Membaca Isti’adzah di dalam Shalat

šŸ“ Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

šŸŒæšŸŒŗšŸ‚šŸ€šŸŒ¼šŸ„šŸŒ·šŸŒ¹

Mengenai hukum membaca isti’adzah di dalam shalat memang terjadi perbedaan pandangan para ulama di dalamnya. Ada yang mengatakan wajib, yaitu dalam hal ini pendapat Ibn Hazm azh-Zhahiri (w. 456 H), sebagaimana dapat dibaca di dalam aI-Muhalla bi al-Atsar. Dalilnya adalah firman Allah swt.: ā€œApabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.ā€ (QS. An-Nahl [16]: 98).

Namun menurut madzhab Syafi’i, membaca isti’adzah di dalam shalat adalah sunnah secara mutlak. Di antara dalilnya adalah riwayat dari Abu Hurairah ra. tentang Nabi saw. yang pernah meluruskan shalat seseorang yang banyak melakukan kesalahan di dalam shalatnya. Beliau mengajarinya: ā€œJika kamu melaksanakan shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Qur’an…ā€ (HR. at-Tirmidzi) Jika saja membaca isti’adzah ini adalah wajib, maka tentu Rasulullah saw. memerintahkan untuk membacanya, sementara pada kenyataannya beliau menyuruh bertakbir kemudian langsung membaca al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa hukum isti’adzah itu hanya sampai pada tingkatan sunnah, dan tidak rusak shalat seseorang jika meninggalkannya, juga tidak perlu melakukan sujud sahwi jika seseorang lupa membacanya. Demikian sebagaimana dapat kita baca di dalam al-Umm. Wallahu a’lam.

ā© Lafazh lsti’adzah yang Dianjurkan

Bacaan isti’adzah yang lebih dipilih oleh Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) sebagaimana disampaikannya di dalam al-Umm adalah a’udzu billahi minasy-syaithanir-mjim. Lafazh isti’adzah inilah yang paling masyhur. Dalilnya tiada lain sebagaimana redaksi asli dari firman-Nya: ā€œApabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.ā€ (QS. An-Nahl [16]: 98).

Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H) di dalam al-Hawi al-Kabir fi Fiqh Madzhab al-Imam asy-Syafi’i yang merupakan penjelasan dari kitab Mukhtashar al-Muzanni mengemukakan bahwa selain lafazh isti’adzah a’udzu billahi minasy-syaithanir-rajim, bisa juga isti’adzah dengan lafazh a’udzu billahis-sami’il-ā€˜alimi minasy-syaithanir-rajim atau dengan lafazh a’udzu billahil-ā€˜aliyyi minasy-syaithanilghawiyy. Namun, menurutnya, yang lebih utama adalah dengan lafazh yang pertama dibandingkan dengan yang kedua dan ketiga, karena ia diambil dari al-Qur’an. Isti’adzah dengan lafazh yang kedua lebih utama dari isti’adzah yang ketiga karena adanya riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri ra. mengenainya, yaitu dalam hal ini salah satunya sebagaimana disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) di dalan Sunannya di mana Abu Sa’id bercerita: ā€œAdalah Rasulullah saw. jika beliau melakukan shalat malam, maka beliau bertakbir, kemudian mengucapkan ā€˜Subhanaka allahumma wa bi hamdika, wa tabarakasmuka, wa tahta jadduka, wa la ilaha ghairuka’, lantas mengucapkan Allahu akbaru kabira’, kemudian mengucapkan ‘audzu billahis-sami’ilā€˜alimi minasy-syaithanir-rajim, min hamzihi, wa nafkhihi, wa nafatsihi’.

Isti’adzah dengan lafazh a’udzu billahis-sami’il-ā€˜alimi minasy-syaithanir-mjim ini sebagaimana dapat kita baca penjelasan Sulaiman al-Bujairami (w. 1221 H) di dalam Tuhfah al-Habib ā€˜ala Syarh al-Khathib atau yang dikenal juga dengan Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khathib, sebenarnya adalah dengan menggabungkan redaksi dalam dua ayat al-Qur’an, masing-masing dari QS. An-Nahl [16]: 98 dan QS. Fushshilat [41]: 36. Wallahu a’lam.

ā© Menjahrkan Bacaan lsti’adzah

Sebagaimana dikatakan oleh Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, bacaan isti’adzah ini tidak dibaca jahr di dalam shalat sirriyah. Namun di dalam shalat jahriyah, terdapat beberapa pendapat di dalam madzhab Syafi’i sendiri. Ada yang mengatakan bahwa ia sunnah dibaca jahr sama seperti ketika mengucapkan basmalah dan amin, ada juga pendapat bahwa dalam hal ini terdapat dua pilihan, boleh jahr dan boleh sirr. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa ia tidak dibaca jahr, bahkan dikatakan bahwa yang sunnah adalah membacanya dengan sirr.

Pendapat yang mengatakan bahwa yang sunnah sebagaimana disebutkan oleh Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab adalah jahr melihat bahwa bacaan lsti’adzah itu mengikuti bacaan al-Qur’an, sehingga ketika ia dibaca jahr, maka isti’adzahnya pun dibaca jahr. Di antara yang mengatakan bahwa ia dibaca jahr adalah Abu Hurairah. Sementara pendapat yang mengatakan bahwa boleh memilih salah satu antara jahr dan sirr adalah karena kedua-duanya sama-sama bagus. Di antara yang mengatakan demikian adalah Ibn Laila. Imam asy-Syafn’i (w. 204 H) di dalam al-Umm juga membolehkan keduanya.

Adapun pendapat bahwa yang sunnah adalah membacanya dengan sirr yaitu pendapat yang paling kuat di antara dalilnya adalah firman-Nya: ā€œDan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.ā€ (QS. Al-A’raf [7]: 205) Isti’adzah sebenarnya termasuk dzikir, semenatara asalnya dzikir sendiri adalah dibaca dengan sirr.

ā© Penempatan Bacaan Isti’adzah Dalam Shalat

Walaupun memang sudah sangat dimaklumi bahwa bacaan isti’adzah ini adalah sebelum membaca al-Fatihah, namun penting untuk disinggung di sini bahwa ada sebagian ulama di luar madzhab Syafi’i yang mengatakan bahwa bacaan isti’adzah ini justru setelah membaca ayat-ayat al-Qur’an, di antaranya adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Muhammad as-Sarkhasi (w. 483 H) di dalam al-Mabsuth di mana ada sebagian pengikut madzhab Zhahiri yang mengatakan demikian.

Namun, mayoritas menyatakan bahwa isti’adzah ini dibaca sebelum al-Fatihah. Imam asy-Syafi’i (w. 240 H) di dalam al-Umm mengatakan bahwa pendapat inilah yang dipegangnya. Di antara dalilnya adalah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri ra. sebagaimana yang penulis sampaikan pada pembahasan tentang lafazh isti’adzah sebelumnya. Ad-Daruquthni (w. 385 H) di dalam Sunannya juga menyampaikan sebuah riwayat bahwa al-Aswad ibn Yazid pernah melihat ‘Umar ibn al-Khaththab ra. melaksanakan shalat. Di dalamnya ia mengucapkan ā€œSubhanaka allahumma wa bi hamdika, wa tabarakasmuka, wa ta’ala jadduka, wa la ilaha ghairuka’, kemudian ia membaca ta’awwudz.

Adapun terkait apakah isti’adzah ini dibaca pada setiap raka’at ataukah tidak, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah sendiri. Sebagaimana dikemukakan Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam Raudhah ath-Thalibin wa Umdah al-Muftin, ada pendapat yang mengatakan bahwa sunnahnya membaca isti’adzah adalah di dalam tiap raka’at, terutama sekali adalah pada raka’at pertama. Hal inilah yang disampaikan oleh Imam asy-Syafi’i (w. 204 H). Pendapat ini juga dipilih oleh al-Qadhi Abu ath-Thayyib, Imam al-Haramain, ar-Ruyani, dan lainnya. Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa isti’adzah ini hanya dibaca pada raka’at pertama saja. Adapun jika seseorang tidak membacanya pada raka’at pertama sebab lupa maupun karena disengaja, maka ia bisa membacanya pada raka’at kedua. Wallahu a’lam.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

šŸ“±Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

šŸ’° Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *