Menyegarkan Kembali Tema Silaturrahim

0
89

Oleh: Ustadz DR. Wido Supraha (wido@supraha.com)

Islam adalah agama kasih, agama yang dibangun dengan kasih sayang, agama yang diturunkan untuk melahirkan kasih dan cinta, agama yang hadir untuk memuliakan manusia.

Maka menjadi fahamlah mengapa seluruh ajaran Islam mengandung dorongan untuk mengasihi setulus hati tanpa henti hanya untuk meraih ridho Ilahi Rabbi.

Silaturrahim sejatinya berasal dari dua akar kata, silah yang berarti hubungan, dan rahim yang berarti rahmah yaitu lembut dan kasih sayang.

Istilah rahim juga berarti tempat janin bertumbuh, sebelum dilahirkan, sehingga menjalin tali kasih sayang kepada orang-orang dzu rahim, yang memiliki hubungan nasab, baik mewariskannya atau tidak, baik memiliki hubungan mahram atau tidak,  mendapatkan prioritas lebih utama, dan menjadi sumber inspirasi untuk dikembangkan kepada umat manusia secara umum.

Secara bahasa,
tarahamal qaumu artinya saling berkasih sayang, istarhama berarti meminta rahmat,
rajulun aw imra’atun rahumun berarti laki-laki atau wanita penyayang.

Islam diawali dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dan kedua sifat ini adalah bagian takhalluq umatnya untuk juga mampu melahirkan sifat Kasih dan Sayang.

Islam yang dibangun di atas pondasi tauhid, meng-Esa-kan Allah, meng-Ahad-kan Allah, tidak menjadikan sesembahan selain Dzat Tuhan yang Satu (Ahad atau Esa), tidak berprilaku Syirik kepada yang Satu itu sebagai bagian adab dari hablun min Allah, ternyata kemudian mendorong umatnya untuk mempererat hubungan masyarakat dalam sistem Rabbani untuk melahirkan persatuan, kasih sayang, dan tolong-menolong di antara manusia tanpa pernah sekalipun dalam bab hablun min an-nas, Islam memisahkan antara Muslim dan Non-Muslim, karena hakikat Islam adalah menjadi Kasih untuk Semesta Alam.

Sementara di dunia, kedudukan manusia bercampur mulai dari orang tua, kerabat sanak saudara, yatim, miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, sahabat sejawat baik dalam sebuah perjalanan maupun tidak, orang-orang yang sedang dalam perjalanan, dan hamba sahaya, atau juga para asisten yang menghabiskan banyak waktunya untuk membantu manusia yang lain (Lihat Q.S. An-Nisa/4:36).

Rasulullah Saw dalam banyak khutbahnya sentiasa mengawali diantaranya dengan mengingatkan manusia untuk bertakwa kepada Allah, berdo’a dengan asma-Nya, dan memelihara hubungan Silaturrahim (Lihat Q.S. An-Nisa/4:1).

Kehadiran Nabi Saw melahirkan standar-standar suatu kebaikan dan kebenaran dalam Islam, standar-standar yang akan membawa pemeluknya ke Surga (Jannah), standar-standar yang akan membawa kebaikan kehidupan di dunia menuju Akhirat kelak. Muslim kemudian diingatkan bahwa ber-Islam berarti yakin, ibadah, dan amal shalih. Kehilangan satu dari tiga unsur tersebut menyebabkan kehilangan pondasi iman pada dirinya.

Tidak berhenti pada mengingatkan akan pentingnya menghidupkan Silaturrahim, Nabi Saw kemudian menjelaskan ragam aspeknya, kualitasnya, memberikan keteladanan, dan mengingatkan umatnya untuk tidak pernah sekali-kali meninggalkannya, apalagi memutuskannya!

Di saat Allah Swt memerintahkan manusia untuk menyambung silaturrahim (lihat Q.S. Ar-Ra’d/13:21), Dia juga menjanjikan umatnya yang bersabar dalam menjalankan perintah ini kelak mendapatkan salam penghormatan di Surga ‘And (salaamun ‘alaikum bimaa shabartum, fa ni’ma ‘uqbaddaar).

Prioritas silaturrahim kemudian dihadirkan yaitu menjaga hubungan baik dengan orang tua (lihat Q.S. Al-Isra/17:23-24), dilanjutkan dengan saudara-saudara orang tua, dan teman-teman karibnya.

Kebiasaan manusia menjaga sifat kasih dan sayangnya, akan melahirkan sebuah karakter bahkan akhlak yang terinternalisasi dengan baik sebagai ciri unik seorang Muslim kaffah, Muslim yang mampu menjaga semangat kasihnya tidak saja kepada manusia yang ada di sekitarnya, namun juga manusia yang berada jauh dari penglihatannya, seperti mereka yang mendapatkan ujian kehidupan di Rohingya, Palestina, Mesir, CAR, dan negeri-negeri lainnya, karena silaturrahim tidak mengenal sekat-sekat wilayah, persis seperti pesan Nabi Saw untuk sentiasa memberikan perlindungan dan hak kekerabatan kepada bangsa Mesir.

Manusia yang senang diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, ia pasti mencintai silaturrahim. Manusia yang mencintai silaturrahim di atas pondasi Iman kepada Allah, dijanjikan Surga, sebaliknya yang senang memutuskan silaturrahim, dijanjikan Neraka. Maka ar-rahmu tetap bergantung di ‘Arsy, bereaksi kepada bagaimana cara manusia berkasih sayang kepada sesamanya.

Maka fahamilah mengapa Rasulullah Saw memberikan posisi yang mulia kepada mereka yang berinisiatif memulai terlebih dahulu untuk menyambung tali silaturrahim yang terputus atau bahkan diputus secara menghinakan oleh saudaranya, karena dalam hal ini, fokus manusia hanya kepada berlomba-lomba berbuat kebajikan bukan menahan egoisme yang akan meruntuhkan martabatnya di hadapan Allah Swt.

Muslim disebut beriman kepada Allah dan Hari Akhir jika ia mampu memberikan yang terbaik untuk saudaranya, sekali lagi tanpa melihat suku, agama, ras, dan adat istiadat, ketika mereka bertamu, menjadi tetangga, dan menjadi relasi bisnis, dan mengajarkan untuk pintar menggunakan kata-kata yang terbaik yang enak didengar sebagai hak sesama manusia.
Islam hanya memberikan pandusan skala prioritas dalam sebuah amal shalih.

Tatkala manusia diberikan perlakuan yang buruk, Islam juga mendorong umatnya untuk membalasnya dengan cara yang lebih baik, sehingga tiba-tiba antara keduanya yang sebelumnya bermusuhan menjadi sahabat sejati nan-setia.

Begitu banyak kemuliaan silaturrahim, maka janganlah sekali-kali manusia memutuskannya bahkan senang dan berbahagia di atas pemutusannya, karena perbuatan ini adalah perbuatan yang sangat dibenci.

Memutuskan tali silaturrahim disejajarkan dengan keburukan membuat kerusakan di muka bumi (lihat Q.S. Muhammad: 22-23), dan kepada mereka dijanjikan tempat kembali yang buruk (lihat Q.S. Ar-Ra’d:25).

Terkadang manusia menjauhi sahabatnya yang senang mengingatkannya dalam kebaikan padahal itulah di antara sahabat yang paling prioritas untuk ia jadikan sahabat sejati, sahabat yang akan bersamanya di kala duka.

Terkadang manusia menjauhi keluarganya untuk mendapatkan kesenangan hidup, padahal hanya keluarganya yang sentiasa siap menjaganya tanpa mengharapkan imbalan apapun.

Maka demikian juga kepada Dzat yang Menciptakan manusia, adalah lebih pantas bagi manusia untuk menunaikan amanah-Nya untuk menjaga kerusakan bumi ini, di antaranya disebabkan ditinggalkannya kasih dan sayang di atas tali silaturrahim, sehingga lahirlah permusuhan dan kebencian, padahal pada saat itu kalangan syaithan sedang tertawa-tawa di atas kebodohan manusia yang tidak mengetahui rahasia dan keutamaan menyambung tali silaturrahim.

Hadanallaahu wa iyyaakum ajma’in.

 (supraha.com)

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here