berdoa setelah membaca alfatihah

Bacaan al-Fatihah di dalam Shalat

📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Secara umum, sebagaimana disepakati mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab Syafi’i, bacaan al-Qur’an merupakan bagian yang tak terpisahkan dari shalat, bahkan tidak sah seseorang tanpa membaca al-Qur’an di dalamnya. Meski demikian, memang ada sebagian kecil ulama yang hanya memandangnya sebagai salah satu kesunnahan. Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya membaca ayat-ayat al-Qur’an di dalam shalat ini adalah firman Allah swt.: “… bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an…”(QS. Al-Muzzammil [73]: 20) Ayat ini sebagaimana dikatakan oleh al-Kiya al-Harasi (w. 504 H) di dalam Ahkam al-Qur’an merupakan dalil yang menunjukkan bahwa membaca al-Qur’an merupakan salah satu kefardhuan shalat.

Di dalam hadits, di antaranya ada sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Tidak ada shalat kecuali dengan membaca al-Qur’an.” (HR. Muslim) Bahkan, di dalam Shahih al-Bukhari juga terdapat riwayat bahwa Abu Hurairah ra. pernah bercerita: “Rasulullah saw. pernah masuk masjid. Lalu ada seorang lelaki masuk dan melakukan shalat. Setelah selesai ia datang dan memberi salam kepada Rasulullah saw. Beliau menjawab salamnya lalu bersabda: “Kembalilah dan shalatlah, karena sesungguhnya kamu belum shalat)”. Lelaki itu kembali shalat. Setelah shalatnya yang kedua ia mendatangi Nabi saw. dan memberi salam. Kemudian beliau bersabda lagi: “Kembalilah dan shalatlah, karena sesungguhnya kamu belum shalat”. Sehingga orang itu mengulangi shalatnya sebanyak tiga kali. Lelaki itu berkata: “Demi Dzat yang mengutus Kamu dengan membawa kebenaran, saya tidak dapat mengerjakan yang lebih baik daripada ini semua. Ajarilah saya”. Beliau bersabda: “Bila kamu melakukan shalat, bertakbirlah. Bacalah bacaan dari al-Qur’an yang mudah bagimu. Setelah itu ruku’ hingga kamu tenang dalam ruku’mu. Bangunlah hingga berdiri tegak. Lalu bersujudlah hingga kamu tenang dalam sujudmu. Bangunlah hingga kamu tenang dalam dudukmu. Kerjakanlah semua itu dalam seluruh shalatmu”.” Sebagaimana riwayat ini, bacaan al-Qur’an merupakan salah satu yang harus dibaca di dalam shalat, sehingga jika ia tidak dibaca, maka seseorang tidak bisa dikatakan shalat.

Para ulama kemudian menetapkan bahwa bacaan al-Qur’an yang menjadi rukun yang mesti ada di dalam shalat adalah Surah al-Fatihah. Sehingga, tidak sah shalat seseorang jika ia tidak membaca surah al-Fatihah. Abu Yahya Zakariyya al-Anshari (w. 926 H) di dalam Asna’ al-Mathalib fi Syarh Raudh ath-Thalib mengatakan: “Rukun shalat yang keempat yaitu mambaca al-Fatihah ataupun bacaan penggantinya (bagi yang tidak mampu) dalam setiap rakaat. Baik bagi orang yang shalat sendiri atau berjamaah, shalat sirriyyah ataupun jahriyyah, lewat hafalan, dengan dituntun, atau dengan melihat mushaf, atau selainnya.”

Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan keharusan membaca Surah al-Fatihah ini di dalam shalat. Salah satunya adalah riwayat dari ‘Ubadah ibn ash-Shamit ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda: “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Surah al-Fatihah).” (HR. al-Bukhari)

Di dalam hadits lain, diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang shalat namun tidak membaca Ummul Kitab (Surah al-Fatihah) di dalamnya, maka shalatnya cacat (Rasulullah saw. mengulanginya hingga tiga kali).” (HR. Muslim)

Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda: “Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. al-Bukhari) Sedangkan dalam kaitannya dengan bacaan al-Fatihah ini, di antaranya ada riwayat yang disampaikan oleh Imam al-Bukhari (w. 251 H) di dalam Shahihnya dari ‘Abdullah ibn Abi Qatadah, dari ayahnya, ia berkata: “Nabi saw. pernah membaca dalam dua raka’at awal pada shalat zhuhur Surah al-Fatihah dan dua surah. Beliau membaca surah yang panjang pada raka’at pertama dan membaca surah yang pendek pada raka’at kedua, dan kadang-kadang memperdengarkan kepada kami dalam membaca ayat.” Wallahu a’lam.[]

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Al Qur'an Surat Cinta dari Allah

Membaca al-Qur’an dalam Keadaan Mulut yang Terkena Najis

📚 Interaksi Al-Quran

📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Mengenai membaca al-Qur’an dalam keadaan mulut yang terdapat najis, Abu al-Mahasin ar-Ruyani (w. 502 H) di dalam Bahr al-Madzhab fi Madzhab al-Imam asy-Syafi’i yang merupakan salah satu kitab terlengkap dalam madzhab Syafi’i yang memuat masalah-masalah yang unik (ghara’ib) mengutip perkataan ayahnya di mana menurutnya ada dua pendapat dalam hal ini. Pendapat yang pertama mengatakan tidak boleh membaca al-Qur’an bagi orang yang terdapat najis di mulutnya sebagaimana seseorang tidak boleh menyentuh mushaf jika di tangannya terdapat najis. Adapun menurut pendapat kedua adalah diperbolehkan sebagaimana orang yang berhadats juga boleh membaca al-Qur’an, namun ia masuk dalam kategori sesuatu yang makruh. Menurut Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam at-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an, pendapat yang paling shahih adalah pendapat kedua yang mengatakan bahwa membaca al-Qur’an dalam keadaan mulut yang bernajis adalah tidak haram, tetapi hanya makruh.

Yang paling utama ketika seseorang membaca al-Qur’an tentunya adalah membacanya dalam keadaan mulut yang bersih. Membersihkan mulut dapat dilakukan dengan bersiwak, atau dengan menggosok gigi.[]

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Al Qur'an Nutrisi Akal dan Jiwa

Hukum Membaca aI-Qur’an di Kamar Mandi dan WC

📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

An-Nawawi (w. 676 H) di dalam Raudhah ath-Thalibin mengatakan: “Tidak dimakruhkan membaca al-Qur’an di dalam kamar mandi.” Demikian juga yang dikatakannya di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Dan sebagaimana yang beliau sampaikan, memang tidak ada dalil yang menunjukkan kepada kemakruhannya. Penting untuk diketahui bahwa hammam yang disebut oleh Imam an-Nawawi yang biasa kita terjemahkan dengan tempat pemandian atau kamar mandi, tentu berbeda antara zaman dulu dengan sekarang. Bahkan kebanyakan yang ada sekarang adalah kamar mandi yang sudah menyatu dengan WC. Tentu saja yang dimaksud oleh tidak makruh oleh beliau adalah ketika tempat tersebut terbebas dari kotoran dan najis. Sehingga, jika memang ada kamar mandi yang tidak menyatu dengan WC, tetapi jika di sana terdapat kotoran dan najis, tetap saja tidak diperkenankan membaca al-Qur’an di sana, tiada lain dalam rangka memuliakan al Qur’an itu sendiri.

Di dalam at-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an, beliau pun mengatakan bahwa yang disunnahkan adalah membacanya di tempat-tempat yang bersih. Sehingga, banyak para ulama yang menganjurkan untuk membacanya di dalam masjid, karena ia telah memenuhi semua unsur kebersihan, juga termasuk tempat yang mulia.

Sementara itu, hukum membaca al-Qur’an di tempat buang hajat atau WC adalah makruh. Hal ini sebagaimana dapat kita temukan di dalam penjelasan Imam an-Nawawi sendiri dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj ketika beliau menjelaskan tentang sebuah riwayat dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, sebagaimana disampaikan oleh Imam Muslim (w. 261 H) di dalam Shahihnya bahwa Nabi saw. tidak menjawab salam seseorang ketika beliau sedang berada di tempat buang hajat. Jika menjawab salam yang wajib saja tidak diperkenankan karena di dalamnya terkandung dzikir, maka tentu dalam hal ini termasuk juga di dalamnya membaca al-Qur’an, karena ia merupakan dzikir yang paling utama. Namun, makruh yang dimaksud beliau dalam hal ini tergolong makruh tanzih, yaitu perkara yang dituntut untuk ditinggalkan, tetapi dengan perintah yang tidak atau kurang tegas, dalam arti seseorang memang tidak berdosa jika melakukannya, namun tentu akan sangat baik dan berpahala jika ia meninggalkannya.[]

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Bersuci istinja cebok najis

Bertayammum untuk Membaca al-Qur’an bagi yang Junub atau yang Suci dari Haidh dan Nifas

📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Para ulama sepakat dalam hal bolehnya membaca al-Qur’an setelah bertayammum terlebih dahulu bagi yang junub atau wanita yang sudah suci dari haidh dan nifas namun mereka tidak menemukan air untuk bersuci, atau mereka tidak bisa menggunakan air sebab dapat membahayakan diri sendiri sebab sakit dan lain sebagainya. Bolehnya tayammum untuk membaca al-Qur’an ini dapat kita temukan melalui penjelasan Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) sendiri di dalam al-Umm.

Di antara dalilnya adalah flrman Allah swt.: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapuluh kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 6) Jika tayammum bisa digunakan untuk bersuci dari hadats besar dan kecil sebagai pengganti air, berarti ia juga bisa untuk membaca al-Qur’an, karena membaca al-Qur’an sendiri boleh bagi yang suci dari hadats besar.

Diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya tanah yang suci adalah alat bersuci bagi seorang muslim sekalipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahu.” (HR. at-Tirmidzi)[]

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Gemar Berbuat Baik

Membaca al-Qur’an dalam Keadaan Berhadats Kecil

📚 Interaksi Al-Quran

📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Boleh hukumnya membaca al-Qur’an bagi yang berhadats kecil dengan syarat tidak memegang mushaf. Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam at-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an mengatakan: “Seseorang disunnahkan membaca al-Qur’an dalam keadaan suci. Namun, jika ia membacanya dalam keadaan berhadats, maka hukumnya boleh sebagaimana disepakati oleh para ulama, dan hadits-haditsnya pun banyak. ”Di dalam al-Majmu’ Syarh al Muhadzdzab beliau juga mengatakan: “Para ulama sepakat tentang bolehnya membaca al-Qur’an bagi orang yang berhadats kecil, namun yang paling utama adalah berwudhu terlebih dahulu sebelum membacanya.”

Di antara dalilnya adalah sebuah riwayat bahwa ‘Ali ibn Abi Thalib ra. pernah mengatakan: “Rasulullah saw. pernah masuk ke kamar kecil lalu menyelesaikan hajatnya. Beliau kemudian keluar serta makan roti dan daging bersama kami, beliau juga membaca al-Qur’an. Tidak ada sesuatupun yang menghalanginya dari membaca al-Qur’an selain junub.” (HR. Ibn Majah) Dari riwayat ini jelas sekali bahwa Rasulullah saw. sendiri pernah membaca al-Qur’an dalam keadaan berhadats kecil.

Ada juga riwayat dari Abdullah ibn ‘Abbas ra. bahwa beliau pernah menginap di rumah Maimunah, istri Nabi saw. yang juga adalah bibinya. Ia bercerita: “Maka saya berbaring di kasur, dan Rasulullah saw. berbaring serta istrinya (berbaring juga di kasur) yang membentang. Rasulullah saw. tidur sampai pertengahan malam. Hingga sebelum atau sesudahnya (lewat) sedikit, Rasulullah saw. bangun dan duduk kemudian mengusap wajahnya dengan tangannya, setelah itu beliau membaca sepuluh ayat terakhir di surah Ali Imran. Rasulullah kemudian berdiri ke tempat bejana yang tergantung dan berwudu dengan sebaik mungkin darinya kemudian berdiri menunaikan shalat.” Imam al-Bukhari (w. 256 H) sendiri yang menyampaikan hadits ini di dalam kitab Shahih-nya, beliau memberi judul dengan “Bab Bacaan al-Qur’an Setelah Berhadats dan Selainnya.” Dan memang jelas sekali bahwa dalam riwayat ini setelah Rasulullah saw. bangun dari tidurnya, beliau langsung membaca ayat ayat al-Qur’an. Tidur sendiri-sebagaimana disepakati-menjadi salah satu yang membatalkan wudhu.

Siti ‘Aisyah ra. sendiri-sebagaimana juga disebutkan al-Bukhari di dalam Shahih-nya-pernah mengatakan bahwa Rasulullah saw. memang selalu berdzikir dalam setiap keadaannya. Dan dzikir di dalamnya juga bisa mencakup al-Qur’an, karena memang ia adalah dzikir yang paling utama.[]

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : manis.id

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

surat yasin

Membaca Al-Qur’an bagi yang Junub

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

Para ulama sepakat bahwa orang yang dalam keadaan junub tidak boleh membaca al-Qur’an. Dalam hal ini, Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab mengatakan: “Menurut madzhab kami, haram hukumnya membaca al-Qur’an bagi yang haidh dan junub, baik sedikit maupun banyak, bahkan walaupun hanya sebagian ayat. Pendapat inilah yang dipegang oleh kebanyakan ulama. ”Namun, di dalam at-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an, ia mengemukakan bahwa meski demikian, boleh seseorang yang junub untuk membayangkan ayat-ayat al-Qur’an di dalam hatinya tanpa melafazhkannya.

Di dalam Bughyah al-Mustarsyidin, dapat juga kita temukan penjelasan Abdurrahman ibn Muhammad Ba’alawi (w. 1320 H) yang mengatakan bahwa memang haram hukumnya membaca al-Qur’an yang junub dengan tujuan membacanya walaupun dibarengi dengan tujuan lainnya. Namun, tidak haram jika tanpa adanya tujuan membacanya seperti dalam rangka membenarkan bacaan yang keliru, mengajarkannya, mencari keberkahan atau dengan tujuan berdoa. Demikian juga yang dikemukakan oleh ‘Abdul Karim ar-Rafi’i (w. 623 H) di dalam Fath al-Aziz bi Syarh al-Wajiz: asy-Syarh al-Kabir, yaitu jika membacanya bukan dengan bermaksud membaca al-Qur’an, maka hukumnya tetap boleh, seperti mengucapkan basmalah dalam rangka mengharap keberkahan atau ketika memulai sesuatu, membaca hamdalah ketika selesai mengerjakan suatu pekerjaan, atau misalnya mengucapkan kalimat dzikir ketika menaiki kendaraan sebagaimana yang disunnahkan Nabi saw., yaitu membaca ‘subhanal-ladzi sakhkhara lana hadza wa ma kunna lahu muqrinin’.

Di antara dalil yang menunjukkan keharaman membaca al-Qur’an bagi yang junub adalah sebagaimana riwayat dari “Ali ibn Abi Thalib ra. yang penulis sampaikan ketika menjelaskan hukum membaca al-Qur’an bagi yang berhadats [lihat disini https://goo.gl/pyn7DM]. Ada juga riwayat yang disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) di dalam Sunannya dari Ibn ‘Umar ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda: “Tidak boleh orang yang haidh dan junub membaca al-Qur’an.”

Riwayat lainnya, disampaikan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, dari Abu al-Gharif al-Hamdani yang mengatakan: “Ali ibn Abi Thalib berwudhu, ia berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung sebanyak tiga kali, mencuci wajah tiga kali, mencuci kedua tangan hingga hasta sebanyak tiga kali, kemudian membasuh kepala, lalu mencuci kedua kakinya. Beliau kemudian mengatakan: ‘Seperti inilah wudhu yang aku lihat dari Rasulullah saw.’ Lalu ia membaca sesuatu dari al-Qur’an, kemudian mengatakan: ‘Ini bagi siapa yang tidak junub, adapun yang junub, maka janganlah ia membacanya, tidak pula satu ayat’.”

Ad-Daruquthni (w. 385 H) di dalam Sunannya juga menyampaikan riwayat dari (Abdullah ibn Rawahah yang mengatakan: “Rasulullah saw. melarang salah seorang di antara kami untuk membaca al-Qur’an sedangkan ia dalam keadaan junub.”[]

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Puasa Daud

Serba Serbi Puasa Nabi Daud ‘Alaihissalam

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Apakah Ini Termasuk Sunnah?

Ya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkannya, sebagaimana dalam hadits:

صُمْ أَفْضَلَ الصَّوْمِ صَوْمَ دَاوُدَ

Berpuasalah! Dan sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud. (HR. Bukhari no. 5052)

Bukankah ini syariat Nabi Daud ‘Alaihissalam? Apakah berlaku bagi kita juga?

Ya, syariat nabi atau umat terdahulu (syar’u man qablana), ada yang sudah dihapus oleh syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ada juga yang tidak dan tetap dihidupkan di syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Salah satu yang tetap ada dan tidak dihapus adalah puasa Nabi Daud ‘Alaihissalam.

Imam Abu Sulaiman Walid Al Baji, seorang tokoh madzhab Maliki, berkata:

ذَهَبَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابنَا وَأَصْحَابِ أَبي حَنِيفَةَ وَأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ إِلَى أَنَّ شَرِيعَةَ مَنْ قَبْلَنَا لاَزِمَةٌ لَنَا إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى نَسْخِهِ

Segolongan sahabat kami (Malikiyah), dan para sahabat Abu Hanifah (Hanafiyah), serta para sahabat Asy Syafi’i (Syafi’iyah), mengatakan bahwa syariat kaum sebelum kita tetaplah menjadi syariat kita, kecuali ada dalil yang menunjukkan sudah dihapus. (Al Inarah Syarh Kitab Al Isyarah, hal. 272)

Bagaimana caranya?

Caranya seperti yang dijelaskan dalam hadits:

صِيَامَ يَوْمٍ وَإِفْطَارَ يَوْمٍ

Sehari puasa, sehari tidak. (HR. Bukhari no. 5052)

Bagaimana kedudukannya?

Ini adalah puasa terbaik setelah puasa Ramadhan. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ الْأَفْضَلَ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَصُومَ صَوْمَ دَاوُدَ أَنْ يَصُومَ يَوْمًا وَيُفْطِرَ يوما دائما

Dari hadits ini bisa diambil pelajaran, bahwa yang paling utama bagi yang ingin berpuasa adalah puasa Daud, yaitu sehari puasa, sehari tidak, secara konstan. (Fathul Bari, jilid. 9, hal. 96)

Wajar jika dianggap puasa terbaik, karena ini puasa yang sangat berat. Imam At Tirmidzi berkata:

قَالَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ أَنْ تَصُومَ يَوْمًا وَتُفْطِرَ يَوْمًا، وَيُقَالُ: هَذَا هُوَ أَشَدُّ الصِّيَامِ

Sebagian ulama mengatakan: sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud, yaitu sehari puasa, sehari tidak. Dikatakan: “Ini adalah puasa yang paling berat.” (Sunan At Tirmidzi no. 770)

Apakah harus seumur hidup?

Tidak ada petunjuk yang menyebut puasa Daud itu mesti muabbad (seumur hidup tanpa berhenti). Siapa yang mampu melakukannya setahun atau beberapa tahun, silahkan. Siapa yang mampu dan kuat sepanjang hidupnya, juga silahkan.

Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan puasa Daud juga?

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melakukannya. Para ulama menyebutkan beberapa kemungkinan atau alasan kenapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan amal-amal utama:

– Dalam rangka meringankan umatnya, walau amal itu memiliki keutamaan besar, dan Beliau mampu melakukannya.

– Agar tidak dianggap kewajiban, sebagaimana saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan shalat Tarawih di malam ke-4 Ramadhan.

– Disibukkan oleh hal-hal yang lebih utama, atau yang benar-benar wajib. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 224307)

Ketika puasa Daud, apakah tidak boleh puasa sunnah lainnya?

Para ulama menegaskan, tidak dianjurkan berpuasa sunnah lainnya, bagi yang sudah konstan puasa Nabi Daud, walau dia kuat melakukan lebih. (Tidak dianjurkan bukan berarti tidak boleh, bagi yang benar-benar mampu)

Hal ini berdasarkan nasihat Nabi kepada Abdullah bin Amr bin al ‘Ash yang sangat semangat puasa sunnah, dan meminta “lebih” dari puasa Daud:

صُمْ صَوْمَ نَبِيِّ اللهِ دَاوُدَ، وَلَا تَزِدْ عَلَيْهِ

Berpuasalah dengan puasa Nabi Daud, dan jangan kamu tambahkan lagi.

(HR. Ahmad no. 6867. Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Syuaib al Arnauth mengatakan: Shahih)

Knp tidak dianjurkan dan tidak usah ditambah lagi, walau seseorang kuat melakukannya ? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

لا أفضل من ذلك

Tidak ada yang lebih utama dari itu. (HR. Bukhari no. 1976)

Di masa tuanya, Abdullah bin Amr bin al Ash berkata:

يَا لَيْتَنِي قَبِلْتُ رُخْصَةَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Duh andaikata dulu saya mau menerima keringanan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. (HR. Bukhari no. 1975)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan:

وهذا صريح في أن الزيادة عليه غير مستحبة، وأن الاكتفاء بهذا النوع من الصوم يغني صاحبه عن تكلف الزيادة، ويجعل الزيادة مفضولة غير مستحبة

Ini menjelaskan bahwa puasa tambahan baginya tidaklah mustahab (sunnah), sesungguhnya mencukupkan diri dengan puasa ini (puasa Daud) bagi pelakunya sudah mencukupi baginya dibanding dia membebani diri dengan menambah shaum sunnah lainnya, shgga membuat shaum sunnah tersebut tidak dianjurkan baginya. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 297278)

Demikian. Wallahul Muwaffiq Ilaa aqwamith Thariq

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Memindahkan dan Menembok Kuburan

Ustadz Menjawab
Rabu, 03 Oktober 2018
Ustadz Farid Nu’man Hasan
Assalamualaikum ustadz/ah..apa hukum memindahkan tulang belulang jenazah yg da didalam kubur ke kubur yg lain ? dan jika boleh adakah cara yg sesuai dgn syariat agama kita ?
I04
Jawaban
————–
‌و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Bismillah wal Hamdulillah ..
Pertama. Memindahkan Kuburan
Membongkar mayat di  kuburnya dan memindahkannya tanpa keperluan syar’i adalah terlarang menurut para ulama.  Sebab pemindahan itu dapat menyakiti dan menghinakan mayat tersebut. Larangan ini berdasarkan hadits-hadits berikut:
إِنَّ كَسْرَ عَظْمِ الْمُؤْمِنِ مَيْتًا مِثْلُ كَسْرِهِ حَيًّا
Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mu’min yang sudah wafat sama seperti mematahkannya saat hidupnya. (HR. Abu Daud No. 3207, Ibnu Majah No. 1616,  Ahmad No. 24308, dll. Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan para perawinya terpercaya. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 24308)
Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan hadits ini:
ويستفاد منه أن حرمة المؤمن بعد موته باقية كما كانت في حياته
Dari hadits ini terdapat faidah, bahwa kehormatan seorang mu’min setelah wafatnya masih ada sebagaimana dahulu saat dia masih hidup. ( Fathul Bari, 9/113)
Ath Thayyibiy Rahimahullah berkata:
إشارة إلى أنه لا يهان ميتا كما لا يهان حيا
Ini adalah isyarat bahwa tidak boleh menghinakan mayat, sebagaimana tidak boleh menghinanya saat hidup. ( ‘Aunul Ma’bud, 9/18)
Dalil lainnya, ‘Amru bin Hazm Radhiallahu ‘Anhu bercerita: Nabi ﷺ melihatku sedang besandar di kuburan, Beliau bersabda:
لا تؤذ صاحب القبر
Jangan sakiti penghuni kubur. (HR. Ath Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar No. 2944, Alauddin Muttaqi dalam Kanzul ‘Umal No. 42988. Al Hafzih Ibnu Hajar mengatakan: sanadnys shahih. (Fathul Bari, 3/225). Lihat juga  Syarh Az Zarqani ‘alal Muwaththa, 2/97)
Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:
نهى عن أذية المقبور من المؤمنين، وأذية المؤمن محرمة بنص القرآن {وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَاناً وَإِثْماً مُبِيناً}
Dilarang menyakiti penghuni kubur dari kalangan orang-orang beriman. Menyakiti seorang mu’min diharamkan berdasarkan nash Al Quran: Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al Ahzab: 58). ( Subulus Salam, 2/120)
Demikianlah alasan terlarangnya memindahkan mayit yang sudah kubur jika tanpa keperluan syar’iy. Tapi jika ada alasan yang dibenarkan, atau darurat, tidak apa-apa. Seperti adanya perluasan kawasan pemukiman penduduk yang semakin banyak, dan amat diperlukan umat Islam, sebab kepentingan yang masih hidup diutamakan terlibih dahulu. Atau pemindahan karena tanah kubur longsor, kebanjiran,  dan sebab lainnya.
Dalam Madzhab Syafi’iy, disebutkan:
يحرم نقله بعد دفنه إلا لضورة كمن دفن في أرض مغصوبة فيجوز نقله إن طالب بها مالكها
Diharamkan memindahkan mayat setelah dikuburnya kecuali darurat seperti mayat yang dikuburkan di tanah yang dirampas, maka boleh memindahkannya atas permintaan pemiliknya. ( Al Fiqhu ‘Alal Madzahib Al Arba’ah, 1/843)
Sementara dalam Madzhab Malikiy, disebutkan – dan ini lebih lengkap lagi:
يجوز نقل الميت قبل الدفن وبعده من مكان إلى آخر بشروط ثلاثة : أولها : أن لا ينفجر حال نقله ثانيها : أن لا تهتك حرمته بأن ينقل على وجه يكون فيه تحقير له ثالثها : أن يكون نقله لمصلحة كأن يخشى من طغيان البحر على قبره أو يراد نقله إلى مكان له قيمة أو إلى مكان قريب من أهله أو لأجل زيارة أهله إياه فإن فقد شرط من هذه الشروط الثلاثة حرم النقل
Dibolehkan memindahkan mayat sebelum dan sesudah dikubur dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan tiga syarat:
1.    Mayat tidak rusak ketika dipindahkan
2.    Tidak sampai menodai kehormatannya, yaitu memindahkan dengan cara yang dapat menghinakannya
3.    Kepindahan itu karena ada sesuatu maslahat, seperti takut kubur ter
sapu oleh lautan, atau memindahkan ke tempat yang memiliki nilai tersendiri, atau tempat yang lebih dekat dengan kleuarganya, atau karena supaya dekat diziarahi keluarganya.
Jika satu syarat dari ketiga syarat ini tidak terpenuhi, maka haram memindahkannya. ( Ibid)
Pembolehan ini berdasarkan riwayat berikut:
عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ دُفِنَ مَعَ أَبِي رَجُلٌ فَلَمْ تَطِبْ نَفْسِي حَتَّى أَخْرَجْتُهُ فَجَعَلْتُهُ فِي قَبْرٍ عَلَى حِدَةٍ 
Dari Abu Nadhrah, dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu  ia berkata: ada  seorang laki-laki dimakamkan bersama  mayat ayahku,  namun   jiwaku tidak enak, hingga akhirnya aku keluarkan beliau dari kuburan dan aku kuburkan beliau dalam satu  kubur sendiri. (HR. Al Bukhari No. 1352)
Demikian. Wallahu A’lam
Kedua. Menembok Kubur
Membangun kuburan atau mendirikan tembok di sisi kubur adalah terlarang, sebagaimana hadits berikut:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر وأن يقعد عليه وأن يبنى عليه
Rasulullah ﷺ melarang mengecat/mengapur kubur, duduk di atasnya, dan membangunnya. (HR. Muslim No. 970)
  Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengatakan:
الحديث دليل على تحريم الثلاثة المذكورة لأنه الأصل في النهي. وذهب الجمهور إلى أن النهي في البناء والتجصيص للتنزيه.
Hadits ini merupakan dalil haramnya tiga hal tersebut, karena hukum asal dari larangan adalah haram. Sedangkan mayoritas ulama mengatakan bahwa larangan membangun dan mengapur adalah untuk _tanzih_ (sesuatu yang sepantasnya ditinggalkan). ( Subulus Salam, 2/111)
  Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:
(وأن يبني عليه) قبة أو غيرها فيكره كل من الثلاثة تنزيها 
Nabi melarang (Membangun bangunan atasnya) yaitu kubah dan selainnya, maka dimakruhkan tiga hal itu sebagai hal yang selayaknya ditinggalkan (tanzih).
Lalu beliau juga berkata:
قال ابن القيم : والمساجد المبنية على القبور يجب هدمها حتى تسوى الأرض إذ هي أولى بالهدم من مسجد الضرار الذي هدمه النبي صلى الله عليه وسلم وكذا القباب والأبنية التي على القبور وهي أولى بالهدم من بناء الغاصب اه.
وأفتى جمع شافعيون بوجوب هدم كل بناء بالقرافة حتى قبة إمامنا الشافعي رضي الله عنه التي بناها بعض الملوك
Imam Ibnul Qayyim berkata: masjid yang dibangun di atas kubur wajib dihancurkan sampai rata dengan tanah, bahkan dia lebih utama dihancurkan dibanding masjid dhirar yang pernah dihancurkan Nabi ﷺ , demikian juga kubah-kubah di atas kubur dia lebih layak dihancurkan dibandingkan bangunannya, dst. Ulama Syafi’iyah memfatwakan wajib menghancurkan semua bangunan di qarafah (tanah kuburan) sampai-sampai kubah imam kita sendiri, Imam Asy Syafi’iy, yang telah dibangun oleh pihak kerajaan. ( Faidhul Qadir, 6/402)
Namun, Imam Asy Syafi’i membolehkan meninggikan kuburan tidak sampai melebihi sejengkal, sebagai tanda itu adalah kubur agar tidak terinjak-injak manusia. ( Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/286-287)
Jadi, kalau membangunnya tidak sampai melebihi sejengkal tidak apa-apa, sebagai tanda itu adalah kubur. Selebihnya terlarang.
Wallahu a’lam.
🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃
Dipersembahkan oleh: manis.id
📱 Info & pendaftaran member: bit.ly/mediamanis
💰Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
a.n Yayasan MANIS,
No Rek BSM 7113816637
Info lebih lanjut: bit.ly/donasidakwahmanis

Minyak Rambut yang Dilarang

Memotong Kuku & Rambut Saat Haidh/Nifas

Pertanyaan

Assalamuallaikum wr wb…Saya mau bertanya ke ustadz/ah..Apakah di dlm islam ada  hukum serta dalilnya, jika seorang wanita hamil atau nifas, baik rambut, kuku atau anggota badan lainnya tdk boleh rontok/lepas,  kalaupun rontok atau lepas harus disucikan dulu Krn pernah  kejadian. Seorang teman yg khawatir dan mencari-cari  di lantai  rambut rontoknya  saat dia haid sehingga dia kumpulkan, disimpan  rambut tsb di kertas, nanti kalau sudah mandi jinabah, semua rambut yg rontok  diikutkan mandi /disucikan.

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

‌و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Di beberapa kitab para ulama memang ada anjuran untuk tidak memotong rambut dan kuku ketika haid atau junub, seperti Imam Al Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin-nya. Sehingga hal ini menjadi keyakinan sebagian kaum muslimin.

Sebenarnya, hal ini tidak memiliki dasar dalam Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Baik secara global dan terpeinci, langsung dan tidak langsung, tersurat dan tersirat. Oleh karena itu pada dasarnya tidak apa-apa, tidak masalah memotong rambut dan kuku baik yang haid dan junub.

Hal ini merupakan bara’atul ashliyah, kembali kepada hulum asal, bahwa segala hal boleh-boleh saja selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya dari pembuat syariat.
Rasulullah ﷺ bersabda:

الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.”
(HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 6124. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq dalam Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi ‘Anhu, No. 1)

Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam perdagangan, politik, pendidikan, militer, keluarga, penampilan, dan semisalnya, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka selama itu pula boleh-boleh saja untuk dilakukan. Ini berlaku untuk urusan duniawi mereka. Tak seorang pun berhak melarang dan mencegah tanpa dalil syara’ yang menerangkan larangan tersebut.

Oleh karena itu, Imam Muhammad  At Tamimi Rahimahullah sebagai berikut menjelaskan kaidah itu:

أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه

“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” (Imam Muhammad At Tamimi,  Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:

وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال

Dia –Subhanahu wa Ta’ala- seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatalkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena lupa dan membiarkannya. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)

📘 Pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Tertulis dalam Majmu’ Al Fatawa-nya:

وَسُئِلَ: عَنْ الرَّجُلِ إذَا كَانَ جُنُبًا وَقَصَّ ظُفْرَهُ أَوْ شَارِبَهُ أَوْ مَشَطَ رَأْسَهُ هَلْ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي ذَلِكَ؟ فَقَدْ أَشَارَ بَعْضُهُمْ إلَى هَذَا وَقَالَ: إذَا قَصَّ الْجُنُبُ شَعْرَهُ أَوْ ظُفْرَهُ فَإِنَّهُ تَعُودُ إلَيْهِ أَجْزَاؤُهُ فِي الْآخِرَةِ فَيَقُومُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهِ قِسْطٌ مِنْ الْجَنَابَةِ بِحَسَبِ مَا نَقَصَ مِنْ ذَلِك
َ وَعَلَى كُلِّ شَعْرَةٍ قِسْطٌ مِنْ الْجَنَابَةِ: فَهَلْ ذَلِكَ كَذَلِكَ أَمْ لَا؟
فَأَجَابَ
قَدْ ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حَدِيثِ حُذَيْفَةَ وَمِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا {: أَنَّهُ لَمَّا ذَكَرَ لَهُ الْجُنُبَ قَالَ: إنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ} . وَفِي صَحِيحِ الْحَاكِمِ: {حَيًّا وَلَا مَيِّتًا} . وَمَا أَعْلَمُ عَلَى كَرَاهِيَةِ إزَالَةِ شَعْرِ الْجُنُبِ وَظُفْرِهِ دَلِيلًا شَرْعِيًّا بَلْ قَدْ {قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلَّذِي أَسْلَمَ: أَلْقِ عَنْك شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ} فَأَمَرَ الَّذِي أَسْلَمَ أَنْ يَغْتَسِلَ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِتَأْخِيرِ الِاخْتِتَانِ. وَإِزَالَةِ الشَّعْرِ عَنْ الِاغْتِسَالِ فَإِطْلَاقُ كَلَامِهِ يَقْتَضِي جَوَازَ الْأَمْرَيْنِ. وَكَذَلِكَ تُؤْمَرُ الْحَائِضُ بِالِامْتِشَاطِ فِي غُسْلِهَا مَعَ أَنَّ الِامْتِشَاطَ يَذْهَبُ بِبَعْضِ الشَّعْرِ. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Ditanyakan:
Tentang seorang laki-laki yang junub dia memotong kukunya, atau kumisnya, atau menyisir kepalanya apakah dia terkena suatu hukum? Sebagian orang telah mengisyaratkan hal   demikian dan mengatakan: “Jika seorang junub memotong rambut atau kukunya maka pada hari akhirat nanti bagian-bagian yang dipotong itu akan kembali kepadanya dan akan menuntutnya untuk dimandikan, apakah memang demikian?”

Jawaban
—————-
Telah shahih dari Nabi ﷺ yang diriwayatkan dari Hudzaifah dan Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhuma,  yaitu ketika ditanyakan kepadanya tentang status orang junub, maka Beliau ﷺ bersabda: “Seorang mu’min itu tidak najis.” Dalam riwayat yang Shahih dari Al Hakim: “Baik keadaan hidup dan matinya”

Saya tidak dapatkan dalil syar’i yang memakruhkan memotong rambut dan kuku bagi orang yang junub.  Justru Nabi ﷺ  memerintahkan orang yang masuk islam, “Hilangkan darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” Beliau juga memerintahkan orang yang masuk Islam untuk mandi. Dan beliau tidak memerintahkan agar potong rambut dan khitannya dilakukan setelah mandi. Tidak adanya perintah, menunjukkan bolehnya potong kuku dan berkhitan sebelum mandi. Begitu pula diperintahkannya (oleh Nabi) kepada  wanita haid untuk menyisir rambutnya padahal menyisir rambut akan merontokan sebagian rambutnya. Wallahu A’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/121)

Wallahu a’lam.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Doakan Selalu Orang Tua Kita

Mengusap Wajah Setelah Berdoa?

Pemateri: Ust. Farid Nu’man Hasan, SS.

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Masalah ini telah diperlisihkan para imam kaum muslimin, bahkan sejak masa sahabat nabi Radhiallahu ‘Anhum. Sebagian membolehkan bahkan menyunnahkan karena ada riwayat yang bisa dipertanggungjawabkan dari sebagian sahabat seperti Ibnu Umar, Ibnu Az Zubeir, dan Al Hasan, yang melakukan hal itu. Sebagian lain melarang itu, bahkan menyebutnya bid’ah dan kebodohan, karena tidak memiliki dasar yang kuat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Masalah perbedaan ini tidak boleh dijadikan sebab berpecahnya umat Islam, karena memang telah terjadi perselisihan ini sejak masa-masa terdahulu.

Kali ini yang kami lakukan adalah hanya memaparkan saja fatwa-fatwa para imam tersebut, tidak pada posisi menguatkan atau melemahkan salah satunya. Sebagian di antara imam ini ada yang menyunahkan dan membolehkan, ada pula yang tidak menganjurkan bahkan membid’ahkan mengusap wajah setelah doa. Jika Anda melakukannya, maka para salaf ada yang melakukannya. Jika Anda meninggalkannya maka para salaf juga ada yang meninggalkannya.

Kami bagi menjadi dua bagian, bagian pertama adalah pihak yang tidak menganjurkan bahkan membid’ahkan. Lalu bagian kedua adalah pihak yang membolehkan bahkan menyunnahkan.

Para ulama yang tidak menganjurkan bahkan membid’ahkan

1. Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu

Tertulis dalam kitab Mukhtashar Kitab Al Witr:

وسئل عبد الله رضي الله عنه عن الرجل يبسط يديه فيدعو ثم يمسح بهما وجهه فقال كره ذلك سفيان

Abdullah -yakni Abdullah bin Al Mubarak- ditanya tentang seorang laki-laki menengadahkan kedua tangannya dia berdoa, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, Beliau menjawab: “Sufyan memakruhkan hal itu.” (Mukhtashar Kitab Al Witr, Hal. 162)

2. Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu

Imam Ahmad bin Ali Al Muqrizi menceritakan:

وسئل مالك رحمه الله تعالى عن الرجل يمسح بكفيه وجهه عند الدعاء فأنكر ذلك وقال: ما علمت

Imam Malik Rahimahullah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengusap wajahnya dengan kedua tangannya ketika berdoa, lalu dia mengingkarinya, dan berkata: “Aku tidak tahu.” (Mukhtashar Kitab Al Witri, Hal. 152)

3. Imam Abdullah bin Al Mubarak Radhiallahu ‘Anhu

Imam Al Baihaqi meriwayatkan dalam As Sunan Al Kubra:

عَلِىُّ الْبَاشَانِىُّ قَالَ : سَأَلَتُ عَبْدَ اللَّهِ يَعْنِى ابْنَ الْمُبَارَكِ عَنِ الَّذِى إِذَا دَعَا مَسَحَ وَجْهَهُ ، قَالَ : لَمْ أَجِدْ لَهُ ثَبَتًا. قَالَ عَلِىٌّ : وَلَمْ أَرَهُ يَفْعَلُ ذَلِكَ. قَالَ : وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَقْنُتُ بَعْدَ الرُّكُوعِ فِى الْوِتْرِ ، وَكَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ

Ali Al Basyani berkata: Aku bertanya kepada Abdullah –yakni Abdullah bin Al Mubarak- tentang orang yang jika berdoa mengusap wajahnya, Beliau berkata: “Aku belum temukan riwayat yang kuat.” Ali berkata: “Aku tidak pernah melihatnya melakukannya.” Aku melihat Abdullah melakukan qunut setelah ruku dalam witir, dan dia mengangkat kedua tangannya. (As Sunan Al Kubra No. 2970)

Imam Ibnul Mulaqin mengutip dari Imam Al Baihaqi sebagai berikut:

ثمَّ رَوَى بِإِسْنَادِهِ عَن ابْن الْمُبَارك أَنه سُئِلَ عَن مسح الْوَجْه إِذا دَعَا الْإِنْسَان قَالَ : لم أجد لَهُ شَاهدا . هَذَا آخر كَلَام الْبَيْهَقِيّ

Kemudian Beliau (Al Baihaqi) meriwayatkan dengan isnadnya, dari Ibnul Mubarak bahwa dia ditanya tentang mengusap wajah jika manusia berdoa, Beliau menjawab: “Saya belum temukan syahid-(hal yang menguatkan)nya.” Inilah akhir ucapan Al Baihaqi (Imam Ibnul Mulqin, Al Badrul Munir, 3/640)

4. Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu

Imam Ibnul Mulaqin Rahimahullah menuliskan:

وَقَالَ أَحْمد : لَا يعرف هَذَا أَنه كَانَ يمسح وَجهه بعد الدُّعَاء إِلَّا عَن الْحسن

Berkata Imam Ahmad: “Tidak diketahui hal ini, tentang mengusap wajah setelah doa, kecuali dari Al Hasan.” (Ibid, 3/639)

5. Imam Al Baihaqi Rahimahullah

Beliau berkata:

فأما مسح اليدين بالوجه عند الفراغ من الدعاء فلست أحفظه عن أحد من السلف في دعاء القنوت وإن كان يروي عن بعضهم في الدعاء خارج الصلاة وقد روي فيه عن النبي صلى الله عليه و سلم حديث فيه ضعف وهو مستعمل عند بعضهم خارج الصلاة وأما في الصلاة فهو عمل لم يثبت بخبر صحيح ولا أثر ثابت ولا قياس فالأولى أن لا يفعله ويقتصر على ما فعله السلف رضي الله عنهم من رفع اليدين دون مسحهما بالوجه في الصلاة وبالله التوفيق

Ada pun mengusap wajah dengan kedua tangan setelah selesai doa, maka tak ada satu pun yang saya hafal dari kalangan salaf yang melakukan pada doa qunut, kalau pun ada adalah riwayat dari mereka pada doa di luar shalat. Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hadits dhaif tentang masalah ini. Sebagian mereka menggunakan hadits ini untuk berdoa di luar shalat, ada pun dalam shalat itu adalah perbuatan yang tidak dikuatkan oleh riwayat yang shahih, tidak pula atsar yang kuat, dan tidak pula qiyas. Maka, yang lebih utama adalah tidak melakukannya, dan hendaknya mencukupkan dengan apa yang dilakukan para salaf –Radhiallahu ‘Anhum- berupa mengangkat kedua tangan tanpa mengusap wajah dalam shalat. Wa billaahit taufiq. (As Sunan Al Kubra No. 2968)

6. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam Rahimahullah

Imam Al Munawi Rahimahullah menyebutkan dari Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam, kata Beliau:

لا يمسح وجهه إلا جاهل

Tidak ada yang mengusap wajah melainkan orang bodoh. (Faidhul Qadir, 1/473. Lihat juga Mughni Muhtaj, 2/360)

7. Imam An Nawawi Rahimahullah

Imam An Nawawi menyatakan yang benar adalah berdoa mengangkat kedua tangan tetapi tanpa mengusap wajah, berikut ini ucapannya:

والحاصل لاصحابنا ثلاثة أوجه (الصحيح) يستحب رفع يديه دون مسح الوجه (والثاني) لا يستحبان (والثالث) يستحبان وأما غير الوجه من الصدر وغيره فاتفق أصحابنا علي أنه لا يستحب بل قال ابن الصباغ وغيره هو مكروه والله أعلم

Kesimpulannya, para sahabat kami (Syafi’iyah) ada tiga pendapat; (yang shahih) disunnahkan mengangkat kedua tangan tetapi tanpa mengusap wajah, (kedua) tidak disunnahkan keduanya, (ketiga) disunnahkan keduanya. Ada pun selain wajah, seperti dada dan selainnya, para sahabat kami sepakat bahwa hal itu tidak dianjurkan, bahkan Ibnu Ash Shabagh mengatakan hal itu makruh. Wallahu A’lam (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/501)

8. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Beliau berkata:

وَأَمَّا رَفْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ: فَقَدْ جَاءَ فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ، وَأَمَّا مَسْحُهُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ فَلَيْسَ عَنْهُ فِيهِ إلَّا حَدِيثٌ، أَوْ حَدِيثَانِ، لَا يَقُومُ بِهِمَا حُجَّةٌ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Ada pun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangan ketika berdoa, hal itu telah diterangkan dalam banyak hadits shahih, sedangkan mengusap wajah dengan kedua tangannya, maka tidak ada yang menunjukkan hal itu kecuali satu hadits atau dua hadits yang keduanya tidak bisa dijadikan hujjah. Wallahu A’lam (Al Fatawa Al Kubra, 2/219, Majmu’ Al Fatawa, 22/519, Iqamatud Dalil ‘Ala Ibthalit Tahlil, 2/408)

9. Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah

Berikut fatwa ini Beliau:

السؤال: ذكرتم حكم رفع اليدين في الدعاء، فما القول في مسح الوجه بهما؟ الجواب: لم يثبت، وقد ورد فيه أحاديث ضعيفة، والسنة أن ترفع الأيدي ثم تنزل بدون مسح

Pertanyaan:

Anda telah menyebutkan hukum tentang mengangkat kedua tangan ketika doa, lalu apa pendapat Anda tentang mengusap wajah dengan keduanya?

Jawaban:

Tidak shahih, hadits-hadits yang ada tentang hal itu adalah lemah, dan sunnahnya adalah Anda mengangkat kedua tangan kemudian menurunkannya dengan tanpa mengusap wajah. (Syarh Sunan Abi Daud, 15/145)

Pada halaman lain juga tertulis demikian:

السؤال: هل ننكر على من يمسح وجهه بعد الدعاء؟ الجواب: لم ترد في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، فيبين لمن يعمل ذلك أنه ما ثبت في هذا شيء، إنما الثابت هو رفع اليدين، وأما مسح الوجه باليدين بعد الدعاء فقد وردت فيه أحاديث ضعيفة

Pertanyaan:

Apakah kita mesti mengingkari orang yang mengusap wajahnya setelah berdoa?

Jawaban:

Tidak ada sunah yang valid dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang masalah ini, maka hendaknya dijelaskan kepada orang yang melakukannya bahwa hal itu tidak ada satu pun yang kuat haditsnya. Yang kuat adalah mengangkat kedua tangan, ada pun mengusap wajah dengan kedua tangan setelah doa telah ada hadits-hadits lemah yang membicarakannya. (Ibid, 15/474)

10. Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah

Beliau berkata:

وأما مسح الوجه عقب الدعاء فلم يثبت فيه حديث صحيح ، بل إن بعض أهل العلم نصوا على بدعيته انظر معجم البدع (ص 227)

فلا تفعل أنت البدعة ولا تُشارك فيها ولكن انصح وأمر بالسنّة وذكّر النّاس وأخبرهم بالحكم الشّرعي

Ada pun mengusap wajah setelah berdoa, tidak ada hadits kuat lagi shahih tentang hal itu, bahkan sebagian ulama ada yang menyebutkan bid’ahnya hal itu. Lihat Mu’jam Al Bida’ (Hal. 227).

Maka, jangan Anda lakukan bid’ah, dan jangan berpartisipasi di dalamnya, tetapi hendaknya menasihatkan dan memerintahkan dengan sunah, serta mengingatkan manusia dan mengabarkan mereka terhadap hukum-hukum syar’i. (Fatawa Al Islam Sual wa Jawab, Hal. 5538)

11. Fatwa Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah

Beliau berkata:

وأما مسح الوجه بعد الدعاء فمسألة خلافية بين العلماء، منهم من استحبه ومنهم من منعه، والأمر واسع في ذلك وإن كنا نرجح من باب الورع عدم المسح، لأن الحديث الوارد في المسح لا يخلو من كلام، ولعدم اشتهار ذلك عند السلف. والله أعلم

Ada pun mengusap wajah setelah doa, maka ini adalah persoalan yang diperselisihkan para ulama. Di antara mereka ada yang menyunahkannya dan ada pula yang melarangnya. Dan, masalah ini adalah masalah yang lapang. Sedangkan kami menguatkan diri sisi kehati-kehatian untuk tidak mengusap, karena hadits-hadits yang ada dalam masalah ini tidak kosong dari perbincangan para ulama, serta tidak ada yang masyhur dari kalangan salaf yang melakukan hal ini. Wallahu A’lam (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 36932)

12. Fatwa Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi Rahimahullah

Berikut ini fatwanya:

سئل الشيخ : ما حكم مسح الوجه باليدين بعد الانتهاء من الدعاء وهل ورد فيه حديث عن النبى صلى الله عليه وسلم ؟

فقال الشيخ – رحمه الله – : ليس مسح الوجه بعد الدعاء من السنة بل هو بدعة لان مسح الوجه باليدين عقب دعاء يعتبر نسك وعبادة وهو لم يثبت ان النبي صلى الله عليه وسلم فعله فيكون بدعة فى الدين والحديث الذى ورد فى هذا ضعيف ولم يصح

Syaikh ditanya: Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa, apakah ada hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang ini?

Syaikh Rahimahullah menjawab:

Mengusap wajah setelah berdoa bukan termasuk sunah, bahkan itu adalah bid’ah, karena mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa telah dianggap sebagai ibadah. Hal itu tidak ada yang shahih dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka itu adalah bid’ah dalam agama. Sedangkan hadits yang membicarakan ini adalah lemah dan tidak shahih. (Fatawa Asy Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Hal. 315)

13. Fatwa Syaikh Sulaiman bin Wail At Tuwaijiri

Beliau berkata:

مسح الوجه بعد الدعاء ورد فيه أحاديث، ورجال الجرح والتعديل طعنوا فيها، فهي لا ترتقي إلى درجة العمل بها، ويبقى الأمر على ما هو الأصل فيه وهو عدم المسح؛ لأن الأحاديث الواردة في المسح ليست بصحيحة، ولا ترتقي إلى درجة الاحتجاج بها. انظر مثلاً ما رواه أبو داود (1485)، وابن ماجة (1181) من حديث ابن عباس -رضي الله عنهما- بإسناد ضعيف

Telah datang sejumlah hadits tentang mengusap wajah setelah doa, dan para ulama Al Jarh wat Ta’dil telah mengkritiknya, sehingga hadits tersebut tidak terangkat mencapai derajat yang layak diamalkan, jadi masalah ini dikembalikan kepada hukum asalnya yaitu tidak mengusap wajah, karena hadits-hadits tentang mengusap wajah tidak ada yang shahih, dan tidak terangkat sampai derajat yang bisa dijadikan hujjah. Lihat misalnya riwayat Abu Daud (1485), Ibnu Majah (1181) dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dengan isnad yang dhaif. (Fatawa Istisyaraat Al Islam Al Yaum, 14/224)

Para Ulama Yang Membolehkan dan Menyunahkan

1. Sahabat nabi, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Zubeir Radhiallahu ‘Anhuma

Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Adabul Mufrad:

عن أبى نعيم وهو وهب قال : رأيت بن عمر وبن الزبير يدعوان يديران بالراحتين على الوجه

Dari Abu Nu’aim –dia adalah Wahb, berkata: “Aku melihat Ibnu Umar dan Ibnu Az Zubeir mereka mengusap wajah dengan telapak tangannya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 609. Dihasankan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Amali Al Adzkar. Lihat Al Fatawa Al Haditsiyah, Hal. 55. Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkannya. Lihat Dhaif Adabil Mufrad No. 609)

2. Imam Al Hasan bin Abil Hasan Radhiallahu ‘Anhu

Disebutkan dalam Mukhtashar Kitab Al Witr:

وعن المعتمر رأيت أبا كعب صاحب الحرير يدعو رافعا يديه فإذا فرغ من دعائه يمسح بهما وجهه فقلت له من رأيت يفعل هذا فقال الحسن

Dari Al Mu’tamar: aku melihat Abu Ka’ab pengarang Al Harir berdoa dengan mengangkat kedua tangannya, lalu ketika dia selesai berdoa, dia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Lalu aku bertanya kepadanya: “Siapa orang yang kau lihat melakukan ini?” Beliau menjawab: “Al Hasan.” (Imam Ahmad bin Ali Al Muqrizi, Mukhtashar Kitab Al Witr, Hal. 152)

Imam As Suyuthi mengatakan: “isnadnya hasan.” (Lihat Fadhul Wi’a, No. 59)

3. Imam Ishaq bin Rahawaih Radhiallahu ‘Anhu

Beliau termasuk yang menganggap baik menggunakan hadits-hadits tentang mengusap wajah setelah doa sebagai dalilnya. Berikut ini keterangannya:

قال محمد بن نصر ورأيت إسحاق يستحسن العمل بهذه الأحاديث

Berkata Muhammad bin Nashr: Aku melihat Ishaq menganggap baik beramal dengan hadits-hadits ini. (Ibid)

4. Imam Al Khathabi Rahimahullah

Beliau mengomentari perkataan yang menyebut “bodoh” orang yang mengusap wajah setelah berdoa, katanya:

وَقَوْل بَعْضِ الْفُقَهَاءِ فِي فَتَاوِيهِ : وَلاَ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ عَقِبَ الدُّعَاءِ إِلاَّ جَاهِلٌ ، مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَطَّلِعْ عَلَى هَذِهِ الأْحَادِيثِ

Pendapat sebagian fuqaha dalam fatwa mereka adalah tidaklah mengusap wajah dengan kedua tangannya setelah berdoa melainkan orang bodoh, bisa jadi bahwa dia belum menelaah masalah ini dalam banyak hadits. (Al Futuhat Ar Rabbaniyah ‘Alal Adzkar, 7/258)

5. Imam Az Zarkasyi Rahimahullah

Beliau juga mengomentari perkataan Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam dengan komentar yang mirip dengan Imam Al Khathabi. Katanya:

وأما قول العز في فتاويه الموصلية: مسح الوجه باليد بدعة في الدعاء لا يفعله إلا جاهل, فمحمول على أنه لم يطلع على هذه الأحاديث وهي وإن كانت أسانيدها لينة لكنها تقوى باجتماع طرقها

Ada pun perkataan Al ‘Izz dalam fatwanya: mengusap wajah dengan tangan adalah bid’ah dalam doa, dan tidak ada yang melakukannya kecuali orang bodoh, maka dimungkinkan bahwa dia belum mengkaji hadits-hadits yang berkenaan masalah ini, walaupun sanad-sanadnya lemah tetapi menjadi kuat dengan mengumpulkan banyak jalurnya. (Al Juz’u fi mashil wajhi, Hal. 26)

6. Imam Amir Ash Shan’ani Rahimahullah

Beliau berkata:

وعن عمر رضي الله عنه قال: “كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا مد يديه في الدعاء لم يردهما حتى يمسح بهما وجهه” أخرجه الترمذي وله شواهد منها حديث ابن عباس عند أبي داود وغيره ومجموعها يقضي بأنه حديث حسن وفيه دليل على مشروعية مسح الوجه باليدين بعد الفراغ من الدعاء

Dari Umar Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mengangkat kedua tangannya dalam berdoa, dia tidak akan mengembalikannya sampai mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” Dikeluarkan oleh At Tirmidzi dan memiliki beberapa syawahid (saksi penguat), di antaranya adalah hadits dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan selainnya. Kumpulan semuanya mencukupi hadits ini dihukumi hasan. Pada hadits ini terdapat dalil disyariatkannya mengusap wajah dengan kedua telapak tangan setelah selesai shalat. (Subulus Salam, 4/219, Maktabah Mushthafa Al Baabi Al Halabi)

7. Lajnah Ulama penyusun kitab Al Fatawa Al Hindiyah

Mereka mengatakan:

قِيل مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ لَيْسَ بِشَيْءٍ ، وَكَثِيرٌ مِنْ مَشَايِخِنَا اعْتَبَرُوا مَسْحَ الْوَجْهِ هُوَ الصَّحِيحَ وَبِهِ وَرَدَ الْخَبَرُ

Dikatakan bahwa mengusap wajah dengan kedua tangan adalah bukan apa-apa. Banyak guru-guru kami yang menyebutkan bahwa mengusap kedua tangan adalah benar adanya, dan telah ada riwayat tentang itu. (Al Fatawa Al Hindiyah, 5/318)

8. Syaikh Abul ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri Rahimahullah

Beliau berkata dalam kitabnya Tuhfah Al Ahwadzi:

أي لم يضعهما ( حتى يمسح بهما وجهه ) قال بن الملك وذلك على سبيل التفاؤل فكأن كفيه قد ملئتا من البركات السماوية والأنوار الإلهية

Yaitu Beliau tidak meletakkan kedua tangannya (sampai Beliau mengusap wajahnya dengan keduanya) berkata Ibnul Malak hal itu menunjukkan rasa optimis yang kuat seakan kedua telapak tangannya telah dipenuhi oleh keberkahan dari langit dan cahaya ketuhanan. (Tuhfah Al Ahwadzi, 9/232. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

9. Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah:

Fatwa pertama:

والسؤال هو : ما حكم مسح الوجه باليدين بعد الدعاء وخاصة بعد دعاء القنوت وبعد النوافل ؟ حفظكم الله وأثابكم ، والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

ج : وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته.

بعده : حكمه أنه مستحب ؛ لما ذكره الحافظ في البلوغ في باب الذكر والدعاء ، وهو آخر باب في البلوغ أنه ورد في ذلك عدة أحاديث مجموعها يقضي بأنه حديث حسن ، وفق الله الجميع والسلام عليكم.

Pertanyaan:

Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah doa, khususnya setelah doa qunut dan setelah nawafil (shalat sunah)? Semoga Allah menjaga dan memberikan ganjaran buat Anda. Wassalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Hukumnya adalah sunah, sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafizh (Ibnu Hajar) dalam Bulughul Maram pada Bab Adz Dzikr wad Du’a, yaitu pada bab terakhir kitab Bulughul Maram, bahwasanya terdapat beberapa hadits tentang itu yang jika dikumpulkan semuanya mencapai derajat hasan. Semoga Allah memberi taufiq. Wassalamu ‘Alaikum.

(Lihat Majmuu’ Fatawaa Ibni Baaz, 26/148)

Fatwa kedua: (Jawaban Syaikh Ibnu Baaz agak berbeda dengan fatwa pertama)

وأما مسح الوجه فلم يحفظ في الأحاديث الصحيحة، ولكن جاء في أحاديثها ضعف فذهب بعض أهل العلم بأنه لا مانع من ذلك؛ لأنها يشد بعضها بعضا ، ويقوي بعضها بعضا إذا مسحه، فلا بأس، لكن الأفضل والأولى الترك؛ لأن الأحاديث الصحيحة ليس فيها مسح بعد الدعاء

Ada pun mengusap wajah, tidak ada yang terekam dalam hadits-hadits shahih, tetapi adanya dalam hadits-hadits dhaif. Pendapat sebagian ulama adalah bahwa hal itu tidak terlarang, karena hadits tersebut satu sama lain saling menguatkan, jadi jika dia mengusapnya tidak apa-apa, tetapi lebih utama dan pertama adalah meninggalkannya, karena hadits-hadits shahih tidak menyebutkan mengusap wajah setelah doa. (Lihat Majmuu’ Fatawaa Ibni Baaz, 30/43-44)

Sebelumnya beliau menyatakan sunah, namun yang ini menyatakan tidak apa-apa, tetapi lebih baik ditinggalkan.

10. Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:

Fatwa pertama:

هل يسن مسح الوجه باليدين بعد الدعاء أم أن هذا بدعة؟

فأجاب رحمه الله تعالى: اختلف أهل العلم في هذا فمنهم من قال إنه ينبغي إذا فرغ من الدعاء وهو رافعٌ يديه أن يمسح بهما وجهه واستدلوا بحديث ضعيف لكن قال ابن حجر رحمه الله له طرقٌ يقوي بعضها بعضاً ومجموعها يقضي بأنه حديثٌ حسن ومن العلماء من قال إنه لا يمسح وجهه بيديه والأحاديث في هذا ضعيفة فيكون مسحه بيديه بدعة وإلى هذا ذهب شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله وأرى أنه لا ينكر على من مسح ولا يؤمر بمسح من لم يمسح

Apakah disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangan setelah doa ataukah itu perbuatan bid’ah?

Jawaban Syaikh Rahimahullah:

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Di antara mereka ada yang menganjurkan jika selesai doa dan dia dalam keadaan mengangkat kedua tangannya, hendaknya mengusap wajahnya dengan keduanya. Mereka berdalil dengan hadits dhaif tetapi Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan bahwa hadits tersebut memiliki beberapa jalan yang saling menguatkan satu sama lain, dan kumpulan semuanya telah mencukupi hadits itu menjadi hasan.

Di antara ulama ada yang mengatakan tidak usah mengusap wajah dengan kedua tangan, dan hadits-hadits dalam masalah ini dhaif, maka mengusap wajah dengan kedua tangan adalah bid’ah. Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Saya berpendapat hendaknya jangan diingkari orang yang mengusap wajahnya, dan tidak pula diperintahkan untuk mengusap wajah bagi orang yang tidak mengusapnya. (Selesai fatwa pertama).

Fatwa kedua:

ما حكم مسح اليدين على الوجه بعد الدعاء؟

فأجاب رحمه الله تعالى: الصحيح أنه لا يسن مسح الوجه بهما لأن الأحاديث الواردة في ذلك ضعيفة جدا لا تقوم بها حجة ولا يلتئم بعضها ببعض فالصواب أن مسح الوجه باليدين بعد الدعاء ليس بسنة ولكن الإنسان لا يفعله ولا ينكر على من فعله لأن بعض العلماء استحبه

Apakah hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa?

Jawaban Syaikh Rahimahullah:

Yang benar adalah tidak disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangan, karena hadits-hadits yang berkenaan hal itu sangat lemah (dhaif jiddan). Tidak bisa berhujjah dengannya dan tidak dapat dikumpulkan satu sama lainnya. Jadi, yang benar adalah mengusap wajah dengan kedua tangan setelah doa adalah bukan sunah. Tetapi manusia tidak melakukannya, dan jangan diingkari orang yang melakukannya, karena sebagian ulama ada yang menyunahkannya. (selesai fatwa kedua)

(Lihat keduanya dalam Fatawaa Nuur ‘Alad Darb Lil Utsaimin, Kitab Fatawa Mutafariqaat, Bab Ad Du’a, Hal. 50)

Fatwa ketiga:

السؤال

ما حكم مسح الوجه باليدين بعد الدعاء؟

الجواب

يرى بعض أهل العلم أنه من السنة، ويرى شيخ الإسلام أنه من البدعة، وهذا بناءً على صحة الحديث الوارد في هذا، والحديث الوارد في هذا قال شيخ الإسلام : إنه موضوع.

يعني: مكذوب على الرسول صلى الله عليه وسلم.

والذي أرى في المسألة: أن من مسح لا ينكر عليه، ومن لم يمسح لا ينكر عليه، وهو أقرب إلى السنة ممن مسح.

Pertanyaan:

Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa?

Jawaban:

Sebagian ulama berpendapat hal itu sunah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat itu adalah bid’ah. Perbedaan ini terjadi karena terkait keshahihan hadits yang ada tentang masalah ini. Hadits yang ada menurut Syaikhul Islam adalah palsu (maudhu’), yakni dusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Saya berpendapat dalam masalah ini bahwa mengusap wajah jangan diingkari, dan orang yang tidak mengusap wajah juga jangan diingkari, inilah sikap yang lebih dekat dengan sunah terhadap orang yang mengusap wajahnya. (Selesai fatwa ketiga)

(Lihat Liqaa’ Al Baab Al Maftuuh, 197/27)

11. Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin Rahimahullah

Beliau berkata ketika ditanya hukum mengusap wajah setelah berdoa:

أما مسألة مسح الوجه فقد ورد فيها أحاديث لا تخلو من مقال، وإن كان مجموعها حسناً، فقد حسنها الحافظ ابن حجر ، بمجموعها لا بأفرادها، يقول الحافظ رحمه الله: إنها تبلغ درجة الحسن كما نبه على ذلك في آخر بلوغ المرام، لكن ورد العمل بها عن الصحابة وعن الأئمة وعن التابعين وعلماء الأمة، فورد أنهم كانوا يرفعون أيديهم ثم يمسحون بها وجوههم، فأصبح العمل بها من الصحابة دليل على أنهم تأكدوا من مشروعية ذلك

Adapun pertanyaan tentang mengusap wajah, telah terdapat beberapa hadits tentang hal itu namun tidak sepi dari pembicaraan ulama, yang jika semuanya dikumpulkan hadits tersebut menjadi hasan. Al Hafizh Ibnu Hajar telah menghasankannya, dengan terkumpulnya hadits itu bukan secara satu-satu. Berkata Al Hafizh Rahimahullah: “Sesungguhnya hadits tersebut telah sampai derajat hasan,” sebagaimana yang Beliau kabarkan pada akhir kitab Bulughul Maram. Namun, telah sampai kabar bahwa hal itu dilakukan oleh para sahabat, para imam, para tabi’in, dan ulama umat. Telah warid (datang) berita bahwa mereka mengangkat kedua tangan lalu mengusap wajah mereka dengan kedua tangan mereka. Maka, para sahabat telah melakukan perbuatan ini, dan itu menjadi dalil bahwa mereka menguatkan disyariatkannya perbuatan ini. (Syarh ‘Umdatul Ahkam, 21/37)

Demikian. Semoga bermanfaat.

Wa Shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajmain


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678