Kezaliman Ketjil

0
40

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

📝 Pemateri : Ustadz Gufron Aziz Fuadi

Tidak terlalu jauh dari rumah ada rel kereta api yang masih aktif melintasi jalan Qomarudin. Tak pelak sering terjadi kemacetan, apalagi bila yang melintas kereta Babaranjang (kereta batu bara rangkaian panjang) yang panjangnya 1 km an.

Bila diperhatikan lebih seksama penyebab kemacetan panjang dan lama bukan hanya karena melintasnya kereta tetapi karena perilaku “zhalim” pengguna motor roda dua yang menyerobot ruas jalan yang seharusnya menjadi jalan kendaraan dari arah yang berlawanan.

Karena semua ruas jalan sisi kanan dipenuhi motor yang menyerobot maka setelah keretanya lewat, mobil dan motor tidak dapat segera melaju.

Sebab perilaku main serobot itu menutup semua sisi jalan dan menyebabkan terjadinya bottleneck sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk terurai nya.

Padahal niat menyerobot adalah biar lebih cepat tapi yang terjadi justru malah lebih lama. Tentu lebih merugikan, baik bagi dirinya maupun orang lain.

Kita menganggap perilaku menyerobot jalan seperti kasus diatas bukan suatu kezhaliman. Sebab kata atau istilah ini biasa digunakan untuk melambangkan sifat kejam, bengis, tidak berperikemanusiaan.

Istilah zhalim merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Menurut bahasa Arab, kata dzalim maknanya adalah sebuah perkara atau sesuatu yang kondisinya bukan selayaknya.

Dalam ajaran Islam, dzalim juga difahami sebagai melakukan sesuatu tidak pada tempatnya atau tidak semestinya.

Dzalim terbagi menjadi dua bentuk, yaitu mendzalimi diri sendiri dan menzalimi orang lain. Mendzalimi diri sendiri bisa dalam bentuk syirik dan perbuatan dosa atau maksiat. Sementara mendzalimi orang lain yaitu menyakiti perasaan, mengambil hak/milik orang lain atau tidak menunaikan hak orang lain.

Pemimpin yang tidak menunaikan kewajibannya, berarti dia melakukan kedzaliman. Wakil rakyat yang tidak memperjuangkan atau tidak menyuarakan suara yang diwakilinya, pun demikian.

Perilaku atau kebiasaan menyerobot jalan seperti kasus diperlintasan rel, jangan jangan menjadi cikal bakal dari mental atau kepribadian dan perilaku dzalim. Kasus ini kecil, sehingga sering tidak dianggap sebagai suatu masalah. Boleh jadi karena pelakunya memang tidak atau belum mendapatkan kesempatan dan peluang “kedzaliman besar” seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Amit amit jabang bayi bila perilaku “dzalim kecil” ini menjadi budaya atau mental bangsa. Tentang hal ini tokoh antropolog Indonesia, Prof. Koentjaraningrat pernah menyebutkan bahwa salah satu budaya negatif bangsa Indonesia adalah mental menerabas.

Koentjaraningrat memberi definisi bahwa mental menerabas adalah “nafsu untuk mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa banyak berusaha secara bertahap dari awal hingga akhir.” 

Mental menerabas adalah sikap yang ingin mencapai tujuan dengan cepat tanpa berusaha secara bertahap. Sikap ini sering diikuti dengan sifat-sifat buruk lainnya, seperti tidak disiplin dan suka mengabaikan tugas, melanggar aturan, menyuap untuk melancarkan proses dan sebagainya.

Hal ini bisa kita saksikan betapa masyarakat kita senang dengan mi instan, menjadi pendekar instan dengan bertapa tanpa latihan fisik yang memadai dan yang terakhir gelar doktor instan dari Universitas Instan.

Terkait dengan “hak jalan” sebagaimana tema diatas, sebenarnya Rasulullah SAW pernah bersabda:

“…Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis nongkrong di jalan), maka berilah hak jalan”. Sahabat bertanya: “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab: “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)  

Menyerobot jalan disisi kanan sehingga menghalangi pengguna jalan yang lain adalah lawan dari menghilangkan ganguan tetapi sebaliknya membuat ganguan pada pengguna jalan. Jadi dalam perspektif hadits diatas, tentu perbuat yang salah dan dosa.

Bahkan dalam kasus lampu merah (traffic light) menerobos lampu merah sebenarnya juga bentuk kedzaliman kecil lainnya yang mungkin kadar dosa agak lebih besar sedikit. Karena membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Heh, bisa kena pasal berlapis, hadits yang diatas dan hadits berikut, hadits riwayat Imam Ahmad, Imam Malik dan Ibnu Majah, Rasulullah Saw bersabda:

“… Lā dhororo wa lā dhirôro (لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ) artinya “Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain”. 

Tapi karena sudah biasa dan dak katek polisi ya, lajukan bae…weke, weke, weke…

Wallahua’lam bi shawab

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Iman Islam
No Rek BSI : 5512 212 725
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here