Pemateri: DR. WIDO SUPRAHA
Dakwah yang pertama kali dipilih oleh Rasulullah Saw atas perintah dakwah yang telah diturunkan adalah secara rahasia.
Pilihan ini dibuat berdasarkan kebutuhan masa awal pengembangan Islam untuk melahirkan kemaslahatan agama yang lebih besar.
Sejarah memperlihatkan bahwa pilihan itu adalah pilihan yang tepat.
Dakwah dengan segera telah dimulai Nabi Muhammad Saw. ketika turun Surat Al-Muzzamil
“Bangunlah, lalu berilah peringatan!”
Ayat 1-7 dari surat ini memberikan pelajaran yang besar dalam dakwah, dan tujuh ayat ini diakhiri dengan perintah kesabaran.
Ayat-ayat ini merangkum seluruh hal mendasar yang dibutuhkan dalam kerja dakwah.[1]
1. Menjaga eksistensi agama jauh lebih utama dari sekedar eksistensi diri
Tentu dapat dibayangkan bahwa dakwah yang baru disemai ini harus lenyap karena kehilangan pengusungnya sementara infrastruktur kekuatan belum terbangun sama sekali.
Maka menjaga kemaslahatan yang lebih besar tentu jauh lebih diprioritaskan.
Tercatat dalam sejarah tokoh-tokoh yang masuk dalam asabiqunal awwalun, adalah Abu Bakar As-Shiddiq yang kemudian diikuti Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Demikian juga Khadijah Al-Kubra yang diikuti Zaid bin Haritsah, dan Waraqah bin Naufal.
Tidak lupa tokoh besar seperti Ali bin Abi Thalib,[2] dan Arqam bin Abi Arqam.
Maka masuklah kemudian golongan berikutnya seperti Bilal bin Rabah, Abu Ubaidan Amir bin Al Jarrah, Abu Salaman bin Abdul Asad, Arqam bin Abil Arqam al-Makhzumy, Utsman bin Mazh’un dan kedua saudaranya, Qudamah dan Abdullah, Ubaidan bin Al-Harits bin Al-Muththalib, Sa’id bin Zaid dan istrinya Fathimah binti al-Khaththab al-Adawiyyah, Khabbab nin Al-Aratt, Abdullah bin Mas’ud, dan laiinya.[3]
2. Tabi’at Dakwah Para Nabi dan Rasul adalah diikuti oleh mayoritas lapisan akar rumput.
Dakwah para Nabi pada tahap awal lebih banyak disambut oleh masyarakat yang fakir, lemah dan bahkan kaum budak.[4]
Shuhaib ar-Rumi dan Bilal al-Habsyi adalah contoh paling tepat yang menyambut seruan Islam meski mereka berasal dari negeri asing.
Dalam hal ini kita dapat melihat sejarah dakwah Nabi Nuh a.s., Nabi Musa a.s., dan Nabi Shaleh a.s.
Allah berfirman dalam Surat Hud ayat 27,
“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”.”
Allah berfirman dalam Surat Al-A’raf [7] ayat 137,
“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya.
Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.
Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.”
Allah berfirman dalam Surat Al-A’raf [7] ayat 75-76,
“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka:
“Tahukah kamu bahwa Shaleh di utus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?”.
Mereka menjawab:
“Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya”.”
Ketika dakwah mulai diikuti 30 orang, Rasulullah Saw mulai menetapkan satu tempat untuk meningkatkan pembinaan Islam.
Maka dipilihlah rumah Arqam bin Abi Arqam yang juga telah masuk ke dalam Islam. Nabi membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah yang turun kepadanya.[5]
3. Tabiat Penolakan Kaum Elit adalah egoisme daripada penolakan kebenaran
Sebagai contoh dapat kita saksikan dalam peristiwa peperangan Al-Qadisiyah, khususnya menarik mencermati dialog Rustum (komandan Persia) dan Rub’i bin Amir (prajurit dalam komando Sa’ad bin Abi Waqqash).
Proses dakwah secara rahasia ini berlangsung selama kurang lebih 3 tahun,[6] sebelum kemudian dakwah secara terang-terangan nantinya diperintahkan Allah ketika jumlah kaum muslimin telah mencapai minimal 30 orang.
Turunlah firman Allah Swt dalam Surat Al-Hijr ayat 94.
Maraji’
1] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq al-Makhtum, Bahtsum fi As-Sirah an-Nabawiyah ‘ala Shahibiha afdhalish-Shalati wassalam, Riyadh: Darussalam, 1414H
2] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zaad al-Ma’ad, Jilid 3, Dar at-Taqwa lil Nasyr wa at-Tauzi’, 1999
3] Ibn Ishaq, As-Sirah An-Nabawiyah
4] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Fiqh as-Sirah: Dirasat Minhajiah ‘Ilmiyah li-Shirat al-Musthafa ‘alaihishshalatu wa salam, Libanon: Darul Fikr, 1977
5] Musthafa as-Siba’i, As-Sirah An-Nabawiyah, Kairo: Dar as-Salam, Cet. I, 1998
6] Ibnul Jauzi, Al-Wafa bi Ahwali al-Musthofa, Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2004
Dipersembahkan:
www.iman-islam.com
Sebarkan! Raih pahala…