Banyak Jalan Menuju Kebaikan

0
150

Oleh: Ust. DR. Wido Supraha M.Si

Pepatah “Banyak Jalan Menuju Roma” mengandung persoalan filosofis. Mungkin yang paling tepat adalah “Banyak Jalan Menuju Penaklukan Roma”, dikarenakan Rasul Saw. telah memberitakan akan penaklukan kota tersebut di kemudian hari, setelah Konstantinopel ditaklukan 800 tahun kemudian oleh Sultan ke-7 Turki ‘Utsmani, Sultan Muhammad al-Fatih.

Adapun Banyak Jalan Menuju Kebaikan menjadi sebuah keniscayaan di tengah keberagaman jalan yang ternyata telah disiapkan untuk kelanggengan aktivitas umat manusia dalam mencari kemuliaan yang hakiki.

Sungguh, Allah Swt. ternyata begitu memudahkan kita mencapai kemuliaan daripada kehinaan, keagungan daripada kerasukan, keberuntungan daripada kerugian, dan kebaikan daripada keburukan. Tentunya kebaikan yang sesuai dengan kehendak Rabbnya, bukan sesuai dengan kehendak pribadi manusia belaka.

Maka menjadi terang setelah Allah Swt. memastikan bahwa kebaikan apa pun yang dikerjakan, maka sesungguhnya Allah pasti mengetahuinya (Q.S. 2:197, 215). Sekecil apapun kadar kebaikan di mata manusia, Allah tetap akan memberikan balasannya (Q.S. 99:7). Dalam hal ini, setiap manusia perlu berlomba-lomba mencari kebaikan dari Allah untuk dirinya sendiri, karena kemudian ketaqwaannya sajalah yang akan menyampaikan kebaikan (shalihan) yang diperbuatnya kepada Rabb-nya (Q.S. 45:15).

Berbicara tentang semangat mencari kebaikan, alangkah luar biasanya kalau kita berkaca kepada para sahabat Nabi Saw., radhiyallaahu ‘anhum ajma’in, bagaimana setiap waktunya digunakan untuk mencari – melaksanakan segala bentuk kebaikan, seakan-akan mereka tidak pernah merasa cukup dengan kebaikan yang telah mereka lakukan dan dawam­kan, seakan-akan energi mereka tak pernah habis untuk mengejar kebaikan.

Pada saat itu, apakah mungkin mereka masih sempat untuk sekedar berfikir untuk berbuat keburukan? Bahkan apakah mungkin mereka masih sempat untuk beraktivitas yang boleh jadi hukumnya mubah-mubah saja?

Sepertinya, mereka terus menerus hidup untuk menghidupkan sunnah agar terus hidup di kehidupan.

Jangan pernah malu untuk berbuat kebaikan, atau bahkan menganggap kecil sebuah kebaikan.

Satu bentuk hadian kepada manusia mungkin karena dibatasi kemampuan menjadi kecil secara nilai dan upaya, tapi yakinlah, sangat besar di sisi Allah Swt.

Senantiasa menunjukkan wajah terbaik penuh kesejukan dan keramahan kepada manusia (Lihat Shahih Muslim No. 2626), menghadiahkan sekedar kikil kambing, (Lihat Fathul Bari V/197), atau sup sayur yang lebih banyak air daripada isinya, apabila dilakukan dengan mengharap ridha Allah Swt. akan meninggalkan bekas mendalam yang mengeratkan persaudaraan, atau meluaskan syi’ar Islam.

Setiap mukmin selalu ada saja yang ingin ia perbuat untuk saudaranya, ia ingin selalu bermanfaat untuk saudaranya, karena ia yakin itu adalah kebaikan.

Nabi Saw. menyaksikan bagaimana seseorang bisa berpindah-pindah tempat menikmati Surga karena ia berupaya memotong pohon yang menghalangi jalanan saudaranya (Lihat Shahih Muslim No. 1914), sehingga membuat Allah memujinya dan memberikan ampunan kepadanya.

Bahkan tidak hanya kepada manusia, kasih sayang mukmin kepada segala makhluk yang memiliki limpa, seperti seekor anjing yang kehausan, sehingga rela bersusah payah untuk menghilangkan penderitaan anjing tersebut pun mendapatkan balasan yang sama dari Allah Swt. (Lihat Fathul Bari V/40-41).

Luar biasa, bentuk kebaikan yang menunjukkan keluasan rahmat Allah Swt, sekaligus menunjukkan dimanapun mukmin berada, niscaya melahirkan peradaban yang mulia di sekitarnya.

Sesungguhnya setiap kebaikan yang kita perbuat akan menjadi sedekah yang luar biasa di sisi Allah Swt (Lihat Shahih Muslim No. 1005).

Sebagai misal, seorang manusia yang senang menanam tanaman, karena ia yakin Islam adalah agama yang ramah lingkungan, dan mencintai lingkungan hidup, hutan di rumahnya sendiri, maka jika ada burung yang memakan tanamannya, manusia yang mencuri buahnya, itu semua tidak akan mengurangi apa yang ia miliki selain menjadi sedekah yang begitu besar di sisi Allah Swt. (Lihat Shahih Muslim No. 1552).

Dalam bentuk lain, seandainya seorang mukmin tidak diberikan kemampuan untuk membantu kesulitan saudaranya, atau sekedar berbuat sesuatu untuk meringankannya, maka akan menjadi sedekah baginya manakala ia mampu mencegah dirinya dari berbuat keburukan kepada orang lain (Lihat Shahih Muslim No. 84).

Dalam bahasa sederhana, kalau tidak mampu menjadi bagian dari solusi masyarakat, maka tidak menjadi bagian dari problematika masyarakat adalah solusi terbaik.

Begitupun jangan lupakan kekuatan dzikir sebagai bagian dari sedekah, Subhanallah, Alhamdulillah, Allaahu Akbar, Laa Ilaaha illallaah, kekuatan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai sedekah, Shalat Sunnah Dhuha dua rakaat pun sedekah. (Lihat Shahih Muslim No. 720).

Sekalangan sahabat Rasulullah Saw. yang miskin pernah mengeluhkan karena kemampuan orang-orang kaya yang dapat dengan mudah bersedekah dengan harta mereka untuk mendapatkan pahala yang besar. Kemudian Rasul Saw. mengingatkan akan kemudahan sedekah yang dapat dilakukan oleh siapapun, termasuk tidak melupakan kekuatan dzikir dan do’a sebagai bagian dari sedekah, tasbih, takbir, tahmid, dan tahlil, amar makruf dan nahi mungkar, bahkan berhubungan suami istri (jima’) adalah sedekah yang sangat mulia (Lihat Shahih Muslim No. 1006).

Bukankah ternyata sedekah itu mudah sekali bagi mukmin, lantas apa yang kemudian membuat kita sulit untuk bersedekah?

Bersedekah adalah wujud syukur kepada Allah Swt. atas beragam nikmat dan perlindungan-Nya dari malapetaka.

Tiga ratus enam puluh persendian manusia harus dikeluarkan shadaqahnya setiap hari tatkala terbit matahari. Ini menunjukkan bahwa manusia harus terus bergerak untuk melahirkan kebaikan-kebaikan yang akan menjadi sedekah baginya.

Mendamaikan dua orang yang bersengketa, membantu menaikkan atau mengangkat barang saudaranya ke atas kendaraannya, senantiasa memilih kata-kata yang baik dalam bertutur kata, menyingkirkan berbagai potensi gangguan di jalanan, bahkan langkah kaki menuju masjid adalah bagian dari bentuk-bentuk sedekah lainnya yang dapat kita lakukan sebagai penyempurna sedekah kita (Lihat Fathul Bari V/309).

Bersedakahlah sesuai kadar kemampuan, jangan pernah merendahkan keutamannya, meskipun hanya dengan separuh biji kurma saja (Lihat Shahih Muslim No. 2734).

Seandainya ia tidak memiliki apapun untuk disedekahkan secara materi, maka bekerja dengan kedua tangannya sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk dirinya dan bahkan kemudian bersedekah, adalah kebaikan yang sempurna (Lihat Shahih Muslim No. 1008).

Shalat sebagai amal utama dan penentu baiknya semua kebaikan yang dilahirkan menjadi aktivitas rutin dan kunci.

Keseriusan di dalam menjaganya akan melahirkan kebersihan kebaikan dari hal-hal yang dapat merusaknya. Lima kali sehari memotivasi kita untuk terus berkreasi dalam kebaikan.

Kebiasaan kita memelihara shalat berjama’ah di Masjid, seperti Subuh, Ashar dan Isya’, tidak hanya mendapatkan balasan Surga, akan tetapi menjadi terapi yang baik bagi penyakit kemunafikan dalam jiwa manusia (Lihat Fathul Bari II/52).

Manakala sifatnifaq hilang dari jiwa kita, maka tidak akan lahir kecuali kebaikan yang sempurna di atas cahaya tauhid.

Shalat lima waktu berjama’ah di masjid yang terus menerus kita lakukan, Shalat Jum’at yang terus menerus tidak pernah kita tinggalkan, Ibadah Suci Ramadhan yang terus menerus kita giatkan, akan menjadi penghapus dosa-dosa yang terjadi di antara waktu-waktu pelaksanaan nya, dimana kita terus menerus mencintai dan mengembangkan kebaikan dengan tetap menjauhi dosa-dosa besar (Lihat Shahih Muslim No. 233).

Oleh karenanya, khusus berbicara tentang shalat Jum’at, mengawali dengan wudhu yang sempurna, dan kemudian mendatangi masjid, mendengarkan khutbahnya, tidak berbicara sepatah kata pun, tidak memain-mainkan sesuatu di tangannya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya antara Jum’at ditambah tiga hari lagi (sepuluh hari), subhanallah(Lihat Shahih Muslim No. 857).

Begitupun wudhu yang sempurna yang dilakukannya dengan menghemat air wudhu’, tidak boros dalam penggunaan nya, penuh niat yang bersih mengharapkan terhapusnya dosa, melahirkan kebaikan yang sempurna.

Saat ia membasuh wajahnya, keluar dari wajahnya setiap dosa yang dilakukan oleh kedua matanya karena melihat sesuatu yang diharamkan bersama-sama dengan air itu atau bersama-sama dengan tetesan air yang terakhir.

Tatkala ia membasuh kedua tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang diperbuat oleh kedua tangannya itu bersama air atau bersama-sama tetesan air yang terakhir sehingga dia akan keluar dalam keadaan bersih dari dosa.

Kemudian ketika ia membasuh kedua kakinya, maka akan keluar dosa yang diperbuat oleh kedua kakinya, bersama-sama dengan air atau bersama-sama dengan tetesan air yang terakhir, maka ia menyelesaikan wudhunya penuh dengan kebaikan, bersih dari dosa (Lihat Shahih Muslim No. 244).

Maka sempurnakanlah wudhu itu dengan memberikan hak dari setiap anggota tubuh, meskipun sulit terasa, karena derajat kebaikan manusia akan semakin tinggi dengannya (Lihat Shahih Muslim No. 215).

Masjid harus menjadi pusaran kebaikan manusia, maka seluruh manusia harus mencintai masjid, gemar memakmurkan masjid, dan memuliakannya dengah hadir pada waktu-waktu yang telah ditetapkan.

Dalam hal ini tidak perlu berharap memiliki rumah dekat dengan masjid, karena kebaikan justeru lebih banyak akan mengalir kepada mereka yang memiliki rumah yang lebih jauh dari masjid, sebagaimana dahulu Rasulullah Saw. pernah mengingatkan Bani Salimah untuk tidak melanjutkan rencana mereka untuk memindahkan pemukimannya lebih dekat ke masjid. Hal ini karena potensi kebaikan dari setiap langkah kakinya begitupun syi’ar selama perjalanannya akan menjadi berkurang (Lihat Shahih Muslim No. 665).

Maka sebagaimana disaksikan Abul Mundzir, Ubay bin Ka’ab r.a., tatkala ada seorang sahabat yang rumahnya terjauh dari masjid di masanya ditawari seekor keledai untuk memudahkannya ke masjid di waktu gelap dan terik matahari, ia mengatakan bahwa ia tidak menyenangi kalau rumahnya dekat ke masjid.

Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Qad jama’allaahu laka dzaalika kullahu”, Sesungguhnya Allah telah mencatat semua kebaikan itu bagimu (Shahih Muslim No. 663).

Biasakanlah merutinkan kebaikan yang telah kita mulai dengan kesungguhan niat, karena niscaya tatkala mengalami kesulitan yang dibenarkan syari’at (udzur syar’i) di suatu masa untuk melaksanakan kebaikan tersebut, Allah Swt. akan segera mengenalinya, dan tetap mencatatnya sebagai kebaikan, hanya karena ia terbiasa melakukannya di kala penuh kemudahan (Lihat Fathul Bari VI/136).

Wallahu A’lam.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here