š Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I
šæšŗššš¼šš·š¹
Mengenai hukum membaca istiāadzah di dalam shalat memang terjadi perbedaan pandangan para ulama di dalamnya. Ada yang mengatakan wajib, yaitu dalam hal ini pendapat Ibn Hazm azh-Zhahiri (w. 456 H), sebagaimana dapat dibaca di dalam aI-Muhalla bi al-Atsar. Dalilnya adalah firman Allah swt.: āApabila kamu membaca al-Qurāan hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.ā (QS. An-Nahl [16]: 98).
Namun menurut madzhab Syafi’i, membaca isti’adzah di dalam shalat adalah sunnah secara mutlak. Di antara dalilnya adalah riwayat dari Abu Hurairah ra. tentang Nabi saw. yang pernah meluruskan shalat seseorang yang banyak melakukan kesalahan di dalam shalatnya. Beliau mengajarinya: āJika kamu melaksanakan shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Qur’an…ā (HR. at-Tirmidzi) Jika saja membaca istiāadzah ini adalah wajib, maka tentu Rasulullah saw. memerintahkan untuk membacanya, sementara pada kenyataannya beliau menyuruh bertakbir kemudian langsung membaca al-Qurāan. Ini menunjukkan bahwa hukum istiāadzah itu hanya sampai pada tingkatan sunnah, dan tidak rusak shalat seseorang jika meninggalkannya, juga tidak perlu melakukan sujud sahwi jika seseorang lupa membacanya. Demikian sebagaimana dapat kita baca di dalam al-Umm. Wallahu a’lam.
ā© Lafazh lsti’adzah yang Dianjurkan
Bacaan istiāadzah yang lebih dipilih oleh Imam asy-Syafiāi (w. 204 H) sebagaimana disampaikannya di dalam al-Umm adalah aāudzu billahi minasy-syaithanir-mjim. Lafazh istiāadzah inilah yang paling masyhur. Dalilnya tiada lain sebagaimana redaksi asli dari firman-Nya: āApabila kamu membaca al-Qurāan hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.ā (QS. An-Nahl [16]: 98).
Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H) di dalam al-Hawi al-Kabir fi Fiqh Madzhab al-Imam asy-Syafi’i yang merupakan penjelasan dari kitab Mukhtashar al-Muzanni mengemukakan bahwa selain lafazh istiāadzah aāudzu billahi minasy-syaithanir-rajim, bisa juga istiāadzah dengan lafazh aāudzu billahis-samiāil-āalimi minasy-syaithanir-rajim atau dengan lafazh aāudzu billahil-āaliyyi minasy-syaithanilghawiyy. Namun, menurutnya, yang lebih utama adalah dengan lafazh yang pertama dibandingkan dengan yang kedua dan ketiga, karena ia diambil dari al-Qurāan. Istiāadzah dengan lafazh yang kedua lebih utama dari istiāadzah yang ketiga karena adanya riwayat dari Abu Saāid al-Khudri ra. mengenainya, yaitu dalam hal ini salah satunya sebagaimana disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) di dalan Sunannya di mana Abu Sa’id bercerita: āAdalah Rasulullah saw. jika beliau melakukan shalat malam, maka beliau bertakbir, kemudian mengucapkan āSubhanaka allahumma wa bi hamdika, wa tabarakasmuka, wa tahta jadduka, wa la ilaha ghairuka’, lantas mengucapkan Allahu akbaru kabiraā, kemudian mengucapkan ‘audzu billahis-samiāilāalimi minasy-syaithanir-rajim, min hamzihi, wa nafkhihi, wa nafatsihi’.
Istiāadzah dengan lafazh aāudzu billahis-samiāil-āalimi minasy-syaithanir-mjim ini sebagaimana dapat kita baca penjelasan Sulaiman al-Bujairami (w. 1221 H) di dalam Tuhfah al-Habib āala Syarh al-Khathib atau yang dikenal juga dengan Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khathib, sebenarnya adalah dengan menggabungkan redaksi dalam dua ayat al-Qurāan, masing-masing dari QS. An-Nahl [16]: 98 dan QS. Fushshilat [41]: 36. Wallahu a’lam.
ā© Menjahrkan Bacaan lsti’adzah
Sebagaimana dikatakan oleh Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, bacaan istiāadzah ini tidak dibaca jahr di dalam shalat sirriyah. Namun di dalam shalat jahriyah, terdapat beberapa pendapat di dalam madzhab Syafi’i sendiri. Ada yang mengatakan bahwa ia sunnah dibaca jahr sama seperti ketika mengucapkan basmalah dan amin, ada juga pendapat bahwa dalam hal ini terdapat dua pilihan, boleh jahr dan boleh sirr. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa ia tidak dibaca jahr, bahkan dikatakan bahwa yang sunnah adalah membacanya dengan sirr.
Pendapat yang mengatakan bahwa yang sunnah sebagaimana disebutkan oleh Imam an-Nawawi di dalam al-Majmuā Syarh al-Muhadzdzab adalah jahr melihat bahwa bacaan lsti’adzah itu mengikuti bacaan al-Qurāan, sehingga ketika ia dibaca jahr, maka istiāadzahnya pun dibaca jahr. Di antara yang mengatakan bahwa ia dibaca jahr adalah Abu Hurairah. Sementara pendapat yang mengatakan bahwa boleh memilih salah satu antara jahr dan sirr adalah karena kedua-duanya sama-sama bagus. Di antara yang mengatakan demikian adalah Ibn Laila. Imam asy-Syafn’i (w. 204 H) di dalam al-Umm juga membolehkan keduanya.
Adapun pendapat bahwa yang sunnah adalah membacanya dengan sirr yaitu pendapat yang paling kuat di antara dalilnya adalah firman-Nya: āDan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.ā (QS. Al-A’raf [7]: 205) Istiāadzah sebenarnya termasuk dzikir, semenatara asalnya dzikir sendiri adalah dibaca dengan sirr.
ā© Penempatan Bacaan Isti’adzah Dalam Shalat
Walaupun memang sudah sangat dimaklumi bahwa bacaan istiāadzah ini adalah sebelum membaca al-Fatihah, namun penting untuk disinggung di sini bahwa ada sebagian ulama di luar madzhab Syafi’i yang mengatakan bahwa bacaan istiāadzah ini justru setelah membaca ayat-ayat al-Qurāan, di antaranya adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Muhammad as-Sarkhasi (w. 483 H) di dalam al-Mabsuth di mana ada sebagian pengikut madzhab Zhahiri yang mengatakan demikian.
Namun, mayoritas menyatakan bahwa istiāadzah ini dibaca sebelum al-Fatihah. Imam asy-Syafiāi (w. 240 H) di dalam al-Umm mengatakan bahwa pendapat inilah yang dipegangnya. Di antara dalilnya adalah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri ra. sebagaimana yang penulis sampaikan pada pembahasan tentang lafazh istiāadzah sebelumnya. Ad-Daruquthni (w. 385 H) di dalam Sunannya juga menyampaikan sebuah riwayat bahwa al-Aswad ibn Yazid pernah melihat ‘Umar ibn al-Khaththab ra. melaksanakan shalat. Di dalamnya ia mengucapkan āSubhanaka allahumma wa bi hamdika, wa tabarakasmuka, wa ta’ala jadduka, wa la ilaha ghairukaā, kemudian ia membaca taāawwudz.
Adapun terkait apakah istiāadzah ini dibaca pada setiap raka’at ataukah tidak, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Syafiāiyyah sendiri. Sebagaimana dikemukakan Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam Raudhah ath-Thalibin wa Umdah al-Muftin, ada pendapat yang mengatakan bahwa sunnahnya membaca istiāadzah adalah di dalam tiap rakaāat, terutama sekali adalah pada raka’at pertama. Hal inilah yang disampaikan oleh Imam asy-Syafiāi (w. 204 H). Pendapat ini juga dipilih oleh al-Qadhi Abu ath-Thayyib, Imam al-Haramain, ar-Ruyani, dan lainnya. Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa istiāadzah ini hanya dibaca pada raka’at pertama saja. Adapun jika seseorang tidak membacanya pada raka’at pertama sebab lupa maupun karena disengaja, maka ia bisa membacanya pada rakaāat kedua. Wallahu a’lam.
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
š±Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis
š° Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130