Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.
Hadits ke 5:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – لَا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ – أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Janganlah salah seorang kalian mandi di air yang tergenang (diam) dan dia dalam keadaan junub.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim)
Takhrij Hadits:
Imam Muslim dalam Shahihnya No. 283
Imam An Nasa’i dalam Sunannya No. 220, 331, 396
Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 605
Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 1063
Imam Ath Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al Aatsar No. 15
Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 1252
Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 93
Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 26586
Imam Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 779
Status Hadits:
Hadits ini shahih, dan dimasukkan oleh Imam Muslim, Imam Ibnu Khuzaimah, dan Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahih mereka masing-masing.
Kandungan Hadits:
Ada beberapa pelajaran dari hadits ini:
1. Tentang Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, siapakah dia?
Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Imam Muhammad bin Ishaq Rahimahullah,katanya:
اسْمُ أَبِي هُرَيْرَةَ: عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ صَخْرٍ، مُخْتَلَفٌ فِي اسْمِهِ
“Nama Abu Hurairah adalah Abdurrahman bin Shakr, terjadi perbedaan pendapat tentang namanya.” (Imam Abu Nu’aim, Ma’rifatush Shahabah, 4/1846)
Imam An Nawawi Rahimahullah menyebutkan:
اختلف فى اسمه اختلافًا كثيرًا جدًا. قال الإمام الحافظ أبو عمر بن عبد البر: لم يختلف فى اسم أحد فى الجاهلية ولا فى الإسلام كالاختلاف فيه. وذكر ابن عبد البر أيضًا أنه اختلف فيه على عشرين قولاً، وذكر غيره نحو ثلاثين قولاً، واختلف العلماء فى الأصح منها، والأصح عند المحققين الأكثرين ما صححه البخارى وغيره من المتقنين أنه عبد الرحمن بن صخر
“Terjadi perselisihan pendapat yang sangat banyak tentang namanya. Al Imam Al Hafizh Abu Umar Ibnu Abdil Bar mengatakan: “Belum pernah terjadi pada masa jahiliyah dan masa Islam perbedaan masalah nama sebagaimana namanya.” Ibnu Abdil Bar juga menyebutkan bahwa perbedaan ini ada dua puluh pedapat, yang lain mengatakan tiga puluh pendapat, dan para ulama berselisih pendapat mana yang paling benar. Dan, yang paling benar menurut mayoritas muhaqqiqin (peneliti) adalah apa yang dishahihkan oleh Al Bukhari dan lainnya dari kalangan ulama yang mutqin (teliti), bahwa namanya adalah Abdurrahman bin Shakhr.” (Tahdzibul Asma wal Lughat, No. 877. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
أكثر النّاس لايعرفون اسم أبي هريرة رضي الله عنه،ولهذا وقع الخلاف في اسم راوي الحديث،وأصحّ الأقوال وأقربها للصواب ما ذكره المؤلف رحمه الله أن اسمه:
عبد الرحمن بن صخر. وكنّي بأبي هريرة لأنه كان معه هرّة قد ألفها وألفته، فلمصاحبتها إيّاه كُنّي بها
“Kebanyakan manusia tidak mengetahui nama Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, oleh karena itu terjadilah perbedaan pendapat tentang nama periwayat hadits ini, dan pendapat yang paling benar dan lebih dekat dengan kebenaran adalah yang disebutkan oleh penyusun kitab ini (Imam An Nawawi) Rahimahullah bahwa namanya adalah: Abdurrahman bin Sakhr. Lalu, dia diberikan kun-yah (gelar) dengan Abu Hurairah karena dia memiliki seokor kucing (Hirrah) yang senantiasa bersamanya, maka karena pertemanan itulah dia dijuluki dengan itu.”(Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 129. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Imam Adz Dzahabi Rahimahullah menceritakan tentang Abu Hurairah:
“Dia adalah seorang Imam, Al Faqih (paham agama), Al Mujtahid, Al Hafizh, Seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Abu Hurairah Ad Dausi Al Yamani (orang Yaman), pemimpinnya para Huffazh yang terpercaya. Terjadi banyak perbedaan pendapat pada namanya, namun yang benar adalah Abdurrahman bin Sakhr. Ada yang mengatakan namanya adalah: Ibnu Ghanam, ada juga: Abdusysyams, Abdullah. Ada yang mengatakan: Sikkiin. ada juga: ‘Aamir. Ada yang menyebut: Bariir. Ada yang menyebut: Abdu bin Ghanam. Ada juga: ‘Amru. Ada yang menyebut: Sa’id.
Disebutkan bahwa pada masa jahiliyah namanya adalah Abdusysyam, Abul Aswad. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggantinya dengan Abdullah, dan memberinya kun-yah: Abu Hurairah (Bapak si kucing kecil). Telah masyhur bahwa dia diberikan kun-yah dengan sebutan anak kucing.
Dia telah meriwayatkan banyak hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, juga dari banyak sahabat besar, seperti Abu Bakar, Umar, ‘Aisyah, Ubay, Usamah bin Zaid, Al Fadhl, Bashrah bin Abi Bashrah, dan lainnya. Sedangkan yang mengambil hadits darinya adalah para sahabat dan tabi’in, dikatakan; sampai 800 orang. Imam Bukhari mengatakan bahwa yang meriwayatkan hadits darinya ada 800 orang atau lebih.
Disebutkan bahwa kedatangan dan keislamannya adalah pada tahun ke tujuh, pada tahun perang khaibar. Qais berkata: bahwa Abu Hurairah mengatakan keada kami: “Saya besahabat dengan nabi selama tiga tahun.” Sedangkan Hamid bin Abdurrahman Al Humairi mengatakan: “Dia menemani nabi selama empat tahun.” Kata Adz Dzahabi: “Inillah yang benar.” Abu Shalih mengatakan: “Abu Hurairah adalah sahabat nabi yang paling hafizh.”
Terjadi perbedaan para sejarawan kapan wafatnya. Al Waqidi menyebutkan Abu Hurairah wafat tahun 59 Hijriyah, usia 78 tahun.
Al Waqidi mengatakan Abu Hurairah menyalatkan wafatnya ‘Aisyah, yakni pada Ramadhan 58 Hijriyah, dan menyalatkan Ummu Salamah pada Syawal 59 Hijriyah.”
Abu Ma’syar, Dhamrah, Abdurrahman bin Maghra, Al Haitsam dan lainnya mengatkan, wafat tahun 58 Hijriyah.
Hisyam bin ‘Urwah mengatakan bahwa Abu Hurairah wafat tahun 57 Hijriyah, dua tahun sebelum wafatnya Mu’awiyah. Beliau wafat di Madinah dan dimakamkan di Baqi’. Wallahu A’lam (Lengkapnya lihat Siyar A’lamin Nubala, 2/578- 633)
2. Tenang makna اَلْمَاء اَلدَّائِم, para ulama menjelaskan:
وهو الراكد الساكن
Artinya Ar Raakid (tenang, diam) As Saakin (tenang tidak bergerak). (Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, 1/19. Maktabah Mushthafa Al Baabi Al Halabi)
Makna kalimat ini sebenarnya dijelaskan oleh hadits lain, yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari sebagaimana yang akan nanti disebutkan.
3. Tentang makna وهو جنب – wa huwaJunub, para ulama menjelaskan:
الجملة في موضع نصب على الحال
Kalimat yang menunjukkan pada keadaan. (Syaikh Abdullah Al Bassam, Taisirul ‘Alam Syarh Al ‘Umdah Al Ahkam, 1/5)
4. Hadits ini secara zahirnya menunjukkan terlarangnya seseorang mandi dalam keadaan junub ke dalam air yang tergenang alias tidak mengalir; atau dengan kata lain terlarang mandi janabah di air yang tergenang. Maka,mafhum mukhalafah (makna implisit)nya adalah:
– Bolehnya mandi yang bukan mandi janabah alias mandi biasa saja di air yang tergenang, selama air itu masih suci
– Bolehnya mandi janabah pada air yang tidak tergenang (mengalir)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:
فيه الكلام عن الجنابة، ولكنه إذا كان مجرد تنظف وليس رفع حدث وليس فيه ذلك القذر الذي يكون بالماء ويكون في الماء، فالذي يبدو أنه لا مانع منه؛ لأن المنع إنما كان للجنابة فقط الذي هو رفع حدث، وأما ذاك فليس فيه رفع حدث
Pada hadits ini disebutkan pembicaraan tentang janabah, tetapi jika mandinya adalah sekedar mandi, bukan untuk menghilangkan hadats, dan tidak ada padanya kotoran tersebut, baik yang muncul karena air itu, dan tidak pula air itu menjadi kotor, maka yang nampak adalah bahwa hal itu tidak terlarang. Sebab larangan hanyalah bagi yang mandi janabah untuk menghilangkan hadats, ada pun yang ini tidak ada hadats yang dihilangkan.(Syarh Sunan Abi Daud, 1/286)
Namun Asy Syaikh Utsaimin Rahimahullah mengatakan, bahwa larangan ini berlaku bagi mandi janabah dan mandi lainnya secara umum. (Asy Syarh Al Mukhtashar ‘ala Bulughil Maram, 2/6)
Sebagian ulama mengkategorikan larangan ini bukan haram tetapi makruh. Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
فقال العلماء من أصحابنا وغيرهم يكره الاغتسال في الماء الراكد قليلا كان أو كثيرا
Berkata para ulama dari sahabat-sahabat kami (yakni Syafi’iyah, pen) dan selain mereka, dimakruhkan mandi di air yang diam, baik sedikit atau banyak. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/189. Dar Ihya At Turats)
Lalu, beliau mengutip perkataan Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu:
قال الشافعي وسواء قليل الراكد وكثيره أكره الاغتسال فيه هذا نصه وكذا صرح أصحابنا وغيرهم بمعناه وهذا كله على كراهة التنزيه لا التحريم
Berkata Asy Syafi’i: “Sama saja, baik air tergenang yang sedikit atau banyak, aku membencinya untuk mandi di dalamnya.” Inilah perkataannya. Demikian juga yang dijelaskan para sahabat kami dan selain mereka dengan artian bahwa semua ini adalah makruh tanzih, bukan tahrim (mendekati haram). (Ibid)
Makruh ada macam, yaitu makruh tanzih yakni makruh yang mendekati boleh, dan makruh tahrim yakni makruh yang mendekati haram.
5. Hadits ini juga menunjukkan kedudukan yang berbeda antara air tergenang dan air mengalir. Air tergenang begitu besar peluang untuk terkena najis dan bertahannya najis tersebut. Berbeda dengan air mengalir yang jika terkena najis, maka mengalirnya air tersebut membuat hilangnya najis sehingga dia tetap suci.
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130