Ba’d
Saat ini di dunia Islam, memang terkenal dengan dua cara dalam menentukan awal masuk bulan atau berakhirnya, yaitu ru’yatul hilal (melihat bulan sabit) dan hisab.
Ada sebagian orang yang memadukan keduanya sebagai, ru’yah sebagai dasar sedangkan hisab sebagai penguatnya.
Ada pula yang hanya hisab, karena dinilainya sebuah ilmu pasti yang mendatangkan keyakinan, sedangkan ru’yah masih zhanni (dugaan) tergantung manusia yang meru’yah.
Ada pula yang hanya ru’yah, dan mengingkari bahkan membid’ahkan hisab.
Di negeri kita keduanya dipakai, oleh karena itu ada Badan Hisab dan Rukyat. Ormas besar seperti Nahdhatul Ulama menggunakan keduanya, sedangkan Muhammadiyah menggunakan hisab saja.
*📕Keduanya Memiliki Dasar*
Jika kita lihat, kedua kelompok ini memiliki dasar dalam sumber-sumber Islam, hanya saja mereka beda paham dalam menafsirkan dasar-dasar tersebut.
*📡 Alasan Pihak yang Meru’yah*
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
_Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berhari rayalah karena melihatnya, jika hilal hilang dari penglihatanmu maka sempurnakan bilangan Sya’ban sampai tiga puluh hari. (HR. Bukhari No. 1909)_
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ
_Maka berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berhari rayalah karena melihatnya, lalu jika kalian terhalang maka ditakarlahlah sampai tiga puluh hari. (HR. Muslim No. 1080, 4)_
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
_Sesungguhnya sebulan itu 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya (hilal), dan janganlah kalian berhari raya sampai kalian melihatnya, jika kalian terhalang maka takarkan/perkirakan/hitungkanlah dia. (HR. Muslim No. 1080)_
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa cara mengetahui masuk dan berakhirnya bulan adalah yang ru’yah (melihat), bukan dengan hisab (menghitung). Solusi pun sudah ada, yaitu jika tertutup oleh awan, sehingga tidak tampak hilal, maka digenapkan sampai 30 hari saja di bulan tesebut. Sikap seorang muslim adalah ittiba’ (mengikuti) Nabi ﷺ bukan menyelisihinya.
Inilah pendapat mayoritas ulama Islam dari masa ke masa di neger-negeri muslim.
*⏰Alasan Pihak Yang Meng-hisab*
Pihak yang menggunakan metode hisab memiliki beberapa alasan:
*Pertama*
Digunakannya ru’yah pada masa Nabi ﷺ, karena memang ilmu hitung belum berkembang, bahkan umumnya mereka adalah kaum yang tidak mengenal baca dan tulis. Maka, mana mungkin menggunakan hisab?
Artinya, penggunakaan hisab sangat wajar karena situasinya seperti itu.
Dalam Al Quran Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
_Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al Jumu’ah (62): 2)_
Ada pun dalam Al Hadits, dari Ibnu Umar Radhilallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ
_Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak menulis dan tidak menghitung. (HR. Bukhari No. 1913, Muslim no. 1080, Abu Daud No. 2319, dll)_
*Kedua*
Penggunaan hisab sudah terisyaratkan dalam hadits berikut:
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
_Sesungguhnya sebulan itu 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya (hilal), dan janganlah kalian berhari raya sampai kalian melihatnya, jika kalian terhalang maka takarkan/perkirakan/hitungkanlah dia. (HR. Muslim No. 1080)_
Menurut mereka, makna “faqdiruu lahu” maka hitunglah atau perkirakanlah. Ini merupakan alasan yang tegas atas hujjah metode hisab.
*Ketiga*
Mereka beralasan bahwa ilmu hisab adalah ilmu ukur yang pasti, seandainya ilmu ini sudah ada pada masa Nabi dan para sahabatnya, pasti mereka juga menggunakannya. Sebab Islam itu berdasarkan kepastian, bukan dugaan.
Allah ﷻ berfirman:
وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِى مِنَ الْحَقِّ شَيْئاً
_Dan sesungguhnya dugaan itu tidaklah mencukupi untuk mencapai kepada kebenaran. (QS. An Najm: 53)_
Pendapat ini yang dikuatkan dan dipilih para imam seperti Ibnu Suraij, As Subki, Al Maraghi, Ahmad Syakir, Al Qaradhawi, dan lainnya. Bahkan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir Rahimahullah, ahli hadits Mesir, mewajibkan hisab bukan hanya membolehkan, setelah dahulunya dia menolak, karena menurutnya kepastian yang ada pada ilmu hisab. Demikian.
Sebenarnya masalah ini, bagi para ahli ilmu sudah tidak lagi menjadi polemik sebab mereka tahu memang ini sudah didebatkan sejak lama. Tapi, polemik ini kembali dihidupkan oleh orang-orang yang memang hobi berdebat dan menyerang kebiasaan muslim lainnya. Sehingga kembali umat mundur.
Perselisihan tersisa yang terjadi para ulama, bukan lagi ru’yah versus hisab, tetapi batasan derajat minimal untuk wujudul hilal itu berapa? Ini tentu sudah ranah ahli falak, bukan lagi semata-mata perselisihan para fuqaha.
Wallahu A’lam
Penentuan awal Ramadhan – Polemik Ru’yah dan Hisab
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulullah wa Ba’d
Saat ini di dunia Islam, memang terkenal dengan dua cara dalam menentukan awal masuk bulan atau berakhirnya, yaitu ru’yatul hilal (melihat bulan sabit) dan hisab.
Ada sebagian orang yang memadukan keduanya sebagai, ru’yah sebagai dasar sedangkan hisab sebagai penguatnya.
Ada pula yang hanya hisab, karena dinilainya sebuah ilmu pasti yang mendatangkan keyakinan, sedangkan ru’yah masih zhanni (dugaan) tergantung manusia yang meru’yah.
Ada pula yang hanya ru’yah, dan mengingkari bahkan membid’ahkan hisab.
Di negeri kita keduanya dipakai, oleh karena itu ada Badan Hisab dan Rukyat. Ormas besar seperti Nahdhatul Ulama menggunakan keduanya, sedangkan Muhammadiyah menggunakan hisab saja.
*📕Keduanya Memiliki Dasar*
Jika kita lihat, kedua kelompok ini memiliki dasar dalam sumber-sumber Islam, hanya saja mereka beda paham dalam menafsirkan dasar-dasar tersebut.
*📡 Alasan Pihak yang Meru’yah*
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
_Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berhari rayalah karena melihatnya, jika hilal hilang dari penglihatanmu maka sempurnakan bilangan Sya’ban sampai tiga puluh hari. (HR. Bukhari No. 1909)_
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ
_Maka berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berhari rayalah karena melihatnya, lalu jika kalian terhalang maka ditakarlahlah sampai tiga puluh hari. (HR. Muslim No. 1080, 4)_
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
_Sesungguhnya sebulan itu 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya (hilal), dan janganlah kalian berhari raya sampai kalian melihatnya, jika kalian terhalang maka takarkan/perkirakan/hitungkanlah dia. (HR. Muslim No. 1080)_
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa cara mengetahui masuk dan berakhirnya bulan adalah yang ru’yah (melihat), bukan dengan hisab (menghitung). Solusi pun sudah ada, yaitu jika tertutup oleh awan, sehingga tidak tampak hilal, maka digenapkan sampai 30 hari saja di bulan tesebut. Sikap seorang muslim adalah ittiba’ (mengikuti) Nabi ﷺ bukan menyelisihinya.
Inilah pendapat mayoritas ulama Islam dari masa ke masa di neger-negeri muslim.
*⏰Alasan Pihak Yang Meng-hisab*
Pihak yang menggunakan metode hisab memiliki beberapa alasan:
*Pertama*
Digunakannya ru’yah pada masa Nabi ﷺ, karena memang ilmu hitung belum berkembang, bahkan umumnya mereka adalah kaum yang tidak mengenal baca dan tulis. Maka, mana mungkin menggunakan hisab?
Artinya, penggunakaan hisab sangat wajar karena situasinya seperti itu.
Dalam Al Quran Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
_Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al Jumu’ah (62): 2)_
Ada pun dalam Al Hadits, dari Ibnu Umar Radhilallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ
_Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak menulis dan tidak menghitung. (HR. Bukhari No. 1913, Muslim no. 1080, Abu Daud No. 2319, dll)_
*Kedua*
Penggunaan hisab sudah terisyaratkan dalam hadits berikut:
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
_Sesungguhnya sebulan itu 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya (hilal), dan janganlah kalian berhari raya sampai kalian melihatnya, jika kalian terhalang maka takarkan/perkirakan/hitungkanlah dia. (HR. Muslim No. 1080)_
Menurut mereka, makna “faqdiruu lahu” maka hitunglah atau perkirakanlah. Ini merupakan alasan yang tegas atas hujjah metode hisab.
*Ketiga*
Mereka beralasan bahwa ilmu hisab adalah ilmu ukur yang pasti, seandainya ilmu ini sudah ada pada masa Nabi dan para sahabatnya, pasti mereka juga menggunakannya. Sebab Islam itu berdasarkan kepastian, bukan dugaan.
Allah ﷻ berfirman:
وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِى مِنَ الْحَقِّ شَيْئاً
_Dan sesungguhnya dugaan itu tidaklah mencukupi untuk mencapai kepada kebenaran. (QS. An Najm: 53)_
Pendapat ini yang dikuatkan dan dipilih para imam seperti Ibnu Suraij, As Subki, Al Maraghi, Ahmad Syakir, Al Qaradhawi, dan lainnya. Bahkan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir Rahimahullah, ahli hadits Mesir, mewajibkan hisab bukan hanya membolehkan, setelah dahulunya dia menolak, karena menurutnya kepastian yang ada pada ilmu hisab. Demikian.
Sebenarnya masalah ini, bagi para ahli ilmu sudah tidak lagi menjadi polemik sebab mereka tahu memang ini sudah didebatkan sejak lama. Tapi, polemik ini kembali dihidupkan oleh orang-orang yang memang hobi berdebat dan menyerang kebiasaan muslim lainnya. Sehingga kembali umat mundur.
Perselisihan tersisa yang terjadi para ulama, bukan lagi ru’yah versus hisab, tetapi batasan derajat minimal untuk wujudul hilal itu berapa? Ini tentu sudah ranah ahli falak, bukan lagi semata-mata perselisihan para fuqaha.
Wallahu A’lam
Panduan Shaum Ramadhan (11)
*📚Hal-hal yang diperbolehkan ketika puasa*
❣ *Mencium Isteri Selama mampu menahan diri*
Sebelum saya bahas dari sisi dalil, saya sampaikan secara global apa yang dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berikut:
قال ابن المنذر رخص في القبلة عمر وابن عباس وأبو هريرة وعائشة، وعطاء، والشعبي، والحسن، وأحمد، وإسحاق. ومذهب الاحناف والشافعية: أنها تكره على من حركت شهوته، ولا تكره لغيره، لكن الاولى تركها. ولا فرق بين الشيخ والشاب في ذلك، والاعتبار بتحريك الشهوة، وخوف الانزال، فإن حركت شهوة شاب، أو شيخ قوي، كرهت. وإن لم تحركها لشيخ أو شاب ضعيف، لم تكره، والاولى تركها. وسواء قبل الخد أو الفم أو غيرهما. وهكذا المباشرة باليد والمعانقة لهما حكم القبلة.
Berkata Ibnul Mundzir: Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Aisyah, Atha’, Asy Sya’bi, Ahmad dan Ishaq, mereka memberikan rukhshah (keringanan) dalam hal mencium (isteri).
Madzhab Hanafi dn Asy Syaf’i: Mencium itu makruh jika melahirkan syahwat, dan tidak makruh jika tidak bersyahwat, tetapi lebih utama meninggalkannya.
Dalam hal ini, tak ada perbedaan antara anak muda dan orang tua, yang menjadi pelajaran adalah munculnya syahwat (rangsangan) itu, dan kekhawatiran terjadinya inzal (keluarnya mani). Maka, munculnya syahwat, baik anak muda dan orang tua yang masih punya kekuatan, adalah makruh.. Namun, jika tidak menimbulkan syahwat, baik untuk orang tua atau anak muda yang lemah, maka tidak makruh, dan lebih utama adalah meninggalkannya.
Sama saja, baik mencium pipi, atau mulut, atau lainnya. Begitu pula mubasyarah (hubungan-cumbu) dengan tangan atau berpelukan, hukumnya sama dengan mencium. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah , 1/461)
Jika dilihat dalil-dalil yang ada, dari berbagai perbedaan pendapat dalam hal ini, maka akan kita dapatkan bahwa mencium isteri adalah mubah bagi orang yang berpuasa. Inilah pendapat yang lebih kuat. Hal ini ditunjukkan langsung oleh perilaku Rasulullah terhadap isterinya, begitu pula perilaku para sahabat terhadap isteri mereka di antaranya Umar, Ibnu Mas’ud, Saad bin Abi Waqash, dan fatwa Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhum. Bahkan mereka melakukan ‘lebih’ dari sekedar mencium sebagaimana yang akan nanti saya sampaikan. Sedangkan alasan bagi pihak yang memakruhkan, biasanya adalah karena dzari’ah (preventif, mencegah perbuatan yang mubah agar tidak jatuh ke yang haram), atau jika karena melampau batas. Jadi, dilihat dari sisi dalil, maka pihak yang memubahkan lebih rajih (kuat) landasannya.
❣ *Berikut ini adalah bukti-buktinya.*
✅ Perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha
Rasulullah adalah laki-laki yang paling mampu menahan hawa nafsunya, namun diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha dia berkata:
كان يقبلني و هو صائم و أنا صائمة
“Rasulullah mencium saya dan dia sedang puasa dan aku juga berpuasa.”
Syaikh Al Albany berkata: “Hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari.” (Syaikh Al Albani, As Silsilah Ash Shahihah No. 219)
Dalam hadits lain, juga dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
كان يباشر و هو صائم ، ثم يجعل بينه و بينها ثوبا . يعني الفرج
“Rasulullah bermubasyarah padahal sedang puasa, lalu dia membuat tabir dengan kain antara dirinya dengan kemaluan (‘Aisyah).” (HR. Ahmad No. 24314, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 24314)
Tentang hadits ini, berkata Al ‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah:
و هذا سند جيد ، رجاله كلهم ثقات رجال مسلم ، و لولا أن طلحة هذا فيه كلام يسير من قبل حفظه ، لقلت : إنه صحيح الإسناد ، و لكن تكلم فيه بعضهم ، و قال الحافظ في ” التقريب ” : ” صدوق يخطىء ” . قلت : و في هذا الحديث فائدة هامة و هو تفسير المباشرة بأنه مس المرأة فيما دون الفرج ، فهو يؤيد التفسير الذي سبق نقله عن القاري ، و إن كان حكاه بصيغة التمريض ( قيل ) : فهذا الحديث يدل على أنه قول معتمد ، و ليس في أدلة الشريعة ما ينافيه ، بل قد وجدنا في أقوال السلف ما يزيده قوة ، فمنهم راوية الحديث عائشة نفسها رضي الله عنها ، فروى الطحاوي ( 1 / 347 ) بسند صحيح عن حكيم بن عقال أنه قال : سألت عائشة : ما يحرم علي من امرأتي و أنا صائم ؟ قالت : فرجها و حكيم هذا وثقه ابن حبان و قال العجيلي : ” بصري تابعي ثقة ” . و قد علقه البخاري ( 4 / 120 بصيغة ا
لجزم : ” باب المباشرة للصائم ، و قالت عائشة رضي الله عنها : يحرم عليه فرجها ” . و قال الحافظ : ” وصله الطحاوي من طريق أبي مرة مولى عقيل عن حكيم بن عقال …. و إسناده إلى حكيم صحيح ، و يؤدي معناه أيضا ما رواه عبد الرزاق بإسناد صحيح عن مسروق : سألت عائشة : ما يحل للرجل من امرأته صائما ؟ قالت . كل شيء إلا الجماع ” .
“Sanad hadits ini jayyid (bagus). Semua rijalnya (periwayatnya) tsiqat (terpercaya) dan dipakai oleh Imam Muslim, seandainya Thalhah (salah seorang perawinya) tidak mendapat kritikan, saya akan katakan: hadits ini sanadnya shahih. Namun, sebagian ulama ada yang membicarakannya. Berkata Al Hafizh (Ibnu Hajar) dalam At Taqrib: “Dia jujur tapi melakukan kesalahan.”
Selanjutnya, ada faedah penting dari hadits ini, yakni tafsir tentang arti mubasyarah (bercumbu), yakni menyentuh wanita (isteri) selain kemaluannya. Pemaknaan ini mendukung tafsir yang telah dikutip oleh Al Qari. Walau pun dia dalam mengutipnya dengan bentuk kata tamridh (dikatakan ..). Maka hadits ini dapat dijadikan sebagai acuan, dan tidak ada dalil syariat yang menentangnya. Bahkan saya (Syaikh al Albany) telah menemukan prilaku para salaf (generasi terdahulu) yang memperkuat kebolehannya. Di antaranya adalah hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang beliau tafsirkan sendiri, Ath Thahawi telah meriwayatkan (1/347) dengan sanad yang shahih dari Hakim bin Iqal, bahwa dia berkata: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah: ‘Apa yang haram bagiku terhadap isteriku saat aku sedang puasa?’, Dia menjawab: ‘Kemaluannya.’
Hakim bin Iqal ini dinilai tsiqah (terpercaya) oleh Ibnu Hibban. Berkata Al ‘Ijili: “Dia (Hakim) adalah orang Bashrah (nama kota di Irak), generasi tabi’in, dan tsiqah (terpercaya).” Sedangkan Imam Bukhari telah mengomentari hadits ini (4/120) dalam bab khusus dengan bentuk kata pasti: “Bab Mubasyarah (bercumbu) bagi orang yang berpuasa dan perkataan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha: Haram bagi suaminya, kemaluannya.”
Sementara Al Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Ath Thahawi menyambungkan sanad hadits itu melalui Abu Murrah, bekas pelayan Uqail, dari Hakim bin Iqal …”
Penyandaran kepada Hakim bin Iqal ini adalah shahih. Hal serupa juga diriwayatlan oleh Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih dari Masruq: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah: “Apa sajakah yang dihalalkan bagi suami yang sedang puasa atas isterinya?” Dia menjawab: “Semuanya halal kecuali jima’ (bersetubuh).” (Syaikh al Albany, Silsilah Ash Shahihah, No. 221)
✅ Perbuatan Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu
Diriwayatkan dari Umar Radhilallahu ‘Anhu:
عنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
Suatu hari bangkitlah syahwat saya, lalu saya mencium isteri, saat itu saya sedang puasa. Maka saya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saya berkata: “Hari ini, Aku telah melakukan hal yang besar, aku mencium isteri padahal sedang puasa.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa pendapatmu jika kamu bekumur-kumur dengan air dan kamu sedang berpuasa?”, Saya (Umar) menjawab: “Tidak mengapa.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Lalu, kenapa masih ditanya?” (HR. Ahmad No. 138. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih, sesuai syarat Muslim. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 138)
✅ Perilaku Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu
Dia adalah seorang sahabat nabi yang termasuk mubasysyiruna bil jannah (dijamin masuk surga) oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri. Dia adalah tokoh utama perang Al Qadisiyah melawan Persia. Namun demikian, itu semua tidak membuatnya malu untuk tetap romantis dengan isterinya. Walau pun dia sedang berpuasa, tidak menghalanginya untuk mubasyarah dengan isterinya.
Imam Ibnu Hazm Al Andalusi berkata:
” و من طريق صحاح عن س
عد بن أبي وقاص أنه سئل أتقبل و أنت صائم ؟
قال : نعم ، و أقبض على متاعها
“Dari jalan yang shahih dari Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa dia ditanya: “Apakah engkau mencium (isteri) ketika sedang puasa?” Dia menjawab: “Ya, bahkan aku menggenggam kemaluannya segala.” (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 6/212. Darul Fikr. Tahqiq: Ustadz Ahmad Muhammad Syakir)
✅ Perbuatan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu
Dia ahli membaca Al Qur’an dan tafsirnya, dan menjadi manusia pertama yang berani membaca Al Qur’an di depan ka’bah ketika masa-masa awal Islam.
عَنْ عَمْرِو بن شُرَحْبِيلَ،”إِنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يُبَاشِرُ امْرَأَتَهُ نِصْفَ النَّهَارِ، وَهُوَ صَائِمٌ”.
“Dari ‘Amru bin Syurahbil: “Sesungguhnya Ibnu Mas’ud pernah mubasyarah dengan isterinya pada tengah siang, padahal dia sedang puasa.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 9573. Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf, Juz. 4, Hal. 191, No. 8442. Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz. 6, Hal. 212. Katanya: “Ini adalah jalan yang paling shahih dari Ibnu Mas’ud.”)
Semua atsar (riwayat) di atas, baik Ibnu Abbas, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Ibnu Mas’ud adalah shahih, maka bersenang-senang dengan isteri ketika berpuasa adalah boleh, namun bagi orang yang tidak mampu meredam hawa nafsunya, lebih baik ditinggalkan. Tetapi, kita tidak dibenarkan mengingkari pendapat yang memakruhkan mencium isteri atau lebih dari itu, sebab para ulama yang memakruhkan itu juga para imam agama yang mendalam ilmunya (lihat pembahasan dari Syaikh Sayyid Sabiq sebelumnya).
✅ Pendapat Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhu
Beliau adalah maha gurunya para mufassir (ahli tafsir). Ia dijuluki Hibrul Ummah (tintanya umat ini). Dan dia memiliki pandangan yang amat moderat dalam hal ini.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah meriwayat kan:
عن سعيد بن جبير أن رجلا قال لابن عباس : إني تزوجت ابنة عم لي جميلة ، فبني بي في رمضان ، فهل لي – بأبي أنت و أمي – إلى قبلتها من سبيل ؟ فقال له ابن عباس : هل تملك نفسك ؟ قال : نعم ، قال : قبل ، قال : فبأبي أنت و أمي هل إلى مباشرتها من سبيل ؟ ! قال : هل تملك نفسك ؟ قال : نعم ، قال :
فباشرها ، قال : فهل لي أن أضرب بيدي على فرجها من سبيل ؟ قال : و هل تملك نفسك؟ قال : نعم ، قال : اضرب . ” و هذه أصح طريق عن ابن عباس ” .
“ Dari Said bin Jubeir bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Abbas: ‘Aku menikahi seorang putri anak paman saya, ia seorang yang cantik. Saya membawanya pada bulan Ramdhan. Maka bolehkah bagi saya menciumnya?’ maka Ibnu Abbas menjawab: “Apakah engkau bisa menahan hawa nafsu?’ dia menjawab: ‘Ya,’
Ibnu Abbas berkata: “Ciumlah!”
Laki-laki itu betanya lagi: ‘Bolehkah saya bercumbu dengannya?’
Ibnu Abbas bertanya: ‘Bisakah engkau meredam nafsumu?’
Laki-laki itu menjawab: ‘Ya.’
Ibnu Abbas berkata: ‘Bercumbulah.”
Laki-laki itu bertanya lagi: ‘Bolehkah tangan saya memegang kemaluannya?’
Ibnu Abbas bertanya: ‘Bisakah engkau meredam nafsumu?’
Laki-laki itu menjawab: ‘Ya.’
Ibnu Abbas berkata: ‘Peganglah.”
Ibnu Hazm berkata: “Ini adalah sanad yang paling shahih dari Ibnu Abbas.” (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz. 6, Hal. 212 Darul Fikr)
✅ Komentar Al ‘Allamah al Muhaddits Muhammad Nashiruddn Al Albani Rahimahullah
Beliau menguatkan riwayat-riwayat di atas, baginya kebolehan mencium bahkan mubasyarah dengan isteri adalah pendapat yang lebih kuat, walau sebaiknya dihindarkan bagi yang tidak mampu meredam hawa nafsu.
أثر ابن مسعود هذا أخرجه ابن أبي شيبة ( 2 / 167 / 2 ) بسند صحيح على شرطهما ، و أثر سعد هو عنده بلفظ ” قال : نعم و آخذ بجهازها ” و سنده صحيح على شرط مسلم ، و أثر ابن عباس عنده أيضا و لكنه مختصر بلفظ : ” فرخص له في القبلة و المباشرة و وضع اليد ما لم يعده إلى غيره ” . و سنده صحيح على شرط البخاري . و روى ابن أبي شيبة ( 2 / 170 / 1 ) عن عمرو بن هرم قال : سئل جابر بن زيد عن رجل نظر إلى امرأته في رمضان فأمنى من شهوتها هل يفطر ؟ قال : لا ، و يتم صومه ” . و ترجم ابن خزيمة للحديث بقوله : ” باب الرخصة في المباشرة التي هي دون الجماع للصائم ، و الدليل على أن اسم الواحد قد يقع على فعلين أحدهما مباح ، و الآخر محظور ” .
“Atsar (segala perbuatan dan perkataan sahabat dan tabi’in) dari Ibnu Mas’ud ini telah juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/167) dengan san
ad yang shahih, sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Sedangkan atsar dari Sa’ad bin Abi Waqqash juga diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dengan redaksi: “Benar, bahkan aku memegang juga kemaluannya.” Sanad ini shahih, sesuai syarat Imam Muslim. Sedangkan atsar Ibnu Abbas oleh Ibnu Abi Syaibah juga disebutkannya, tetapi dengan redaksi yang agak ringkas, yakni:
“Dia (Ibnu Abbas) memberikan keringanan kepada orang itu (yang bertanya) untuk mencium isterinya, bermubasyarah, dan meletakkan tangannya di atas kemaluan isterinya, selama tidak mendorongnya untuk melakukan hal yang lebih dari itu.”
Sanad atsar ini shahih sesuai syarat Bukhari. Ibnu Abi Syaibah (2/170/1) meriwayatkan dari Amru bin Haram: bahwa Jabir bin Zaid ditanya tentang laki-laki yang melihat isterinya pada bulan Ramadhan sampai keluar mani-nya karena syahwatnya, apakah batal puasanya? Beliau menjawab: “Tidak, hendaknya dia menyempurnakan puasanya.”
Hadits ini juga disebutkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, dalam pokok bahasan:
“Bab rukhshah (keringanan) dalam bermubasyarah (bercumbu) yang tanpa disertai jima’ (setubuh) bagi orang yang berpuasa.”
Disertai pula dalil mengenai satu kata yang bisa menghasilkan dua macam perbuatan, ada yang mengatakannya mubah (boleh) dan yang lainnya mengatakan mahzhur (terlarang). (Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albany, Silsilah Ash Shahihah, Juz. 1, Hal. 220, No. 221)
Riwayat-riwayat shahih ini menunjukkan bahwa mencium isteri adalah mubah, bahkan ada yang melakukan ‘lebih’, selama tidak sampai jima’. Itulah yang dilakukan para sahabat nabi yang paling tahu tentang Islam dan paling bisa menahan diri.
Demikianlah hal-hal yang diperbolehkan bagi orang yang puasa. Namun demikian, bukan berarti hal-hal di atas menjadi sebuah kelaziman bagi para shaimin, sehingga mereka menganggap ringan hal ini.
Sebab, menahan dari dari hal-hal yang bisa merusak kualitas puasa adalah hal yang utama, walau belum tentu perbuatan itu membatalkan puasa atau dibenci.
Ini lebih sedikit, yang pada dasarnya karena dzari’ah (tindakan preventif) demi menjaga kualitas puasa di sisi Allah Ta’ala.
❣ *Berendam* secara *berlebihan* (sudah dibahas pada bab hal-hal yang dibolehkan)
❣ *Kumur-kumur* dan menghirup air ke rongga hidung secara *berlebihan* (sudah dibahas juga di atas)
❣ *Berbekam hingga membuat lemah badan* (sudah dibahas di atas)
❣ *Mencium isteri hingga melahirkan syahwat* yang tidak terkendali (sudah dibahas di atas)
❣ *Tidur berlebihan*
Hadits-hadits tentang ‘Tidurnya orang berpuasa adalah ibadah’ tidaklah valid, alias *dhaif*.
Berikut pembahasannya:
عن عبد الله بن أبي أوفى ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « نوم الصائم عبادة ، وصمته تسبيح ، وعمله مضاعف ، ودعاؤه مستجاب ، وذنبه مغفور »
Dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampunkan.” (HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 3937)
Dalam sanad hadits ini diriwayatkan oleh Ma’ruf bin Hisan dan Sulaiman bin Amru an Nakha’i.
Imam Al Baihaqi berkata tentang mereka berdua:
معروف بن حسان ضعيف وسليمان بن عمرو النخعي أضعف منه
“Ma’ruf bin Hisan adalah dha’if, dan Sulaiman bin ‘Amru an Nakha’i, lebih dha’if darinya.” (Syu’abul Iman No. 3939)
Dalam Takhrijul Ihya’ disebutkan:
وفيه سليمان بن عمرو النخعي أحد الكذابين .
“Dalam hadits ini terdapat Sulaiman bin ‘Amru an Nakha’i, salah seorang pendusta.” (Imam Zainuddin al ‘Iraqi, Takhrijul Ihya’, Juz. 2, Hal. 23, No. 723)
Syaikh al Albany mendha’ifkan hadits ini. (Lihat Shahih wa Dha’if Jami’ush Shaghir, Juz. 26, Hal. 384,No. 12740)
Hadits lainnya:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa senantiasa dinilai ibadah, walau pun sedang berbaring di atas ranjangnya.”
Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah:
ضعيف . رواه تمام ( 18 / 172 – 173 ) : أخبرنا أبو بكر يحيى بن عبد الله بن الزجاج قال : حدثنا أبو بكر محمد بن هارون بن محمد بن بكار بن بلال : حدثنا سليمان بن عبد الرحمن : حدثنا هاشم بن أبي هريرة الحمصي عن هشام بن حسان عن ابن سيرين عن سلمان بن عامر الضبي مرفوعا . و هذا سند ضعيف يحيى الزجاج و محمد بن هارون لم أجد من ذكرهما . و بقية رجاله ثقات غير هاشم بن أبي هريرة الحمصي ترجمه ابن أبي حاتم ( 4 / 2 / 105 ) و لم يذكر فيه جرحا و لا تعديلا . قال : “و اسم أبي هريرة عيسى بن بشير ” . و أورده في ” الميزان ” و قال : ” لا يعرف ، قال العقيلي : منكر الحديث ” . و الحديث أورده السيوطي في ” الجامع الصغير ” برواية الديلمي في ” مسند الفردوس ” عن أنس . و تعقبه المناوي بقوله : ” و فيه محمد بن أحمد بن سهل ، قال الذهبي في ” الضعفاء ” : قال ابن عدي : [ هو ] ممن يضع الحديث ”
Diriwayatkan oleh Tamam (18/172-173): Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Yahya bin Abdullah bin Az Zujaj, dia berkata: berkata kepadaku Abu Bakar Muhammad bin Harun bin Muhammad bin Bakar bin Bilal, berkata kepadaku Sulaiman bin Abdurrahman, berkata kepadaku Hasyim bin Abi Hurairah al Himshi, dari Hisyam bin Hisan, dari Ibnu Sirin, dari Salman bin ‘Amir adh dhabi secara marfu’. Sanad ini dha’if karena Yahya az Zujaj dan Muhammad bin Harun tidak saya (Syaikh al Albany) temukan biografinya tentang mereka berdua. Sedangkan yang lainnya tsiqat (terpercaya), kecuali Hasyim bin Abi Hurairah al Himshi, Imam Abu Hatim (4/2/105) telah menulis tentangnya tetapi tidak memberikan pujian atau kritik atasnya.
Dia berkata: “Nama asli dari Abi Hurairah al Himshi adalah ‘Isa bin Basyir.”
Dalam Al Mizan disebutkan tentang dia: “Tidak diketahui.” Berkata Al ‘Uqaili: “Munkarul hadits.’ Hadits ini juga ada dalam Jami’ush Shaghir-nya Imam As Suyuthi, diriwayatkan oleh Ad Dailami dalam Musnad al Firdaus dari jalur Anas bin Malik. Al Munawi ikut menerangkan dengan ucapannya: “Di dalamnya terdapat Muhammad bin Ahmad bin Sahl, berkata Adz Dzahabi dalam Adh Dhu’afa: berkata Ibnu ‘Adi: “Dia (Muhammad bin Ahmad binSahl) termasuk di antara pemalsu hadits.” (Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albany, Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 2, Hal. 230,
Panduan Shaum Ramadhan (10)
*📚Hal-hal yang diperbolehkan ketika puasa*
*✅Bersiwak (menggosok gigi) baik pagi atau siang*
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
ويستحب للصائم أن يتسوك أثناء الصيام، ولا فرق بين أول النهار وآخره. قال الترمذي: ” ولم ير الشافعي بالسواك، أول النهار وآخره بأسا “. وكان النبي صلى الله عليه وسلم يتسوك، وهو صائم.
Disunahkan bersiwak bagi orang yang berpuasa ketika ia berpuasa, tak ada perbedaan antara di awal siang dan akhirnya. Berkata At Tirmidzi: Imam Asy Syafi’i menganggap tidak mengapa bersiwak pada awal siang dan akhirnya. Dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersiwak, padahal dia sedang puasa. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1,Hal. 459)
Beliau menambahkan:
والصائم والمفطر في استعماله أول النهار وآخره سواء، لحديث عامر بن ربيعة رضي الله عنه
Dan disunnahkan bagi orang yang berpuasa dan tidak, untuk bersiwak baik di awal siang atau di akhirnya, itu sama saja, berdasarkan hadits ‘Amir bin Rabi’ah Radhiallahu ‘Anhu. (Ibid)
Diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah Radhiallahu ‘Anhu:
وَيُذْكَرُ عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ مَا لَا أُحْصِي أَوْ أَعُدّ
Disebutkan dari Amir bin Rabi’ah, dia berkata: “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersiwak, dan dia sedang puasa, dan tidak terhitung jumlahnya.” (HR. Bukhari, Bab Siwak Ar Rathbi wal Yaabis Lish Shaa-im)
Imam Al Bukhari membuat judul Bab dalam kitab Jami’ush Shahih-nya:
بَاب سِوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ لِلصَّائِمِ
“Siwak dengan yang kayu basah dan yang kering bagi orang Berpuasa”
Imam Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath:
وَأَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَةِ إِلَى الرَّدِّ عَلَى مَنْ كَرِهَ لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّعْبِيِّ ، وَقَدْ تَقَدَّمَ قَبْلُ بِبَابِ قِيَاسِ اِبْنِ سِيرِينَ السِّوَاكَ الرَّطْبَ عَلَى الْمَاء الَّذِي يُتَمَضْمَضُ بِهِ
“Keterangan ini mengisyaratkan bantahan atas pihak yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa, yakni bersiwak dengan kayu basah, seperti kalangan Malikiyah dan Asy Sya’bi, dan telah dikemukakan sebelumnya tentang qiyas-nya Ibnu Sirin, bahwa bersiwak dengan yang basah itu sama halnya seperti air yang dengannya kita berkumur-kumur (yakni boleh, pen). (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/158)
Dalam Tuhfah Al Ahwadzi disebutkan:
( إِلَّا أَنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا السِّوَاكَ لِلصَّائِمِ بِالْعُودِ الرَّطْبِ ) كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّعْبِيِّ فَإِنَّهُمْ كَرِهُوا لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ لِمَا فِيهِ مِنْ الطَّعْمِ ، وَأَجَابَ عَنْ ذَلِكَ اِبْنُ سِيرِينَ جَوَابًا حَسَنًا ، قَالَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ : قَالَ اِبْنُ سِيرِينَ : لَا بَأْسَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ ، قِيلَ لَهُ طَعْمٌ ، قَالَ وَالْمَاءُ لَهُ طَعْمٌ وَأَنْتَ تُمَضْمِضُ بِهِ اِنْتَهَى . وَقَالَ اِبْنُ عُمَرَ : لَا بَأْسَ أَنْ يَسْتَاكَ الصَّائِمُ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، قُلْت هَذَا هُوَ الْأَحَقُّ
(Hanya saja sebagian ahli ilmu ada yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa dengan menggunakan dahan kayu yang basah) seperti kalangan Malikiyah dan Imam Asy Sya’bi, mereka memakruhkan orang berpuasa bersiwak dengan dahan kayu basah karena itu bagian dari makanan. Ibnu Sirin telah menyanggah itu dengan jawaban yang baik.
Al Bukhari berkata dalam Shahihnya: “Berkata Ibnu Sirin: Tidak mengapa bersiwak dengan kayu basah, dikatakan “ bahwa itu adalah makanan”, Dia (Ibnu Sirin) menjawab: Air baginya juga makanan, dan engkau berkumur kumur dengannya (air).” Selesai. Ibnu Umar berkata: “Tidak mengapa bersiwak bagi yang berpuasa baik dengan kayu basah atau kering,” diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Aku (pengarang Tuhfah Al Ahwadzi) berkata: Inilah yang lebih benar.” (Syaikh Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 3/345)
Dengan demikian tidak mengapa bahkan sunah kita bersiwak ketika berpuasa, baik, pagi, siang, atau sore secara mutlak.
Syaikh Al Mubarkafuri mengatakan:
وَبِجَمِيعِ الْأَحَادِيثِ الَّتِي رُوِيَتْ فِي مَعْنَاهُ وَفِي فَضْلِ السِّوَاكِ فَإِنَّهَا بِإِطْلَاقِهَا تَقْتَضِي إِبَاحَةَ السِّوَاكِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَعَلَى كُلِّ
حَالٍ وَهُوَ الْأَصَحُّ وَالْأَقْوَى
“Dan dengan mengumpulkan semua hadits-hadits yang diriwayatkan tentang ini dan tentang keutamaan bersiwak, bahwa keutamaannya adalah mutlak, dan kebolehannya itu pada setiap waktu, setiap keadaan, dan itu lebih shahih dan lebih kuat.” (Ibid)
Adapun pasta gigi, dihukumi sama dengan kayu basah, karena sama-sama mengandung air dan rasa. Dan Imam An Nawawi mengatakan bahwa dengan alat apa pun selama tujuan ‘membersihkan’ telah tercapai, itu juga dinamakan bersiwak, baik itu dengan jari, kain, atau lainnya selama tidak membahayakan. Imam Abul Hasan As Sindi berkata:
وَهُوَ كُلّ آلَة يُتَطَهَّر بِهَا شُبِّهَ السِّوَاك بِهَا ؛ لِأَنَّهُ يُنَظِّف الْفَم ، وَالطَّهَارَة النَّظَافَة ذَكَرَهُ النَّوَوِيّ
“Yaitu alat apa saja yang bisa mensucikan dengannya maka dia menyerupai siwak, karena dia bisa membersihkan mulut, bersuci dan membersihkan, demikian kata An Nawawi” (Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi, Syarh An Nasa’i, 1/10)
*✅Mencicipi makanan sekedarnya di lidah*
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
وقال ابن عباس: لا بأس أن يذوق الطعام الخل، والشئ يريد شراءه. وكان الحسن يمضغ الجوز لابن ابنه وهو صائم، ورخص فيه إبراهيم.
“Berkata Ibnu Abbas: ‘Tidak mengapa mencicipi asamnya makanan, atau sesuatu yang hendak dibelinya.’ Al Hasan pernah mengunyah-ngunyah kelapa untuk cucunya, padahal dia sedang puasa, dan Ibrahim memberikan keringanan dalam hal ini.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/462)
*✅Hal-hal yang tidak mungkin dihindari (menelan ludah, menghirup debu jalanan, menyaring tepung, dan lain-lain)*
Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:
كذا يباح له ما لا يمكن الاحتراز عنه كبلع الريق وغبار الطريق، وغربلة الدقيق والنخالة ونحو ذلك.
“Demikian pula, dibolehkan baginya apa-apa yang tidak mungkin dihindari, seperti menelan ludah, menghirup debu jalanan, menyaring tepung, dan lain-lain.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/462)
*✅Junub di Pagi hari*
‘Aisyah dan Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memasuki fajar dalam keadaan junub karena berhubungan dengan isterinya, lalu dia mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari No. 1925, Muslim No. 1109)
Imam Ibnu Hajar mengatakan:
قَالَ الْقُرْطُبِيّ : فِي هَذَا فَائِدَتَانِ ، إِحْدَاهُمَا أَنَّهُ كَانَ يُجَامِع فِي رَمَضَان وَيُؤَخِّر الْغُسْل إِلَى بَعْد طُلُوع الْفَجْر بَيَانًا لِلْجَوَازِ . الثَّانِي أَنَّ ذَلِكَ كَانَ مِنْ جِمَاع لَا مِنْ اِحْتِلَام لِأَنَّهُ كَانَ لَا يَحْتَلِم إِذْ الِاحْتِلَام مِنْ الشَّيْطَان وَهُوَ مَعْصُوم مِنْهُ .
“Berkata Al Qurthubi: “Hadits ini ada dua faidah. Pertama, bahwa beliau berjima’ pada Ramadhan (malamnya) dan mengakhirkan mandi hingga setelah terbitnya fajar, merupakan penjelasan bolehnya hal itu. Kedua, hal itu (junub) dikarenakan jima’ bukan karena mimpi basah, karena beliau tidaklah mimpi basah, mengingat bahwa mimpi basah adalah dari syetan, dan beliau ma’shum dari hal itu.” (Fathul Bari, 4/144)
*✅Mencium Harum-Haruman*
Tak ada keterangan yang shahih tentang pelarangannya, oleh karena itu Imam Ibnu Taimiyah berkata:
وَشَمُّ الرَّوَائِحِ الطَّيِّبَةِ لَا بَأْسَ بِهِ لِلصَّائِمِ
“Mencium harum-haruman adalah tidak mengapa bagi orang berpuasa.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Fatawa Al Kubra, 5/376)
🔹Bersambung🔹
Panduan Shaum Ramadhan (9)
📚 *Hal-hal yang diperbolehkan ketika puasa*
Pada dasarnya, hal-hal yang diperbolehkan bagi orang berpuasa lebih banyak dibanding perbuatan yang dilarang (baik makruh atau haram). Selain secara dalil juga lebih kuat dan banyak. Sedangkan alasan pemakruhan biasanya karena alasan pencegahan (dzari’ah) dan jika perbuatan itu melampaui batas.
📚 *Berendam di Air atau Mandi*
Abu Bakar berkata, telah ada yang bercerita kepadaku seseorang:
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ الْعَطَشِ أَوْ مِنْ الْحَر
“Aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengguyurkan air ke kepalanya, lantaran rasa haus dan panas.” (HR. Malik, Al Muwaththa, No. 561, riwayat Yahya Al Laits. Ahmad No. 16602. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 16602)
Disebutkan dalam Imam Abu Sulaiman Walid Al Baji Rahimahullah mengatakan:
وَقَدْ بَلَغَ بِهِ شِدَّةُ الْعَطَشِ أَوْ الْحَرِّ أَنْ صَبَّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ لِيَتَقَوَّى بِذَلِكَ عَلَى صَوْمِهِ وَلِيُخَفِّفْ عَنْ نَفْسِهِ بَعْضَ أَلَمِ الْحَرِّ أَوْ الْعَطَشِ وَهَذَا أَصْلٌ فِي اسْتِعْمَالِ مَا يَتَقَوَّى بِهِ الصَّائِمُ عَلَى صَوْمِهِ مِمَّا لَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ مِنْ التَّبَرُّدِ بِالْمَاءِ وَالْمَضْمَضَةِ بِهِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُعِينُهُ عَلَى الصَّوْمِ وَلَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ ؛ لِأَنَّهُ يَمْلِكُ مَا فِي فَمِهِ مِنْ الْمَاءِ وَيَصْرِفُهُ عَلَى اخْتِيَارِهِ وَيُكْرَهُ لَهُ الِانْغِمَاسُ فِي الْمَاءِ لِئَلَّا يَغْلِبَهُ الْمَاءُ مَعَ ضِيقِ نَفَسِهِ فَيَفْسُدَ صَوْمُهُ فَإِنْ فَعَلَ فَسَلِمَ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ .
“Beliau mengalami haus atau panas yang sangat, sehingga beliau mengguyurkan air ke kepalanya untuk menguatkan puasanya, dan meringankan sebagian rasa sakit yang dialami dirinya lantaran panas atau haus. Ini adalah hukum dasar dalam memakai apa saja yang bisa menguatkan orang berpuasa, yakni tidaklah membatalkan puasa, baik berupa menyejukkan diri dengan air dan berkumur-kumur dengannya. Karena hal itu bisa membantunya dalam puasa dan tidaklah membatalkan puasanya, karena dia mampu menjaga mulutnya dari air dan bisa mengatur air. Dan dimakruhkan berendam dalam air karena air telah menguasai (menutupi) dirinya dan membuatnya disempitkan dnegan air tersebut, sehingga puasanya bisa dirusak olehnya. Tetapi jika dia melakukan itu, dan selamat dari hal itu, maka tidak apa-apa.” (Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’ , Juz. 2, Hal. 172, Mawqi’ Al Islam)
Tentang hadits di atas, berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلصَّائِمِ أَنْ يَكْسِرَ الْحَرَّ بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَى بَعْضِ بَدَنِهِ أَوْ كُلِّهِ ، وَقَدْ ذَهَبَ إلَى ذَلِكَ الْجُمْهُورُ ، وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ الْأَغْسَالِ الْوَاجِبَةِ وَالْمَسْنُونَةِ وَالْمُبَاحَةِ .
وَقَالَتْ الْحَنَفِيَّةُ : إنَّهُ يُكْرَهُ الِاغْتِسَالُ لِلصَّائِمِ ، وَاسْتَدَلُّوا بِمَا أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عَلِيٍّ مِنْ النَّهْيِ عَنْ دُخُولِ الصَّائِمِ الْحَمَّامَ
“Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya bagi orang puasa mengurangi rasa panas dengan mengguyurkan air ke sebagian badannya atau seluruhnya (seperti mandi, pen), demikianlah madzhab jumhur (mayoritas ulama), dan mereka tidak membedakan antara mandi wajib, sunah, dan mubah (semuanya hukumnya sama).
Kalangan Hanafiyah berkata: Sesungguhnya mandi adalah makruh bagi orang berpuasa, mereka beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ali, berupa larangan bagi orang puasa untuk memasuki kamar mandi. (Nailul Authar, 4/585. Lihat Aunul Mabud, 6/352)
Tetapi riwayat larangan tersebut adalah dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar. (Ibid)
📚 *Memakai celak (Iktihal) atau meneteskan obat ke mata*
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
الاكتحال: والقطرة ونحوهما مما يدخل العين، سواء أوجد طعمه في حلقه أم لم يجده، لان العين ليست بمنفذ إلى الجوف. وعن أنس: ” أنه كان يكتحل وهو صائم “. وإلى هذا ذهبت الشافعية، وحكاه ابن المنذر، عن عطاء، والحسن، والنخعي، والاوزاعي، وأبي حنيفة، وأبي ثور. وروي عن ابن عمر، وأنس وابن أبي
أوفى من الصحابة. وهو مذهب داود. ولم يصح في هذا الباب شئ عن النبي صلى الله عليه وسلم، كما قال الترمذي.
“Bercelak dan meneteskan obat atau lain-lain ke dalam mata, semuanya adalah sama. Walau pun terasa dalam keronkongan atau tidak, karena mata bukanlah bukanlah jalan menuju rongga perut. Dari Anas: “Bahwa beliau bercelak padahal sedang berpuasa. Inilah madzhab Syafiiyyah, dan menurut cerita Ibnul Mundzir, ini juga pendapat Atha, Al Hasan, An Nakhai, Al Auzai, Abu Hanifah dan Abu Tsaur. Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Anas, dan Ibnu Abi Aufa dari golongan sahabat. Ini juga madzhab Daud, dalam masalah ini tak ada satu pun yang shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam (yang menunjukkan larangan, pen) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam At Tirmidzi. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 460)
📚 *Hijamah (Berbekam) selama tidak melemahkan*
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berbekam dan beliau sedang ihram, dan pernah berbekam padahal sedang berpuasa.” (HR. Bukhari No. 1938)
Dari Tsabit Al Bunani:
سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
“Anas bin Malik ditanya: “Apakah Anda memakruhkan berbekam bagi orang puasa?” beliau menjawab: “Tidak, selama tidak membuat lemah.” (HR. Bukhari No. 1940)
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:
قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ وَغَيْره : فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ حَدِيث ” أَفْطَرَ الْحَاجِم وَالْمَحْجُوم ” مَنْسُوخ لِأَنَّهُ جَاءَ فِي بَعْض طُرُقه أَنَّ ذَلِكَ كَانَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاع
“Berkata Ibnu Abdil Bar dan lainnya: “Hadits ini merupakan dalil, bahwa hadits yang berbunyi “Orang yang membekam dan yang dibekam, hendaknya berbuka, telah mansukh (dihapus) karena telah ada beberapa riwayat lain bahwa hal itu (berbekam ketika ihram) terjadi pada haji wada (perpisahan). (Fathul Bari, 4/178. Darul Marifah)
Dari keterangan ini maka jelaslah kebolehkan berbekam, kecuali jika melemahkan, maka ia makruh sebagaimana yang dikatakan Anas bin Malik Radhiallahu Anhu. Hal ini sama dengan orang yang mendonorkan darahnya, tidak apa-apa jika tidak melemahkannya. Inilah pendapat yang lebih kuat dalam hal ini. Wallahu A’lam
📚 *Kumur-kumur dan Menghirup air ke rongga hidung (istinsyaq) tanpa berlebihan*
Dari Laqith bin Shabrah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَسْبِغْ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah berwudhu’ dan gosok-gosoklah antara jari jemari kalian, dan bersungguhlah dalam menghirup air, kecuali jika kalian puasa.” (HR. Abu Daud No. 2366, At Tirmidzi No. 788, katanya: hasan shahih)
Hadits ini menunjukkan bolehnya menghirup air ke rongga hidung, namun makruh jika berlebihan, oleh karena itu Imam At Tirmidzi memberi judul Bab Ma Jaa Fi Karahiyah Mubalaghah Al Istinsyaq Li Shaim (Apa-apa saja yang dimakruhkan, berupa menghirup air bagi orang berpuasa secara berlebihan/mubalaghah).
Apakah batasan berlebihan? Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri ketika mengomentari hadits di atas:
فَلَا تُبَالِغْ لِئَلَّا يَصِلَ إِلَى بَاطِنِهِ فَيُبْطِلَ الصَّوْمَ .
“Maka janganlah berlebihan, yakni hingga sampainya (air) ke rongga perutnya, sehingga batal-lah puasa.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 3/418. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Diriwayatkan dari Umar Radhilallahu ‘Anhu:
عنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
Suatu hari bangkitlah syahwat saya, lalu saya mencium isteri, saat itu saya sedang puasa. Maka saya datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, saya berkata: Hari ini, Aku telah melakukan hal yang besar, aku mencium isteri padahal sedang puasa. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Apa pendapatmu jika kamu bekumur-kumur dengan air dan kamu sedang berpuasa?, Saya (Umar) menjawab: Tidak mengapa. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Lalu, kenapa masih ditanya? (HR. Ahmad No. 138. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: shahih, sesuai syarat Muslim. Lihat Taliq Musnad Ahmad No. 138)
Hadits ini menunjukkan bahwa berkumur-kumur tidaklah mengapa, dan disamakan dengan mencium isteri, selama tidak sampai berlebihan.
🔹Bersambung🔸