Peran Ulama Haramain Nusantara Dalam Perkembangan Intelektual di Indonesia (Bag 1)

0
131

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📝 Pemateri: Ust. DR. Wido Supraha

Perubahan yang dibawa Ulama Nusantara dari Haramain

Sejak kepulangan para pengkaji Islam dari Timur Tengah memang sedikit banyak membawa warna tersendiri bagi kajian keislaman di Indonesia. Ini tidak saja baru berlaku sekarang, tetapi jauh sejak interaksi Timur Tengah dan Indonesia berlangsung erat. Sejak abad ke-16 sampai ke-19, pemikiran dan paham keagamaan yang dibawa oleh alumni Timur Tengah dapat dikatakan menjadi mainstream pemikiran Islam di Indonesia. Kiprah yang diperankan mereka malah sebetulnya tidak hanya mewarnai kajian keilmuan Islam, tetapi juga mewarnai dunia pergerakan, organisasi, atau institusi kaum Muslim, bahkan dunia perpolitikan.[18]

Adanya proses transfer ilmu dan pengetahuan antara ulama-ulama Haramain kepada ulama-ulama Nusantara yang mengkhususkan dirinya datang ke Haramain untuk menuntut ilmu, secara sistemik telah membentuk jaringan dan ikatan yang kuat dan terpola khususnya dalam pengembangan da’wah di seantero dunia. Banyak terobosan yang telah dibuat para ulama tersebut bersama jaringannya.

Satu contoh fragmen sejarah dalam jaringan ulama NU (Nahdhatul ‘Ulama) dapat kita ketahui dari penuturan al-Habib Luthfi bin Yahya, menjelang berdirinya NU. Beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Haram dan kemudian menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Akhirnya  di-istikharoh-i oleh para ulama-ulama Haromain, mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia, agar menemui dua orang di Indonesia, kalau dua orang ini menyetujui, dapat diteruskan, kalau tidak disetujui, jangan diteruskan. Dua orang tersebut yang pertama al-Habib Hasyim bin Umar Bin Toha Bin Yahya Pekalongan, yang satunya lagi Mbah Kyai Kholil Bangkalan.

Oleh sebab itu, menurut al-Habib Luthfi bin Yahya, tidak heran jika Muktamar NU yang ke 5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M, untuk menghormati  al-Habib Hasyim yang wafat pada waktu itu, sebagai suatu penghormatan yang luar biasa, dan tidak heran kalau Pekalongan sampai dua kali menjadi tuan rumah Muktamar Thoriqoh. Al-Habib Luthfi bin Yahya mendapatkan informasi ini dari seorang yang saleh, Kyai Irfan. Suatu ketika beliau sedang duduk-duduk dengan Kyai Irfan, Kyai Abdul Fatah dan Kyai Abdul Hadi. Kyai Irfan bertanya pada saya, “Kamu ini siapanya Habib Hasyim?”. Yang menjawab pertanyaan itu Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi, “Ini cucunya Habib Hasyim Yai“. Akhirnya al-Habib Luthfi bin Yahya diberi wasiat. Kata beliau, “Mumpung saya masih hidup tolong catat sejarah ini. Mbah Kyai Hasyim Asy’ari datang ketempatnya Mbah Kyai Yasin. Kyai Sanusi ikut serta pada waktu  itu, diiringi Kyai Asnawi Kudus, diantar datang ke Pekalongan, bersama Kyai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk,  Habib Hasyim langsung berkata, “Kyai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah  Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis“. Demikianlah wasiat Habib Hasyim, yang kemudian membuat Kyai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas, dan langsung menuju ke tempatnya Mbah Kiai Kholil Bangkalan. Kemudian Mbah Kyai Kholil menasihati Kyai Hasyim Asyari, “Laksanakan apa niatmu, saya ridlo seperti ridlonya Habib Hasyim tapi saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis.” Kyai Hasyim Asy’ari berkata, “Ini bagaimana Kyai, kok tidak mau ditulis semua.” Terus Mbah Kyai Kholil menjawab kalau mau tulis silahkan tapi sedikit saja. Demikianlah tawadhu-nya Mbah Kyai Ahmad Kholil Bangkalan.[19]

Transmisi keilmuan Timur Tengah ke Indonesia, pada periode kontemporer, mengalir setidaknya lewat tiga “jalur”. Pertama, kepulangan mahasiswa Indonesia dari sana yang kemudian sedikit banyak menularkan ilmu-ilmu yang diperolehnya, baik melalui aktivitas mengajar di suatu lembaga ataupun melalui aktivitas menulis buku atau artikel media. Kedua, masuknya buku-buku karya pemikir Timur Tengah yang dibawa oleh mahasiswa dan alumni ataupun tenaga kerja yang meski tidak tersebar luas tetapi kemudian banyak diterjemahkan dan banyak beredar di Tanah Air. Buku-buku Timur Tengah terhitung paling marak diterjemahkan. Seiring dengan ini, beberapa kajian mengenai pemikiran tokoh-tokoh Timur Tengah kontemporer juga mulai sering dilakukan. Ketiga, kedatangan para dai dan guru Timur Tengah, baik atas undangan orang Indonesia, inisiatif sendiri, ataupun yang disebar oleh beberapa lembaga Timur Tengah. Yang disebut terakhir ini boleh jadi adalah yang lebih umum. Al-Azhar misalnya, aktif mengirimkan banyak lulusannya ke negara-negara Muslim. Pada tahun 1989 saja tercatat 29 orang Azhari Mesir yang bekerja di seluruh Indonesia.

Munculnya semangat pembaharuan Islam di dunia sedikit banyak juga membawa pengaruh secara langsung ke Nusantara Indonesia. Sebagai contoh gerakan pemurnian yang dipelopori oleh rangkaian guru-murid, Jamaluddin al-Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), dan Muhammad Rasyid Ridha (1856-1935 M), telah melahirkan pengikut dan pemikir di masing-masing negara seperti Abdul Hamid di Turki, Sir Sayyid Ahmad Khan (1871-1848) dan Sir Sayyid Ali (1849-1928) di India/Pakistan, Dr. Ansari, Maulana Muhammad Ali, Syaukat Ali, dan Dr. Muhammad Iqbal. Di Malaysia/Singapura terdapat pengikut seperti Sayyid Muhammad bin Aqil, Syaikh Muhammad al-Kalali, Syaikh Thaher Jalaluddin, Sayyid Syaikh al-Hady, dan Za’ba.[20] Menurut Prof. Dr. H. Abubakar Aceh[21], terdapat hubungan antara K.H. Ahmad Dahlan dengan Sayyid Muhammad bin Agil di Singapura, yaitu salah seorang sahabat Muhammad Rasyid Ridha. Sayyid Muhammad bin Agil telah menerbitkan majalah al-Iman dalam bahasa Melayu dan majalah al-Islam dalam bahasa Arab, yang membuka pintu aliran ini masuk ke Jawa yang mengakibatkan secara langsung maupun tidak langsung berdirinya Jamiat Khaer (1905) dan Muhammadiyah (1912).

Terbentuknya Perkumpulan Jamiat Khair (dibentuk secara diam-diam pada tahun 1901 di Pekojan, Jakarta) yang berlatar belakang isolasi Pemerintah Hindia Belanda terhadap “Kampung Arab” merupakan satu derivasi semangat kebangkitan Islam di Indonesia. Didirikan oleh Sayyid Ali bin Ahmad bin Syahab (Ketua), Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Syahab (Wakil Ketua), Sayyid Muhammad al-Fachir bin Abdurrahman al-Masyhur (Sekretaris), Sayyid Idrus bin Ahmad bin Syahab (Bendahara), dan Said bin Ahmad Basandied (Anggota), dengan pergerakan di bidang sosial dan pendidikan, dan bersifat terbuka untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi asal-usul, meski mayoritas anggotanya keturuan Arab. Orang Indonesia yang pernah menjadi perkumpulan Jamiat Khair di antaranya Raden Umar Said Tjokroaminoto, Raden Jayanegara (Hoofd Jaksa Betawi, anggota nomor 352), R.M., Wiriadimaja (Asisten Wedana Rangkasbitung, anggota nomor 661), Raden Hasan Djajadiningrat (anggota nomor 723), dan K.H. Ahmad Dahlan (anggota nomor 770). Aktivitasnya kemudian berkembang dengan majlis taklim, Balai Pertemuan Perpustakaan dengan hubungan internasional, percetakan (maktabah), harian Utusan Hindia (dipimpin Umar Said Tjokroaminoto), sekolah muslim modern pertama (kurikulum internasional dan hampir 50% diisi dari keluarga tidak mampu tanpa dipungut biaya pendidikan), dan memiliki hubungan dengan organisasi di dalam negeri seperti Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jong Islamieten Bond (Persatuan Pemuda Islam).[22]

Menurut Kamajaya, penggerak kebangkitan Islam di Jawa yang pertama-tama adalah perkumpulan Jamiat Khair. Dari perkumpulan inilah tokoh-tokoh baru Islam bermunculan dan mendirikan berbagai perkumpulan, misalnya Perserikatan Muhammadiyah, al-Irsyad, dan lain-lain.[23]

Muhammadiyah sendiri didirikan pada tanggal 18 November 1912. Awalnya K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Sekolah Muhammadiyah, kemudian pada tahun 1914 didirikan bagian Kewanitaan yang dinamakan “Sopo Tresno”, dan kemudian dinamakan “Aisyiah”. KH. Ahmad Dahlan merupakan sosok ulama yang telah mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya dan beberapa orang kyai dalam bidang Bahasa Arab, Ilmu Hadits, Tauhid, dan Tafsir. Dia pernah belajar dan bermukim di Mekah selama 5 tahun, dan banyak membaca tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, dan kembali ke Indonesia dengan membawa banyak buku-buku tebal, sekaligus mengganti namanya dari Muhammad Darwis. Ketika untuk kedua kali, K.H. Ahmad Dahlan beribadah haji ke Mekah tahun 1902 dan menetap selama 2 tahun, di saat itulah ia berkenalan dengan ulama yang dikaguminya, Rasyid Ridha.[24]

Jamiyah al-Islam wa al-Irsyad al-Arabiyah didirikan oleh Syaikh Ahmad Surkati pada tahun 1914, yang resminya berdiri dengan besluit nomor 47 tertanggal 11 Agustus 1915 di Petojo Jaga Monyet nomor 19 Jakarta dengan pengurus awal adalah Salim bin Awad Balweel (Ketua), Muhammad bin Abud Ubaid (Sekretaris), Said bin Salim Masyabi (Bendahara), dan Shaleh bin Ubaid Abdat (Penasihat). Syaikh Ahmad Surkati tidak duduk dalam kepengurusan tetapi sebagai pimpinan dari Madrasah al-Irsyad al-Islamiyah. Awalnya, Syaikh Ahmad Surkati (seorang Arab kelahiran Sudan 1292 H) hijrah ke Saudi Arabia karena situasi politik di Sudan yang dikuasai Inggris. Mula-mula menetap dan belajar di Madinah selama 4 tahun, kemudian pindah ke Mekah hingga memperoleh ijazah Syahadah Alimiyah pada 1326 H, selama 11 tahun, dengan berguru pada Syaikh al-Falih, al-Faqih Syaikh Ahmad bin Haji Ali Majdub, Syaikh Gurra’ al-Allamah Syaikh Muhammad al-Maghribi, al-Imam as-Sayyid Ahmad al-Barzanji al-Madani, al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Yusuf al-Khayyat, Syaikh Syueb bin al-Maghribi. Ketika Jamiat Kheir membutuhkan tenaga guru, maka setelah berkoordinasi dengan Syarif Mekah, ditunjuklah Syaikh Ahmad Surkati, yang tiba di Indonesia pada tahun 1911 M, dan atas sarannya didatangkan pula oleh Jamiat Khair 4 orang guru lain untuk melengkapi kebutuhan tenaga guru. Sampai pada tahun 1914, Syaikh Ahmad Surkati berbeda pandangan dengan pengurus Jami’at Khair yang memuncak pada 6 September 1914 dengan berhentinya dari keanggotaan.[25]

Nahdhatul ‘Ulama didirikan antara lain oleh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari, K.H. R. Asnawi, K.H. Mansyur, K.H. R. Asnawi, Hasan Gipo, dan K.H. Ma’shum. K.H. Muhammad Kholil (1235-1343 H), sosok ulama kelahiran Madura yang pernah belajar di Makkah al-Mukarramah, sekalipun bukan pendiri langsung NU, namun merupakan inspirator bagi semua kyai para pendiri NU yang berguru kepadanya. Adapun K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947 M), ulama kelahiran Jombang, dan pengasuh Pesantren Tebu Ireng, yang merupakan tokoh pendiri utama di NU ini, juga pernah mengenyam pendidikan di Makkah al-Mukarramah, khususnya berguru kepada Syaikh Mahfuzh at-Termisi bin Kyai Abdullah (Ahli Hadits dari Pesantren Termas Pacitan dan mengajar di Makkah), dan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabu (Pengajar di Masjid al-Haram). Terakhir K.H. Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971 M), termasuk murid K.H. Hasyim Asy’ari yang juga pernah mengenyam pendidikan di Makkah al-Mukarramah, dan bergurun antara lain kepada Kyaih Mahfuzh at-Termisi, Kyai Muhtaram Banyumas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Kyai Bakir Yogyakarta, Kyai Asy’ari Bawean, Syaikh Said al-Yamani, dan Syaikh Iman Bajened.[26]

Karakteristik Ulama Haramain

Dari beberapa penelusuran di atas, terlihat bagaimana ulama-ulama yang telah mengkhususkan dirinya berada di Haramain tersebut khususnya untuk menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu yang dimilikinya, memiliki semangat yang tinggi untuk melanjutkan warisan para Nabi kepada seluruh kaum Muslim tanpa mengenal batasan teritori. Kecintaan mereka terhadap ilmu, perjuangan mereka untuk mendapatkan ilmu, dan penjagaan mereka atas ilmu patut diteladani umat Islam dewasa ini. Atas ilmu jualah mereka mampu menjadi tokoh besar sepanjang zaman yang meninggalkan bekas-bekas (atsar) yang baik bagi generasi berikutnya.


Daftar Pustaka

Abaza, Mona, Islamic Education, Perception and Exchanges Indonesian Students in Cairo, Paris: Cahier d’Archipel 23, 1994.

Aceh, Abubakar, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Semarang-Solo: Ramadhani, cetakan ke-3, 1982.

As, Muhammad Syamsu, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, cetakan ke-2, Jakarta: Lentera, 1999.

De Clercq, F.S.A, Bijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate, Leiden: E.J. Brill, 1890.

Dunn, Rose E., Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad ke-14, cetakan ke-1, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

Eisenberger, Johan, Indie and de Bedevaart naar Mekka (Disertasi di Rijksuniversiteit Leiden), Leiden: Boekhandel M. Dubbeldeman, 1928.

Gibb, H.A.R., Ibn Battuta: Travels in Asia dan Africa, 1325-1354, London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1957.

Kamajaya, Delapan Alim Ulama Pahlawan Nasional, Buku Kedua, Yogya: U.P. Indonesia, 1981.

Mas’ud, Abdurrahman, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, cetakan ke-1, Jakarta: Penada Media, 2006.

Ratib, Majelis, Jejak Ulama Betawi Meneguhkan Peran, [Online]. http://majelisratibmuhyinnufuussyamsisyumus.blogspot.com/2009/07/jejak-ulama-betawi-meneguhkan-peran.html 13 Mei 2010

Putuhena, M. Shaleh, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta: LKiS, cetakan ke-1, 2007.

Ropi, Ismatu dan Kusmana (Ed.) Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, tanpa tahun.

Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah Jilid 1, Bandung: Salamadani, cetakan ke-2, 2009.

Vlekke, Bernard H. M., Nusantara a History of the East Indian Archipelago, Cambridge: Harvard University Press, 1943.

Yahya, Luthfi, Ulama-ulama di Haromain, Embrio NU di Indonesia, [Online]. http://www.habibluthfiyahya.net/index.php?option=com_content&view=article&id=144%3Aulama-ulama-indonesia-di-haromain-embrio-nu-di-indonesia&catid=34%3Aberita&Itemid=18&lang=id 13 Mei 2010.

[1] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta: Penada Media, 2006

[2] F.S.A De Clercq, Bijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate, Leiden: E.J. Brill, 1890,        hlm. 161.

Dalam naskah aslinya tertulis, “De Spanjaarden verlaten Ternate, waarna de Hollanders op last der Edelheden de vesting Gamlamo hebben geslecht”. Naskah asli dapat diunduh di alamat: http://www.sil.si.edu/DigitalCollections/Anthropology/Ternate/index-ternate.htm.

[3] Bernard H. M. Vlekke, Nusantara a History of the East Indian Archipelago, Cambridge: Harvard University Press, 1943, hlm. 170.

[4] Ibid.

[5] Johan Eisenberger, Indie and de Bedevaart naar Mekka (Disertasi di Rijksuniversiteit Leiden), Leiden: Boekhandel M. Dubbeldeman, 1928, hlm. 14-15.

[6] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara, Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta: Penada Media, 2006, hlm. 109.

[7] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara, Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta: Penada Media, 2006, hlm. 161.

[8] Komaruddin Hidayat, “Pengantar” dalam Ismatu Ropi, Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, hlm. x.

[9] Ismatu Ropi, Kusmana, “Alumni Timur Tengah dan Disseminasi Otoritas Keislaman di Indonesia”, dalam Ismatu Ropi, Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, hlm. 5.

[10] Abaza, Mona, Islamic Education, Perception and Exchanges Indonesian Students in Cairo, Paris: Cahier d’Archipel 23, 1994, hlm. 38-9.

[11] Ismatu Ropi dan Kusmana, “Alumni Timur Tengah dan Disseminasi Otoritas Keislaman di Indonesia”, dalam Ismatu Ropi dan Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, hlm. 10.

[12] Ismatu Ropi, Kusmana, “Alumni Timur Tengah dan Disseminasi Otoritas Keislaman di Indonesia”, dalam Ismatu Ropi, Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, hlm. 7.

[13] Maksum Muchtar, “Kajian Islam Haramain: Pengalaman di Makkah”, dalam dalam Ismatu Ropi, Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, hlm. 21.

[14] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid 1, Bandung: Salamadani, 2009, hlm. 99.

[15] Rose E. Dunn, Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad ke-14, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995, hlm. x. (Terjemahan: The Adventures of Ibn Battuta, a Muslim Traveler of the 14th Century, California: University of California Press, 1986.)

[16] H.A.R. Gibb, Ibn Battuta: Travels in Asia dan Africa, 1325-1354, London: Routledge & Kegan Paul Ltd., (Fourth Impression), 1957, hlm. 274-275.

[17] Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: Lentera, 1999, hlm. xx.

[18] Ismatu Ropi dan Kusmana, “Alumni Timur Tengah dan Disseminasi Otoritas Keislaman di Indonesia”, dalam Ismatu Ropi dan Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, hlm. 10.

[19] www.habibluthfiyahya.net/index.php?option=com_content&view=article&id=144%3Aulama-ulama-indonesia-di-haromain-embrio-nu-di-indonesia&catid=34%3Aberita&Itemid=18&lang=id

[20] Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: Lentera, 1999, hlm. 281.

[21] Abubakar Aceh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Semarang-Solo: Ramadhani, 1982.

[22] Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya, Jakarta: Lentera, 1999, hlm. 284.

[23] Kamajaya, Delapan Alim Ulama Pahlawan Nasional, Buku Kedua, Yogya: U.P. Indonesia, 1981.

[24] Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: Lentera, 1999, hlm. 286.

[25] Ibid, hlm. 288.

[26] Ibid, hlm. 291.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here