Materi sebelumnya bisa dilihat di tautan berikut:
http://www.manis.id/2017/01/tauhidullah-mengesakan-allah-bag-2.html?m=1
3. Ketiga: Tauhid Asma dan Sifat
Tauhid ini merupakan keyakinan yang kokoh terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah, sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya Shallallaahu alaihi wa Salam menurut apa yang pantas bagi Allah tanpa melakukan ta’wil, ta’thil, takyif, dan tamtsil terhadap nama-nama Allah. Berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta’ala,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ [الأعراف : 180]
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, (nama-nama yang terbaik) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Al Aa’roof: 180)
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَّا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا [الإسراء : 110]
Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (Al Isra: 110)
Maksudnya Allah memiliki nama-nama yang agung dan indah agar manusia memohon dan memelas dengan menyebut-nyebut nama-Nya. Jangan berlebihan dalam memperlakukan Nama-nama Allah seperti orang yang beranggapan Allah serupa dengan Makhluk-Nya karena dari nama dan sifatnya ada kesamaan dengan Allah.
Nama-nama itu tidak boleh pula dita’wil atau diterjemahkan maksud-maksudnya di luar pengertian bahasa Arab, tidak boleh dithatil atau ditiadakan, juga dipertanyakan bentuknya (takyif) atau diserupakan dengan makhluk ciptaan-Nya (tamtsil). Allah berfirman,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
Allah diberi nama dan disifati dengan nama dan sifat yang Dia berikan untuk diriNya dan dengan nama dan sifat yang disampaikan oleh RasulNya. Allah menolak jika ada sesuatu yang dianggap menyerupai-Nya, dan Dia menetapkan bahwa Dia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,
“Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (Al-Kahfi: 15)
Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam hal ini tidak boleh dilanggar, karena tidak seorang pun yang lebih mengetahui Allah daripada Allah sendiri, dan tidak ada sesudah Allah orang yang lebih mengetahui Allah daripada RasulNya.
Maka barangsiapa yang meng-ingkari nama-nama Allah dan sifat-sifatNya atau menamakan Allah dan menyifatiNya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhlukNya, atau men-ta’wil-kan dari maknanya yang benar, maka dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan RasulNya.
Sikap para sahabat Nabi, tabi’in dan ulama Ahlus Sunnah dalam hal asma’ dan sifat Allah adalah mengimani dan menetapkannya sebagaimana ia datang tanpa tahrif (mengubah), ta’thil (menafikan), takyif (menanyakan bagaimana) dan tamtsil (menyerupakan).
Sikap terhadap Nama-nama Allah ini termasuk pengertian beriman kepada Allah.
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, “Kemudian ucapan yang menyeluruh dalam semua bab ini adalah hendaknya Allah itu disifati dengan apa yang Dia sifatkan untuk DiriNya atau yang disifatkan oleh Rasul-Nya, dan dengan apa yang disifatkan oleh As-Sabiqun Al-Awwalun (para generasi pertama), serta tidak melampaui keterangan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Imam Ahmad Rahimahullaah berkata, “Allah tidak boleh disifati kecuali dengan apa yang disifati oleh-Nya untuk Diri-Nya atau apa yang disifatkan oleh RasulNya, serta tidak boleh melampaui Al-Qur’an dan Al-Hadits”.
Sejarah mencatat Madzhab salaf menyifati Allah dengan apa yang Dia sifatkan untuk DiriNya dan dengan apa yang disifatkan oleh RasulNya, tanpa tahrif dan ta’thil, takyif dan tamtsil.
Kita mengetahui bahwa apa yang Allah sifatkan untuk DiriNya adalah haq (benar), tidak mengandung teka-teki dan tidak untuk ditebak.
Maknanya setiap sifat Allah sudah dimengerti secara bahasa, sebagaimana maksud orang yang berbicara juga dimengerti dari pembicaraannya. Apalagi jika yang berbicara itu adalah Rasulullah, manusia yang paling mengerti dengan apa yang dia katakan, yang paling fasih dalam menjelaskan ilmu, dan yang paling baik serta mengerti dalam menjelaskan atau memberi petunjuk.
Dan sekali pun demikian tidaklah ada sesuatu pun yang menyerupai Allah. Tidak dalam Diri (Dzat)Nya Yang Mahasuci yang disebut dalam asma’ dan sifatNya, juga tidak dalam perbuatanNya.
Allah Subhannahu wa Ta’ala mempunyai Dzat, Af’al (perbuatan), Sifat-sifat, yang tidak ada satu pun yang menyamaiNya, “walam yakunlahu kufuwan ahad” (tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya).
Setiap anggapan yang mengharuskan adanya kekurangan dan huduts harus ditolak, sebab Allah Subhannahu wa Ta’ala benar-benar bebas dan Mahasuci dari hal tersebut.
Sesungguhnya dalam segala hal Allah memiliki kesempurnaan yang paripurna, tanpa batas. Dan mustahil baginya mengalami huduts (baru), karena mustahil bagiNya sifat ‘adam (tidak ada); sebab huduts (baru) mengharuskan adanya sifat ‘adam sebelumnya, dan karena sesuatu yang baru pasti memerlukan muhdits (yang mengadakan), juga karena Allah bersifat wajibul wujud binafsihi (wajib ada dengan sendiriNya).
Kita beriman dengan dalil Al Qur-an,
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-hadiid: 3)
Maka madzhab ulama salaf dalam meyakini Asma dan Sifat Allah adalah antara ta’thil dan tamtsil. Mereka tidak menyamakan atau menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhlukNya. Sebagaimana mereka tidak menyerupakan DzatNya dengan dzat pada makhlukNya.
Mereka tidak menafikan apa yang Allah sifatkan untuk diriNya, atau apa yang disifatkan oleh Allah dan RasulNya. Seandainya mereka menafikan, berarti mereka telah menghilangkan asma’ husna dan sifat-sifatNya yang ‘ulya (luhur), dan berarti mengubah kalam dari tempat yang sebenarnya, dan berarti pula mengingkari asma’ Allah dan ayat-ayatNya.
(Bersambung)
Pemateri: Ustadz Aus Hidayat Nur