Bab Larangan Jual Beli Hutang Dengan Hutang (Bag 2)

0
53
Hadits tentang utang
Allah akan membantu orang yang berniat membayar utang.

Oleh: Ustadz Rikza Maulan, Lc., M.Ag

باب النهي عن بيع الدين بالدين

Silahkan buka materi sebelumnya di tautan berikut ini:

Bab Larangan Jual Beli Utang Dengan Utang (bag. 1)

2. Menjual utang secara tunai pada saat transaksi.

Ulama membagi jual beli utang secara tunai, menjadi dua bagian, yaitu :

a. بيع الدين للمدين – Menjual piutang kepada pihak yang berutang.

Kebanyakan ahli fiqih dari empat madzhab memperbolehkan menjual piutang atau menghibahkan piutang kepada orang yang berutang.

Karena penghalang dari sahnya menjual piutang dengan utang adalah karena ketidakmampuan menyerahkan objek akad.

Sementara dalam jual beli piutang kepada orang yang berutang di sini, tidak diperlukan lagi penyerahterimaan objek akad, karena piutang sudah ada pada orang yang meminjamnya sehingga sudah diserah terimakan dengan sendirinya.

Contohnya adalah orang yang memberikan pinjaman (الدائن), menjual piutangnya yang ada pada peminjam (المدين) dengan harga dari sesuatu yang bukan sejenis piutangnya.

Namun, berbeda dengan jumhur Ulama, Madzhab Zhahiriyah berperdapat bahwa menjual piutang kepada orang yang berutang adalah tidak sah, karena jual beli ini mengandung unsur gharar.

Dalam hal ini Ibnu Hazam berkata, ‘karena jual beli ini termasuk jual beli barang yang tidak diketahui dan tidak jelas barangnya.

Inilah yang disebut dengan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.

b. بيع الدين لغير المدين – Menjual utang kepada orang lain yang bukan merupakan orang yang berutang.

Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

#1. Mahdzhab Hanafi, Hambali dan Zhahiri mengatakan bahwa oleh karena pada dasarnya tidak boleh menjual barang yang tidak bisa diserah terimakan, maka menjual piutang kepada orang lain yang bukan berutang adalah tidak boleh.

Sebab piutang tidak bisa diserahkan kecuali kepada orang yang berutang itu sendiri.
Karena piutang adalah ibarat dari harta yang ada dalam tanggungan seseorang secara hukum, atau ibarat dari mengalihkan hak kepemilikan dan menyertakannya.

Kedua hal tersebut tidak bisa diserahkan oleh penjual kepada pihak lain yang bukan berutang.

#2. Sementara Madzhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa boleh menjual piutang kepada orang lain yang tidak berutang apabila memenuhi delapan syarat berikut:

a. Jual beli tidak mengakibatkan pada pelanggaran syariah, seperti  riba, gharar, atau sejenisnya.

b. Piutang harus dijual dengan harga tunai agar terhindar dari hukum jual beli piutang yang dilarang.

c. Harga harus berupa sesuatu yang bukan sejenis piutang yang dijual atau sejenisnya tetapi harus ada persamaan jumlahnya agar tidak terjebak dengan jual beli riba yang haram.

d. Harga tidak boleh berupa emas, jika piutang yang dijual adalah perak agar tidak terjadi jual beli uang dengan uang yang tidak tunai, tanpa diserahkan keduanya.

e. Adanya dugaan kuat untuk mendapatkan piutang (dilunasinya utang), seperti kemungkinan hadirnya orang yang berutang di tempat dilaksanakannya akad guna mengetahui kondisinya, apakah ia memiliki dana atau tidak.

f. Orang yang berutang harus mengakui utangnya agar ia tidak mengingkarinya setelah itu. Maka oleh karenanya tidak diperbolehkan menjual hak milik yang disengketakan.

g. Orang yang berutang adalah orang yang layak untuk membayar utangnya; atau debitur bukanlah orang yang tidak mampu atau bukan orang yang terhalang. Hal ini untuk memastikan agar ia bisa menyerahterimakan barang atau utang.

h. Tidak adanya konflik antara pembeli dan orang yang berutang seingga pembeli tidak dirugikan, atau agar debitur tidak dirugikan dalam bentuk memberi peluang kepada sengketanya untuk merugikannya.

Hukum Bai’ Dain

Dalam jual beli dain (sebagaimana pembahasan di atas), ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi, agar jual beli tersebut menjadi sah, terutama terkait dengan objek akadnya.

Objek akad yang ditransaksikan haruslah merupakan objek yang jelas, baik jenisnya, bentuknya, jumlahnya, spesifikasinya dan sebagainya.

Apabila terjadi ketidakjelasan pada objek akadnya, maka akan menjadikan transaksinya tidak sah.
Seperti jual beli tanah, namun tidak ditentukan tanah yang mana. Jika demikian, maka transaksi jual beli tanah tersebut menjadi tidak sah.

🔹 Illat utama dari bai’ dain adalah karena dua hal :

– Gharar (ada unsur ketidakjelasan pada objek akad)

– Adamul qudrah alat taslim (tidak dapat diserah-terimakan pada saat berlangsungnya akad)

والله تعالى أعلى وأعلم بالصواب
والحمد لله رب العالمين


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here