Oleh: Dr. Saiful Bahri, M.A
materi sebelumnya http://www.iman-islam.com/2016/01/qs-al-haqqoh-bag-1.html
Sebaliknya, ”adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. telah hilang kekuasaanku daripadaku.” (QS. 69: 25-29)
Sebuah prediksi yang salah. Jika pada saat mereka di dunia, harta dan kekuasaan sangat mereka banggakan. Tapi keduanya tak lagi mendatangkan manfaat saat hari penghitungan amal dilakukan. Akibatnya mereka pun menanggung malu yang luar biasa saat buku catatan amal dibagikan. Apalagi mereka menerimanya dengan tangan kiri, atau bahkan dilempar. Keduanya merupakan pertanda yang tidak baik. Bahkan buruk kesudahannya. Bahkan mereka berharap cepat mati dan takkan dibangkitkan lagi ([8]). Kata al-qâdhiyah adalah kematian atau kemusnahan yang tidak ada kehidupan lagi sesudahnya. Padahal ketika di dunia mereka berharap untuk hidup selamanya dan sangat takut dengan kematian.
”Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta” (QS. 69: 29-32)
Khusus penyebutan kata ”70 hasta”, Ibnu Abbas memiliki penakwilan. Bagi orang arab ketika mengambarkan jumlah yang banyak dengan bilangan 70. Sedangkan Abu Hayyan mengatakan, bilangan tersebut bisa saja benar seperti itu, atau hasta malaikat atau hanya sekedar untuk mubalaghah seperti yang dikatakan Ibnu Abbas ([9]).
Selama di dunia mereka telah melakukan dua buah jenis ”khati`ah”. Satu kesalahan terhadap Allah dengan mendustakan-Nya. Dan satu lagi kesalahan terhadap sesamanya. Bakhil dan menyebarkan kebakhilan.
”Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah yang Maha Besar. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin”. (QS. 69: 33-34)
Orang yang tak beriman pada Allah segala amal kebaikannya yang lain pun akan menjadi sia-sia. Demikian sebaliknya, orang yang mengaku beriman pada Allah tapi perilaku sosialnya sangat buruk, seperti menyakiti dan tidak menolong kaum fakir miskin, maka sama saja seperti orang munafik yang mendustai keyakinannya dengan berpura-pura.
Maka orang yang ideal adalah orang yang menggabungkan kedua unsur kebaikan di atas, yaitu kebaikan vertikal ( hablum minalLâh), dan kebaikan horizontal (hablum minannâs).
Al- Qur’an Sebagai Wahyu dan Pedoman Hidup
Untuk sebuah pengukuhan, tidak tanggung-tanggung Allah bersumpah dengan segala ciptaan-Nya yang ada. Baik yang bisa dilihat manusia ataupun yang tidak nampak oleh kasad mata.
”Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat, dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia”. (QS. 69: 38-39)
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan kisah Umar bin Khattab ketika sedang mengintai Nabi Muhammad yang sedang shalat di depan ka’bah ([10]). Saat beliau membaca al-Qur’an Umar membatin ini adalah perkataan seorang penyair. Nabi Muhammad membaca ayat ke-41.
”Dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. sedikit sekali kamu beriman kepadanya”
Umar tersentak. Kemudian dia berpikir Muhammad adalah tukang tenung yang tahu pikiran manusia. Nabi Muhammad melanjutkan ayat berikutnya.
”Dan bukan pula perkataan tukang tenung. sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya”
Umar terdiam. Benih-benih hidayah mulai bersemai dalam hatinya. Dan akhirnya kita mengetahui kisah keislamannya setelah sebelumnya menggerebek kediaman adiknya, Fatimah yang sedang belajar al-Qur’an dan Umar kemudian menangis setelah Fatimah membacakan surat Thâha.
Karena memang, ”Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam” (QS. 69: 43) dan wahyu tersebut merupakan pedoman bagi para manusia. Bahkan, Allah pun memberi ancaman jika Nabi Muhammad mengada-ada dan mengatakan apa yang bukan diwahyukan Allah sebagai wahyu-Nya.
”Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) kami. Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar kami potong urat tali jantungnya” (QS. 69: 44-46)
Dan hanya orang yang mendapat hidayah saja yang mampu menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. ”Dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (QS.69: 48). Allah juga Maha Tahu bahwa pasti selalu ada di antara makhluk-Nya yang mendustakan risalah-Nya. Tapi kelak semua itu berujung penyesalan yang tak tergambarkan. ”Dan Sesungguhnya kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan(nya). Dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat)”. (QS. 69: 49-50)
Penutup: Bertasbihlah; Raihlah Prestasi
Kembali Allah mengingatkan kita untuk bertasbih kepada-Nya di akhir surat ini. ”Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Maha besar” (QS. 69: 52). Karena tasbih sebagai bentuk pengakuan terhadap kebesaran Allah yang menurunkan Al-Qur’an sekaligus sebagai penyucian diri dari kealpaan, kelalaian dan akan semakin menjadikan Allah bersimpati dan menyayangi kita.
Semoga kita dapat menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dan pelajaran sehingga hidup kita makin terarah mendekat kepada ridho dan cinta-Nya. Amin.
—————————————————————————-
([1]) kata al-Hâqqah hanya disebut tiga kali dalam surat ini saja (lihat: Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd Qader, Ma’alim Suar al-Qur”an, Cairo: Universitas Al-Azhar, Cet.I, 2004M/1424H, Vol. 2, hal. 695)
([2]) Sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Jarir ath-Thabary dalam tafsirnya Jâmi’u al-Bayân, Beirut: Dar Ihya Turats al-Araby, Vol. XXIV, hal. 58. Juga disebut oleh Imam al-Qurthuby (al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Cairo: Darul Hadits, Vol. IX, hal.468)
([3]) Syiekh Muhammad Ali ash-Shabuny, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali ash-Shabuny, 1986 M/1406 H, hal 257-258
([4]) sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, dan muridnya Qatadah (lihat: Imam al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1424 H, Vil. IV, hal.355)
([5]) Imam Ibnu Katsir, Tasfir al-Qur’an al-’Azhim, Cairo: al-Maktabah al-Qayyimah, Vol.IV, hal. 535
([6]) Seperti pendapat Imam Ath-Thabary, al-Wahidy, al-Baghawy, al-Qurthuby, dan al-Alusy (lihat: tesis penulis,Kitab Lawami’ al-Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi-Ma’any al-Qur’an, Cairo: Universitas Al-Azhar, Vol. II, hal. 695)
([7]) Lihat ayat 37 (Surat al-Hâqqah)
([8]) lihatlah harapan mereka yang direkam Allah dalam ayat 27.
([9]) Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf, Tasfir al-Bahr al-Muhith, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Cet.I, 2001 M/1422 H, Vol.VIII, 320
([10]) Imam Ibnu Katsir, Op.Cit, Vol. IV, hal 540-541
Dipersembahkan:
www.iman-islam.com
Sebarkan! Raih pahala…