Metode Belajar Al-Quran Dulu dan Kini

0
183

๐ŸŒฟ๐ŸŒบ๐Ÿ‚๐Ÿ€๐ŸŒผ๐Ÿ„๐ŸŒท๐ŸŒน

๐Ÿ“ Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I

Al-Quran turun dengan cara yang berbeda dengan kitab-kitab Allah sebelumnya. Jika kitab-kitab terdahulu turun sekaligus dalam bentuk tulisan, Al-Quran turun secara bertahap dalam bentuk hafalan. Bukan sekadar pembenaran atas nubuat Kitab Taurat tentang sosok nabi akhir zaman yang diberikan firman di lidahnya, tetapi juga sebagai bentuk pemeliharaan Al-Quran sejak awal. Jika kitab-kitab sebelum Al-Quran tak terjaga, maka hal itu tak mengapa, karena akan turun kitab berikutnya yang meluruskan. Namun Al-Quran, sebagai kitab terakhir, harus terjaga selamanya.

Rasulullah Saw. menerima Al-Quran melalui pengajaran Malaikat Jibril. Lafal-lafal Al-Quran didiktekan satu per satu agar bisa ditirukan dan dihafal. Beliau mengajarkan ayat-ayat itu kepada para sahabat dengan metode yang sama. Kemudian beliau memerintahkan untuk menuliskan ayat-ayat itu di hadapan beliau dengan menunjuk beberapa sahabat yang bisa menulis bersama saksi-saksi. Berdasarkan Surah Al-Naml (27) ayat 6, metode pengajaran seperti itu disebut talaqqi, yaitu guru membacakan, sementara murid mendengarkan, lalu menirukan sampai hafal.

Keberadaan guru (pengajar) sangat penting dalam penerapan metode belajar Al-Quran secara talaqqi. Dengan metode talaqqi, Al- Quran bukan sekadar terjaga huruf-hurufnya secara lisan dan tulisan, tetapi juga cara membacanya. Para sahabat, bahkan tabiin, mengajarkan Al-Quran kepada murid-murid mereka dengan talaqqi. Mereka menghafal Al-Quran dengan memahami dan mengamalkannya. Bahkan, pada periode Madinah, pemahaman dan pengamalan Al-Quran lebih didahulukan daripada hafalan.

Apabila pada zaman Rasulullah Saw. ada sahabat yang hafal Al- Quran, berarti sahabat itu sudah membaca dengan benar, paham, dan mengamalkannya, karena para sahabat itu belajar Al-Quran dengan cara memahami dan mengamalkan, kemudian menghafal. Alangkah tepat apabila Rasulullah Saw. mengatakan, yang paling berhak menjadi imam suatu kaum adalah yang paling banyak hafalan Quran-nya. Tidak semata-mata banyak hafalannya, tetapi juga pemahaman dan pengamalannya sudah lebih banyak.

Keberadaan guru (pengajar) sangat penting dalam penerapan metode belajar Al-Quran secara talaqqi. Dengan metode talaqqi, Al-Quran bukan sekadar terjaga huruf-hurufnya secara lisan dan tulisan, tetapi juga cara membacanya.

Anas ibn Mรขlik, salah seorang pakar Al-Quran dari sahabat Rasulullah Saw. berkata, “Apabila kami mendengar orang hafal Al- Baqarah, maka orang itu sangat besar di hati kami.” Hal ini mengingat semua kandungan Surah Al-Baqarah tentu sudah dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi kalau sudah disebut guru Al-Quran seperti Ubay ibn Ka’ab, ‘Abdullah ibn Mas’ud, dan ‘Utsman ibn ‘Affan, maka mereka lebih agung lagi.

Awal abad kedua Hijrah, setelah era para sahabat berlalu, atau disebut era tabiin dan tรขbi’ut tรขbi’รฎn, interaksi umat dengan Al- Quran mengambil jalan sebaliknya, yakni menghafal, lalu memahami. Tak jarang pada era itu, banyak anak usia tujuh tahunan sudah hafal Al-Quran 30 juz. Imam Al-Syafi’i misalnya, adalah satu dari anak-anak genius itu.

Menghafal kemudian memahami menjadi sangat tepat, karena zaman Al-Syafi’i, manusia terlahir di saat Al-Quran sudah utuh dalam bentuk mushaf; berbeda dengan para sahabat yang kelahiran mereka bersamaan atau mendahului turunnya Al-Quran. Bahkan, banyak sahabat yang meninggal dunia sebelum Al-Quran selesai diturunkan. Maka, metode memahami kemudian menghafal menjadi sangat penting pada saat itu.

Imam Al-Syafi’i (w. 204 H.), sebagaimana dikomentari Al- Mรขwardi (w. 450 H.), membaca fenomena dan pengalaman menghafal Al-Quran kemudian memahami itu dengan membuat kesimpulan bahwa yang paling berhak menjadi imam bagi suatu kaum adalah yang paling memahami Al-Quran atau disebut afqahuhum, bukan aqra’uhum (yang paling banyak hafalannya). Sebab, pada masanya, orang-orang yang memahami Al-Quran bisa dipastikan sudah hafal Al-Quran seluruhnya.

Sedangkan mereka yang sudah hafal seluruh Al-Quran, belum tentu sudah memahaminya.

Metode menghafal kemudian memahami itu bertahan hingga abad kemunduran Islam. Setelah itu, kemampuan ulama hampir jarang yang seimbang. Ada yang mahir membaca (hafal) Al-Quran, tetapi tidak mahir memahami. Ada juga yang mahir memahami, tetapi tidak mahir membaca Al-Quran. Imam Nawawi (w. 676 H.), sebagai ulama abad itu yang mahir membaca dan memahami Al-Quran, mengkritik praktik guru-guru Al-Quran yang sudah melenceng jauh dari akhlak Qurani, seperti melarang murid belajar kepada orang lain, karena takut kehilangan pengaruh. Kemudian Imam ibn Al-Jazari (w. 833 H.) mengkritik para ulama pemaham Al-Quran yang tidak benar bacaannya.

Pengaruh abad kemunduran Islam itu masih terasa hingga sekarang di Indonesia. Orang yang sudah lulus belajar di sebuah pesantren kitab kuning, misalnya, terkadang merasa tidak perlu menghafal Al-Quran, meski bacaan Al-Qurannya baik atau bahkan belum baik. Sebaliknya, mereka juga terkadang merasa tidak perlu belajar memahami Al-Quran, meski sudah hafal atau sudah menjadi guru Al-Quran.

Sudah saatnya Al-Quran kembali dihafalkan dan diamalkan secara bersamaan, khususnya bagi orang yang sudah dewasa dan sudah tidak memungkinkan mesantren lagi, baik kiai, santri, mahasiswa, pengusaha, maupun pejabat. Bagi yang sedang menghafal Al-Quran di pesantren, hindari berhenti di fase hafalan, lanjutkan ke pemahaman. Bagi yang sedang memahami Al-Quran, hindari berhenti di fase pemahaman, tetapi juga lanjutkan ke hafalan agar pintu-pintu kebahagiaan terbuka lebar selebar yang diinginkan.

Temukan guru yang tepat. Hilangkan rasa gengsi dari dalam hati. Betapa banyak orang yang bacaannya tidak mau dibetulkan, apalagi yang sudah menyandang status ustadz. Kalau para sahabat berharap bacaan mereka didengarkan oleh Rasulullah Saw. agar terkoreksi, masyarakat sekarang menolak bacaannya didengarkan oleh guru, karena takut disalahkan. Alangkah indah kalau kiai fiqih belajar Al-Quran kepada kiai Al-Quran, dan kiai Al-Quran belajar fiqih kepada kiai fiqih.

Meminjam istilah tasawuf, kami mengambil term mursyid untuk pembimbing menghafal Al-Quran. Seorang mursyid harus hafiz Al-Quran. Bimbingan yang dilakukan oleh mursyid biasanya diwujudkan dalam bentuk menerima setoran hafalan, mengontrol dan mengondisikan hafalan, memberikan saran, nasihat, arahan, dan motivasi, serta memeriksa bacaan. Dengan adanya mursyid, kegiatan menghafal akan berlangsung secara kontinu dan dinamis, meski tak lagi menggunakan metode talaqqi. Selamat menghafal!

Wallahul Muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq

๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐ŸŒธ๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐ŸŒธ๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐ŸŒธ


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

๐Ÿ“ฑInfo & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis

๐Ÿ’ฐ Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here