Sedekah Utama Memberi Air

HUKUM JUAL BELI AIR (bag-2)

Pemateri: Ust. DR. RIKZA MAULAN Lc. MAg.

2. Hukum Membeli Lahan Yang Terdapat Sumber Air

Membeli lahan, atau tanah yang di dalamnya terdapat sumber air, adalah boleh.

Dan pemiliknya boleh memanfaatkan air tersebut untuk keperluannya dan anggota keluarganya.

Hal ini sebagaimana terdapat riwayat tentang kisahnya Abu Thalhah yang memiliki tanah di dekat Masjid Nabawi yang memiliki sumber mata air, di mana Nabi SAW sering minum dari mata air tersebut :

عَنْ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أَكْثَرَ الْأَنْصَارِ بِالْمَدِينَةِ مَالًا وَكَانَ أَحَبَّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرُحَاءَ وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ فَلَمَّا نَزَلَتْ { لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ } قَامَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ { لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ } وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ بَيْرُحَاءَ وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بِرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللَّهِ فَضَعْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ حَيْثُ شِئْتَ فَقَالَ بَخٍ ذَلِكَ مَالٌ رَائِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَائِحٌ قَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ فِيهَا وَأَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِينَ قَالَ أَفْعَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَسَمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ (رواه البخاري(

Dari Anas bin Malik ra berkata; Abu Thalhah adalah orang yang paling banyak hartanya dari kalangan Anshar di kota Madinah berupa kebun pohon kurma dan harta benda yang paling dicintainya adalah Bairuha’ (sumur yang ada di kebun itu) yang menghadap ke masjid dan Rasulullah SAW sering mamemasuki kebun itu dan meminum airnya yang baik tersebut.

Berkata, Anas; Ketika turun firman Allah Ta’ala (QS Alu ‘Imran: 92 yang artinya):

“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai”,

Abu Thalhah mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata;

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai”,

dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairuha’ itu dan aku menshadaqahkannya di jalan Allah dengan berharap kebaikan dan simpanan pahala di sisiNya, maka ambillah wahai Rasulullah sebagaimana petunjuk Allah kepadanu”.

Maka Rasulullah SAW bersabda:
“Wah, inilah harta yang menguntungkan, inilah harta yang menguntungkan.

Sungguh aku sudah mendengar apa yang kamu niyatkan dan aku berpendapat sebaiknya kamu shadaqahkan buat kerabatmu”.

Maka Abu Thalhah berkata,: “Aku akan laksanakan wahai Rasululloloh. Maka Abu Thalhah membagi untuk kerabatnya dan anak-anak pamannya”. (HR. Bukhari)

Namun larangan dalam hadits di atas lebih dimaksudkan pada memonopoli sumber air, untuk kemudian mengenakan “tarif” bagi orang-orang yang akan mengambil air di sumber air tersebut.

Hal tersebut pernah dilakukan oleh orang Yahudi, yang memiliki sumur di masa Usman bin Affan.

Pada saat paceklik dan manusia tidak memiliki air, Yahudi tersebut tidak mengizinkan orang-orang mengambil air dari sumur tersebut, kecuali apabila mereka membayarnya.

Kemudian Usman bin Affan membelinya dan menyedekahkannya kepada seluruh kaum muslimin.

3. Larangan menjual kelebihan air apakah khusus air minum atau air untuk kebutuhan lainnya?

Imam Qurtubi berpendapat bahwa larangan tersebut secara dzahirnya dikhususkan bagi air yang dijadikan sumber air minum.

Karena air minum merupakan kebutuhan pokok bagi manusia, yang manusia tidak dapat hidup tanpanya.

Namun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud adalah air secara umum, tidak hanya khusus untuk air mium, yang berada di tempat sumber air dan menjadi kebutuhan manusia.

Pendapat kedua ini dikuatkan dengan hadits lainnya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يُمْنَعُ فَضْلُ الْمَاءِ لِيُمْنَعَ بِهِ الْكَلَأُ (رواه البخاري(

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: ” Jangan kelebihan air ditahan, dengan maksud untuk menahan tumbuhnya tanaman. (HR. Bukhari)

Bahkan dalam hadits lainnya disebutkan

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ  لاَ يُمْنَعُ فَضْلُ الْمَاءِ لِيُمْنَعَ بِهِ الْكَلأُ (رواه البخاري(

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ” Jangan kelebihan air ditahan, dengan maksud untuk menahan tumbuhnya tanaman.”  (HR. Bukhari)

Jadi secara dzhahirnya hadits ini menggambarkan bahwa larangan menjual air termasuk untuk memenuhi kebutuhan ternak dan bahkan pengairan tumbuhan.

Larangan menjual kelebihan air ini dikuatkan oleh Hadits Nabi SAW lainnya, diantaranya :

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ، رَجُلٌ كَانَ لَهُ فَضْلُ مَاءٍ بِالطَّرِيقِ فَمَنَعَهُ مِنْ ابْنِ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِدُنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا سَخِطَ وَرَجُلٌ أَقَامَ سِلْعَتَهُ بَعْدَ الْعَصْرِ فَقَالَ وَاللَّهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ لَقَدْ أَعْطَيْتُ بِهَا كَذَا وَكَذَا فَصَدَّقَهُ رَجُلٌ، ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ اْلآيَةَ (إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلا(

Dari Abu Hurairah ra, bahwa  Rasulullah SAW bersabda:

“Ada tiga jenis orang yang Allah Ta’ala tidak akan melihat mereka pada hari qiyamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka disediakan siksa yang pedih, yaitu:

✻Seorang yang memiliki kelebihan air di jalan lalu dia tidak memberikannya kepada musafir,
✻Seorang yang membai’at imam dan dia tidak membai’atnya kecuali karena kepentingan-kepentingan duniawi, kalau dia diberikan dunia dia ridho kepadanya dan bila tidak dia marah, dan
✻Seorang yang menjual dagangannya setelah ‘Ashar lalu dia bersumpah; demi Allah Dzat yang tidak ada Ilah selain Dia sungguh aku telah memberikan (shadaqah) ini dan itu lalu sumpahnya itu dibenarkan oleh seseorang”.

Kemudian Beliau membaca ayat ini: artinya (“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit…”) (HR. Bukhari

4. Menjual air yang sudah di kemas, atau sudah diangkut?

Adapun air yang sudah ada “usaha” dari pemiliknya, seperti air yang sudah dikemas dalam botol, atau sudah diisikan ke dalam galon, atau diangkut dengan menggunakan gerobak lalu diantar ke rumah-rumah, maka hukumnya adalah boleh untuk diperjualbelikan.

Karena sudah ada “usaha” dari pemiliknya dalam memprosesnya dan atau mengantarkannya ke rumah-rumah penduduk.

Adapaun jika ia menjual air untuk kemudian orang-orang mengambil sendiri di dalam sumur, di sungai atau di danau, maka hukumnya tidak boleh.

Menjual air inipun ada syaratnya terkait dengan sumber mata airnya.

Yaitu di sumber mata air tersebut, pemiliknya tidak boleh melarang orang-orang mengambil dari sumber tersebut apabila akan digunakan untuk keperluan sehari-hari.

والله تعالى أعلى وأعلم بالصواب
والحمد لله رب العالمين


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

..

Sedekah Utama Memberi Air

HUKUM JUAL BELI AIR (bag-1)

Pemateri: Ust. DR. RIKZA MAULAN Lc. MAg.

Dalam Hadits Rasulullah SAW bersabda :

 عَنْ إيَاسِ بْنِ عَبْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، ﴿ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ فَضْلِ الْمَاءِ﴾ رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلاَّ ابْنَ مَاجَهْ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ

Dari Iyas bin Abdin ra,

“Bahwa Nabi SAW melarang jual beli kelebihan air”

(HR. Khamsah, kecuali Ibnu Majah. Dan hadits ini di shahihkan oleh Imam Turmudzi.)

Hadits di atas diriwayatkan oleh Khamsah, kecuali Ibnu Majah, artinya hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Turmudzi, Abu Daud dan Nasa’i.

Namun bersamaan dengan riwayat tersebut, Imam Muslim dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits serupa (syahid) dengan sanad berbeda, yaitu dari Jabir bin Abdillah, bukan dari jalur Iyas bin Abdin Al-Muzani.

Hadits Lainnya

وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلُهُ .(رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ) حَدِيثُ إيَاسٍ قَالَ الْقُشَيْرِيِّ هُوَ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَحَدِيثُ جَابِرٍ هُوَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ وَلَفْظُهُ لَفْظُ حَدِيثِ إيَاسٍ وَكَذَا أَخْرَجَهُ النَّسَائِيّ

Dan dari Jabir ra, dari Nabi SAW (sebagaimana hadits sebelumnya). HR. Ahmad dan Ibnu Majah.

Adapun tentang hadits Iyas, Imam Qusyairi mengatakan bahwa hadits tersebut sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.

Sedangkan hadits Jabir ra merupakan hadtis shahih Muslim, sementara
lafadznya adalah lafadz hadits Iyas. Demikian juga diriwayatkan oleh Imam Nasa’i.

❋TAKHRIJ HADITS

Dari Jalur Iyas bin Abdin :
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, hadits no 14897.

Diriwayatkan juga oleh Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Bai’ Fadhli Maa’, hadits no 3017.

Diriwayatkan juga oleh Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Al-Buyu’ an Rasulillah, Bab Ma Jaa’a fi Bai’ Fadhli Maa’, hadits no 1192

Diriwayatkan juga oleh Imam Nasa’i, Kitab Al-Buyu’, Bab Bai’ Fadhlil Maa’, hadits no 4583 dan 4584.

Dari Jalur Jabir bin Abdillah ra : Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim, dalam Shahihnya, Kitab Al-Musaqah, Bab Tahrim Bai’ Fadhli Maa’ Alladzi Yakunu bil Falati, hadits no 2925.

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Sunannya, namun bukan dari Iyas bin Abdin, melainkan dari Jabir ra, dalam Kitab Al-Ahkam, Bab An-Nahyi an Bai’ Maa’, hadits no 2468.

Demikian juga Imam Ahmad meriwayatkan hadtis ini dari jalur Jabir bukan Iyas, dalam Musnadnya, hadits no 14117.

❋SYARAH HADITS

1. Hukum Jual Beli Air

Imam Syaukani mengemukakan,
bahwa hadits di atas menggambarkan tentang “HARAM-nya” menjual kelebihan air, yaitu kelebihan air dari kebutuhan si pemiliknya.

Kelebihan air yang tidak boleh diperjual belikan itu mencakup air yang berada di wilayah (tanah) umum, maupun di tanah yang dimiliki atau dikuasai baik oleh perorangan maupun kolektif.

⇛PENJELASAN :

Ulama sepakat, tentang haramnya hukum memperjual belikan air yang terdapat dalam sumbernya, seperti yang berada di sungai, telaga, danau bahkan yang terdapat di dalam sumur.

Kendatipun berada di bawah penguasaan pemiliknya.

Disebut sebagai kelebihan air, maksudnya adalah bahwa pemiliknya lebih berhak terhadap air yang terdapat dalam sumber air tersebut, namun ketika ia telah memenuhi kebutuhannya dan dapat dimanfaatkan oleh orang lain yang membutuhkannya, maka ia tidak boleh menjualnya kepada mereka.

Air tersebut boleh dimanfaatkan oleh orang banyak tanpa kompensasi seperti dalam jual beli (iwadh).

Dan jika pemiliknya menjual air tersebut kepada orang yang mengambilnya, maka hukumnya haram dan pelakunya berdosa.

Insya Allah bersambung ke bag-2


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Makanlah yang Halal

Mengenal Jual Beli Urbun, Dan Hukum Praktek Jual Beli Urbun

📝 Pemateri: Rikza Maulan, Lc., M.Ag

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّهُ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ (رواه أحمد والنسائي وأبو داود, وهو لمالك في الموطأ

(Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata bahwa Nabi SAW melarang jual beli Urban.’ (HR. Ahmad, Nasa’i, Abu Daud dan Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Malik dalam Al-Muwatha’)

🍂Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh :
🔹Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Al-Urban, hadits no 3039.
🔹Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, Kitab At-Tijarat, Bab Bai’ al-Urban, hadits no 2183.
🔹Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, Dalam Musnad Abdullah bin Amru bin Ash, Hadits no 6436.

🍂 Makna Urbun

Secara bahasa, urbun atau urban dalam bahasa Arab berarti meminjamkan dan memajukan. Dalam hal ini, terdapat beberapa bacaan yaitu ; urbun, arabun dan urban.Kata urban atau urbun ini pada dasarnya adalah bahasa non Arab yang sudah mengalami Arabisasi dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Arab.

Adapun yang dimaksud dengan jual beli urbun adalah seseorang membeli sebuah barang lalu ia membayar satu dirham atau sebagian kecil dari harga barang kepada penjual, dengan syarat jika jual beli dilanjutkan maka satu dirham yang telah dibayarkan akan terhitung sebagai bagian dari harga. Namun apabila tidak jadi, maka satu dirham yang telah dibayar akan menjadi pemberian (hibah) bagi penjual.

🔹Imam Syaukani mengemukakan,

أن يشتري الرجل العبد، أو يتكارى الدابة، ثم يقول : أعطيك دينارا على أني إن تركت السلعة أو الكراء فما أعطيتك لك

bahwa Urban adalah seperti seseorang ingin membeli sesuatu, atau ingin menyewa kendaraan, kemudian ia berkata kepada penjual, ‘aku beri kamu satu dinar (untuk tanda jadi atau uang muka barang yang akan dibeli atau disewa), jika aku meninggalkan barang tersebut (tidak jadi membeli), maka apa yang telah aku berikan kepadamu, menjadi milikmu.’

Dalam gambaran lain :

المراد أنه إذا لم يختر السلعة أو اكترى الدابة كان الدينار أو نحوه للمالك بغير شيء، وإن اختارهما أعطاء بقية القيمة أو الكراء

Yang dimaksud adalah, apabila tidak jadi membeli barang atau tidak jadi menyewa kendaraan, maka uang dinar atau uang lainnya akan menjadi milik si penjual tanpa (konpensasi) apapaun. Adapun apabila ia jadi membeli barang atau jadi menyewa kendaraan, maka ia akan membayar sisa harga barang tersebut.

🍁Jual beli urbun memiliki karakteristik sebagai berikut :

🔹Jual beli terhadap suatu objek barang tertentu dimana pembeli melakukan pembayaran uang muka sebagai tanda jadi kepada penjual, dengan harga tertentu.

🔹Objek barang barang tersebut masih dalam genggaman penjual.

🔹Jika pembeli jadi dan ingin meneruskan transaksi jual beli, maka pembeli akan membayarkannya secara tunai. Uang muka tanda jadi pembayaran, akan masuk ke dalam harga yang akan dibayarkan. Namun jika pembeli tidak jadi meneruskan transaksi, maka uang muka yang telah dibayarkan akan menjadi milik si penjual, tanpa ada konpensasi apapun.

🔹Umumnya jangka waktu penentuan jadi tidaknya transaksi relatif tidak jelas.

🔹Pembeli memiliki hak khiyar (meneruskan atau membatalkan transaksi), namun penjual tidak memiliki hak khiyar. Sehingga di satu sisi, urbun menguntungkan pembeli dan kecenderungannya merugikan penjual.

🍂 Hukum Jual Beli Urbun

Para ulama memberikan pendapat, terkait dengan hukum jual beli urbun, yaitu sebagai berikut

🍁Ulama madzhab Hambali berpendapat : jual beli urbun hukumnya boleh, namun  harus ditentukan batas waktu khiyar (pilihan apakah jual beli jadi atau tidak jadi) bagi pembeli. Karena jika tidak ditentukan, maka tidak ada kepastian sampai kapan penjual harus menunggu.

🍁Sedangkan Ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwa bahwa jual beli urbun hukumnya fasid (rusak), namun akad transaksi jual belinya tidak batal.

🍁Jumhur ulama berpendapat, bahwa jual beli urbun adalah jual beli yang dilarang dan tidak sah, berdasarkan larangan Nabi SAW atas jual beli ini, dan juga karena urbun mengandung unsur gharar, spekulasi, dan temasuk memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.

Termasuk yang mengemukakan pendapat seperti ini adalah Imam Syaukani dalam Nailul Authar nya.

Ulama mengemukakan bahwa diantara illat (sebab) dilarangnya jual beli urbun adalah sebagai berikut:

🔹Adanya unsur gharar, yaitu umumnya terjadi pada dua hal yaitu,

KETIDAKJELASAN, apakah pembeli jadi membeli barangnya atau tidak
Ketidakjelasan, dalam jangka waktu kepastian, jadi atau tidaknya pembeli akan membeli atau membatalkannya.

Adanya unsur maisir (SPEKUKASI), yaitu oleh karena adanya unsur gharar atau ketidakjelasan dari pembeli, maka dengan sendirinya muncul maisir (spekulasi) sehingga ia tidak menjualnya kepada orang lain. Padahal calon pembeli belum tentu membeli.

Mengambil harta orang lain tanpa imbalan (batil), yaitu dalam hal ketika pembeli tidak jadi membeli, maka uang muka yang memang sejak awal dimaksudkan sebagai alat bayar, akan berpindah kepemlikannya menjadi milik si penjual tanpa ada konpensasi apapun buat si pembeli.

🍂Kebutuhan adanya jual beli urbun

Oleh karena transaksi uang muka sudah menjadi tradisi dan sebagai unsur komitmen dalam hubungan bisnis serta menjadi hajat (kebutuhan mendesak) dalam setiap transaksi yang terjadi, khususnya di masa-masa sekarang ini,  maka ulama kontemporer memberikan padangan sebagai berikut :

💡Prof Dr Wahbah Zuhayli dalam Al-Fiqh Al-ismali wa Adillatuhu (Jilid 3/ hal 120), bahwa jual beli sistem urbun adalah sah dan halal dilakukan berdasarkan urf (tradisi yang berkembang). Karena hadits-hadits yang diriwayatkan dalam kasus jual beli ini, tidak ada satupun yang shahih.

🍁 Kesimpulan

Bahwa larangan praktik jual beli urbun, terdapat dalam nash hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Ibnu Majah dan Imam Malik dalam Muwatho’nya.

Namun menurut para ulama, hadits yang melarang jual beli urbun merupakan hadits dha’if yaitu munqathi’, dimana terdapat perawi yang terputus atau tidak disebutkan. Dan hadits dha’if tidak bisa dijadikan sandaran satu amalan.

Kendatipun perawi terputus tesebut disebutkan dalam riwayat lainnya, namun ternyata perawi tesebut didhaifkan oleh para ulama hadits :

🔹Ada yang mengatakan bahwa perawi yang tidak sebutkan adalah Ibnu Luhay’ah, sedangkan ia adalah dhaif.

🔹Ada yang mengatakan bahwa perawi yang tidak disebutkan adalah Abdullah bin Amir Al-Aslami, sementara ia merupakan perawi yang tidak dapat dijadikan hujjah.

🔹Ada yang menyebutkan pula bahwa dalam sanadnya terdapat  Al-Haitsam bin Al-Yaman, dan beliau didha’ifkan oleh ulama hadits.

Adanya kebutuhan mendesak (hajjah) untuk melakukan transaksi dengan uang muka (urbun) dan sudah menjadi urf (kebiasaan), khususnya di zaman sekarang ini sebagai tanda atau bentuk komitmen dalam melakukan perjanjian bisnis, yang apabila tidak dilakukan sangat memungkin menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang bertransaksi dan tentunya akan menyulitkan kebanyakan orang.

Bahwa Illat larangan dalam suatu hukum muamalah, apabila ia bisa dihilangkan maka akan menjadikannya mubah (boleh) untuk dilakukan.

Oleh karenanya apabila illat yang terdapat dalam jual beli urbun dihilangkan, maka jual beli urbun bisa diperbolehkan.

Artinya, bahwa jual beli urbun diperbolehkan namun dengan syarat-syarat tertentu, yaitu :

🔹Objek barang harus jelas dan merupakan barang yang dapat ditransaksikan menurut syariah.

🔹Jangka waktu yang diberikan untuk menentukan sikap, jadi atau tidak jadinya membeli suatu barang harus diberikan batasan secara jelas, agar terhindar dari gharar.
Misalnya jangka watu 1 hari, 2 hari, atau 3 hari, yang disepakati oleh kedua belah pihak yang berakad.

🔹Uang muka sebagai tanda jadi atau tanda komitmen harus berdasarkan kesepakatan, yang jumlahnya merupakan perkiraan kerugian riil penjual, apabila nantinya pembeli tidak jadi membeli.
uang muka yang akan menjadi milik penjual, ketika pembeli tidak jadi membeli barangnya merupakan uang ganti rugi (ta’widh), atas kerugian riil penjual.

🔹Dan ketika apabila dihitung masih ada sisanya, maka sisanya harus dikembalikan kepada calon pembeli.

Wallahu A’lam bis Shawab

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Jaman Riba Tersebar

Bahaya Riba dan Seluk Beluknya

📝 Pemateri: Ust. Rikza Maulan, Lc., M Ag.

Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)

💡Sekilas Tentang Hadits

Hadits ini merupakan hadits yang disepakati kesahihannya oleh para ulama hadits. Diriwayatkan oleh banyak Imam hadits, diantaranya :

Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Musaqat, Bab La’ni Aakilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2995.

Imam Ahmad bin Hambal ra, dalam Musnadnya, dalam Baqi Musnad Al-Muktsirin, hadits no 13744.

Selain itu, hadits ini juga memiliki syahid (hadits yang sama yang diriwayatkan melalui jalur sahabat yang berbeda), diantaranya dari jalur sahabat Abdullah bin Mas’ud dan juga dari Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan oleh :

Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Buyu’ An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Aklir Riba, hadits no 1127.

Imam Nasa’I dalam Sunannya, Kitab At-Thalaq, Bab Ihlal Al-Muthallaqah Tsalasan Wan Nikahilladzi Yuhilluha Bihi, Hadits no. 3363.

Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no. 2895.

Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya di banyak tempat, diantaranya pada hadits-hadits no 3539, 3550, 3618, 4058, 4059, 4099, 4171 dsb.

Imam Ad-Darimi dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2423.

Makna Hadits Secara Umum

Hadits yang sangat singkat di atas, menggambarkan mengenai bahaya dan buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin. Begitu buruk dan bahayanya riba, sehingga digambarkan bahwa Rasululla SAW melaknat seluruh pelaku riba. Pemakannya, pemberinya, pencatatnya maupun saksi-saksinya. Dan keesemua golongan yang terkait dengan riba tersebut dikatakan oleh Rasulullah SAW; “Mereka semua adalah sama.”

Pelaknatan Rasulullah SAW terhadap para pelaku riba menggabarkan betapa munkarnya amaliyah ribawiyah, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah melaknat suatu keburukan, melainkan keburukan tersebut membawa kemadharatan yang luar biasa, baik dalam skala indiividu bagi para pelakunya, maupun dalam skala mujtama’ (baca ; maysarakat) secara luas.

Oleh karenanya, setiap muslim wajib menghindarkan dirinya dari praktek riba dalam segenap aspek kehidupannya. Dan bukankah salah satu sifat (baca ; muwashofat) yang harus dimiliki oleh setiap aktivis da’wah adalah “memerangi riba”?

Namun realitasnya, justru tidak sedikit yang justru menyandarkan kasabnya dari amaliyah ribawiyah ini.

🔎 Makna Riba

Dari segi bahasa, riba berarti tambahan atau kelebihan.
Sedangkan dari segi istilah para ulama beragam dalam mendefinisikan riba.

Definsi yang sederhana dari riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal, secara bathil. (baca ; bertentangan dengan nilai-nilai syariah).

Definisi lainnya dari riba adalah ; segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.

Intinya adalah, bahwa riba merupakan segala bentuk tambahan atau kelebihan yang diperoleh atau didapatkan melalui transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah. Bisa melalui “bunga” dalam hutang piutang, tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama, dan sebagainya. Dan riba dapat tejadi dalam semua jenis transaksi maliyah.

Pada masa jahiliyah, riba terjadi dalam pinjam meminjam uang. Karena masyarakat Mekah merupakan masyarakat pedangang, yang dalam musim-musim tertentu mereka memerlukan modal untuk dagangan mereka. Para ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam meminjam uang pada masa tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.

Pinjam meminjam uang terjadi untuk produktifitas perdatangan mereka. Namun uniknya, transaksi pinjam meminjam tersebut baru dikenakan bunga, bila seseorang tidak bisa melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan bila ia dapat melunasinya pada waktu yang telah ditentukan, maka ia sama sekali tidak dikenakan bunga. Dan terhadap transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW menyebutnya dengan riba jahiliyah.

🔎 Riba Merupakan Dosa Besar

Semua ulama sepakat, bahwa riba merupakan dosa besar yang wajib dihindari dari muamalah setiap muslim. Bahkan Sheikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Bunga Bank Haram mengatakan, bahwa tidak pernah Allah SWT mengharamkan sesuatu sedahsyat Allah SWT mengharamkan riba.

Seorang muslim yang hanif akan merasakan jantungnya seolah akan copot manakala membaca taujih rabbani mengenai pengharaman riba (dalam QS. 2 : 275 – 281). Hal ini karena begitu buruknya amaliyah riba dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat.

Dan cukuplah menggambarkan bahaya dan buruknya riba, firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 275 :

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah datang padanya peringatan dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah keapda Allah. Namun barang siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.

Dalam hadits, Rasulullah SAW juga mengemukakan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba, mamakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mu’min yang sopan yang lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun Alaih).

🔎 Periodisasi Pengharaman Riba

Sebagaimana khamar, riba tidak Allah haramkan sekaligus, melainkan melalui tahapisasi yang hampir sama dengan tahapisasi pengharaman khamar:

1. Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipatgandakan harta. Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.

Pematahan paradigma mereka ini Allah gambarkan dalam QS. 30 : 39 ; “Dan sesuatu tambahan (riba) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, mak riba itu tidak menambah pada sii Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.

2. Tahap kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi umat terdahulu. Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang pedih.

Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS 4 : 160 – 161 : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dialarang dari padanya, dan karena mereka harta dengan cara yang bathil. Kami telah menyediaka nuntuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”.

3. Tahap ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda. Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.

Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru dan sama sekali tidak dimaksudkan dalam ayat ini. Allah SWT berifirman (QS. 3:130), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

4. Tahap keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba. Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.

Allah SWT berfirman dalam QS. 2 : 278 – 279 ; “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan seluruh sisa dari riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alla hdan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”

🔎 Buruknya Muamalah Ribawiyah

Terlalu banyak sesungguhnya dalil baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, yang menggambarkan tentang buruknya riba, berikut adalah ringkasan dari beberapa dalil mengenai riba :

Orang yang memakan riba, diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (QS. 2 : 275).

Pemakan riba, akan kekal berada di dalam neraka. (QS. 2 : 275).

Orang yang “kekeh” dalam bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (QS. 2 : 278 – 279).

Seluruh pemain riba; kreditur, debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau berkata, “ Mereka semua sama!”. (HR. Muslim)

Suatu kaum yang dengan jelas “menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab dari Allah SWT. Dalam sebuah hadtis diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan (melakukan dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina, melainkan mereka menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.” (HR. Ibnu Majah)

Dosa memakan riba (dan ia tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).

Bahwa tingkatan riba yang paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi).

Dengan dalil-dalil sebagaimana di atas, masihkah ada seorang muslim yang “kekeh” bermuamalah ribawiyah dalam kehidupannya?

🔎 Praktik Riba Dalam Kehidupan

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa riba adalah segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah. Praktek seperti ini dapat terjadi dihampir seluruh muamalah maliyah kontemporer, diantaranya adalah pada :

1. Transaksi Perbankan

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa basis yang digunakan dalam praktek perbankan (konvensional) adalah menggunakan basis bunga (interest based). Dimana salah satu pihak (nasabah), bertindak sebagai peminjam dan pihak yang lainnya (bank) bertindak sebagai pemberi pinjaman. Atas dasar pinjaman tersebut, nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi dari pertangguhan waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak memperdulikan, apakah usaha nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.

Praktek seperti ini sebenarnya sangat mirip dengan praktek riba jahiliyah pada masa jahiliyah. Hanya bedanya, pada riba jahiliyah bunga baru akan dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi penambahan waktu pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan, bunga telah ditetapkan sejak pertama kali kesepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang dipinjamnya. Oleh karena itulah tidak heran, jika banyak ulama yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi pada sektor perbankan saat ini, lebih jahiliyah dibandingkan dengan riba jahiliyah.

Selain terjadi pada aspek pembiyaan sebagaimana di atas, riba juga terjadi pada aspek tabungan. Dimana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari bank, sebagai kompensasi uang yang disimpannya dalam bank, baik bank mengalami keuntungan maupun kerugian.

Berbeda dengan sistem syariah, di mana bank syariah tidak menjanjikan return tetap, melainkan hanya nisbah (yaitu prosentasi yang akan dibagikan dari keuntungan yang didapatkan oleh bank). Sehingga return yang didapatkan nasabah bisa naik turun, sesuai dengan naik turunnya keutungan bank. Istilah seperti inilah yang kemudian berkembang namanya menjadi sistem bagi hasil.

2. Transaksi Asuransi

Dalam sektor asuransi pun juga tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi (konvensional) terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama dan dalam waktu yang juga tidak sama.

Sebagai contoh, seseorang yang mengasuransikan kendaraannya dengan premi satu juta rupiah pertahun.
Pada tahun ketiga, ia kehilangan mobilnya seharga 100 juta rupiah. Dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi sebesar harga mobilnya yang telah hilang, yaitu 100 juta rupiah. Padahal jika diakumulasikan, ia baru membayar premi sebesar 3 juta rupiah. Jadi dari mana 97 juta rupiah yang telah diterimanya? Jumlah 97 juta rupiah yang ia terima masuk dalam kategori riba fadhl (yaitu tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).

Pada saat bersamaan, praktek asuransi juga masuk pada kategori riba nasi’ah (kelebihan yang dikenakan atas pertangguhan waktu), karena uang klaim yang didapatkan tidak yadan biyadin dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oleh karenanya terjadilah riba nasi’ah. Hampir semua ulama sepekat, mengenai haramnya asuransi (konvensional) ini.

Diantara yang mengaramkannya adalah Sayid Sabiq dan juga Sheikh Yusuf Al-Qardhawi.

Oleh karenanya, dibuatlah solusi berasuransi yang selaras dengan syariah Islam. Karena sistem asuransi merupakan dharurah ijtima’iyah (kebutuhan sosial), yang sangat urgen.

3. Transaksi Jual Beli Secara Kredit.

Jual beli kredit yang tidak diperbolehkan adalah yang mengacu pada “bunga” yang disertakan dalam jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut berfruktuatif, naik dan turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sehingga harga jual dan harga belinya menjadi tidak jelas (gharar fitsaman).

Sementara sebenarnya dalam syariah Islam, dalam jual beli harus ada “kepastian” harga, antara penjual dan pembeli, serta tidak boleh adanya perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang yang diperjual belikan. Selain itu, jika terjadi “kemacetan” pembayaran di tengah jalan, barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau oleh daeler dalam jual beli kendaraan. Pembayaran yang telah dilakukan dianggap sebagai “sewa” terhadap barang tersebut.

Belum lagi komposisi pembayaran cicilah yang dibayarkan, sering kali di sana tidak jelas, berapa harga pokoknya dan berapa juga bunganya. Seringkali pembayaran cicilan pada tahun-tahun awal, bunga lebih besar dibandingkan dengan pokok hutang yang harus dibayarkan. Akhirnya pembeli kerap merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini tentunya berbeda dengan sistem jual beli kredit secara syariah. Dimana komposisi cicilan adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak mengalami perubahan sebagaimana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang jelas, jika terjadi kemacetan.
Dan sistem seperti ini, akan menguntungkan baik untuk penjual maupun pembeli.

Masih banyak sesungguhnya transaksi-transaksi yang mengandung unsur ribawi di tengah-tengah kehidupan kita. Intinya adalah kita harus waspada dan menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari muamalah seperti ini.

Cukuplah nasehat rabbani dari Allah SWT kepada kita

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa’ : 29)

Wallahu A’lam Bis Shawab.

🌿🌴🌿🌴


Dipersembahkan oleh : manis.id

📲 Follow IG MANIS: http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678