🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃
SYARAT KETIGA:
الإِخْلاَصُ اَلْمُنَافِيْ لِلشِّرْكِ
KEIKHLASAN YANG MENGHILANGKAN KEMUSYRIKAN
Orang yang bersyahadat harus menjadi orang yang mukhlish, yakni ikhlash dalam syahadatnya, ikhlash bersyahadat tiada Tuhan selain Allah dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Artinya, haruslah ikhlash dalam seluruh aktifitasnya baik perkataan, maupun perbuatannya, termasuk lintasan di hati dan fikirannya sekalipun.
Ikhlash artinya niat mencari keridhaan Allah Ta’ala semata-mata dalam seluruh aktifitas, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun selain Dia, dan senantiasa membersihkan niatnya itu dari segala kotoran yang dapat merusak (keikhlashan itu).
→ Maka, orang yang ikhlash; niatnya murni, bersih, suci, dari berbagai kotoran (kemusyrikan), baik kemusyrikan yang kecil maupun yang besar. Tentu sudah difaham sebelumnya tentang kandungan Laa Ilaaha illaLaah, yang mengharuskan seorang yang beriman itu melenyapkan segala bentuk ilah (Tuhan) selain Allah, sampai ke akar-akarnya. Sebab ia telah bersyahadat (menyatakan, berjanji, dan bersumpah) untuk itu.
Lawan ikhlash adalah syirik.
Secara bahasa, syirik berarti : syirkah dan musyarakah, yang artinya:
1. Bercampurnya dua kepemilikan.
2. Ada sesuatu untuk dua orang atau lebih baik secara dzat ataupun nilainya.
Syirik adalah lawan kata dari tauhid. Secara istilah atau menurut syariat, syirik yaitu sikap menyekutukan Allah secara Dzat, sifat, perbuatan dan/atau ibadah.
Syirik secara dzat yakni menganggap/meyakini bahwa Dzat Allah itu seperti dzat makhluk-Nya. Menganggap bahwa Allah itu serupa dengan makhluk. Padahal salah satu sifat yang wajib dan mutlak bagi Allah adalah mukhalafatuhu lil hawadits (berbeda dengan makhluk). Dan di ayat terakhir surah Al-Ikhlash jelas-jelas kita mendapat penegasan dari Allah, “Dan tiada seorang pun yang menyerupai-Nya.”
Syirik secara sifat artinya seseorang menganggap/meyakini bahwa sifat-sifat makhluk sama dengan sifat-sifat Allah. Dengan kata lain menganggap bahwa makhluk mempunyai sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah, tidak ada bedanya sama sekali. Secara prinsip, sifat Allah ada dua, yakni bahwa Allah itu bebas dari segala kekurangan dan kelemahan dan Allah berkumpul pada diri-Nya segala ke-Maha-an. Kuasa Allah tiada berbatas. Tiada tanding tiada banding.
Syirik secara perbuatan artinya seseorang meyakini bahwa makhluk mampu mengatur alam semesta dan rizki manusia sebagaimana kuasa dan perbuatan Allah.
Syirik secara ibadah artinya seseorang menyembah kepada selain Allah dan mengagungkannya sebagaimana seharusnya ia mengagungkan Allah serta mencintainya sebagaimana seharusnya ia mencintai Allah.
Para ulama juga mengatakan bahwa prilaku syirik ada yang tampak (zhahir) dan ada yang tersembunyi (khafiy), ada syirik besar dan ada pula syirik kecil.
Nah, orang yang ikhlash, ia selamat dan sungguh jauh dari semua bentuk kesyirikan tersebut.
● Jika masih syirik, syahadatnya tidak diterima.
Jika masih ada syirik, maka syahadatnya tidak akan diterima di sisi Allah.
Karena kita tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan pada-Nya. Sebagaimana firman Allah:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98] : 5)
Allah Ta’ala juga berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“… Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi [18] : 110)
Dalam sebuah riwayat hadits,
وَعَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بْنِ نُفَيْل بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى بْنِ رَيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قَرْطٍ بْنِ رَزَاحِ بْنِ عَدِيّ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيّ بْنِ غَالِبٍ الْقُرَشِيّ الْعَدَوِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ متفق
Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh, Umar bin Khaththab ra berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Segala perbuatan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan (pahala) apa yang diniatkannya. Barangsiapa berhijrah (ke Madinah) untuk mencari ridha Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa berhijrah untuk mencari harta dunia atau untuk seorang perempuan yang hendak dinikahi, maka hijrahnya hanya untuk itu (tidak mendapatkan pahala di sisi Allah)’.” (Muttafaq ‘alaihi)
Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah SWT menegaskan menolak setiap amal perbuatan yang dilakukan bukan karena Allah:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Barang siapa yang melakukan perbuatan, di dalamnya terdapat persekutuan bersama-Ku dengan yang selain Aku, maka Aku tinggalkan amalnya dan sekutunya itu.” (HR. Muslim no.2985)
Juga sebuah hadits tentang apa yang diperoleh Nabi SAW dari Allah SWT dalam perjalanan Isra` Mi’raj:
وَأُعْطِيَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ثَلاَثًا: أعْطِيَ الصلوات الخمس، وأعْطِي خواتيمَ سورة البقرة، وغُفِرَ لِمَنْ لَمْ يُشْرِكْ بِاللهِ مِنْ أُمَّتِهِ شيئًا المُقْحَماتُ
“Diberikan kepada Rasulullah saw (saat Isra Mi’raj) tiga hal: diberikan shalat lima waktu, diberikan akhir surat al-Baqarah, dan diampuni siapa saja yang tidak menyekutukan ALLAH dengan apapun.” (HR. Muslim)
Dalam Al-Qur’an, Allah menginformasikan prilaku syirik orang-orang Quraysy jahiliyah, yang walaupun mereka mengenal Allah sebagai Tuhan (karena peninggalan ajaran Nabi Ibrahim as) dan mempersembahkan qurban untuk Allah, namun pada saat yang sama mereka juga mempersembahkan sesaji kepada berhala.
Dalam QS Al-An’aam [6] : 136 disebutkan sesaji tersebut berupa tanaman dan ternak:
“… Lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: ‘Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami’. …”
Tindakan yang serupa dan semisal dengan ini masih banyak terdapat di masyarakat kita yang notabene mereka mengucapkan syahadat. Mungkin mereka tidak menyadari atau memang belum/tidak memahami. Menjadi tugas kita untuk membersihkan keimanan mereka dari segala kotoran syirik itu dengan menyeru mereka kepada tauhid dan aqidah yang benar, yakni syahadat yang ikhlash dan bersih dari segala bentuk syirik.
Bersambung…
Wallaahu a’lam bishshowab
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130