Pertanyaan
السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
Ustadz… Saya mau bertanya,
1. Bagaimana aturannya dalam Al Qur’an dan Sunnah, terkait suami yang meminta istrinya untuk melakukan oral sex pada saat berhubungan suami istri?Apakah diperbolehkan?Mengingat mulut tersebut digunakan untuk membaca bacaan sholat, Al-Qur’an, doa, dzikir serta makan dan minum?
2. Apabila tidak diperbolehkan, bagaimana cara menyampaikannya kepada suami supaya tidak salah paham?
A_16
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Jawaban
Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاتة
Bismillah wal hamdulillah was Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalhi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:
Hukum oral seks, baik yang melakukan adalah suami (cunilingus), atau isteri (fellatio), para sejak dulu dan sekarang berbeda pendapat. Mereka terbagi atas tiga golongan. Ada yang mengharamkan, memakruhkan, dan membolehkan. Wallahu Alam.
1. Pihak Yang Mengharamkan
Golongan yang mengharamkan, mereka beralasan dengan najisnya madzi yang ada pada kemaluan baik laki atau wanita ketika sedang syahwat, yang jika tertelan maka itu haram. Tentang najisnya madzi, para ulama kita semua sepakat, tidak berbeda pendapat.
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَأَمَرْتُ رَجُلًا أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَسَأَلَ فَقَالَ تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ
Dari ‘Ali, dia berkata: “Saya adalah laki-laki yang mudah keluar madzi, maka aku perintah seseorang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam lantaran posisiku sebagai mantu beliau (maksudnya Ali malu bertanya sendiri), maka orang itu bertanya, lalu Rasulullah menjawab: Wudhulah dan cuci kemaluanmu. (HR. Bukhari No. 269)
Hadits ini menunjukkan kenajisan madzi, hanya saja tidaklah wajib mandi janabah, melainkan hanya wudhu sebagaimana teks hadits tersebut. Oleh karena madzi adalah najis maka ia haram tertelan, yang sangat mungkin terjadi ketika oral seks.
Alasan lainnya, karena oral seks merupakan cara binatang, dan kita dilarang menyerupai binatang. Wallahu Alam.
Imam Abul Walid Ahmad bin Rusyd Rahimahullah mengatakan:
Dalam kitab Ibnul Mawaz disebutkan menjilat dengan lidah adalah lebih jelek. (Al Bayan wat Tahshil, 5/79)
2. Golongan Memakruhkan
Golongan yang memakruhkan, mereka beralasan bahwa oral seks belum tentu menelan madzi melainkan hanya sekedar kena saja, baik karena dikecup atau jilat. Mulut atau lidah yang terkena madzi, tentunya sama saja dengan kemaluan suami yang menyentuh madzi isteri ketika coitus (jima). Sebab ketika jima, otomatis madzi tersebut pasti mengenai kemaluan lawannya. Nah, jika itu boleh, lalu apa bedanya jika mengenai anggota tubuh lainnya, seperti mulut? Sama saja. Hanya saja, hal tersebut merusak muruah (akhlak baik) dan menjijikan. Lagi pula tidak sepantasnya, mulut dan lidah yang senantiasa berdzikir dan membaca Al Quran, digunakan untuk hal itu. Oleh karena itu bagi mereka hal tersebut adalah makruh, tidak sampai haram.
Jangankan menjilat kemaluan, sebagian ulama ada yang memakruhkan melihat kemaluan istri seperti yang masyhur dari Imam Al Ghazali Rahimahullah. Namun, hadits-hadits larangan melihat kemaluan istri adalah dhaif bahkan palsu, dan bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang justru membolehkannya.
3. Golongan Yang Membolehkan
Golongan yang membolehkan, mereka beralasan bahwa suami bagi isteri, atau isteri bagi suami adalah halal seluruhnya, kecuali dubur dan ketika haid.
Sedangkan alasan-alasan pihak yang mengharamkan (tertelannya madzi) sudah dijawab, dan alasan pihak yang memakruhkan (merusak muruah dan menjijikkan) pun bagi golongan ini tidak bisa diterima.
Alasan merusak muruah (citra diri/akhlak baik) adalah alasan yang lemah, sebab dahulu Umar bin Al Khathab ketika dia menjima isterinya dari belakang (tapi bukan dari dubur) istilahnya doggy style yang jelas-jelas menyerupai binatang, ternyata itu dibolehkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Padahal Umar Radhiallahu Anhu merasa bersalah, karena itu bukan kebiasaannya dan bukan kebiasaan kaumnya. Sebagaimana oral seks hari ini bukanlah kebiasaan orang Timur, melainkan kebiasaan orang Barat.
Namun, demikian tidak ada satu pun riwayat yang berindikasi mencela Umar dalam hal ini, yang ada justru sebaliknya.
Alasan menjijikan juga alasan yang lemah, sebab jijik atau tidak, sifatnya sangat relatif dan personally (pribadi). Tidak sama pada masing-masing orang. Bila ada orang merasa jijik dengan kulit ayam, tidak berarti kulit ayam adalah haram atau makruh. Khalid bin Walid pernah makan Dhab (mirip biawak) di depan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam namun tidak dilarang oleh Rasulullah, walau pun dia tidak suka, walau itu menjijikan, karena makan Dhab bukanlah kebiasaan manusia di daerah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Dalam riwayat yang shahih dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menyuruh suku Urainah untuk meminum air kencing Unta untuk obat. Padahal, bisa jadi bagi sebagian orang kencing Unta adalah menjijikan, tapi riwayat itu dijadikan dalil oleh sebagian ulama tentang sucinya air kencing Unta. Wal hasil, masalah perasaan jijik bukanlah ukuran dan alasan diharamkannya sesuatu.
Golongan yang membolehkan juga beralasan pada ayat berikut:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al Baqarah (2): 223)
Anna syi’tum (bagaimana saja kamu kehendaki) hanya berlaku pada qubul (kemaluan) bukan dubur.
Pendapat Ulama Terdahulu
Imam Al Qurthubi –seorang ulama tafsir madzhab Maliki- berkata:
وقد قال أصبغ من علمائنا: يجوز له أن يلحسه بلسانه
“Telah berkata Ashbagh dari golongan ulama kami (Maliki): “Boleh bagi suami menjilat kemaluan isterinya dengan lidahnya.” (Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Juz. 12, Hal. 222. Dar Ihya Ats Turats Al ‘Araby, Beirut Libanon. 1985M-1405H)
Imam Al Hathab Rahimahullah berkata:
قد روي عن مالك أنه قال : لا بأس أن ينظر إلى الفرج في حال الجماع ، وزاد في رواية : ويلحسه بلسانه ، وهو مبالغة في الإباحة ، وليس كذلك على ظاهره
Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa dia berkata: “Tidak apa-apa melihat kemaluan istri ketika jima. Dia menambahkan dalam riwayat lain: Dan dia menjilatnya dengan lidahnya,” dan ini merupakan penekanan atas kebolehannya, namun tidak demikian pada kenyataannya. (Mawahib Al Jalil, 5/23. Cet edisi khusus. 2003M-1423H. Dar Alim Al Kutub)
Imam Ibnu Rusyd Rahimahullah mengatakan dalam Ahlus Sima tentang pertanyaan seorang suami yang melihat kemaluan istrinya ketika jima, dia berkata: Ya (boleh), dan dia menjilatnya. (Ibid, 5/24)
Para ulama Syafiiyyah pun membolehkan, Imam Zainuddin Al Malibari Rahimahullah mengatakan:
يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها ….
Dibolehkan bagi suami semua bentuk bersenang-senang terhadap istrinya, kecuali pada duburnya, walau pun menjilat clitoris istrinya…(Fathul Mu’in, 3/340. Darul Fikr. Beirut)
Imam Abu Bakar Ad Dimyathi Rahimahullah menjelaskan kalimat di atas:
أي ولو كان التمتع بمص بظرها فإنه جائز
Yaitu walau dia bersenang-senang dengan menjilat clitorisnya maka itu boleh. (I’anatuth Thalibin, 3/340. Darul Fikr. Beirut)
Sementara pandangan kalangan Hambaliyah, disebutkan Imam Al Buhuti Rahimahullah:
(قال القاضي يجوز تقبيل فرج المرأة قبل الجماع ويكره) تقبيله (بعده)
Berkata Al Qadhi, “Boleh mencium kemaluan istri sebelum jima’ dan dimakruhkan menciumnya setelah jima. (Kasyyaaf Al Qina,’ 1/2. Darul Fikr)
Pandangan Syaikh Al Allamah Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah:
Di dalam masyarakat seperti Amerika dan masyarakat Barat lainnya, terdapat tradisi dan kebiasaan dalam hubungan biologis antara suami isteri yang berbeda dengan kebiasaan kita, seperti bertelanjang bulat, suami melihat kemaluan isteri, atau isteri mempermainkan kemaluan suami, atau mengecup kemaluan suami, dan sebagainya yang apabila telah menjadi biasa menjadi tidak menarik dan membangkitkan syahwat lagi, sehingga memerlukan cara-cara lain yang kadang hati kita tidak menyetujuinya. Ini merupakan suatu persoalan dan mengharamkannya atas nama agama- juga merupakan persoalan lain lagi. Dan tidak boleh sesuatu diharamkan kecuali jika ditemukan nash (teks agama) yang sharih (jelas) dari Al Quran dan As Sunnah yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nash, maka pada dasarnya adalah boleh. Ternyata, tidak ada nash yang shahih dan sharih (lugas) yang menunjukkan haramnya tindakan suami isteri seperti itu. Oleh karena itu, dalam kunjungan saya ke Amerika yakni ketika menghadiri Muktamar Persatuan Mahasiswa Islam dan mengunjungi pusat-pusat Islam di berbagai wilayah di sana, apabila saya menerima pertanyaan mengenai masalah itu biasanya pertanyaan datangnya dari wanita muslimah Amerika- maka saya cenderung memudahkannya, bukan mempersulit, melonggarkannya bukan mengetatkannya, memperbolehkannya dan tidak melarangnya. (Dr. Yusuf Al Qaradhawy, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid. 2, Hal. 492-493. Cet. 2 1996M. Gema Insani Press, Jakarta)
Demikian. Wallahu Alam.
🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Iman Islam
No Rek BSI : 5512 212 725
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287891088812