Batasan Aurat Bagi Muslimah


Assalamualaikum ustadz/ah..Mau tanya, sebelumnya ada materi tentang wajibnya akhwat untuk menutup kaki?# A42

Jawaban
———-

و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته
Kalau kita bicara aurat wanita , apa sih batasannya?
Sebelum membahas mengenai kaki bagian bawah, perlu dipahami apa batasan aurat bagi wanita. Allah ta’ala berfirman:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka” (QS. An Nur: 31).

Allah ta’ala juga berfirman:

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Ahzab: 59)

Allah ta’ala juga berfirman:

وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ

“dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur: 31)

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu‘anha, beliau berkata,

أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam dengan memakai pakaian yang tipis. Maka Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam pun berpaling darinya dan bersabda, “wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haidh (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Daud 4140, dalam Al Irwa [6/203] Al Albani berkata: “hasan dengan keseluruhan jalannya”)

Selain dalil-dalil mengenai batasan aurat secara umum, terdapat juga beberapa dalil yang jelas menunjukkan bahwa al qadam atau bagian bawah kaki wajib ditutup. Diantaranya yaitu hadits Ummu Salamah radhiallahu’anha,

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم لما قال في جرِّ الذيلِ ما قال قالت قلتُ يا رسولَ اللهِ فكيف بنا فقال جُرِّيهِ شبرًا ، فقالت (أم سلمة) إذًا تنكشفُ القدمانِ ، قال فجُرِّيهِ ذراعًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersabda mengenai masalah menjulurkan ujung pakaian, aku berkata kepada beliau, ‘wahai Rasulullah bagaimana dengan kami (kaum wanita)?’. Nabi menjawab: ‘julurkanlah sejengkal‘. Lalu Ummu Salamah bertanya lagi: ‘kalau begitu kedua qadam (bagian bawah kaki) akan terlihat?’. Nabi bersabda: ‘kalau begitu julurkanlah sehasta‘. (HR. Ahmad 6/295, Abu Ya’la dalam As Sanad 1/325, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1/828)

Syaikh Al Albani menyatakan: “hadits ini dalil bahwa kedua qadam wanita adalah aurat. Dan ini merupakan perkara yang sudah diketahui oleh para wanita di masa Nabi. Buktinya ketika Nabi mengatakan: ‘julurkanlah sejengkal‘, Ummu Salamah berkata: ‘kalau begitu kedua qadam (bagian bawah kaki) akan terlihat?‘, menunjukkan kesan bahwa Ummu Salamah sebelumnya sudah mengetahui bahwa kedua bagian bawah kaki adalah aurat yang tidak boleh dibuka. Dan hal itu disetujui oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Oleh karena itu beliau memerintahkan untuk memanjangkan kainnya sehasta. Dan dalam Al Qur’an Al Karim juga ada isyarat terhadap makna ini, yaitu dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya) “dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur: 31)”

Kesimpulannya: kaki adalah aurat yang harus ditutup berdasarkan dalil dalil diatas.

Wallahu a’lam.

Wanita Pergi Haji Tanpa Mahram??


Assalamualaikum…. afwan mau tanya ustadz/ah.. Bagaimana hukumnya prempuan yg pergi umroh/haji tanpa mahrom? Apakah mahrom yg ditunjuk oleh travel umroh sah sedangkan sebenarnya orang tsb bukan mahrom perempuan ybs. Mohon pencerahan.

Jawaban
———-

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته

Ngaku mahram padahal bukan tentu itu berbohong. Tidak boleh.

Ada pun ttg wanita pergi haji yg wajib, seorg diri tanpa mahram, adalah khilafiyah ulama .. jelasnya ini 👇

Wanita Pergi Haji Tanpa Mahram: ​BOLEH menurut mayoritas ulama, dan Inilah yang benar menurut Imam An Nawawi​

Imam Asy Syafi’i ​Rahimahullah​:

ونقل قولاً عن الشافعي أنها تسافر وحدها إذا كان الطريق آمناً

Dikutip perkataan dari Imam Asy Syafi’i bahwa seorang wanita boleh safar seorang diri (untuk haji) jika kondisi jalan aman. ​( ​Subulus Salam​, 2/183)​

Imam An Nawawi ​Rahimahullah​:

وقال عطاء وسعيد بن جبير وبن سيرين ومالك والأوزاعي والشافعي في المشهور عنه لا يشترط المحرم بل يشترط الأمن على نفسها قال أصحابنا يحصل الأمن بزوج أو محرم أو نسوة ثقات ولا يلزمها الحج عندنا الا بأحد هذه الأشياء فلو وجدت امرأة واحدة ثقة لم يلزمها لكن يجوز لها الحج معها هذا هو الصحيح

Dan berkata ‘Atha, Said bin Jubeir, Ibnu Sirin, Malik, Al Auza’i, Asy Syafi’i, dan yang masyhur darinya bahwa adanya mahram bukan syarat, tetapi yang menjadi syarat adalah adanya rasa aman bagi dirinya. Para sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan bahwa rasa aman itu bisa diperoleh dengan suami atau mahram atau wanita-wanita terpercaya, bagi kami kaum wanita tidaklah wajib baginya kecuali satu di antara hal-hal ini, seandainya dia dapatkan satu orang wanita terpercaya maka boleh baginya haji bersamanya. DAN INILAH YANG BENAR. ​( ​Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,​ 9/104)​

Imam Ibnu Taimiyah ​Rahimahullah​:

.وقال ابن تميمة: إنه يصح الحج من المرأة بغير محرم ومن غير المستطيع

Imam Ibnu Taimiyah berkata: bahwa Sah hajinya seorang wanita yang pergi tanpa mahram dan hajinya orang yang tidak mampu. ​( ​Subulus Salam​, 2/184)​

Imam Ibnu Hazm ​Rahimahullah​:

وإنما اختلفوا فيما كان واجبا واستنبط منه بن حزم جواز سفر المرأة بغير زوج ولا محرم لكونه صلى الله عليه و سلم لم يأمر بردها ولا عاب سفرها

Para ulama berselisih pendapat tentang safarnya wanita dalam ibadah yang wajib. Imam Ibnu Hazm berpendapat bolehnya safar seorang wanita tanpa suaminya atau tanpa mahramnya sebab kenyataannya Nabi ﷺ tidak memerintahkan wanita itu untuk kembali dan tidak mencela safarnya. ​( ​Fathul Bari​, 4/78)​

Imam Ibnu Hajar ​Rahimahullah​:

واستدل بحديث عائشة هذا على جواز حج المرأة مع من تثق به ولو لم يكن زوجا ولا محرما

Hadits ‘Aisyah ini menjadi dalil bolehnya haji seorang wanita bersama orang-orang terpercaya walau pun tidak bersama suaminya dan tanpa mahramnya. ​( ​Fathul Bari​, 4/75)​

✅ Hadits Aisyah ​Radhiallahu ‘Anha​ yang mana yang dimaksud? Yaitu pertanyaan Aisyah ​Radhiallahu ‘Anha​:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَغْزُو وَنُجَاهِدُ مَعَكُمْ فَقَالَ لَكِنَّ أَحْسَنَ الْجِهَادِ وَأَجْمَلَهُ الْحَجُّ حَجٌّ مَبْرُورٌ فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَلَا أَدَعُ الْحَجَّ بَعْدَ إِذْ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Wahai Rasulullah, boleh kami berperang dan berjihad bersamamu?

Nabi bersabda: “Jihad terbaik dan terindah adalah haji yang mabrur.”

Lalu ‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak pernah meninggalkan haji setelah aku mendengarkan perkataan ini dari Rasulullah ﷺ .” ​(HR. Al Bukhari No. 1728)​

Hadits ini juga di komentara Imam Ibnu Baththal Rahimahullah sebagai berikut:

هذه الحال ترفع تحريج الرسول ( صلى الله عليه وسلم ) عن النساء المسافرات بغير ذى محرم ، كذلك قال مالك والأوزاعى والشافعى : تخرج المرأة فى حجة الفريضة مع جماعة النساء فى رفقة مأمونة وإن لم يكن معها محرم ، وجمهور العلماء على جواز ذلك ، وكان ابن عمر يحج معه نسوة من جيرانه ، وهو قول عطاء وسعيد بن جبير وابن سيرين والحسن

Keadaan ini menghilangkan larangan Rasulullah ﷺ bagi wanita yang safar tanpa mahram, demikian juga perkataan Malik, Al Auza’i, Asy Syafi’i: “Keluarnya wanita pergi haji yang wajib bersama jamaah wanita yang terpercaya, walau tidak ada mahram bersamanya. ​MAYORITAS ULAMA MEMBOLEHKAN ITU​. Dahulu Ibnu Umar haji bersama wnaita tetangganya. Ini merupakan pendapat ‘Atha, Sa’id bin Jubeir, Ibnu Sirin, dan Al Hasan Al Basri. ​( ​Syarh Shahih Al Bukhari,​ 4/532)​

​✅ Lalu bagaimana dengan hadits ​“Janganlah seorang wanita bepergian KECUALI bersama mahramnya”?​​

Hadits tersebut dikomentari oleh para ulama, sebagai berikut:

وحمله مالك وجمهور الفقهاء على الخصوص ، وأن المراد بالنهى الأسفار غير الواجبة عليها بعموم قوله تعالى : ( وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ ) [ آل عمران : 97 ] فدخلت المرأة فى عموم هذا الخطاب ولزمها فرض الحج ، ولا يجوز أن تُمنع المرأة من الفروض كما لا تمنع من الصلاة والصيام ؛ ألا ترى أن عليها أن تهاجر من دار الكفر إلى دار الإسلام إذا أسلمت فيه بعير محرم ، وكذلك كل واجبٍ عليها أن تخرج فيه ، فثبت بهذا أن نهيه عليه السلام أن تسافر المرأة مع غير ذى محرم أنه أراد بذلك سفرًا غير واجب عليها ، والله أعلم

Malik dan MAYORITAS ULAMA mengartikannya secara khusus (bukan untuk semua safar), maksud larangan tersebut adalah untuk safar-safar yang TIDAK WAJIB, berdasarkan keumuman firman Allah ﷻ : mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (QS. Ali Imran: 97), dan kaum wanita termasuk pada keumuman pembicaraan ayat ini dan kewajiban haji.

Dan, TIDAK BOLEH MELARANG WANITA dari kewajiban-kewajiban, sebagaimana tidak boleh melarang mereka dari shalat dan puasa. Tidakkah Anda melihat, bahwa wanita diwajibkan berhijrah dari negeri kafir ke negeri Islam, jika di negeri kafir dia tidak memiliki mahram? Maka, demikian juga semua kewajiban yang mengharuskannya dia keluar dari negerinya. Maka, dengan ini telah pasti bahwa larangan Nabi ﷻ tentang safarnya kaum wanita tanpa mahram adalah pada perjalanan yang tidak wajib baginya. Wallahu A’lam ​( ​Syarh Shahih Al Bukhari​, 4/532-533)​

Namun demikian, dengan mahram atau suaminya tentu lebih baik.

✅ Sebagian ulama ada yang tetap melarang wanita haji tanpa suami dan mahram, karena menurut mereka larangan tersebut berlaku untuk semua safar. Inilah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur. ​(Ibid, 4/532)​

Wallahu a’lam.

Aqiqah Ketika Dewasa, Bolehkah?


Assalamu’alaikum, ustadz/ustadzah ….Ustad mengenai aqiqah .bolehkan orang yg sdh tua umurnya mengaqiqahkan dirinya sendiri krn kedua orang tuanya blm mengaqiqahkannya sejak lahir.dn kedua ortunya sdh wafat.

Jawaban
———-

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته
Bismillah wash Shalatu was Salamu Ala Rasulillah wa Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man Waalah wa Bad:

Para ulama sepakat bahwa hari ketujuh dari kelahiran bayi adalah paling utama (afdhal) unuk aqiqah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang aqiqah selain hari ketujuh, bolehkah atau tidak. Kebanyakan ulama membolehkannya. Ada yang mengatakan sama sekali tidak boleh dan jika dilakukan, maka itu bukanlah aqiqah. Sebagian lain ada yang membolehkan pada hari ke 14 dan 21, ada pula yang membolehkan sebelum hari ke tujuh, bahkan ada yang membolehkan kapan pun dia memiliki kemampuan, walau sudah dewasa.

Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى

“Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377. Hadits ini shahih. Lihat Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr. Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. )

Imam Asy Syaukani mengomentari demikian:

فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ التَّسْمِيَةِ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ وَالرَّدُّ عَلَى مَنْ حَمْلِ التَّسْمِيَةَ فِي حَدِيثِ سَمُرَةَ السَّابِقِ عَلَى التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الذَّبْحِ .
وَفِيهِ أَيْضًا مَشْرُوعِيَّةُ وَضْعِ الْأَذَى وَذَبْحِ الْعَقِيقَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ .

“Dalam hadits ini terdapat pensyariatan penamaan pada hari ketujuh, dan sebagai bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa penamaan itu pada saat penyembelihan, dan disyariatkannya pula menghilangkan gangguan (mencukur rambut), dan menyembelih aqiqah pada hari itu. (Nailul Authar , 5/135. Maktabah Ad Dawah Al Islamiyah)

Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, memberikan syarah (penjelasan) demikian:

فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ وَقْت الْعَقِيقَة سَابِع الْوِلَادَة ، وَأَنَّهَا لَا تُشْرَع قَبْله وَلَا بَعْده وَقِيلَ تَجْزِي فِي السَّابِع الثَّانِي وَالثَّالِث لِمَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ عَبْد اللَّه بْن بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيّ أَنَّهُ قَالَ ” الْعَقِيقَة تُذْبَح لِسَبْع وَلِأَرْبَع عَشْرَة وَلِإِحْدَى وَعِشْرِينَ ” ذَكَرَهُ فِي السُّبُل . وَنَقَلَ التِّرْمِذِيّ عَنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ تُذْبَح الْعَقِيقَة يَوْم السَّابِع فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ فَيَوْم الرَّابِع عَشَر ، فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ عَقَّ عَنْهُ يَوْم إِحْدَى وَعِشْرِينَ .

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa waktu aqiqah adalah hari ke tujuh kelahiran. Sesungguhnya tidak disyariatkan sebelum dan sesudahnya. Ada yang mengatakan: Sudah mencukupi dilakukan pada hari ke 14 dan 21, sebab telah dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: Aqiqah disembelih pada hari ke- 7, 14, dan 21. Hadits ini disebutkan dalam kitab Subulus Salam. Imam At Tirmidzi mengutip dari para ulama bahwa mereka menyukai menyembelih aqiqah pada hari ke 7, jika dia belum siap maka hari ke 14, jika dia belum siap maka di hari ke 21. (Aunul Mabud, 8/28. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Para Imam Ahlus Sunnah pun membolehkan aqiqah dilakukan setelah hari ketujuh kelahiran. Berikut keterangannya:

قال أبو داود في كتاب المسائل سمعت أبا عبد الله يقول العقيقة تذبح يوم السابع وقال صالح بن أحمد قال أبي في العقيقة تذبح يوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين وقال الميموني قلت لأبي عبد الله متى يعق عنه قال أما عائشة فتقول سبعة أيام وأربعة عشرة ولأحد وعشرين وقال أبو طالب قال أحمد تذبح العقيقة لأحد وعشرين يوما انتهى

“Abu Daud mengatakan dalam kitab Al Masail, aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata: Aqiqah disembelih pada hari ke 7. Berkata Shalih bin Ahmad: Ayahku (Imam Ahmad) berkata tentang aqiqah, bahwa disembelih pada hari ke 7, jika belum melaksanakannya maka hari ke 14, dan jika belum melaksanakannya aka hari ke 21. Berkata Al Maimuni: Aku bertanya kepada Abu Abdillah, kapankah dilaksanakannya aqiqah? Dia menjawab: Ada pun Aisyah mengatakan pada hari ke 7, 14, dan 21. Berkata Abu Thalib: Imam Ahmad berkata aqiqah disembelih pada satu hari, hari ke 21. Selesai. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 43. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Imam Ibnul Qayyim juga menceritakan bahwa Imam Hasan Al Bashri mewajibkan aqiqah pada hari ketujuh. Imam Laits bin Saad mengatakan bahwa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh kelahiran, jika belum siap, boleh saja dilakukan pada hari setelahnya, dan bukan kewajiban aqiqah pada hari ketujuh. Sementara Abu Umar (Ibnu Abdil Bar) mengatakan bahwa Imam Laits bin Saad mewajibkan aqiqah hari ketujuh. Semenara Atha lebih menyukai aqiqah dilakukan hari ketujuh dan mengakhirkannya hingga hari ketujuh selanjutnya (hari ke 14). Ini juga pendapat Ahmad, Ishaq, dan Asy Syafii, Malik tidak menambahkan hingga hari ke 14, sementara menurut Ibnu Wahhab tidak mengapa hingga hari ke 21. Ini juga pendapat Aisyah, Atha, Ishaq, dan Ahmad. (Ibid, Hal. 44)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والذبح يكون يوم السابع بعد الولادة إن تيسر، وإلا ففي اليوم الرابع عشر وإلا ففي اليوم الواحد والعشرين من يوم ولادته، فإن لم يتيسر ففي أي يوم من الايام. ففي حديث البيهقي: تذبح لسبع، ولاربع عشر، ولاحدي وعشرين.

“Penyembelihan dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran jika dia lapang, jika tidak maka pada hari ke 14, jika tidak maka hari ke 21 dari hari kelahirannya. Jika masih sulit, maka bisa lakukan di hari apa pun. Dalam Hadits Al Baihaqi: disembelih pada hari ke 7, 14, dan 21. (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al Arabi)

Demikian perselisihan ini, bahkan ada pula yang mengklaim bahwa secara ijma (aklamasi) tidak boleh aqiqah pada hari sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun klaim ini lemah dan bertentangan dengan realita perselisihan yang ada.

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَنَقَلَ صَاحِبُ الْبَحْرِ عَنْ الْإِمَامِ يَحْيَى أَنَّهَا لَا تُجْزِئُ قَبْلَ السَّابِعِ وَلَا بَعْدَهُ إجْمَاعًا وَدَعْوَى الْإِجْمَاعِ مُجَازَفَةٌ مَا عَرَفْت مِنْ الْخِلَافِ الْمَذْكُورِ .

“Pengarang Al Bahr mengutip dari Imam Yahya, bahwa menurut ijma aqiqah tidaklah sah dilakukan sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun, klaim adanya ijma ini hanyalah prasangkaan semata, tidakkah Anda mengetahui perselisihan yang sudah disebutkan. (Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Dawah Al Islamiyah)

Bolehkah Aqiqah setelah Dewasa?

Para ulama berbeda pendapat, antara membolehkan dan tidak. Mereka yang melarang beralasan bahwa hadits tentang bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengaqiqahkan dirinya setelah dewasa adalah dhaif.

Dari Anas bin Malik, katanya:

عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نفسه بعد ما بعث بالنبوة

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah beliau diangkat menjadi nabi.” (HR. Abdurrazaq, No. 7960)

Hadits ini sering dijadikan dalil bolehnya aqiqah ketika sudah dewasa. Shahihkah hadits ini?

Sanad hadits ini dhaif. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar. Para Imam Ahli hadits tidaklah menggunakan hadits darinya.

Yahya bin Main mengatakan, Abdullah bin Muharrar bukanlah apa-apa (tidak dipandang). Amru bin Ali Ash Shairafi mengatakan, dia adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). Ibnu Abi Hatim berkata: Aku bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah bin Muharrar, dia menjawab: matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan dhaiful hadits (haditsnya lemah). Ibnul Mubarak meninggalkan haditsnya.

Abu Zurah mengatakan, dia adalah dhaiful hadits. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Tadil, 5/176. Dar Ihya At Turats)

Sementara Imam Bukhari mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah munkarul hadits. (Imam Bukhari, Adh Dhuafa Ash Shaghir, Hal. 70, No. 195. Darul Marifah)

Muhammad bin Ali Al Warraq mengatakan, ada seorang bertanya kepada Imam Ahmad tentang Abdullah bin Muharrar, beliau menjawab: manusia meninggalkan haditsnya. Utsman bin Said mengatakan: aku mendengar Yahya berkata: Abdullah bin Muharrar bukan orang yang bisa dipercaya. (Al Hafizh Al Uqaili, Adh Dhuafa, 2/310. Darul Kutub Al ilmiyah)

Imam An Nasai mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). (Imam An Nasai, Adh Dhuafa wal Matrukin, Hal. 200, No. 332)

Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Abdullah bin Muharrar adalah diantara hamba-hamba pilihan, sayangnya dia suka berbohong, tidak mengetahui, dan banyak memutarbalik-kan hadits, dan tidak faham. (Imam Az Zailai, Nashb Ar Rayyah, 1/297)

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdullah bin Muharrar adalah seorang yang dhaif jiddan (lemah sekali). (Imam Ibnu Hajar,Talkhish Al Habir, 4/362. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Ada pun ulama yang mendhaifkan hadits ini adalah Al Hafizh Ibnu Hajar, Imam An Nawawi menyebutnya sebagai hadits batil, sedangkan Imam Al Baihaqi menyebutnya hadits munkar. (Ibid)

Oleh karena itu, dengan dasar dhaifnya hadits ini, ulama kalangan Malikiyah dan sebagain Hambaliyah melarang aqiqah ketika sudah dewasa.

Tetapi, banyak pula imam kaum muslimin yang membolehkan. Sebab hadits di atas memiliki beberapa syawahid (saksi penguat), sehingga terangkat menjadi shahih.

Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Jafar Ath Thahawi dalam Kitab Musykilul Atsar No. 883:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu, katanya:

أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما جاءته النبوة

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah datang kepadanya nubuwwah (masa kenabian).

Sanad hadits ini: Berkata kepada kami Al Hasan bin Abdullah bin Manshur Al Baalisi, berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkatakepada kami Abdullah bin Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas: (lalu disebutkan ucapan di atas)

Syaikh Al Albani memberikan komentar tentang riwayat ini:

قلت : و هذا إسناد حسن رجاله ممن احتج بهم البخاري في ” صحيحه ” غير الهيثم ابن جميل ، و هو ثقة حافظ من شيوخ الإمام أحم

Aku berkata: Isnad hadits ini hasan, para perawinya adalah orang-orang yang dijadikan hujah oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, kecuali Al Haitsam bin Jamil, dia adalah terpercaya, seorang haafizh, dan termasuk guru dari Imam Ahmad. (As Silsilah Ash Shahihah, 6/502)

Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani dalam Mujam Al Awsath No. 1006. Sehingga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkan hadits ini dengan status SHAHIH LI GHAIRIHI. (As Silsilah Ash Shahihah No. 2726)

Ulama yang membolehkan adalah Imam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al Bashri, Atha, sebagian Hambaliyah dan Syafiiyah.

Imam Ahmad ditanya tentang bolehkah seseorang mengaqiqahkan dirinya ketika sudah dewasa? Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitabnya sebagai berikut:

وقال أن فعله إنسان لم أكرهه

“Dia (Imam Ahmad) berkata: Aku tidak memakruhkan orang yang melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal 61. Cet. 1. 1983M-1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam Muhammad bin Sirrin berkata:

لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ عَنِّي ، لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي.

Seandainya aku tahu aku belum diaqiqahkan, niscaya akan aku aqiqahkan diriku sendiri. (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 24718)

Imam Al Hasan Al Bashri berkata:

إذا لم يعق عنك ، فعق عن نفسك و إن كنت رجلا

Jika dirimu belum diaqiqahkan, maka aqiqahkan buat dirimu sendiri, jika memang kamu adalah laki-laki. (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 8/322)

Dan, berdasarkan dalil-dalil ini, inilah pendapat yang lebih kuat, Insya Allah.
Kalimat ini berlaku juga u perempuan.

Wallahu a’lam.

Di ceraikan Saat Mengandung

Assalamualaikum langsungng ajah…pak ustadz bagai mana hukum nya suami menceraikan istri dlm ke adaan mengandung?
1.HUKUM NYA
2.SYAH APA TDK
Terimakasih ustadz

Jawaban
———-

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته
Jumhur ulama mengatakan bahwa menceraikan isteri pada saat hamil adalah boleh, bahkan Imam Ahmad menyebutnya cerai yang sejalan dengan sunnah, maksudnya ada dasarnya.

Hal ini berdasarkan hadits shahih berikut:

ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا

“Kemudian, ceraikanlah dia pada waktu suci atau hamil.” (HR. Muslim No. 1471)

Imam An Nawawi memberikan komentar:

فِيهِ دَلَالَة لِجَوَازِ طَلَاق الْحَامِل الَّتِي تَبَيَّنَ حَمْلهَا وَهُوَ مَذْهَب الشَّافِعِيّ ، قَالَ اِبْن الْمُنْذِر وَبِهِ قَالَ أَكْثَر الْعُلَمَاء مِنْهُمْ طَاوُس وَالْحَسَن وَابْن سِيرِينَ وَرَبِيعَة وَحَمَّاد بْن أَبِي سُلَيْمَان وَمَالِك وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَأَبُو ثَوْر وَأَبُو عُبَيْد ، قَالَ اِبْن الْمُنْذِر : وَبِهِ أَقُول . وَبِهِ قَالَ بَعْض الْمَالِكِيَّة

“Di dalamnya terdapat dalil bagi bolehnya mencerai wanita yang jelas kehamilannya, itulah madzhab Asy Syafi’i. berkata Ibnul Mundzir: “Dengan ini pula pendapat mayoritas ulama, di antara mereka adalah Thawus, Al Hasan, Ibnu Sirin, Rabi’ah, Hammad bin Abi Sulaiman, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid.” Berkata Ibnu Mundzir: “Aku juga berpendapat demikian.” Dan dengan ini juga pendapat sebagian Malikiyah.” ​(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 10/65)​

Namun, sebagian Malikiyah lainnya mengharamkannya, dan Ibnul Mundzir meriwayatkan bahwa Al Hasan (Al Bashri) memakruhkan. Demikian keterangan lanjutan dari Imam An Nawawi, dalam kitabnya tersebut. Namun pendapat yang membolehkan adalah lebih sesuai dengan nash syariat. Selesai.

​📌 Konteks Hukum Indonesia​

Di Indonesia, sebagian kalangan menganggap perceraian baru dianggap sah jika disahkan oleh pengadilan. Misalnya, seperti majelis tarjih Muhammadiyah, ini agar meminimalisir angka perceraian. Ada pun MUI menganggap perceraian yang terjadi diluar persidangan mesti dilaporkan ke pengadilan untuk diputuskan sah atau tidaknya.

Namun, secara fiqih, sebagaimana yang sudah kami bahas jika syarat-syarat perceraian sudah terpenuhi, maka itu sah, walau belum disidangkan oleh pengadilan agama.Demikian.

Wallahu a’lam.

logo manis4

Ziarah untuk Doa Minta Hajat

Pertanyaan

Assalamualaikum ustadz/ah.. Gini di desa saya banyak masyarakat yg sering pergi ziarah ke makam syeikh , dg niat untuk keperluan duniawi, kaya biar rezeki nya lancar dll. Kegiatanya disana tahlilan kemudian memanjatkan doa kpd Allah apa yg menjadi hajatnya. Bagaimana tadz hukumnya?
Mohon dijawab. #a38

Jawaban

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr” (QS. Nuh: 23).

Sebagian ulama salaf berkata bahwa mereka ini (Wadd, Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr) adalah orang sholih di masa Nabi Nuh. Ketika mereka meninggal dunia, orang-orang beri’tikaf (berdiam) di kubur mereka. Selanjutnya, dibuatlah patung-patung mereka lalu disembah. Kalau ada yang melakukan ziarah seperti ini ke kubur, maka termasuk ziarah yang tidak ada tuntunan. Ajaran seperti ini termasuk ajaran Nashrani dan orang musyrik. Jika maksud penziarah kubur adalah ingin agar do’anya mustajab di sisi kubur, atau ia berdo’a meminta pada mayit, atau ia beristighatsah pada mayit, ia meminta dan bersumpah atas nama mayit pada Allah dalam menyelesaikan urusan dan kesulitannya, ini semua termasuk amalan yang tidak dituntunkan oleh Nabi saw dan tidak dilakukan oleh para sahabat. Lihat penjelasan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 27: 31.

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَلَا يُسْتَحَبُّ الصَّلَاةُ عِنْدَهُ وَلَا قَصْدُهُ لِلدُّعَاءِ عِنْدَهُ أَوْ بِهِ ؛ لِأَنَّ هَذِهِ الْأُمُورَ كَانَتْ مِنْ أَسْبَابِ الشِّرْكِ وَعِبَادَةِ الْأَوْثَانِ

“Para ulama sepakat tidak dianjurkan shalat di sisi kubur, tidak pula berdo’a di sisi kubur atau berdo’a lewat perantaraan kubur. Karena seluruh hal ini adalah perantara pada syirik dan sebab penyembahan kepada watsn (segala sesuatu yang disembah selain Allah). ” (Majmu’ Al Fatawa, 27: 31).

Hal ini menunjukkan terlarangnya berdo’a di kubur wali, habaib atau orang sholih. Namun yang dibolehkan adalah mendo’akan kebaikan untuk si mayit seperti yang Nabi saw ajarkan ketika kita ziarah kubur dan tetap menghadap kiblat. Do’a yang dimaksud adalah,

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ (وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ) وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ، أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kubur, dari (golongan) orang-orang beriman dan orang-orang Islam, (semoga Allah merahmati orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang datang belakangan). Kami insya Allah akan bergabung bersama kalian, saya meminta keselamatan untuk kami dan kalian.” (HR. Muslim no. 975).

Adapun jika do’anya menjadikan mayit sebagai perantara, ini adalah amalan yang menjadi perantara menuju syirik.

Wallahu a’lam.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Batas Akhir Sholat Isya'


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ustadz, bagaimana batas akhir sholat isya?
Apakah sampai jam 12 malam ataukah sampai sebelum adzan subuh?

Jawaban
———-

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته
Dianjurkan mengakhirkan shalat Isya hingga hampir setengah malam, dan ini menjadi kekhususan bagi Isya saja. Hal ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun tidak selalu dia lakukan khawatir memberatkan umatnya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى ثُمَّ قَالَ قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوا أَمَا إِنَّكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوهَا

Dari Anas bin Malik, dia berkata: ​Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengakhirkan shalat Isya sampai tengah malam, lalu dia shalat, kemudian bersabda: “Manusia telah shalat dan tertidur, ada pun sesungguhnya kalian tetap dinilai dalam keadaan shalat selama kalian masih menunggu waktunya.”​
[1]

Dalam hadits lain:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فَقَالَ إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي

Dari ‘Aisyah, dia berkata: ​Pada suatu malam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammengakhirkan shalat Isya sampai hilang sebagian besar malam, dan sampai para jamaah yang di masjid tertidur, lalu Beliau keluar lalu shalat, lalu bersabda: “Sesungguhnya inilah waktu shalat Isya, seandainya tidak memberatkan umatku.”​ [2]

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
berkata:

وكلها تدل على استحباب التأخير وأفضليته، وأن النبي صلى الله عليه وسلم ترك المواظبة عليه لما فيه من المشقة على المصلين، وقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يلاحظ أحوال المؤتمين، فأحيانا يعجل وأحيانا يؤخر.

​Semua hadits ini menunjukkan sunah dan keutamaan mengakhirkan shalat isya. Walau pun demikian nabi tidak melakukannya terus menerus, khawatir memberatkan umatnya. NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu memperhatikan kondisi kaum mu’minin, maka kadangkala dia menyegerakan, kadangkala dia mengakhirkan.”​ [3]

Imam An Nawawi Rahimahullah
berkata:

وَقَوْله فِي رِوَايَة عَائِشَة : ( ذَهَبَ عَامَّة اللَّيْل ) أَيْ كَثِير مِنْهُ ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَكْثَره ، وَلَا بُدّ مِنْ هَذَا التَّأْوِيل لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّهُ لَوَقْتُهَا ، وَلَا يَجُوز أَنْ يَكُون الْمُرَاد بِهَذَا الْقَوْل مَا بَعْد نِصْف اللَّيْل ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَقُلْ أَحَد مِنْ الْعُلَمَاء : إِنَّ تَأْخِيرهَا إِلَى مَا بَعْد نِصْف اللَّيْل أَفْضَل . قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقّ عَلَى أُمَّتِي ) مَعْنَاهُ : إِنَّهُ لَوَقْتُهَا الْمُخْتَار أَوْ الْأَفْضَل فَفِيهِ تَفْضِيل تَأْخِيرهَا ، وَأَنَّ الْغَالِب كَانَ تَقْدِيمهَا ، وَإِنَّمَا قَدَّمَهَا لِلْمَشَقَّةِ فِي تَأْخِيرهَا

Hadits riwayat ‘Aisyah ini: (hilang sebagian besar malam) yaitu kebanyakan dari waktu malam, namun bukan berarti sebagian besarnya, dan harus mengartikannya demikian karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya inilah waktu shalat Isya.” ​​Tidak boleh mengartikan ucapan beliau bahwa waktu yang dimaksud adalah setelah tengah malam, dan tidak ada satu pun ulama yang mengatakan demikian; yakni mengakhirkan shalat Isya setelah tengah malam adalah lebih utama​.​

Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: (“Sesungguhnya inilah waktu shalat Isya, seandainya tidak memberatkan umatku.”) maknanya adalah bahwa itu adalah waktu yang diunggulkan atau paling utama, maka di dalamnya ada keutamaan mengakhirkannya. Sesungguhnya kebiasaannya adalah menyegerakannya, hal itu hanyalah karena adanya kesulitan dalam mengakhirkannya.” [4]

​Jadi, batasan akhirnya adalah tidak melewati tengah malam.​ Kecuali bagi yang tertidur dan baru bangun setelahnya, ini pengecualian.

Hanya saja di zaman ini, jika kita mengambil sunnah ta’khir isya, maka kita akan kehilangan sunnah lain yaitu berjamaah di masjid. Sebab, jam-jam seperti itu biasanya sudah tidak ada orang di masjid, atau masjid sudah ditutup, kecuali Masjidul Haram dan Masjid Nabawi, yang biasanya manusia ramai 24 jam. Padahal shalat Isya berjamaah bersama manusia di masjid, dinilai seperti shalat setengah malam.

Dari ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu, “ Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

من صلى العشاء في جماعة فكأنما قام نصف الليل ومن صلى الصبح في جم

اعة فكأنما صلى الليل كله

Barang siapa yang shalat Isya berjamaah maka seolah dia shalat setengah malam, dan barang siapa yang shalat subuh berjamaah maka seolah dia shalat sepanjang malam. [5]

🌿🌿🌿🌿

[1] HR. Bukhari, Kitab Mawaqit Ash Shalah Bab Waqtul ‘Isya Ila Nishfil lail, No hadits. 538
[2] HR. Muslim, Al Masajid wa Mawadhi’ ash Shalah Bab Waqtul ‘Isya wa Ta’khiruha, no. 345
[3] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1 Hal. 103
[4] Imam An Nawawi, Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim, No.1009
[5] HR. Muslim No. 656, Bab Fadhl Shalah Al ‘Isya wa Ash Shubh fi Jamaa’ah

Wallahu a’lam.

Suamiku Puber Kedua?

Assalaamu’alaikum ustadz/ah mau bertanya lagi apakah ada ujian di umur 40 tahun? Sebelum nya seseorang itu bisa di katakan sholeh, baik, tetapi setelah usia 40 tahun mulai menunjukkan keburukan akhlak dalam berumah tangga seperti selingkuh atau berzina? Mohon jawaban nya

Jawaban
———-

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته
Pada dasarnya setiap orang beriman pasti akan diuji Allah untuk melihat kadar keimanannya.

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman” dan mereka tiak diuji? (Surat Al-Ankabut 2)

Oleh karena itu ujian pasti akan dihadapi oleh semua orang beriman.

Menurut pendapat para pakar, puber kedua pasti akan dialami oleh seluruh pria. Dalam buku Menyikapi Tingkah Laku Suami karya Muhammad Abdul Ghoffar, disebutkan bahwa puber kedua pria terjadi pada usia 35 – 45 tahun. Sedangkan menurut banyak referensi lain, puber kedua pria terjadi pada usia kisaran 40 tahun. Hampir sama. Dan ini mengingatkan kita pada firman Allah yang secara khusus memberi perhatian pada usia 40 tahun sebagai usia dewasa.

حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

…sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai 40 tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmatMu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat mengerjakan amal yang shalih yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepadaMu dan sesungguhnya aku termasuk orang yang berserah diri” (QS. Al Ahqaf: 15)

Lalu bagaimana sikap seorang istri menghadapi suaminya yang demikian?

Untuk istri, sebaiknya melakukan komunikasi yang intens dengan suaminya yang sedang memasuki tahap puber kedua tersebut. Jika diperlukan, buatlah komitmen kesepakatan untuk tidak melakukan hal-hal tertentu.

Jika memang ternyata suami sudah terlanjur bertindak melenceng terlalu jauh, ada baiknya pasangan tersebut pergi mencari pertolongan profesional, baik melalui psikolog, ustadz, terapis, keluarga, maupun mediator lain.

Ada cara lain yang dapat ditempuh, yaitu dengan mengarahkan suami melampiaskan ke arah positif seperti olahraga, atau hal lain yang lebih produktif. Bisa juga dengan ikut kursus keterampilan atau menggali peluang berbisnis.

Pada dasarnya saat memasuki masa puber, seseorang ingin dikenal dan diakui. Sebab, ini adalah masa-masa produktif. Nah, daripada diakui untuk hal-hal yang negatif, kenapa tidak melakukan sesuatu yang lebih produktif dan membawa dampak positif?

Wallahu a’lam.

Segala Sesuatu di Dunia Tidak Ada yang Kebetulan


Assalamualaikum…Ustadz Ustadzah, tolong dijelaskan tentang segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kebetulan.

Jawaban
———-

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته
Secara global apa yang terjadi di dunia ini sudah Allah Ta’ala tentukan. Hal ini bisa bisa kita pahami melalui dalil-dalil berikut.

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan :

Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara :

​📗 menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya.​

Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga. ​(HR. Bukhari dan Muslim)​

Menurut hadits ini, ajal, rezeki, perbuatan, susah, senang. Sudah ada yang menentukan yaitu Allah Ta’ala. Bukan hanya ini tentunya tapi peristiwa peristiwa yg dialami manusia juga demikian.

Tapi, Allah Ta’ala juga menciptakan KEHENDAK kepada manusia. Yg dengan kehendak itu manusia punya kekuatan untuk berikhtiar (memilih).

Maka, disebutkan dalam Al Qur’an:

إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada sebuah kaum sampai kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka. (QS. Ar Ra’du: 11)

Dengan demikian, apa yang terjadi di dunia. Ada dua macam;

1. Taqdim mubram, yaitu ketetapan yg tidak bs diubah.

Seperti misal: kematian, jenis kelamin, dan datangnya kiamat.

2. Taqdim mualaq, yaitu takdir yg terwujud bisa dinego oleh usaha manusia juga.

Seperti: bagaimana matinya kita bisa berupaya dan berdoa Husnul khatimah, Rezeki walau udah ada jatahnya tapi manusia yg berusaha meraih jatahnya, prestasi belajar. Dst

Inilah Ahlus Sunnah wal jamaah.

Bukan jabbariyah, yg menolak kehendak manusia. Bagi mereka hanya Allah saja.

Bukan qadariyah, yg menolak kehendak Allah. Bagi mereka hanya manusia saja.

Sedangkan Ahlus Sunnah wal jamaah mengakui bahwa secara umum semuanya sudah Allah tentukan tapi Allah berkehendak agar manusia menggunakan kehendaknya sendiri yg mana kehendak itu merupakan bagian dari ciptaanNya atas makhluknya.

Wallahu a’lam.

Shalat Di Antara Tiang-Tiang


اَلسَّــلاَمُ عَـلَـيْـكُمْ وَرَحْـمَـةُ اللَّهِ وَبَـرَكَاتُـهُ
Ustad, bagaimana hukum nya apabila di dlm masjid ada tiang2 penyanggan yg besar, apakah syaf sholat syah apabila ada tiang?
Mohon pencerahannya

Jawaban
———-

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته
Bismillah wal Hamdulillah ..

Telah datang larangan mmbuat shaf jamaah di antara dua tiang.

Dari Muawiyah bin Qurrah, dari ayahnya, sia berkata:

كُنَّا نُنْهَى أَنْ نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُطْرَدُ عَنْهَا طَرْدًا

Dulu pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kami dilarang membuat shaf di antara dua tiang, dan kami benar-benar menjauhinya. (HR. Ibnu Majah No. 1002, shahih)

Abdul Hamid bin Mahmud berkata:

صَلَّيْنَا خَلْفَ أَمِيرٍ مِنْ الْأُمَرَاءِ ، فَاضْطَرَّنَا النَّاسُ فَصَلَّيْنَا بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ ، فَلَمَّا صَلَّيْنَا قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ : (كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) 

Kami shalat dibelakang gubernur, orang-orang mendesak kami sampai kami shalat di antara dua tiang. Ketika kami selesai shalat, Anas bin Malik berkata:

“Dulu kami menghindari ini (dua tiang) pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. At Tirmidzi No. 229, shahih)

Sehingga, para ulama memakruhkan membuat shaf berjamaah di antara tiang-tiang sebab itu memutuskan shaf.

Imam Ibnu Muflih Rahimahullah berkata:

وَيُكْرَهُ لِلْمَأْمُومِ الْوُقُوفُ بَيْنَ السَّوَارِي , قَالَ أَحْمَدُ : لِأَنَّهَا تَقْطَعُ الصَّفّ

Dimakruhkan bagi makmum diberdiri (shalat) di antara tiang. Ahmad berkata: karena itu memutuskan shaf. (Al Furu, 2/39)

Demikianlah dasarnya. Tapi, jika ada hajat seperti masjid yang sempit atau jamaah yang membludak, sehingga mau tidak mau mereka berada di antara tiang, maka itu tidak apa-apa.

Para ulama di Al Lajnah Ad Daimah berkata:

يكره الوقوف بين السواري إذا قطعن الصفوف ، إلا في حالة ضيق المسجد وكثرة المصلين

Dimakruhkan berdiri (shalat) di antara tiang sebab itu memutuskan shaf, kecuali dalam keadaan sempitnya masjid dan banyaknya jamaah shalat. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 5/295)

Syaikh Utsaimin Rahimahullah berkata:

الصف بين السواري جائز إذا ضاق المسجد ، حكاه بعض العلماء إجماعاً ، وأما عند السعة ففيه خلاف ، والصحيح : أنه منهي عنه ؛ لأنه يؤدي إلى انقطاع الصف

Shaf di antara tiang adalah boleh jika masjidnya sempit, diceritakan sebagian ulama adanya ijma’ atas hal itu. Ada pun pada masjid luas maka ada perselisihan di dalamnya. ​Yang benar adalah itu terlarang karena itu dapat memutuskan shaf.​ (Selesai)

Wallahu a’lam.

Laki-Laki .. Yuk ke Masjid!

Assalamu’alaikum, ustadz/ustadzah …..Ustadz mana yg lbh afdhol utk seorang laki2/suami, apakah dia sholat berjama’ah di masjid ataukah dia menjadi imam sholat berjama’ah bersama istri dan anaknya di rmh….?.terima kasih sebelumnya

Jawaban
———-

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته
Bismillah wal Hamdulillah ..

Diantara kesalahpahaman adalah menemani istri dan anak berjamaah di rumah, lalu dia meninggalkan jamaah di masjid, tanpa udzur. Tidak begitu. Dia mesti ke masjid dan ajak anak laki-lakinya untuk terbiasa ke masjid.

Setelah itu dia bisa menemani istrinya atau anak wanitanya shalat berjamaah di rumah, istilahnya shalat sedekah, dan itulah yang dicontohkan oleh salaf.

Ada ulama kita yang membid’ahkan shalat berjmaah di rumah jika tanpa ‘udzur, Imam Ibnu Hummam menuliskan:

وَسُئِلَ الْحَلْوَانِيُّ عَمَّنْ يَجْمَعُ بِأَهْلِهِ أَحْيَانًا هَلْ يَنَالُ ثَوَابَ الْجَمَاعَةِ ؟ فَقَالَ : لَا ، وَيَكُونُ بِدْعَةً وَمَكْرُوهًا بِلَا عُذْرٍ

“Al Halwani ditanya tentang orang yang kadang-kadang berjamaah dengan keluarganya (di rumah), apakah dia mendapatkan pahala shalat berjamaah?, Dia menjawab: Tidak, itu adalah bid’ah dan makruh, jika tanpa ‘udzur.” (Fathul Qadir, 2/196)

Namun syariat Islam membolehkan bagi seseorang yang sudah selesai melaksanakan shalat wajib, kemudian dia menemani orang lain untuk shalat wajib (karena orang tersebut tidak ada teman), sedangkan bagi dia shalatnya itu dihitung sebagai shalat sunah. Inilah yang bisa dilakukan oleh suami tersebut.

Dalilnya adalah sebagai berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ كَانَ يُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ فَيُصَلِّي بِهِمْ تِلْكَ الصَّلَاةَ

Dari Jabir bin Abdillah, bahwa Mu’adz bin Jabal pernah shalat Isya terlambat bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian dia kembali menuju kaumnya dan ikut shalat bersama kaumnya.

Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya orang yang sudah selesai shalat wajib, lalu dia ikut menemani shalat wajib orang lain, dan baginya dinilai sunah sedangkan orang lain itu adalah wajib. Inilah pandangan yang dikuatkan oleh para Imam seperti Imam Ibnul Mundzir dari Atha’, Al Auza’i, Imam Ahmad, Abu Tsaur, dan Sulaiman bin Harb serta Imam An Nawawi dari madzhab Syafi’i, semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semua.

Jadi, silahkan menemani shalat-nya isteri agar istri bisa mendapatkan pahala berjamaah bersama Anda, walau anda sudah melaksanakan shalat wajib di mesjid. Bagi suami itu dinilai shalat sunah dan bagi isteri adalah wajib.

Wallahu a’lam.