Manusia Terbaik

TIGA SIFAT UNGGULAN MANUSIA PILIHAN ALLAH SWT (Bag-1)

Pemateri: Ust. DR. Abas Mansur Tamam

وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَقَ وَيَعْقُوبَ أُوْلِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ. إِنَّا أَخْلَصْنَاهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ. وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ (ص [38]: 45-47)

Artinya: “Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang terampil (punya tangan/ulil aidi) dan berwawasan luas (punya penglihatan/ulil abshar). Sesungguhnya Kami telah memilih mereka dengan kualifikasi mengingat negeri akhirat (dzikrad dar). Dan sesungguhnya mereka di sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik” (Shad [38]: 45-47).

MUKADIMAH:

Allah SWT. memiliki khazanah kisah menarik yang jumlahnya tak terhingga, sebanding dengan ketidak terhinggaan ilmu-Nya.

Dari sekian banyak kisah itu, Allah telah memilihkan untuk kita kisah-kisah terbaik dan paling menarik (ahsanal qashashi). Diantara kisah terbaik itu disebutkan dalam tiga ayat di atas, yaitu kisah Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub.

Tidak bisa dipungkiri manusia menyukai kisah.

Allah Mengetahui, karena Dia yang menciptakannya. Maka kisah-kisah dalam Alquran dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan dalam diri manusia. Karena itu kisah merupakan satu dari sekian metode terbaik dalam pendidikan.

Alquran mengatakan: “Sungguh pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang cerdas” (Yusuf [12]: 111).

Kita wajib berusaha untuk pandai memetik pelajaran dari setiap kisah Alquran.

Dalam hal ini, Allah swt. menyebutkan tiga sifat unggulan dari manusia-manusia pilihan Allah itu, yaitu: terampil (ulil aidi), berwawasan luas (ulil abshar), dan selalu mengingat negeri akhirat (zikrad dar).

Nilai kita di hadapan Allah digantungkan pada kemampuan untuk melakukan proses internalisasi ketiga sifat itu.

Tujuannya agar nilai kita di sisi Allah mendekati keutamaan para nabi, meskipun tidak akan menyamainya. “Saddidu wa qaribu”, bertindaklah dengan tepat dan berupayalah untuk  semakin dekat!
(Bukhari, 5/6099) demikian pesan al-habib Rasulullah saw.

TERAMPIL (ULIL AIDI):

Dalam bahasa Arab kata ulil aidi (punya tangan) digolongkan sebagai pendekatan metafora (majaz mursal).
Artinya bukan punya tangan dalam pengertian biasa, tetapi mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar.

Hubungan makna ini dengan kalimat ulil aidi, karena biasanya orang berbuat dengan tangan. Dalam bahasa yang lugas, ulil aidi bisa diartikan terampil.

Agar kita bisa mengejar kualifikasi ulil aidi seperti Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub, kita harus mengetahui ragam penafsiran para ulama tentang kalimat tadi.

Karena keragaman makna ayat bersifat saling melengkapi. Makna-makna itu dirangkum oleh Imam Al-Mawardi dalam tafsirnya (An-Nukat wal Uyun).

Keragaman makna itu sekaligus bisa dijadikan indikator dari ketercapaian kualifikasi terampil dalam diri kita.

1. Kemampuan Beribadah (Al-Quwwatu fil Ibadah):

Indikator pertama dari orang yang terampil adalah memiliki kemampuhan untuk beribadah, demikian menurut Ibn Abbas. Kemampuan ini menjadi indikator pertama dari manusia unggulan, karena agama hakikatnya adalah ibadah, taat, serta tunduk kepada Allah swt.

Kemampuan beribadah kedudukannya lebih dari sekedar tahu dan mau.

Karena orang tahu dan mau belum tentu bisa melakukannya.
Betapa banyak orang yang mengetahui keutamaan bangun malam, tetapi tidak bisa melakukannya. Betapa banyak orang yang mau membiasakan wirid Alquran satu juz dalam sehari, tetapi tidak sanggup menjaga konsistensi tilawahnya karena alasan kesibukan dan lain-lain.

Orang yang terampil akan mampu menunaikan semua amal-amal fardu dengan sebaik-baiknya. Mampu menyempurnakan salat, puasa, zakat, dan haji. Mampu melakukan amal-amal nafilah (sunah), baik yang sejenis fardu seperti: salat sunah, puasa sunah, infak dan sedekah, serta umrah; atau amal-amla sunah lainnya.

Orang yang mampu menyempurnakan ibadah-ibadah wajib dan ditambah dengan ibadah-ibadah sunah akan membuatnya menjadi wali-wali Allah swt.

Dalam hadits qudsi dikatakan:
“Siapa yang memusuhi Aku, maksudnya memusuhi wali-Ku, maka Aku akan mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku taqarrub kepada-Ku lebih Aku cintai dari jenis ibadah yang telah Aku fardukan.

Jika hamba-Ku terus bertaqarrub dengan nawafil, maka Aku akan mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya ketika dia mendengar. Akulah matanya ketika dia melihat. Akulah tangannya ketika dia merangkak. Dan akulah kakinya yang dia pakai untuk melangkah. Jika dia meminta sesuatu pada-Ku, pasti akan Aku kabulkan. Jika ia meminta perlindungan, pasti akan Aku lindungi..”  (Bukhari, 5/6137).

2. Ketegasan Menjaga Perintah Allah (Alquwwatu fi Amrillah):

Indikator kedua adalah ketegasan dalam menjaga perintah Allah (alquwwatu fi amrillah) demikian menurut Qatadah.

Indikator ini berbeda dari indikator pertama. Karena orang yang rajin beribadah (mahzah), belum tentu punya rasa cemburu dengan agamanya.

Sehingga mungkin saja dia bersikap tak acuh dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap perintah Allah yang terjadi di tengah masyarakat.

Ketegasan menjaga perintah Allah menuntut kepedulian terhadap masyarakat, serta berani melakukan amar makruf dan nahyil mungkar.

Rasulullah saw. bersabda:

من رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بيده، فَإِنْ لم يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لم يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

Artinya: “Siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa dengan tangannya, maka rubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa dengan lisannya, maka dengan hatinya. Dan itu selemah-lemahnya iman” (Muslim, 1/49).

Contoh ideal dari sahabat yang memiliki indikator ini adalah Umar bin Khattab. Ketika Rasulullah saw. mengumumkan prestasi sahabat-sahabatnya beliau bersabda:

“Wa asyadduhum fi amrillah Umar”, orang yang paling tegas menjaga perintah Allah adalah Umar (Tirmizi, 5/3790, hadits hasan garib).

Sebagai tambahan, orang yang tegas dalam menjaga perintah Allah akan disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan.

Abdullah bin Buraidah mengabarkan, Rasulullah saw. bersabda: “Aku mengira, syaitan saja akan melarikan diri dari engkau wahai Umar” (Sahih Ibn Hibban, 15/6892).

Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang ditakuti oleh syetan.

3. Memiliki Fisik yang Sehat dan Kuat (Alquwwah fil Abdan)

Indikator ketiga adalah memiliki fisik yang sehat dan kuat (alquwwah fil abdan), demikian kata Athiyyah.

Indikator ini menjadi bagian dari pemahaman dasar, bahwa orang-orang yang berbadan kuat dan sehat dimungkinkan akan mampu beramal lebih dahsyat, serta mampu mengerjakan proyek-proyek besar dalam hidup ini.

Kaidah orang kuat mampu melakukan pekerjaan besar memang tidak mutlak.

Karena Syeikh Ahmad Yasin dalam keadaan memiliki fisik yang tidak berdaya, beliau mampu melakukan pekerjaan besar yaitu memimpin intifazah.

Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa pekerjaan berat dan besar kemungkinan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang fisiknya sehat dan kuat.
Itu sebabnya Rasulullah saw. bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إلي اللَّهِ من الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وفي كُلٍّ خَيْرٌ

Artinya: “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah, daripada seorang mukmin yang lemah. Meskipun masing-masing memiliki kebaikan” (Muslim, 4/2664).

Maka manusia-manusia pilihan Allah memiliki kebiasaan menjaga kesehatan dan kekuatan fisik.

4. Pekerjaan yang Kreatif (Al-ibda’):

Indikator keempat ini diinspirasi dari Ibn Baher, ketika ia mengartikan ulil aidi sebagai al-‘amal.

Al-‘amal secara sederhana artinya memang bekerja atau berbuat. Tetapi jenis pekerjaan yang akan membuat seseorang menjadi orang yang unggul tentu bukan pekerjaan biasa. Pekerjaan itu harus bersifat kreatif dan inovatif, sehingga mampu memberikan sumbangan yang baru bagi umat manusia.

Allah swt. memberikan contoh paling ideal dalam kreatifitas yang inovasi, ketika menciptakan langit dan bumi dengan segala yang ada di dalamnya.

Semua pekerjaan itu bersifat inovatif, tidak menjiplak dari yang ada sebelumnya. Semuanya diciptakan dari ketidak-adaan. Alquran menyebutnya “Badi’us samawati wal ardi” (Al-Baqarah [2]: 117).

Penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi masuk dalam kategori ini.

(Bersambung)


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

sabar dan ikhlas

SABAR, AKHLAK KAUM BERIMAN

Pemateri: Dr. Wido Supraha

Sabar merupakan pancaran (dhiyaa-un, lihat Shahih Muslim No. 223) keshalihan kaum beriman, keunikan yang tidak ditemukan kecuali  pada kaum beriman saja. Oleh karenanya, sabar bukanlah karakter yang bisa hadir secara instan, akan tetapi buah dari ikatan iman yang tinggi dan latihan ibadah yang terus menerus. Maka kualitas kesabaran  pun akan terus meningkat seiring semakin istiqomah-nya frekuensi interaksi manusia kepada Sang Pencipta.

Berkata Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, bahwa sabar hukumnya wajib berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ Ulama, begitupun akal sehat manusia, dalam kitabnya ash-Shabrul Jamiil fii Dhau-il Kitaab was Sunnah. Dalam pendapat yang senada, Syaikh Yusuf al-Qaradhawy menghubungkan sabar dengan nilai spiritual tertinggi dalam Islam, sehingga dengannya Al-Qur’an begitu memuji kedudukan dan status orang-orang yang sabar, bahkan menegaskan kaitannya sabar sebagai prasyarat kebaikan dunia dan akhirat, dalam kitabny ash-Shabru fil Qur’an.

Ketika Allah Swt memerintahkan kaum beriman untuk bersabar dan meneguhkan kesabarannya (Q.S. 3:200), maka sesungguhnya Allah Swt mewajibkan kaum beriman untuk sabar dalam keta’atan hanya kepadaNya, sabar dalam menjaga diri dari kemaksiatan yang tampak indah di dunia, sabar dalam wujud ridha atas qadha dan qadar-Nya, bahkan lebih jauh dari itu, kualitas sabar dalam upaya yang sungguh-sungguh untuk menjadi pemenang atas musuh-musuh mereka. Jangan sampai musuh-musuh mereka justeru lebih sabar daripada kaum beriman. Sabar yang seperti inilah yang akan membawa kaum beriman kepada keberuntungan. Ibn Katsir menjelaskan bahwa keberuntungan di dunia dan di akhirat akan diperoleh oleh mereka.

Kaum beriman belum layak mendapatkan kabar gembira dari Allah Swt. manakala begitu mudahnya mereka berputus asa dari kasih sayang Allah, padahal Allah baru sedikit saja memberikan rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan hasil usahanya atas diri mereka (Q.S. 2:155). Padahal Allah Swt. tidak suka dengan kaum yang cepat berputus asa, bahkan menyiapkan siksaan sebagai balasannya. Maka manakah yang akan dipilih oleh kaum beriman, apakah pahala Allah yang tidak memiliki batas (Q.S. 39:10) ataukah siksaNya. Sampai disini, kaum beriman diajarkan untuk terus optimis dalam hidupnya, terus berfikir positif untuk masa depan kaumnya.

Mintalah pertolongan Allah agar dimudahkan berkarakter sabar, dan iringi do’a tersebut dengan shalat (Q.S. 2:153), niscaya Allah akan bersama mereka senantiasa dalam suka dan dukanya. Kemampuan kaum beriman untuk sabar dalam seluruh dimensi kehidupan mereka dan seluruh pengalaman kehidupan mereka akan disaksikan oleh Allah Swt. dengan jelas sebagai bukti keberhasilan Allah menguji mereka siapa yang benar-benar berjihad dalam hidupnya dan sabar (Q.S. 47:31).

Keseriusan kaum beriman untuk memperhatikan kualitas sabar dalam diri mereka harus menjadi keniscayaan, karena Allah Swt pun tidak mengulang-ulang satu perkara dalam Al-Qur’an lebih sering kecuali ketika menyebut masalah sabar. Lebih dari 90 tempat dapat kita temukan dalam lembaran-lembaran suci tersebut. Oleh karenanya bekal kesabaran adalah bekal terbaik dalam mengarungi kehidupan yang sebentar ini.

Para Nabi dengan tingkat keshalihan jauh di atas kaum beriman adalah sosok-sosok yang paling berat tatkala mendapatkan cobaan begitupun tatkala sakaratul maut mereka. Begitupun di kalangan kaum beriman, semakin kuat keimanan seseorang, ujian untuk mereka jauh lebih berat. Seakan Allah ingin memastikan apakah layak setiap manusia menempati posisi terbaik di sisiNya  dengan cara menguji keimanannya.

Ketika sakit Nabi Saw. merasakan panas tinggi dua kali lipat keumuman di masanya (lihat kesaksian Ibn Mas’ud dalam Shahih Bukhari dan Muslim (No. 2571). Ketika menjelang sakaratul maut pun, Anas dan Fathimah menyaksikan bagaimana Nabi Saw. beberapa kali tidak sadarkan diri merasakan begitu beratnya sakit yang dirasa (Fathul Bari VIII/149). Namun begitu, seorang Nabi hanya memikirkan satu hal dalam setiap penderitaan yang dialaminya, yakni bagaimana kualitas sabar kaum beriman di kemudian hari? Bahkan kebanyakan para Nabi memberikan teladan mereka menghadapi kebodohan dengan maaf dan toleransi, bahkan tatkala darah membasahi wajah mereka akibat perlakuan kaumnya, mereka bermunajat kepada Allah, “Allaahummaghfir li qaumii, fa innahum laa ya’lamuun). Lihat Shahih Muslim No. 1792.

Menurut Nabi Saw., sejak masa dahulu, kaum beriman senantiasa sabar dalam mempertahankan kehormatan iman mereka meski nyawa mereka harus menjadi balasannya (Shahih Muslim No. 3005). Tidak hanya Nabi Isa a.s. yang diberikan keutamaan oleh Allah Swt. untuk dapat berbicara ketika bayi, akan tetapi seorang bayi dari kalangan Bani Israil pernah tercatat dalam sejarah mampu berbicara kepada ibunya, ketika ibunya ragu apakah harus menjaga kehormatan imannya dengan cara menerima hukuman raja berupa masuk ke dalam kubangan api, ataukah melepaskan keimanannya. Bayi itu berkata, “Yaa ummahushbirii fa innaki ‘alal haqqi”. Ia termasuk satu dari tiga bayi yang ditetapkan Allah dapat berbicara semasa buaian.

Allah begitu memuliakan praktik sabar kaum beriman, khususnya sabar pada kesempatan pertama kali mereka harus menentukan antara sabar atau putus asa.  Ash-shabru ‘inda shadmatil uula (lihat Shahih Muslim No. 926). Sabar seperti inilah yang akan membawa kaum beriman sebagai kaum terpuji, sabar yang hadir pada waktu yang tepat, sebagai wujud keikhlasan. Maka meninggalkan kesabaran berarti meninggalkan ketaqwaan.

Bagaimana respon kaum beriman ketika mendapatkan kenikmatan? Apakah ia langsung syukur? Bagaimana respon kaum beriman ketika mendapatkan kesusahan? Apakah ia langsung sabar?

Sebuah musibah tidak serta merta menyebabkan kaum beriman mendapatkan pahala, karena musibah bukanlah aktivitas manusia. Akan tetapi respon awal kaum beriman terhadap musibahlah, bersama kebaikan niat, keteguhan, kesabaran, dan keridhaannya, yang akan mengundang respon balik dari Allah Swt. Nabi Saw. menginginkan cara pandang penderitaan menjadi nikmat dan ujian menjadi anugerah untuk kandungan pahala dan kesudahan yang luar biasa. Lihat Shahih Muslim No. 2999.

Tatkala kaum beriman mendapatkan musibah, menangis, duka cita, adalah wujud kasih sayang yang diciptakan Allah Swt untuk setiap hamba-Nya yang lembut, dan tidak menafikan kesabaran seseorang. Kata Nabi Saw. terkait air mata yang mengalir di pipinya melihat cucunya, Ali bin Abu Al-‘Ash, dari putri tertuanya, Zainab, sekaligus anak gadis Khadijah,  sedang sakit keras dan berada dalam sakaratul maut, “Hadzihi rahmatun ja’alahallaahu ta’aala fii quluubi ‘ibaadihi”, “fii quluubi man syaa-a min ‘ibaadihi, wa innamaa yarhamullaahu min ‘ibaadihirruhamaa-a.” Namun, menangis sembari meratap, menjadi terlarang bagi kaum beriman, seakan mereka tidak ridha dengan ketetapan Allah Swt.

Surga menjadi janji Allah Swt. kepada kaum beriman yang mampu sabar tatkala yang dicintainya lepas dari sisinya, apakah kekasihnya selama di dunia, penglihatan matanya, sampai kesabarannya dalam menderita penyakit menular di suatu negeri (hingga harus dikarantina), hingga kalaupun ia mati, Allah menganugerakan syahid baginya, karena senantiasa sabar mengharapkan ridha Allah Swt. (Lihat Fathul Bari VI/513).

Terkadang manusia menganggap bahwa penyakit yang ditimpakan kepada mereka adalah wujud bahwa Allah Swt. tidak sayang kepada mereka, padahal bagi kaum beriman justeru sebaliknya, penyakit justeru nikmat dari Allah Swt., karena dengan penyakit yang diturunkan Allah Swt. mereka mendapatkan kesempatan untuk dihapuskan segala kesalahan mereka (lihat Shahih Muslim No. 2573), bahkan dosa-dosa mereka akan digugurkan Allah Swt. laksana gugurnya dedaunan pohon (lihat Shahih Muslim No. 2571). Maka kita saksikan bagaimana Nabi Ayub a.s. dalam do’anya ia tidak meminta kesembuhan atas penyakit yang begitu berat ia derita, justeru ia menguatkan kasih sayang Allah Swt. dalam do’anya. (Q.S. 38:41-44).

Justeru bagi kaum beriman mereka akan merasa gundah gulana manakala tidak pernah ditimpakan cobaan di dunia, karena mereka mengetahui bahwa ciri seseorang itu dikehendaki kebaikan oleh Allah Swt. adalah dengan ditimpakannya cobaan atas mereka. Allah akan menyegerakan hukuman di dunia bagi hamba yang dikehendakinya kebaikan dan akan menahan kepada mereka yang akan memikul hukumanNya di akhirat. Dengan ujian tersebut kaum beriman akan semakin tinggi derajat, akan semakin terangkat posisinya, dan terhapus segala dosanya. Taqwa dan sabar pula yang telah membawa Nabi Ya’qub a.s. dan Nabi Yusuf a.s. mendapatkan balasan kebahagiaan dalam hidupnya. Bahkan sebagian ulama mengakui bahwa kualitas kesabaran Nabi Yusuf a.s. lebih tinggi dari Nabi Ya’qub a.s. dan Nabi Ayub a.s. karena kesabaran Nabi Yusuf a.s. bersifat ikhtiari (ada pilihan tatkala bersama  isteri al-Aziz pada waktu dan tempat yang sangat mendukung untuknya bermaksiat kepada Allah Swt.), sementara yang lainnya bersifat idhthirari (tiada jalan lain kecuali menerimanya).

Kaum beriman pun dilarang mengharapkan kematian tatkala merasa tidak mampu menghadapi ujian kehidupan dan da’wah. Kalaupun terpaksa yang diizinkan adalah berdo’a mengharapkan keputusan terbaik dari Allah Swt. dengan bermunajat “Allaahumma ahyinii maa kaanatil hayaatu khairan lii wa tawaffanii idzaa kaanatil wafaatu khairan lii.” (Lihat Shahih Muslim No. 2680). Khabbab bin al-Aratt pun tidak berani meminta kematian karena teringat larangan Nabi Saw. ini, meskipun pada saat itu ia disiksa dengan besi panas hingga tujuh kali. Nabi Saw. pun menceritakan bagaimana siksaan atas kaum beriman di masa sebelumnya jauh lebih berat lagi, dimana ada yang digergaji kepalanya menjadi dua bagian, ada yang yang disisir di bagian bawah kulit dan tulangnya dengan sisir besi, namun itu tidak menggoyahkan sabar-nya kaum beriman, karena kelak akan ada masa dimana kaum beriman tidak akan pernah khawatir berjalan dari Shan’a di Damaskus  menuju Hadramaut, dalam arti kemenangan dakwah kaum beriman.

Harapan untuk tetap hidup adalah baik bagi kaum beriman karena dengannya ia tetap dalam melanjutkan amal-amal shalihnya, dan hal ini bukan berarti kaum beriman benci bertemu Allah Swt. dengan kematiannya. Justeru dengan kehidupan, kaum beriman belajar untuk terus optimis menata kehidupan dunia  bersama seruan-seruan suci mereka mengajak lebih banyak pengikut ke dalam golongan kaum beriman dengan sabar sebagai karakter dasar.

Dengan sabar, kaum beriman pun semakin cerdas dalam menata amarahnya agar tidak tercampuri godaan syiathan. Nabi Saw. berpesan kepada orang yang berada dalam kemarahan untuk mengucapkan A’udzubillaahi minasysyaithaanirrajiim (Lihat Shahih Muslim No. 2610 yang merujuk Q.S. 7:200). Mereka yang berhasil menata amarahnya sehingga bernilai kebaikan, kelak akan dipanggil Allah Swt. di hadapan sekalian makhluk, sembari dipersilahkan memilih bidadari Surga sekehendak hatinya. Subhanallah. ‘Janganlah marah’ menjadi satu nasihat penting Rasulullah dalam beberapa kesempatan beliau,

Dengan demikian pada akhirnya kaum beriman tersadarkan bahwa ternyata semua bentuk ujian dan cobaan di dunia ini pada akhirnya bertujuan mensucikan kaum beriman sehingga menghadap Allah Yang Maha Tinggi kelak tanpa membawa dosa (Lihat H.R. at-Tirmidzi No. 2399) dan bertemu dengan Rasulullah di al-Haudh (Lihat Shahih Muslim No. 1845).

Allaahumma munzilal kitaabi, wa mujriyassahaabi, wa hazimal ahzaabi, ihzimhum wanshurnaa ‘alaihim.

(wido@supraha.com)


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Iman Islam

JADDID IMANAKA…! PERBARUI IMANMU..!

Pemateri: Ust. ABDULLAH HAIDIR, Lc
Iman adalah karunia terbesar yang Allah berikan kepada seorang hamba. Dialah kunci utama kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka, merawat keimanan yang telah Allah tancapkan di dada kita, mestinya merupakan bagian terpenting dalam agenda kehidupan.
Jika seseorang merasa penting untuk merawat sesuatu yang dia anggap berharga dalam hidupnya, maka terhadap keimanan mestinya lebih dari itu. Karena, baik atau tidaknya kualitas iman kita, berbanding lurus dengan baik atau tidaknya kualitas hidup kita.
Apalagi jika kita memahami, bahwa iman bukanlah sesuatu yang bersifat statis, mati dan tidak berubah-ubah. Tapi iman adalah sesuatu yang sangat dinamis, berubah-ubah, naik turun, dapat bersih bak pualam atau gelap seperti bayang di tengah malam. Itu semua sangat terkait dengan seberapa besar perhatian kita terhadap keimanan yang kita miliki.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
( إِنَّ الإِيمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ فَاسْأَلُوا الله أَنْ يُجَدِّدَ الإِيمَانَ فِي قُلُوبِكُمْ  (رواه الحاكم
“Sesungguhnya keimanan akan lapuk dalam diri kalian, sebagaimana lapuknya baju. Mohonlah kepada Allah agar Dia selalu memperbaharui keimanan dalam hati kalian.” (HR. Hakim)
Berdasarkan hadits Rasulullah  shallallahu alaihi wa sallam ini, maka hal yang sangat urgent (penting) kita lakukan adalah selalu merenovasi atau memperbarui keimanan (tajdidul iman) agar tampak fresh, segar, dan memberikan energy positif dalam menapaki kehidupan.
1. Hal pertama yang dapat kita lakukan sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  di atas adalah banyak berdoa dengan khusyu dan sungguh-sungguh, memohon kepada Allah Ta’ala agar selalu meneguhkan keimanan kita. Karenanya, di antara doa yang banyak dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ  (رواه الترمذي
“Wahai yang membolak balikkan hati, tetapkan hatiku dalam agamamu.” (HR. Tirmizi)
2. Selanjutnya hendaknya kita rajin menyiram hati yang menjadi wadah keimanan dengan siraman zikir, termasuk di dalamnya tilawatil quran. Sebab dia merupakan penenang  hati dan pelipur lara yang paling ampuh. Jika hati telah tenang, maka keimanan akan nyaman dan sehat.
Allah Ta’ala berfirman,
“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat (zikir) kepada Allah.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
3. Hal lain lagi yang penting dilakukan untuk memperbarui keimanan adalah menghadiri majelis ilmu. Dengan menghadiri majelis ilmu, banyak yang dapat kita raih untuk memperbarui keimanan kita.
Di antaranya kita akan selalu mendapatkan nasehat. Walaupun kadang dengan tema yang sama, seperti nasehat tentang shalat, namun nasehat yang terus menerus kita terima pada akhirnya akan mampu memperbarui keimanan kita.
Lalu dengan ilmu yang kita dapatkan, maka kita akan dapat menangkal setiap syubhat atau fitnah yang dapat melemahkan keimanan. Betapa banyak orang yang keimanannya lemah karena syubhat-syubhat atau teori-teori sesat yang dia terima karena tidak memiliki ilmu yang cukup.
Begitupun dengan hadir di majelis ilmu, kita akan bertemu dengan saudara-saudara kita seiman yang sama-sama ingin memperbaiki keimanannya. Kebersamaan ini memberikan pengaruh yang tidak sedikit untuk memperbarui keimanan.
Karena itu dikatakan,
الْمُؤْمِنُ ضَعِيفٌ بِنَفْسِهِ قَوِيٌّ بِغَيْرِهِ
“Seorang mukmin lemah jika hanya bersama dirinya, tapi akan kuat jika bersama selainnya.”
Karena pentingnya majelis, maka Rasulullah  sangat menganjurkan kita untuk aktif di dalamnya dengan berbagai penyemangat yang beliau sampaikan. Makanya, hal ini menjadi bagian dari ‘tradisi’ para shahabat untuk berkumpul satu sama lain demi menyegarkan keimanannya. Terkenal ungkapan di tengah para shahabat,
إِجْلِسُوا بِنَا نَزْدَدُ إِيْمَاناً
“Mari kita duduk bersama untuk menambah keimanan.”
4. Perkara lain yang dapat memperbarui keimanan adalah merawat ibadah, baik yang fardhu dan sunah dan pada saat yang bersamaan menjauhi perbuatan munkar dan maksiat. Sebab ibadah pada hakikatnya bukan hanya menjanjikan pahala dari Allah Ta’ala. Tapi dia dapat berfungsi menjadi semacam energi kehidupan yang membuatnya akan selalu segar dan fit. Meninggalkan atau mengabaikan ibadah, sama artinya kita mengabaikan keimanan yang telah Allah berikan. Ibarat  tanaman yang tidak pernah disiram.
Sebaliknya dengan maksiat, dia bukan hanya mendapatkan ancaman dosa, akan tetapi berdampak buruk bagi kesehatan jiwa. Dirinya akan semakin malas dan berat dalam menyambut seruan Allah dan akhirnya membuat hidupnya tak tentu arah. Akibat yang paling berbahaya adalah keimanannya yang akan terancam.
Semoga kita selalu mendapat taufiq dari Allah Ta’ala untuk selalu menyadari betapa pentingnya bagi kita merawat keimanan kita, setiap hari, setiap saat, setiap desah nafas kita…
اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا اْلإِيْمَانَ وَ زَيِّنْهُ فِي قُلُوبِنَا وَ كَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَ الْفُسُوقَ وَ الْعِصْيَانَ وَ اجْعَلْنَا مِنَ الرَّاشِدِينَ 
“Ya Allah, berilah kami kecintaan terhadap iman dan hiasilah hati kami dengannya. Jadikanlah kami benci dengan kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”
Wallahu ta’ala a’lam.

Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Hijrah Itu Menguras Rasa

MEMAKNAI HIJRAH DENGAN BER-HIJRAH

📝 Pemateri: Ustadzah DRA. INDRA ASIH

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Sabda Nabi SAW:

🔎“Ilmu yang pertama kali diangkat adalah kekhusu’an” 🔍

(diriwayatkan oleh Thabrani dengan sanad Hasan)

Perjalanan alam semesta dan dunia, berputar terus, berpindah dari satu proses ke proses yang lain.

Berpindah dari satu era ke era yang lain, dengan perbedaan manusia yang menghuninya dan kecenderungan mereka yang tentu saja juga mengalami perubahan sejalan dengan perbedaan kekhasan mereka dari masa ke masa.

Kita adalah penghuni dunia sekarang.
🔹Dunia yang serba  cepat, praktis dan efisien.
🔹Dunia yang menjanjikan dan menyajikan berbagai arena dan fasilitas yang sungguh-sungguh sangat mengasyikkan dan canggih.
🔹Dunia yang dipenuhi dengan perkembangan teknologi yang begitu menawan dan semuanya menantang kita untuk mencoba dan menikmatinya.

Teknologi komunikasi dan transportasi yang memungkinkan kita menggenggam dunia ini hanya dalam hitungan detik, dalam arti  hanya dalam hitungan detik saja, kita sudah bisa ada dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu negeri ke negeri lain.

Mencermati hadits di awal tulisan ini, apa yang Nabi saw sabdakan terbukti benar adanya sekarang.

Sedikit demi sedikit tanpa kita menyadarinya seluruh diri kita, seluruh indera kita sudah begitu terbiasa dan menikmati bahkan kecanduan  hiruk-pikuk dan gemerlap suasana dunia modern ini.

Luluh lantak bangunan kekhusu’an pada diri kita.

Habis kandas persediaan energi pembangkit khusu’an kita.

Ketika sholat, kita ibarat “mayat” atau “robot” yang sedang melakukan aktifitas tanpa makna. Kosong.

Kemudian, kita terburu-buru menyelesaikannya dan akhirnya, bersegera kembali pada  berbagai judul dan kesibukan kita.

Di masa seperti ini, sungguh memaknai HIJRAH dengan kembali merebut KEKHUSU’AN kita dalam memaknai hidup dan tugas kehidupan kita yang hakiki yang diembankan oleh Allah swt pada kita, merupakan suatu hal yang sangat penting tapi sulit.

Memaknai HIJRAH berupa 🔹keluar dari alur gemerlap dan kesibukan yang melalaikan dan
🔹kembali masuk pada nuansa keheningan dan kekhusu’an,
untuk menapaki sisa-sisa waktu yang masih Allah karuniakan pada kita.

Hingga hidup kita kembali pada suasana semata-mata hanya untuk mengagungkan dan meninggikan Allah swt.

Tentu saja keheningan dan kekhusu’an secara hakiki.

Bukan keheningan dan kekhusu’an yang membuat kita hanya memojokkan diri kita di tempat-tempat sholat kita.

Tapi hening dan khusu’ di tengah keramaian dan kesibukan kita untuk beramal dan berbuat sebanyak-banyaknya untuk memberikan kebaikan dan manfaat bagi orang-orang di sekitar kita.

🔑 Setidaknya ada beberapa langkah yang bisa kita coba untuk proses hijrah kita tersebut.

🍃1⃣. MEMILIH

Di dalam al Qur’an surat Al Kahfi ayat 29, Allah SWT menuntun kita dan menyerahkan pilihan itu pada kita dengan konsekuensinya.

“Dan katakanlah:
Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.
Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”

Mari kita berusaha untuk menentukan pilihan terbaik, pilihan yang paling disukai oleh Allah.

Apakah yang dimaksud dengan pilihan terbaik?

Contoh:
Jika ada seseorang melakukan kesalahan pada kita. Ada beberapa sikap yang bisa kita ambil.

🔹Pilihan pertama: tidak marah. Ini baik.

🔹Pilihan kedua: memaafkan. Ini lebih baik.

🔹Pilihan ketiga: membalas kesalahan seseorang dengan kebaikan. Inilah pilihan terbaik.

🍃2⃣. MENERIMA

Yaitu melapangkan hati kita untuk ikhlas menerima pilihan terbaik yang sudah kita putuskan.

Allah berfirman: “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.

Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.

Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
(QS. Al An’am : 125)

🍃3⃣. MEMUTUSKAN

Yaitu berarti kita memilih dan melapangkan hati kita bukan hanya pada satu atau dua hal saja, tapi berusaha menerapkannya pada keseluruhan aspek dalam hidup kita.

Di dalam QS. Al An’am ayat 162, Allah swt berfirman:

“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

🍃4⃣. MENEGUHKAN.

Yaitu memohon agar Allah mengokohkan keputusan jalan hidup kita sesuai dengan firman Allah swt.:

“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.
Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al Anfal : 63)

🍃5⃣. MENIKMATI

Caranya dengan menjadikan diri kita terus konsisten dengan 4 hal yang sudah kita lakukan sebelumnya.

Jika kita berhasil, maka kita bisa meraih kembali sumber kenikmatan dan kebahagian hidup kita.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan:

“Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushilat:30)

Siapkah Kita Berhijrah?
Siapkah Kita Untuk Berbahagia?

Mari sama-sama kita raih janji Allah swt:

“….dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”

Wallahu A’lam.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

mukmin satu tubuh

SIAPA TEMANMU, ITULAH KAMU

📝 Pemateri: Ust. ABDULLAH HAIDIR

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

🌾Teman mu adalah yang jujur padamu, bukan yang selalu membenarkan apa saja tindakanmu.

🌾Teman sejati, bukan teman yang tidak pernah berpisah, tapi teman yang apabila bertemu karena Allah, dan jika berpisah, berpisah karena Allah..

🌾Di antara bukti kesetiaanmu terhadap teman mu, jika namanya kau hadirkan dalam doamu tanpa dia ketahui, agar harapan-harapannya terpenuhi.

🌾Mengetahui dan memahami tabiat teman, adalah setengah dari modal pertemanan yang baik…

🌾Pada teman yang lebih muda, katakan:
‘Aku tlah mendahuluinya dalam dosa’.

🌾Pada yang lebih tua katakan, ‘Dia telah mendahuluiku dalam taat & kebaikan.’

🌾🔑 Cari teman yang dapat menerimamu “apa adanya”, bukan yang selalu mencari padamu “ada apanya”🔑

🌾Teman yang baik, bukan hanya sekedar tahu dimana rumahmu, tapi dia tahu dimana hatimu?

🌾Teman yang baik, bukan orang yang dimuliakan temannya, tapi orang yang temannya merasa dimuliakan olehnya…

🌾Kekayaan dan kedudukan dapat menundukkan teman, tapi hanya perbuatan baik yang dapat menundukkan hatinya..

🌾Mengalah dalam ber teman belum tentu kalah. Bisa jadi hal itu menjadi sebab dia dapat “mengalahkannya”…

🌾Adakalanya dalam berteman kita harus mengalah sepanjang tidak menjatuhkan harga diri dan menggadai prinsip..

🌾Husnuzzan dalam berteman itu penting…
Tapi berhati-hati juga perlu….

🌾Saat pertemanan belum begitu intens, hindari memberikan kesimpulan akhir baik atau buruknya teman mu…

🌾Saat engkau merasa tidak ada beban untuk mencurahkn perasaanmu pada teman mu, dialah teman dekatmu…

🌾Saat kau gembira dengan kegembiraan temanmu dan sedih dengan kesedihan temanmu, kau telah menjadi teman sejatinya…

🌾Tundalah marahmu pada temanmu beberapa saat. Boleh jadi kau temukan hakekat yang tidak kau ketahui sebelumnya, atau marahmu sudah reda..

🌾Jika sekian kali teman mu marah kepadamu namun dia tidak mengeluarkan kata-kata kasar, dia layak menjadi teman baikmu

🌾Berhati-hati lah dalam memilih teman. Tapi harus lebih hati-hati lagi jika ingin menggantinya….

🌾Mendamaikan dua teman yang bertikai lebih baik dibanding memihak salah satunya…

🌾Jangan bantu teman mu yg bermusuhan dengan temannya. Bisa jd mereka akan berdamai sedangkan engkau masih bermusuhan..

🌾Jangan terlalu sering bertemu teman, jangan pula terlalu jarang….

🌾Tegurlah teman mu kala sepi dan pujilah dia kala ramai….

🌾Jika engkau hanya ingin ber teman dengan orang yg tidak ada kekurangannya, sama saja engkau tidak ingin berteman dgn dirimu sendiri…

🌾Jika engkau hanya ingin ber teman dengan orang yg tidak ada kekurangannya, sama saja engkau tidak ingin berteman…

🌾🔑 Keinginan menjadi teman yang baik, harus melebihi keinginan mendapatkan teman yg baik…

🌾Kekayaan dapat mendatangkan banyak teman, tapi jika musibah menimpa, akan menjadi ujian bagi merka.

🌾Jika matamu mendapatkan kekurangan pada teman mu, jangan serta merta lisanmu mengungkapkannya…

🌾Kelau teman mu lebih pintar, belajarlah darinya. Kalau lebih bodoh, ajarilah, Kalau sepadan, berdiskusilah…

🌾Teman mu adalah cerminmu. Kalau dia baik, maka sesuaikan dirimu seperti dia, kalau buruk, maka perbaikilah cerminnya.

🌾Kalau ada teman mu membicarakan keburukan temanmu yg lain, hati-hati, keburukanmu bisa jadi akan dia bicarakan kepada temanmu yg lain…

🌾Teman baik teman mu, layak menjadi temanmu, tapi musuh temanmu, tidak harus menjadi musuhmu.

🌾Cepat atau lambat, kita kan berpisah dengan teman-teman kita. Hanya iman dan takwa kepada Allah yang dapat memastikan pertemuan di surga-Nya..

Aamiin..

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Majelis ilmu

INGINKAH DERAJAT KITA DITINGGIKAN ALLAH SWT?

Oleh: Dr. Wido Supraha
Telah berkejaran manusia di muka bumi untuk meraih derajat tertinggi di mata manusia. 
Untuk tujuan ‘besar’ ini, seluruh macam pengorbanan pun dilakukan setulus hati, tanpa mengenal lelah dan waktu.
Untuk derajat yang didambakan di dunia terkadang bahkan yang halal menjadi haram, dan yang haram menjadi halal.
Adakah pernah terbersit di dalam hati kerinduan mendapatkan derajat yang tinggi dari Pemilik manusia? Jika keinginan itu pernah ada, adakah upaya yang kita kerahkan jauh melebihi upaya kita meraih derajat tertinggi di mata manusia.
Allah Swt telah menjanjikan derajat itu di dalam Surat Mujadilah/58 ayat 11,
يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَـٰتٍ۬‌ۚ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
 Syaikh Ahmad al-Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa makna dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Swt akan meninggikan orang-orang yang diberikan ilmu di atas imannya kepada Allah Swt dengan banyak tingkatan (derajat), atau meninggikan orang-orang yang berilmu dari kalangan orang-orang beriman secara khusus dengan banyak tingkatan karamah dan ketinggian martabat.
ويرفع الذين أوتوا العلم درجات ، أي ويرفع العالمين منهم خاصة درجات فى الكرامة وعلوّ المنزلة.
(Mufradaat al-Qur’an, Maktabah Syamilah)
 Al-Imam Al-Baghawi menegaskan bahwa seorang mukmin yang berilmu posisinya berada di atas orang-orang yang tidak memiliki ilmu beberapa derajat.
المؤمن العالم فوق الذي لا يعلم درجات
(Ma’alim at-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, Maktabah Syamilah)
Al-Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa balasan bagi orang-orang yang berilmu berupa balasan terbaik di akhirat dan berupa karamah di dunia, dan Allah Swt meninggikan orang-orang mukmin di atas selain mukmin, dan orang-orang berilmu di atas orang-orang yang tidak memiliki ilmu.
الثَّوَابِ فِي الْآخِرَةِ وَفِي الْكَرَامَةِ فِي الدُّنْيَا، فَيَرْفَعُ الْمُؤْمِنَ عَلَى مَنْ لَيْسَ بِمُؤْمِنٍ وَالْعَالِمَ عَلَى مَنْ لَيْسَ بِعَالِمٍ
Beliau juga menjelaskan bahwa Allah Swt meninggikan orang-orang mukmin karena keimanannya terlebih dahulu, baru kemudian meninggikannya lebih tinggi lagi dengan ilmu yang dimilikinya.
فَيَرْفَعُ الْمُؤْمِنَ بِإِيمَانِهِ أَوَّلًا ثُمَّ بِعِلْمِهِ ثَانِيًا
Berkata Ibn ‘Abbas r.a. bahwa Nabi Sulaiman a.s. telah diberikan kesempatan untuk memilih antara ilmu, harta dan kerajaan, maka ia lebih memilih ilmu. Ternyata dengan pilihannya itu ia juga dikaruniai harta dan kerajaan sekaligus.
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: خُيِّرَ ]سُلَيْمَانُ] عَلَيْهِ السَّلَامُ [بَيْنَ الْعِلْمِ وَالْمَالِ وَالْمُلْكِ فَاخْتَارَ الْعِلْمَ فَأُعْطِيَ المال والملك معه.
(Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Maktabah Syamilah)
Abu al-‘Abbas al-Basili at-Tunisi (830H) ketika menafsirkan ayat tersebut mengutip pendapat Ibn Mas’ud r.a. yakni bertambahnya derajat dalam agama mereka jika mereka mengerjakan apa yang diperintahkan dengannya.
دَرَجَاتٍ فِي دِينِهِمْ إِذَا فَعَلُوا مَا أُمِرُوا بِهِ
(Nuktun wa Tanbihatun fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, Maktabah Syamilah).
Al Imam Ibn Katsir menambahkan penjelasannya bahwa Allah Swt Maha Mengetahui orang-orang yang memang berhak mendapatkan hal tersebut dan orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya.
Beliau mengangkat satu kisah ketika Khaliah ‘Umar r.a. bertanya kepada Nafi’ bin ‘Abdil Harits r.a., pemimpin Makkah yang telah beliau angkat,
“Siapakah yang engkau angkat sebagai khalifah atas penduduk lembah?” Nafi menjawab:”Yang aku angkat sebagai khalifah atas mereka dialah Ibn Abzi, salah seorang budak kami yang telah merdeka.”
Maka ‘Umar r.a. bertanya: “Benarkah engkau telah mengangkat seorang mantan budak sebagai pemimpin mereka?”
Nafi menjawab:” Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya di adalah seorang yang ahli membaca Al-Qur’an, memahami ilmu waris dan pandai berkisah.”
Lalu ‘Umar r.a. pun mengutip sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya Allah Swt mengangkat suatu kaum karena Al-Qur’an ini dan merendahkan dengannya juga sebagian lainnya.”
إن اله يرفع بهذا اكتب قوما و يضع به آخرين
(Muhammad Ali Ash-Shabuni, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir, Beirut: Dar Al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 465)
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa ayat ini turun di hari Jum’at, sebagaimana riwayat dari Muqatil melalui Ibn Abi Hatim, dimana adanya kaum muslimin dari Ahlu Badr yang tentu telah dikenal sebagai kaum yang lebih awal masuk ke dalam Islam, lebih terhormat posisi dan kedudukannya, datang ke majelisnya Rasulullah Saw, namun tidak mendapatkan tempat untuk duduk sehingga mereka berdiri. Tingkat keilmuan mereka memberikan hak lebih kepada mereka atas dasar kehormatan para Ahlu Badr. (Tafsir al-Wasith, Jakarta:GIP, Jilid 3, hlm. 612)
Ayat ini menjadi ayat yang dipilih oleh Al-Imam Al Bukhari sebagai awal dari Kitab Ilmu dalam Shahih Bukhari. Al Hafizh Ibn Hajar Al Atsqalani menjelaskan bahwa derajat yang tinggi mempunyai dua konotasi, yaitu secara ma’nawiyah di dunia dengan memperoleh kedudukan yang tinggi dan reputasi yang bagus, dan hissiyah di akhirat dengan kedudukan yang tinggi di Surga. (Fathul Bari, Jilid 1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, hlm. 263)
Jika derajat dari Pemilik manusia yang kita harapkan, dengan izin-Nya, derajat di sisi manusia akan diperoleh dengan penuh keberkahan.
Namun jika hanya derajat dari manusia yang diharapkan, khawatirlah jika kehinaan yang disematkan-Nya di akhirat kelak. 
Wallahul musta’an.

Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

sabar dan ikhlas

TERSINGGUNG

📝 Pemateri: Ust. Abdullah Haidir Lc.

Tersinggung acap menghampiri diri kita, beragam penyebab dan latar belakangnya, beragam pula ekspresi dan pelampiasannya.

Namun, ada yang nyaris tidak berbeda, tersinggung dapat membuat suasana hati menjadi keruh, bahkan kadang terluka.

Di sisi lain, tersinggung adalah merupakan kekhasan kita sebagai manusia yang Allah berikan perasaan lembut dan.

Maka, jangan merasa bangga kalau ada orang yang mengaku dirinya tidak pernah tersinggung. Justeru tersinggung merupakan penegasan dari eksistensi kepribadian seseorang. Apalagi ketika radius pergaulannya semakin luas, variatif dan beragam.

Jadi, yang dibutuhkan adalah bukan mematikan sifat ketersinggungan itu, akan tetapi bagaimana kita meminimalisir atau memperkecil tingkat ketersinggungan dalam diri kita, apalagi kalau urusannya hanya bersifat pribadi belaka.
Sebab, kalau hal itu kita biarkan tumbuh membesar dan liar dalam diri kita, akan banyak pintu-pintu kebaikan yang akan terhalang.

Bahkan, justeru dalam kondisi tertentu, ketersinggungan dapat dikelola dengan sikap positif untuk meraih hal-hal yang positif, di antaranya:

💎 Tersinggung dapat menjadi kesempatan  melatih diri untuk berlapang dada.

Ketika ada hujatan, kritik, kata-kata yang memojokkan –terlepas itu benar atau tidak-, di sinilah sebenarnya kita diuji untuk mempraktekkan sikap lapang dada ini.Bukankah Rasulullah saw pernah memberikan jaminan surga kepada seseorang yang ketika menjelang tidur, dia melepaskan segala sangkutan dalam hatinya kepada semua orang.

💎 Tersinggung, jika diarahkan dengan benar, akan melatih seseorang menjadi public relation bagi dirinya sendiri terhadap sikap yang dia ambil.

Munculnya sindiran dan prasangka seringkali merupakan buah dari ketidaktahuan terhadap latar belakang sebuah masalah. Nah, berlatihlah agar anda mampu menyampaikan sesuatu dengan jelas, urut, tidak apologi dan emosi sambil tetap mengakui kekurangan kalau memang ada. Setelah itu, rapihkan kembali kondisi hati.

💎 Tersinggung akan membuat seseorang dapat membedakan karakter setiap orang yang pastinya berbeda-beda.

Sehingga berikutnya setiap orang disikapi sesuai karakternya masing-masing, tanpa kesan dibuat-buat atau pura-pura. Karena tidak mungkin setiap orang dengan berbagai karakternya disikapi dengan sikap yang sama.💎 Terakhir, tersinggung akan menyadarkan kita untuk tidak mudah melakukan tindakan dan perkataan yang dapat menyinggung perasaan orang lain.

Sebab kita telah merasakan sendiri, bagaimana ‘enaknya’ tersinggung itu.  Berlatihlah untuk peka membaca perasaan orang lain, jangan menunggu ‘disemprot’ untuk menyadari bahwa ada ucapan dan tindakan kita yang dapat menyinggung perasaan seseorang.Kesimpulannya:
Kelolalah ketersinggungan dengan baik,  jangan mudah tersinggung dan jangan suka menyinggung.

“Ya Rabb Kami,
beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman;

Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10)

Wallahu a’lam bishowab.

Semoga memberikan inspirasi.

🌿🌴🌿🌴


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

berdoa setelah membaca alfatihah

Doa Yang Paling Cepat Diijabah

📝 Dra, Indra Asih

Sebaik-baik do’a adalah do’a hari Arafah (9 Dzulhijjah). Maksudnya, do’a ini paling cepat diijabahi.

Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ

“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arafah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim).

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ

“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah.” (HR. Tirmidzi).

Apakah keutamaan do’a ini hanya khusus bagi yang wukuf di Arafah?

Apakah berlaku juga keutamaan ini bagi orang yang tidak menunaikan ibadah haji?

Mustajabnya do’a tersebut adalah umum, baik bagi yang berhaji maupun yang tidak berhaji karena keutamaan yang ada adalah keutamaan pada hari.

Sedangkan yang berada di Arafah (yang sedang wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah), ia berarti menggabungkan antara keutamaan waktu dan tempat.

Do’a ini bagi yang wukuf dimulai dari siang hari selepas matahari tergelincir ke barat (masuk shalat Zhuhur) hingga terbenamnya matahari.

Semoga Allah memudahkan kita untuk menyibukkan diri dengan do’a pada hari Arafah.


🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Gemar Berbuat Baik

Istimrariyah (Kontinyuitas)

📝 Pemateri: Ustadz Abdullah Haidir, Lc

Istimroriyah artinya berkelanjutan atau bahasa kerennya adalah kontinyuitas. Dia adalah sebuah sikap yang menunjukkan upaya tak kenal henti dalam menekuni satu perbuatan, dalam bahasa kita dikenal istilah kontinyuitas.

Berbicara tentang sebuah cita-cita, harapan, dan keinginan-keinginan yang ingin digapai apalagi menyangkut perkara yang sangat berarti dalam kehidupan, maka istimroriyah mutlak disertakan. Tanpa itu, keinginan hanyalah sebatas keinginan, harapan tinggallah harapan.

Realita kehidupan sering memberikan pelajaran kepada kita bahwa keberhasilan seseorang –dalam berbagai bidangnya – lebih banyak disebabkan oleh keuletannya dan sikap pantang menyerah dalam menggeluti sebuah perbuatan dibanding potensi-potensi lainnya yang dia miliki. Karena sunnatullah dalam kehidupan ini adalah adanya proses sebelum terwujudnya sesuatu, semakin besar sesuatu tersebut, semakin panjang pula proses yang harus dilalui. Itu artinya semakin besar harapan kita, maka proses yang harus dilalui semakin panjang dan berat, di sinilah kita dapat memahami pentingnya istimroriyah.

Pada titik ini pula kita dapat memahami sabda Rasulullah saw,

أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ (متفق عليه)

“Amalan yang paling dicintai adalah yang kontinyu, meskipun sedikit.” (Muttafaq alaih)
Keinginan meraih sebuah harapan, baik urusan dunia maupun akhirat tanpa disertai istimroriyah bak pungguk merindukan bulan.

Dalam kontek dakwah, istimroriyah menjadi kata kunci tersendiri. Ciri bahwa sebuah gerakan dakwah itu sehat adalah adanya sifat istimroriyahnya. Kalau sekedar membangkitkan emosi seseorang untuk berjuang, gemas dengan berbagai bentuk kemungkaran, prihatin dengan berbagai kekurangan dan semacamnya, itu adalah perkara yang relatif mudah. Tetapi bagaimana menjaga stamina agar seseorang terus berada dalam track (jalur) dakwah, terus bergerak, berinovasi tanpa henti. Itulah yang sulit, padahal disitulah letak keberhasilan sebuah dakwah di sisi Allah Ta’ala yang pada akhirnya akan melahirkan keberhasilan yang riil di tengah masyarakat.

Hendaklah kita belajar dari para Nabi bagaimana mereka tak kenal henti berdakwah hingga kesempatan terakhir yang tersedia, betapapun halangan yang mereka dapatkan.

Dan… belajarlah kita dari orang yang paling kita cintai; Rasulullah j, tak kenal henti beliau berjuang, tertutup di sana beliau cari di sini, terhalang di sini beliau upayakan di sana, begitu seterusnya. Bahkan ketika ada tawaran dari malaikat untuk membinasakan kaumnya yang selalu menyakitinya dengan membalikkan gunung di atas mereka, dengan penuh kasih sayang beliau berkata,

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Aku masih berharap bahwa nantinya akan lahir anak keturunan mereka yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukannya.” (Muttafaq alaih)
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Berbuat Kebajikan

Nasehat Jum’at

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

📝 Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan, S.S.

☑ Tabi’in senior:  Masruq bin Al Ajda’ (W. 63H)

📖 Dia adalah Abu ‘Aisyah biasa dinamakan Masruq, yakni Masruq bin Abdurrahman Al Hamdani Al Kufi (Imam Abu Nu’aim, Hilyatul Aulia’, 1/246. Mawqi’ Al Warraq) , seorang tabi’in terkemuka diperkirakan lahir awal tahun Hijriah atau setahun sebelumnya, bersahabat dengan para sahabat Nabi, seperti Abdullah bin Mas’ud dan ‘Aisyah. Dalam shalat, dipersilahkan di belakang Abu Bakar ketika menjadi imam shalat, sebagai antisipasi mengganti Abu bakar lantaran ilmu dan kewibawaannya.

📕 Berikut ini adalah di antara nasihat berharga darinya:

عن مسروق، قال: كفى بالمرء علماً أن يخشى الله، وكفى بالمرء جهلاً أن يعجب بعمله

Dari Masruq, dia berkata: “Cukuplah seseorang dikatakan berilmu dengan adanya rasa takut kepada Allah, dan cukuplah seseorang disebut bodoh dengan adanya rasa bangga dengan apa yang diperbuatnya.”  (Ibid. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala, 4/68. Muasasah Ar Risalah)

✔ Dari Hilal bin Yasaf, katanya:

قال مسروق: من سره أن يعلم علم الأولين، وعلم الآخرين، وعلم الدنيا والآخرة، فليقرأ سورة الواقعة.

Berkatalah Masruq: “Diantara rahasianya, untuk mengetahui ilmu orang-orang terdahulu dan belakangan, juga ilmu dunia dan akhirat, maka hendaknya bacalah surat Al Waqi’ah.” (Ibid)

Imam Adz Dzahabi mengomentari ucapan ini, katanya:

قلت: هذا قاله مسروق على المبالغة، لعظم ما في السورة من جمل أمور الدارين
ومعنى قوله: فليقرأ الواقعة – أي: يقرأها بتدبر وتفكر وحضور، ولا يكن كمثل الحمار يحمل أسفارا

“Aku berkata: Ucapan Masruq ini memang menunjukkan untuk melebihkan, sebagai upaya mengagungkan surat tersebut yang secara global berisi tentang perkara dunia dan akhirat. Dan, makna ucapannya “bacalah surat Al Waqiah” artinya bacalah dengan mentadabburinya, mentafakkurinya, dan menghadirkan hatinya, sehingga dia tidak seperti seekor keledai yang sedang berat membawa banyak kitab.” (As Siyar, 4/68)

✔ Abu Adh Dhuha berkata: “Masruq ditanya tentang bait syair, beliau menjawab:

أكره أن أجد في صحيفتي شعرا

“Aku tidak suka menemukan di dalam catatanku adanya syair.” (Ibid, 4/69)

✔ Dari Ibrahim bin Muhammad bin Muntasyir, katanya:

عن مسروق، قال: ما من شيء خير للمؤمنين من لحد، قد استراح من هموم الدنيا، وأمن من عذاب الله

Dari Masruq, dia berkata: “Tidaklah sesuatu yang lebih baik bagi orang-orang mukmin dibandingkan liang lahad, dengan itu dia telah istirahat dari obsesi dunia dan di dalamnya dia aman dari azab  Allah.” (Hilyatul Auliya’, 1/247)

✔ Dari Muslim atau lainnya, katanya:

عن مسروق، قال: إني أحسن ما أكون ظناً حين يقول لي الخادم ليس في البيت قفيز ولا درهم

Dari Masruq, dia berkata: “Sesungguhnya prasangka baik yang paling sukai adalah ketika seorang pelayan berkata kepadaku: “Di rumah tidak ada makanan dan tidak pula dirham.” (Ibid)

✔ Abu Wail berkata:

عن مسروق، قال: ما امتلأ بيت خيره إلا امتلأ عبره

Dari Masruq, katanya: “Tidaklah sebuah rumah dipenuhi dengan kebaikannya kecuali jika dipenuhi dengan pelajaran-pelajarannya.” (Ibid)

🌿🌴🌿🌴🌿


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678