Hukum Pernikahan yg Tidak direstui Istri Pertama

0
74


Ustadz Slamet Setiawan

Assalamu’alaikum Ustadz/ah..
Ustadz/Ustadzah, saya mau bertanya bagaimana hukum pernikahan yang tidak direstui istri pertama? # A03
Jazakumullah

Jawaban :
—————-

Secara syariah Islam boleh. Tapi secara negara tidak boleh artinya, tanpa ijin istri pertama, maka perkawinan tidak bisa didaftarkan ke KUA (Kantor Urusan Agama). Jadi hanya bisa dilakukan secara siri.

Adapun prosedur poligami menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sebagai berikut:

Alasan Syarat dan prosedur Poligami

Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat masalah Poligami ini pada bagian IX dengan judul, Beristeri lebih dari seorang yang diungkap dari Pasal 55 sampai 59.
Pada dasar aturan pembatasan, penerapan syarat-syarat dan kemestian campur tangan penguasa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 diambil alih seluruhnya oleh KHI. Keberanian KHI mengambil alih aturan tersebut merupakan langkah maju secara dinamis aktualisasi hukum Islam ibidang poligami. Keberanian untuk mengaktualkan dan membatasi kebebasan poligami didasarkan atas alasan ketertiban umum. Lagi pula, jika diperhatikan ketentuan Qs. Surat Al-Nisa’: 3 derajat hukum poligami adalah kebolehan. Kebolehan inipun kalau ditelusuri sejarahnya tergantung pada situasi dan kondisi masa permulaan Islam.

Pada pasal 55 dinyatakan :
1. Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
2. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.

Lebih lanjut dalam KHI Pasal 56 dijelaskan :
1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam bab VIII Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dari Pasal-pasal di atas, KHI sepertinya tidak berbeda dengan Undang-undang perkawinan. Kendatipun pada dasarnya Undang-undang perkawinan dan KHI mengambil prinsip monogami, namun sebenarnya peluang yang diberikan untuk poligami juga terbuka lebar.

Pada pasal 57 dijelaskan :
Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Tampak pada pasal 57 KHI di atas, Pengadilan Agama hanya memeberikan izin kepada suami yang akan beristerilebih dari seorang apabila terdapat alasan-alasan sebagaimana disebut dalam Pasal 4 Undang-undang Perkawinan. Jadi pada dasarnya pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Dalam Pasal 58 ayat (1) KHI menyebutkan : Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Selanjutnya padaPasal 59 juga digambarkan betapa besarnya wewenang Pengadilan Agama dalam memberikan keizinan. Sehingga bagi isteri yang tidak mau memberi persetujuan kepada suaminya untuk berpoligami, persetujuan itu dapat diambil alih oleh Pengadilan Agama. Lebih lengkapnya bunyi Pasal tersebut sebagai berikut :

Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memaksa dan mendengar isteri yang bersangkutan dipersidangkan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

Masalah enggannya isteri memberikan persetujuan dapat saja terjadi kendatipun ada alasan yang digunakan suami seperti salah satu alasan yang terdapat pada Pasal 57. Namun tidak jelasnya ukuran alasan tersebut, contohnya, tuduhan suami bahwa isterinya tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang isteri, si isteri dapat menyangkal bahwa ia telah melaksanakan tugas dengan baik, akibat tidak ada ukuran perdebatan bisa terjadi dan isteri tetap tidak mau memberikan persetujuannya. Dalam kasus ini, Pengadilan Agama dapat memberi penetapan keizinan tersebut. Tampak sekali posisi wanita sangat lemah.

Kendati demikian, terlepas dari kritik yang muncul berkenaan dengan beberapa persoalan poligami, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perundang-undangan Perkawinan Indonesia tentang Poligami sebenarnya telah berusaha mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar
(1) mampu secara ekonomi menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuhan (sandang-pangan-papan) keluarga (Isteri-isteri dan anak-anak), serta (2) mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya sehingga isteri-isteri dan anak-anak dari suami poligami tidak disia-siakan.
Demikian juga perundang-undangan indonesia terlihat berusaha menghargai isteri sebagai pasangan hidup suami. Terbukti, bagi suami yang akan melaksanakan poligami, suami harus lebih dahulu mendapatkan persetujuan para isteri.

Pada sisi lain peranan Pengadilan Agama untuk mengabsahkan praktik poligami menjadi sangat menentukan bahwan dapat dikatakan satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk mengizinkan poligami. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here