Gemar Berbuat Baik

Banyak Jalan Menuju Kebaikan

Oleh: Ust. DR. Wido Supraha M.Si

Pepatah “Banyak Jalan Menuju Roma” mengandung persoalan filosofis. Mungkin yang paling tepat adalah “Banyak Jalan Menuju Penaklukan Roma”, dikarenakan Rasul Saw. telah memberitakan akan penaklukan kota tersebut di kemudian hari, setelah Konstantinopel ditaklukan 800 tahun kemudian oleh Sultan ke-7 Turki ‘Utsmani, Sultan Muhammad al-Fatih.

Adapun Banyak Jalan Menuju Kebaikan menjadi sebuah keniscayaan di tengah keberagaman jalan yang ternyata telah disiapkan untuk kelanggengan aktivitas umat manusia dalam mencari kemuliaan yang hakiki.

Sungguh, Allah Swt. ternyata begitu memudahkan kita mencapai kemuliaan daripada kehinaan, keagungan daripada kerasukan, keberuntungan daripada kerugian, dan kebaikan daripada keburukan. Tentunya kebaikan yang sesuai dengan kehendak Rabbnya, bukan sesuai dengan kehendak pribadi manusia belaka.

Maka menjadi terang setelah Allah Swt. memastikan bahwa kebaikan apa pun yang dikerjakan, maka sesungguhnya Allah pasti mengetahuinya (Q.S. 2:197, 215). Sekecil apapun kadar kebaikan di mata manusia, Allah tetap akan memberikan balasannya (Q.S. 99:7). Dalam hal ini, setiap manusia perlu berlomba-lomba mencari kebaikan dari Allah untuk dirinya sendiri, karena kemudian ketaqwaannya sajalah yang akan menyampaikan kebaikan (shalihan) yang diperbuatnya kepada Rabb-nya (Q.S. 45:15).

Berbicara tentang semangat mencari kebaikan, alangkah luar biasanya kalau kita berkaca kepada para sahabat Nabi Saw., radhiyallaahu ‘anhum ajma’in, bagaimana setiap waktunya digunakan untuk mencari – melaksanakan segala bentuk kebaikan, seakan-akan mereka tidak pernah merasa cukup dengan kebaikan yang telah mereka lakukan dan dawam­kan, seakan-akan energi mereka tak pernah habis untuk mengejar kebaikan.

Pada saat itu, apakah mungkin mereka masih sempat untuk sekedar berfikir untuk berbuat keburukan? Bahkan apakah mungkin mereka masih sempat untuk beraktivitas yang boleh jadi hukumnya mubah-mubah saja?

Sepertinya, mereka terus menerus hidup untuk menghidupkan sunnah agar terus hidup di kehidupan.

Jangan pernah malu untuk berbuat kebaikan, atau bahkan menganggap kecil sebuah kebaikan.

Satu bentuk hadian kepada manusia mungkin karena dibatasi kemampuan menjadi kecil secara nilai dan upaya, tapi yakinlah, sangat besar di sisi Allah Swt.

Senantiasa menunjukkan wajah terbaik penuh kesejukan dan keramahan kepada manusia (Lihat Shahih Muslim No. 2626), menghadiahkan sekedar kikil kambing, (Lihat Fathul Bari V/197), atau sup sayur yang lebih banyak air daripada isinya, apabila dilakukan dengan mengharap ridha Allah Swt. akan meninggalkan bekas mendalam yang mengeratkan persaudaraan, atau meluaskan syi’ar Islam.

Setiap mukmin selalu ada saja yang ingin ia perbuat untuk saudaranya, ia ingin selalu bermanfaat untuk saudaranya, karena ia yakin itu adalah kebaikan.

Nabi Saw. menyaksikan bagaimana seseorang bisa berpindah-pindah tempat menikmati Surga karena ia berupaya memotong pohon yang menghalangi jalanan saudaranya (Lihat Shahih Muslim No. 1914), sehingga membuat Allah memujinya dan memberikan ampunan kepadanya.

Bahkan tidak hanya kepada manusia, kasih sayang mukmin kepada segala makhluk yang memiliki limpa, seperti seekor anjing yang kehausan, sehingga rela bersusah payah untuk menghilangkan penderitaan anjing tersebut pun mendapatkan balasan yang sama dari Allah Swt. (Lihat Fathul Bari V/40-41).

Luar biasa, bentuk kebaikan yang menunjukkan keluasan rahmat Allah Swt, sekaligus menunjukkan dimanapun mukmin berada, niscaya melahirkan peradaban yang mulia di sekitarnya.

Sesungguhnya setiap kebaikan yang kita perbuat akan menjadi sedekah yang luar biasa di sisi Allah Swt (Lihat Shahih Muslim No. 1005).

Sebagai misal, seorang manusia yang senang menanam tanaman, karena ia yakin Islam adalah agama yang ramah lingkungan, dan mencintai lingkungan hidup, hutan di rumahnya sendiri, maka jika ada burung yang memakan tanamannya, manusia yang mencuri buahnya, itu semua tidak akan mengurangi apa yang ia miliki selain menjadi sedekah yang begitu besar di sisi Allah Swt. (Lihat Shahih Muslim No. 1552).

Dalam bentuk lain, seandainya seorang mukmin tidak diberikan kemampuan untuk membantu kesulitan saudaranya, atau sekedar berbuat sesuatu untuk meringankannya, maka akan menjadi sedekah baginya manakala ia mampu mencegah dirinya dari berbuat keburukan kepada orang lain (Lihat Shahih Muslim No. 84).

Dalam bahasa sederhana, kalau tidak mampu menjadi bagian dari solusi masyarakat, maka tidak menjadi bagian dari problematika masyarakat adalah solusi terbaik.

Begitupun jangan lupakan kekuatan dzikir sebagai bagian dari sedekah, Subhanallah, Alhamdulillah, Allaahu Akbar, Laa Ilaaha illallaah, kekuatan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai sedekah, Shalat Sunnah Dhuha dua rakaat pun sedekah. (Lihat Shahih Muslim No. 720).

Sekalangan sahabat Rasulullah Saw. yang miskin pernah mengeluhkan karena kemampuan orang-orang kaya yang dapat dengan mudah bersedekah dengan harta mereka untuk mendapatkan pahala yang besar. Kemudian Rasul Saw. mengingatkan akan kemudahan sedekah yang dapat dilakukan oleh siapapun, termasuk tidak melupakan kekuatan dzikir dan do’a sebagai bagian dari sedekah, tasbih, takbir, tahmid, dan tahlil, amar makruf dan nahi mungkar, bahkan berhubungan suami istri (jima’) adalah sedekah yang sangat mulia (Lihat Shahih Muslim No. 1006).

Bukankah ternyata sedekah itu mudah sekali bagi mukmin, lantas apa yang kemudian membuat kita sulit untuk bersedekah?

Bersedekah adalah wujud syukur kepada Allah Swt. atas beragam nikmat dan perlindungan-Nya dari malapetaka.

Tiga ratus enam puluh persendian manusia harus dikeluarkan shadaqahnya setiap hari tatkala terbit matahari. Ini menunjukkan bahwa manusia harus terus bergerak untuk melahirkan kebaikan-kebaikan yang akan menjadi sedekah baginya.

Mendamaikan dua orang yang bersengketa, membantu menaikkan atau mengangkat barang saudaranya ke atas kendaraannya, senantiasa memilih kata-kata yang baik dalam bertutur kata, menyingkirkan berbagai potensi gangguan di jalanan, bahkan langkah kaki menuju masjid adalah bagian dari bentuk-bentuk sedekah lainnya yang dapat kita lakukan sebagai penyempurna sedekah kita (Lihat Fathul Bari V/309).

Bersedakahlah sesuai kadar kemampuan, jangan pernah merendahkan keutamannya, meskipun hanya dengan separuh biji kurma saja (Lihat Shahih Muslim No. 2734).

Seandainya ia tidak memiliki apapun untuk disedekahkan secara materi, maka bekerja dengan kedua tangannya sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk dirinya dan bahkan kemudian bersedekah, adalah kebaikan yang sempurna (Lihat Shahih Muslim No. 1008).

Shalat sebagai amal utama dan penentu baiknya semua kebaikan yang dilahirkan menjadi aktivitas rutin dan kunci.

Keseriusan di dalam menjaganya akan melahirkan kebersihan kebaikan dari hal-hal yang dapat merusaknya. Lima kali sehari memotivasi kita untuk terus berkreasi dalam kebaikan.

Kebiasaan kita memelihara shalat berjama’ah di Masjid, seperti Subuh, Ashar dan Isya’, tidak hanya mendapatkan balasan Surga, akan tetapi menjadi terapi yang baik bagi penyakit kemunafikan dalam jiwa manusia (Lihat Fathul Bari II/52).

Manakala sifatnifaq hilang dari jiwa kita, maka tidak akan lahir kecuali kebaikan yang sempurna di atas cahaya tauhid.

Shalat lima waktu berjama’ah di masjid yang terus menerus kita lakukan, Shalat Jum’at yang terus menerus tidak pernah kita tinggalkan, Ibadah Suci Ramadhan yang terus menerus kita giatkan, akan menjadi penghapus dosa-dosa yang terjadi di antara waktu-waktu pelaksanaan nya, dimana kita terus menerus mencintai dan mengembangkan kebaikan dengan tetap menjauhi dosa-dosa besar (Lihat Shahih Muslim No. 233).

Oleh karenanya, khusus berbicara tentang shalat Jum’at, mengawali dengan wudhu yang sempurna, dan kemudian mendatangi masjid, mendengarkan khutbahnya, tidak berbicara sepatah kata pun, tidak memain-mainkan sesuatu di tangannya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya antara Jum’at ditambah tiga hari lagi (sepuluh hari), subhanallah(Lihat Shahih Muslim No. 857).

Begitupun wudhu yang sempurna yang dilakukannya dengan menghemat air wudhu’, tidak boros dalam penggunaan nya, penuh niat yang bersih mengharapkan terhapusnya dosa, melahirkan kebaikan yang sempurna.

Saat ia membasuh wajahnya, keluar dari wajahnya setiap dosa yang dilakukan oleh kedua matanya karena melihat sesuatu yang diharamkan bersama-sama dengan air itu atau bersama-sama dengan tetesan air yang terakhir.

Tatkala ia membasuh kedua tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang diperbuat oleh kedua tangannya itu bersama air atau bersama-sama tetesan air yang terakhir sehingga dia akan keluar dalam keadaan bersih dari dosa.

Kemudian ketika ia membasuh kedua kakinya, maka akan keluar dosa yang diperbuat oleh kedua kakinya, bersama-sama dengan air atau bersama-sama dengan tetesan air yang terakhir, maka ia menyelesaikan wudhunya penuh dengan kebaikan, bersih dari dosa (Lihat Shahih Muslim No. 244).

Maka sempurnakanlah wudhu itu dengan memberikan hak dari setiap anggota tubuh, meskipun sulit terasa, karena derajat kebaikan manusia akan semakin tinggi dengannya (Lihat Shahih Muslim No. 215).

Masjid harus menjadi pusaran kebaikan manusia, maka seluruh manusia harus mencintai masjid, gemar memakmurkan masjid, dan memuliakannya dengah hadir pada waktu-waktu yang telah ditetapkan.

Dalam hal ini tidak perlu berharap memiliki rumah dekat dengan masjid, karena kebaikan justeru lebih banyak akan mengalir kepada mereka yang memiliki rumah yang lebih jauh dari masjid, sebagaimana dahulu Rasulullah Saw. pernah mengingatkan Bani Salimah untuk tidak melanjutkan rencana mereka untuk memindahkan pemukimannya lebih dekat ke masjid. Hal ini karena potensi kebaikan dari setiap langkah kakinya begitupun syi’ar selama perjalanannya akan menjadi berkurang (Lihat Shahih Muslim No. 665).

Maka sebagaimana disaksikan Abul Mundzir, Ubay bin Ka’ab r.a., tatkala ada seorang sahabat yang rumahnya terjauh dari masjid di masanya ditawari seekor keledai untuk memudahkannya ke masjid di waktu gelap dan terik matahari, ia mengatakan bahwa ia tidak menyenangi kalau rumahnya dekat ke masjid.

Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Qad jama’allaahu laka dzaalika kullahu”, Sesungguhnya Allah telah mencatat semua kebaikan itu bagimu (Shahih Muslim No. 663).

Biasakanlah merutinkan kebaikan yang telah kita mulai dengan kesungguhan niat, karena niscaya tatkala mengalami kesulitan yang dibenarkan syari’at (udzur syar’i) di suatu masa untuk melaksanakan kebaikan tersebut, Allah Swt. akan segera mengenalinya, dan tetap mencatatnya sebagai kebaikan, hanya karena ia terbiasa melakukannya di kala penuh kemudahan (Lihat Fathul Bari VI/136).

Wallahu A’lam.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Akhlaq Islam

Seorang Mu’min Adalah Cermin

Oleh: Ust. Abdullah Haidir, Lc

Hadits:

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِِنِ

“Seorang mu’min, adalah cermin bagi orang beriman (lainnya),” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini mengandung pesan berharga dalam upaya membangun kepribadian.

Ada beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik dari ungkapan Rasulullah saw tersebut;

Seorang mu’min adalah cermin, itu artinya kita dapat melihat saudara-saudara di sekeliling kita sebagai bahan bercermin.

Jika cermin yang sering kita gunakan bersih dari noda, maka kita akan cepat menangkap segala kekurangan yang kita miliki.
Namun, jika cermin yang sering kita gunakan buram, maka sulitlah kita menangkap dan menyadari kekurangan dan aib pada kita.

Bahkan bisa jadi kekurang an tersebut justeru dianggap sebagai penghias diri.

Seseorang yang sering berinteraksi dengan mereka yang dekat dengan Al-Quran, misalnya, baik dalam hal membaca atau memahaminya, maka dia akan segera menyadari kekurangannya jika interaksinya dengan Al-Quran minim.
Tapi lain halnya jika interaksinya dengan orang yang jauh dari Al-Quran, bisa-bisa dia sudah merasa paling hebat dengan ‘keminimannya’ tersebut.

Begitulah hal tersebut berlaku untuk kasus lainnya.

Di sini, kita dapat menangkap salah satu makna pesan Rasulullah saw lainnya UNTUK SELALU DEKAT DENGAN ORANG-ORANG SALEH.

Agar mudah mendapatkan cermin yang jernih untuk melihat kekurangan diri.

Seorang mu’min adalah cermin, itu artinya dia dapat menjadi cermin bagi orang lain.

Maka kebaikan atau keburukan yang dia lakukan bukan hanya dinilai untuk dirinya sendiri, tapi juga dinilai dari sejauh mana perbuatan tersebut menjadi cermin dan panutan yang lain.

Jika dia berbuat dosa dan maksiat, jangan hanya dilihat dari sisi besarnya dosa tersebut, tapi juga dilihat dari sisi bahwa hal tersebut akan menjadi panutan dan contoh bagi yang lainnya, khususnya jika dia merupakan figure yang diikuti, seperti orang tua, guru, pejabat, atasan, dll.
Sebaliknya pula dengan kebaikan.

Intinya adalah, gemarlah berbuat baik, dan jauhilah perbuatan buruk, karena anda adalah cermin!

Seorang mu’min adalah cermin. Itu artinya, kita dapat menilai kualitas diri kita dari sikap dan tindakan orang lain kepada kita.

Seberapa besar pengaruh kebaikan yang kita pancarkan, sebesar itu pula kurang lebih sikap dan tindakan orang lain kepada kita.

Sebaliknya yang terjadi jika pancaran keburukan yang kita tebarkan. Begitulah yang umumnya terjadi.

Meskipun tidak dipungkiri jika ada orang yang membenci kebaikan kita atau menyenangi keburukan kita, namun hal tersebut merupakan pengecualian.

Sering kita pandai menunjuk diri kita mana- kala kita mendapatkan perlakuan baik dari orang, tapi kita lupa menunjuk diri kita jika mendapatkan perlakuan buruk dari orang lain.

Padahal sangat mungkin itu juga buah dari sikap kita, sedikit atau banyak, langsung atau tidak langsung.

Seorang ulama pernah berkata, “Jika isteri saya sudah mulai membangkang dan kuda saya sudah mulai sulit dikendalikan, saya segera merasa ketika itu, derajat ketakwaan saya sedang menurun.”

Wallahua’lam


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Ilmu

Ayo Ngaji…

Oleh: Ust. Abdullah Haidir Lc.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan jalan baginya menuju surga.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dll)

Perhatikan, penekanan nya bukan pada ‘ilmunya’ tapi ‘mencari ilmunya’.

Keutamaan ilmu memang tinggi. Tapi yang tidak kalah tingginya adalah proses mencari ilmunnya.

Seseorang yang merasa dirinya bodoh, lalu tanpa bosan dia terus mencari ilmu, lebih baik daripada orang yang sudah merasa berilmu lalu dia berhenti untuk menuntut ilmu.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ، فَارْتَعُوا “، قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ  (رواه الترمذي وقال حديث حسن غريب، وأحمد، وقال الأرنؤوط: إسناده ضعيف)

“Jika kalian melewati taman-taman surga, maka singgahlah.”

Mereka bertanya, “Apakah taman-taman surga itu?”

Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah zikir.”

(HR. Tirmizi, dia berkata haditsnya hasan gharib, Ahmad. Al-Arnauth berkata: sanadnya lemah)

Atha bin Abi Rabah berkata:
Halaqah-halaqah zikir adalah majelis (yang menjelaskan) halal haram, bagaimana engkau membeli, bagaimana engkau shalat, bagaimana engkau zakat, bagaimana engkau haji, bagaimana engkau menikah, bagaimana engkau mencerai dan semacamnya.

Ibnu Ruslan berkata dalam syairnya,

وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ أَعْمَالُهُ مَرْدُودَةٌ لاَ تُقْبَلُ

“Siapa yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya tertolak tak diterima.”

Seorang ulama berkata dalam syairnya,

فَإِنَّ فَقِيهاً وَاحِدًا مُتَوَرِّعاً     أَشَدُّ علَىَ الشَّيْطَان مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ

“Satu orang yang paham agama dan dia wara’ (takut melanggar dan maksiat), maka itu lebih berat bagi setan dari seribu ahli ibadah (tanpa ilmu).”

Seorang ulama berkata,
“Siapa yang mendatangi ulama dan duduk di majelisnya, lalu dia tidak dapat merekam ilmu yang disampaikan, Allah tetap memberinya tujuh karomah (kemuliaan):

1. Dia mendapatkan keutamaan orang yang mengaji.

2. Selagi dia tertahan di majelis tersebut, maka selama itu dia terhalang dari dosa dan maksiat.

3. Jika dia keluar dari rumahnya, rahmat Allah diturunkan kepadanya.

4. Jika dia singgah di majelis tersebut, rahmat Allah akan diturunkan kepada ulama tersebut dan dia mendapatkan barokahnya.

5. Dicatatkan untuknya kebaikan-kebaikan selama dia mendengarkannya.

6. Dia dikelilingi malaikat yang membentangkan sayap-sayapnya.

7. Setiap langkah kaki yang dia ayunkan dapat menjadi kafarat (penghapus) dosa dan pengangkat derajat serta penambah pahala.

Ini bagi yang tidak dapat merekam apa yang disampaikan. Bagaimana dengan mereka yang mengaji dan dapat merekam apa yang dia sampaikan. Kebaikan berlipat-lipat akan dia dapatkan.

Yang sudah rutin dan aktif di suatu pengajian, tekunilah dan istiqamahlah, jangan mudah goyah dan lemah.

Yang belum, segera cari tempat mengaji yang dia percaya lurus pemahamannya dan mungkin dia hadiri.

Kalau bukan kita siapa lagi,
Kalau tidak sekarang, kapan lagi…


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Umat Mulia Karena Islam

MELEJITKAN POTENSI DIRI DENGAN ZIKIR

Oleh: Ust. Dr. Abas Mansur Tamam

Hadits:

عن أبي مُوسَى رضي الله عنه قال قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مَثَلُ الذي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ) (البخاري 5/6044؛ مسلم 1/779)

Diriwayatkan dari Abu Musa, Nabi saw. bersabda: “Perumpamaan orang yang berzikir kepada Allah dengan orang yang tidak berzikir adalah seperti perbandingan antara hidup dan mati” (Bukhari, 5/6044; Muslim, 1/779).

Andai kualitas hidup hanya ditentukan oleh kekuatan fisik, posisi manusia tentu sangat kecil di jagat ini.

Beruntung Allah memberikan al-asma’a kullaha, yaitu seluruh ilmu pengetahuan dasar kepada Adam. Dengan bekal ilmu pengetahuan, Adam menjadi makhluk yang lebih mulia dibanding semua makhluk yang ada, termasuk malaikat.

Kini kita berkewajiban mewarisi dan mengembangkan ilmu itu dalam berbagai spesialisasi. Karena itu keunggulan berpikir menjadi parameter kemuliaan manusia setelah iman.

Firman Allah:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Artinya: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Al-Mujadilah [58]: 11).

Tetapi akal bukan satu-satunya inti kemanusiaan. Ada yang lain, yaitu ruh. Dua-duanya harus terberdayakan. Olah pikir dan olah zikir menjadi dua sisi mata uang.
Ali Syariati menyebutnya kesatuan antara rausan fikir dan rausan zikir.

Tetapi ada yang unik dari rausan zikir. Bahwa kecanggihan di bidang ini bisa mempercepat pemberdayaan dimensi haraki (pisik) dan fikri (akal). Dalam zikir terdapat energi besar.

Banyak fakta yang bisa direfleksikan terkait dengan persoalan ini. Dalam penelitian Napoleon Benavarte, prajurit-prajurit yang taat beragama jauh lebih unggul:
“Perbandingan antara tentara yang tidak bermoral dengan tentara yang bermoral adalah 1:2”.
Gambaran yang mirip juga ada dalam Alquran. Dalam kondisi lemah, perbandingan tentara kafir dengan tentara Mukmin adalah 1:2.
Dalam kondisi normal perbandingan itu adalah 1:10 (Al-Anfal [8]: 65-66). Itu perbandingan rata-rata.

Ada perbandingan yang lebih dahsyat. Dalam ekspansinya ke Mesir, Jenderal Amr bin Ash meminta bantuan 4000 tentara kepada Khalifah Umar bin Khattab. Anehnya, beliau hanya mengirimkan 4 orang sahabat. Dalam suratnya Umar berkata: wahid fi alfi rajul, satu sebanding seribu orang.

Abu Bakar pernah menggambarkan seorang sahabat yang tidak terkenal, tapi punya energi hidup yang sangat besar: “Sebuah pasukan tidak akan dikalahkan jika di situ ada Qo’qo bin Amr”.
Energi itu juga yang membuat Khalid bin Walid mampu mengikuti 100 peperangan. Dalam perang Yarmuk saja, dengan pedangnya ia membunuh 5 ribu dan mematahkan 9 pedang musuh.

Kebetulan saja ilustrasi ini diawali dari tesis Napoleon, jadi data-datanya lebih banyak tentang perang.

Tetapi sungguh zikir bisa menjadi energi untuk seluruh aktifitas kemanusiaan, termasuk diantaranya kegiatan ilmiah dan akademik. Banyak fakta sejarah yang bisa kita angkat untuk ilustrasi yang terakhir ini.

Ibn Taimiyah, dalam sehari menghabiskan 4 kurasah (± 48 lembar) untuk menulis. Beberapa bukunya ditulis sekali duduk. Dan buku-buku yang beliau tulis lebih dari 1000 judul. Kebanyakan manuskripnya tidak sampai kepada kita.

Ibn Jarir Al-Thabari menulis sebanyak 100 ribu halaman dalam hidupnya. Tentu pula tidak semuanya sampai ke tangan kita.

Muhammad Abduh dalam sekali duduk sebelum tidur sanggup menulis sanggahan terhadap Gabriel Hanotox, seorang orientalis yang menjadi menteri luar negeri Prancis pada masanya. Tulisan itu kurang lebih setengah dari buku Al-Islam Din al-Ilmi wa al-Madaniyah yang terbit dalam 227 halaman.

Banyak ulama menghasilkan produk ilmiahnya bahkan pada usia yang ralatif muda. Misalnya, buku-buku Sibawaih di bidang nahwu umumnya ditulis pada usia 30 tahun. Dan Imam Nawawy yang meninggal dalam usia 45 tahun telah meninggalkan khazanah yang sangat besar dalam fiqih Syafi’iyyah.

Apa rahasia mereka? Hemat saya, rahasianya ada pada kualitas zikir.

Bahwa kecanggihan ruhiyah bisa mengangkat potensi-potensi kemanusiaan sehingga bisa melakukan sesuatu yang mirip adimanusiawi, jauh di luar kemampuhan manusia rata-rata. Hal itu karena yang telah berperan dalam diri mereka tidak murni dimensi kemanusiaannya.

Ada energi besar yang diserap dengan keluhuran ruhiyahnya. Energi itu berasal dari Allah swt. Hadis Qudsi yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah mendukung tesis ini.

Rasulullah saw. bersabda:

قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللَّهَ قال: من عَادَى لي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلي عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إلي مِمَّا افْتَرَضْتُ عليه، وما يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلي بِالنَّوَافِلِ حتى أُحِبَّهُ، فإذا أَحْبَبْتُهُ كنت سَمْعَهُ الذي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الذي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ التي يَبْطِشُ بها، وَرِجْلَهُ التي يَمْشِي بها، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وما تَرَدَّدْتُ عن شَيْءٍ أنا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عن نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وأنا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ

Artinya:
“Siapa yang memusuhi Aku, maksudnya memusuhi wali-Ku, maka Aku akan mengumumkan perang kepadanya.
Tidaklah hamba-Ku taqarrub kepada-Ku lebih Aku cintai dari jenis ibadah yang telah Aku fardukan.

Jika hamba-Ku terus bertaqarrub dengan nawafil, maka Aku akan mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya ketika dia mendengar. Akulah matanya ketika dia melihat. Akulah tangannya ketika dia merangkak. Dan akulah kakinya yang dia pakai untuk melangkah.

Jika dia meminta sesuatu pada-Ku, pasti akan Aku kabulkan. Jika ia meminta perlindungan, pasti akan Aku lindungi.  Dan Aku tidak ragu melakukan suatu perbuatan seperti keraguan-Ku untuk mewafatkan seorang mukmin, dia belum mau mati sedangkan Aku tidak mau menyakitinya”  (Bukhari, 5/6137).

Kematangan ruhiyah bukan hanya akan mempercepat produktifitas dengan kualitas adiluhung, juga akan membuat manusia bertahan menghadapi pekerjaan besar dalam waktu yang lama.

Misalnya, Ibn Asakir bertahan menulis Tarikh Dimasyq dalam rentang waktu 60 tahun. Semua orang penting dari kaum cendekia, sastrawan, penyair, bahkan orang-orang linglung terkenal di Damaskus ditulis dalam bukunya.

Ibn Khaldun, bertahan menyendiri di sebuah benteng untuk menulis tarikhnya, Tarikh Ibn Khalidun.

Begitu pula Imam Ghazali. Ia menyendiri di sebuah kamar di Baitul Maqdis, menulis Ihya Ulumuddin.

Apa yang telah membuat mereka mampu bertahan? Lagi-lagi adalah kematangan ruhiyah, kualitas dzikir.

Sebuah ilustrasi yang amat qudus, Allah swt. menceritakan diri-Nya tentang penciptaan langit dan bumi. Orang-orang Yahudi dan Nasrani menyebut, Tuhan letih setelah bekerja enam hari. Maka di hari ketujuh Ia beristirahat.

Tetapi Allah swt. membantah:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِن لُّغُوبٍ

Artinya: “Sesungguhnya telah Kami menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan” (Qaf [50]: 38).

Yang unik ayat itu diteruskan dengan perintah agar Rasulullah Saw bersabar, bertasbih di pagi hari dan petang, solat malam dan bertasbih seusai sholat. Agar ia bertahan dalam menjalankan tugas besar dengan tantangan yang berat.

Firman Allah:

فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ. وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَارَ السُّجُودِ

Artinya: “Maka bersabarlah engkau terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam. Dan bertasbihlah engkau kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai sembahyang” (Qaf [50]: 39-40).

Allah swt. telah menjadikan hidup manusia dengan beban yang cukup berat. Semakin tinggi kedudukan agama, sosial dan politiknya semakin berat lagi beban yang ada di pundaknya.

Dengan bekal taqorrub, tilawah, salat dan tasbih, semua beban itu dengan izin Allah akan mudah dihadapi.

Dengan bekal zikir semangat hidup akan terus menyala, aktifitas mengalir deras, kesabaran akan tak kenal batas, dan proyek-proyek besar akan sukses dijalankan.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Malu dan Iman

Malu Sebagai Bagian Dari Keimanan (Bag. 1)

Pemateri: Ust. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Hadits:

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرُو اْلأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ” (متفق عليه)

Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amru Al-Anshari Al-Badri ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

‘Sesungguhnya sebagian dari apa yang telah dikenal orang dari ungkapan kenabian yang pertama adalah, ‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.’

(HR. Bukhari Muslim)

Takhrij Hadits

1. Hadits ini merupakan hadtis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya, dalam beberapa tempat, diantaranya adalah dalam :

a. Kitab Ahaditsul Anbiya’, Bab Hadits Al-Ghar, hadits no 3224 & 3225.

b. Kitab Al-Adab, Bab Idza Lam Tastahyi Fashna’ Ma Syi’ta, hadits no 5655.

2.  Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya Sunan Ibni Majah, dalam Kitab Az-Zuhud, Bab Al-Haya’, hadits no 4137.

3.  Hadits ini diriwayat kan juga oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, Musnad As-Syamiyin, Bab Baqiyati Hadits Abi Mas’ud Al-Badri Al-Anshari ra, dalam tiga tempat, yaitu pada hadits no 16470, 16478 & 16485.

Catatan Takhrij Hadits :

Hadits ini memiliki syahid (hadits dengan matan yang sama namun diriwayatkan melalui jalur periwayatan yang berbeda) yang menguatkan riwayat Abu Mas’ud di atas, yaitu riwayat lain dari  Hudzaifah bin Yaman dengan matan yang sama seperti riwayat Abu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, Musnad Al-Anshar, Bab Hadits Hudzaifah bin Yaman, hadits no 22170 & 22344

Makna Hadits Secara Umum

Hadits singkat dan sederhana ini menggambarkan sebuah nilai yang demikian luhur, yang ternyata juga merupakan nilai yang ditanamkan oleh para nabi dan Rasul radhiallahu anhum ajma’in sebelum nabi Muhammad SAW, yang apabila nilai ini menghiasi diri dan hati setiap muslim, maka insya Allah ia akan terjaga dari segala bentuk perbuatan buruk dan tercela atau dengan kata lain, akan terjaga keimanannya.

Nilai yang luhur tersebut adalah sebuah sifat yang disebut dengan al-haya’, yaitu sifat malu yang didasari oleh keimanan kepada Allah yang akan melahirkan sebuah sikap untuk senantiasa menjaga diri dari segala perbuatan dosa dan mungkar, bahkan senantiasa memotivasinya untuk senantiasa beramal shaleh dan beretika (berakhlakul karimah), terhadap siapapun dan dimanapun ia berada.

Sifat ini merupakan buah dari keimanan yang tertanam di dalam hati sanubari setiap muslim, yang tercermin dalam implementasi untuk senantiasa memiliki rasa malu, bila mengerjakan perbuatan yang tidak sesuai dengan ruh Islam serta mendorongnya untuk melakukan segala amalan yang terkait dengan keimanan kepada Allah SWT.

Sifat al-haya’ ini menjadi pelajaran yang sangat berharga yang diajarkan dari masa kenabian yang pertama (yaitu masa kenabian sebelum nabi Muhammad SAW) yang ‘wajib’ menghiasi bagi setiap muslim.

Artinya bahwa para Nabi dan Rasul as sepakat untuk menanamkan nilai ini ke dalam hati sanubari umatnya, bahkan sifat ini seolah menjadi sifat wajib atau sifat utama bagi para Nabi dan Rasul ra sendiri.

Oleh karena itulah, kita mendapatkan sabda dari Rasulullah SAW,

‘Sesungguhnya sebagian dari apa yang telah dikenal orang dari ungkapan kenabian yang pertama adalah,

‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.’ (HR. Bukhari).

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Barinya mengemukakan bahwa makna dari sabda nabi ( كلام النبوة ) ‘ungkapan kenabian’, yang dimaksud adalah ( مما اتفق عليه الأنبياء ) sesuatu yang disepakati oleh para nabi.

Artinya para nabi sepakat dengan nilai ini.

Kemudian makna dari ( النبوة الأولى ) maksudnya adalah dari para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.

Maka sejatinya, sifat ini juga menjadi sifat wajib bagi setiap muslim, khususnya bagi para du’at (baca ; aktivis da’wah), khususnya dalam mengemban amanah da’wah di muka bumi ini.

Pelajaran Hadits

Ada beberapa hikmah atau pelajaran penting yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :

1.  Sebagai agama yang universal, Islam tidak hanya mengedepankan aspek pemenuhan pelaksanaan hukum syariat kepada pemeluknya hanya dari sisi pendekatan penegakan aturan semata; siapa melanggar mendapatkan hukuman dan siapa melaksanakan mendapatkan pahala.

Namun Islam sangat mengedepankan sisi al-wa’yu ( الوعي ) atau kesadaran dan penghayatan ketika melaksanakan suatu aturan tersebut.

Dalam artian bahwa syariah atau hukum dan perundangan yang terdapat dalam Dinul Islam yang mengatur seluruh dimensi kehidupan, pada hakekatnya tidaklah bertujuan untuk membatasi kaum muslimin, namun hukum tersebut substansinya adalah untuk menjaga nilai-nilai yang sudah mengakar menjadi satu dengan keimanan, agar terjaga dengan baik dan tidak rusak.

Oleh karena itulah, Islam juga menumbuhkan sebuah sikap dan mentalitas yang memotivasi umatnya untuk mentaati hukum syariah, tanpa ada rasa keberatan atau ketrepaksanaan untuk mengikuti hukum tersebut.

Dan salah satu bentuk penumbuhan sikap tersebut adalah dengan cara memperkaya hati dengan sikap al-haya’, yaitu sikap malu yang didasari karena keimanan kepada Allah SWT.

Karena dengan sikap al-haya’ ini, setiap muslim akan malu apabila tidak melaksanakan hukum Allah  SWT, atau akan malu apabila melanggar aturan Allah SWT, bahkan akan malu apabila tidak beretika sebagaimana diajarkan dalam ajaran dinul Islam (baca; berakhlakul karimah).

Sehingga apabila diibaratkan dengan sifat al-haya’ ini, tanpa adanya hukum pun, setiap muslim tidak akan melakukan pelanggaran hukum atau tidak akan melakukan tindakan yang tercela.

Walaupun apabila ditinjau dari sisi kehidupan sosial, hukum tetap perlu diadakan untuk menjaga keharmonian kehidupan sosial.

2.  Bahwa ajaran para Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah SWT ke muka bumi, pada dasarnya memiliki persamaan prinsip dan intisari yang terkandung dalam nilai-nilai yang diajarkan oleh mereka.

Karena pada dasarnya semua yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul ra tersebut, merupakan wahyu yang bersumber dari Allah SWT.

Maka jika kita perhatikan, semua Nabi dan Rasul ra tanpa terkecuali mengajarkan kepada kita untuk senantiasa mentauhidkan Allah SWT, beriman kepada hari akhir, berbudi pekerti yang luhur, melakukan amal shaleh, dsb.

Dan salah satu nilai utama yang terkandung dalam ajaran semua Nabi dan Rasul ra dan disepakati oleh mereka adalah anjuran untuk senantiasa memiliki sifat al-haya’, yaitu rasa malu yang lahir dari adanya keimanan kepada Allah SWT.

3.  Sikap al-haya’ atau malu, didefinisikan oleh Syekh Mustafa Dieb Al-Bugha dengan ‘menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela dan menahan diri dari mengerjakan sesuatu atau juga meninggalkan sesuatu karena khawatir mendapatkan celaan dan cacian yang bertentangan dengan keimanan.’

Namun yang perlu digaris bawahi dari sifat al-haya’ atau malu adalah bahwa al-haya’ merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keimanan.

Ia lahir dan tumbuh bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya keimanan dalam diri seseorang.

Semakin tebal keimanan nya kepada Allah SWT, maka akan semakin tinggi pula sifat al-haya’nya. Oleh karena itulah dalam beberapa hadits kita mendapatkan Nabi Muhammad SAW mengaitkan antara iman dengan al-haya’.

Diantaranya adalah dalam riwayat berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اْلإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ اْلإِيمَانِ (رواه البخاري)

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Iman itu memiliki enam puluh sekian cabang.
Dan rasa malu merupakan salah satu cabang keimanan.’ (HR.Bukhari)

Ibnu Qayim Al-Jauzi dalam Tahdzib Madarijis Salikin mengemukakan, bahwa sifat al-haya’ dilihat dari akar katanya berasal dari ( الحياة ) al-hayah (kehidupan).

Ia berarti pula al-haya ( الحيا ) yang berarti hujan. Sementara dilihat dari sisi ‘kehidupan hati’, sifat al-haya’ merupakan kekuatan akhlak; dan orang yang sedikit al-haya’nya (rasa malunya), adalah tanda ‘matinya hati dan ruhnya.

Dan semakin hati seseroang itu hidup, maka akan semakin tinggi pula sifat al-haya’ nya.

Penulis melihat (terkait dengan apa yang dikemukakan oleh Syekh Ibnu Qayim Al-Jauzzi di atas, bahwa keterkaitan antara al-haya’ (malu) dengan al-hayah (kehidupan) dan al-haya (hujan), adalah bahwa orang yang memiliki rasa malu, maka pada hakekatnya ia adalah orang yang ‘mawas’ ketika menjalani kehidupan.

Artinya sifat malu merupakan sifat yang sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan di dunia.

Insya Allah rasa malu tersebut akan menyelematkannya dari segala bentuk kemungkaran dan kebathilan. Dan rasa malu itu apabila telah menghiasi pribadi seorang muslim, maka ia akan seperti hujan yang menyirami dan meneduhkan serta menumbuhkan segala kebaikan dalam hatinya dan akan terimplementasi kehidupan, sebagaimana hujan juga akan menumbuhkan berbagai tumbuhan dan meneduhkan bumi atau dengan kata lain, ia akan menjadi energy untuk mendapatkan keridhaan Ilahi.

(Bersambung)


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Umat Mulia Karena Islam

TIGA SIFAT UNGGULAN MANUSIA PILIHAN ALLAH SWT. (bag. 2)

Pemateri: Ust. DR. Abas Mansur Tamam

Materi sebelumnya bisa dilihat di link berikut:

TIGA SIFAT UNGGULAN MANUSIA PILIHAN ALLAH SWT (Bag-1)

BERWAWASAN LUAS (ULIL ABSHAR):

Sifat unggulan manusia pilihan Allah yang kedua adalah memiliki wawasan yang luas (ulil abshar).

Ulil abshar artinya punya pandangan atau pengetahuan yang luas.

Sifat ini berhubungan erat dengan sifat terampil (ulil aidi). Karena antara ilmu dan amal tidak bisa dipisahkan satu sama lain, seperti dua sisi mata uang.

Seseorang disebut ulil abshar jika memiliki lima indikator sebagai berikut:

1. CERDAS (al-‘Aqlu):

Indikator paling dasar adalah cerdas (al-‘aqlu), demikian menurut Mujahid.
Ada dua jenis kecerdasan yang saling berhubungan dalam diri manusia: kecerdasan instingtif (al-aqlu al-garizi), dan
kecerdasaan hasil belajar dan pengalaman (al-aqlu al-muktasab).

A. Kecerdasaan Instingtif

Kecerdasaan instingtif artinya kecerdasaan bawaan, dimana seseorang akan mengerti tentang berbagai hal, sesuai dengan usia perkembangan kognitifnya.

Ukuran standarnya adalah memiliki kecerdasan yang normal, sehingga pada usia mumayyiz (5 sampai 7 tahun) seseorang mulai mengerti persoalan-persoalan dasar  dalam hidupnya, baik-buruk, halal-haram, perintah-larangan dan sebagainya.

Kecerdasan normal ini menjadi sebab mendapatkan beban taklif setelah seseorang beranjak dewasa.

Yaitu status hukum dimana ketentuan-ketentuan agama berlaku kepadanya serta bertanggung jawab penuh atas dirinya.

Diatas kecerdasan normal ada kecerdasan instingtif di atas rata-rata. Yaitu orang yang memiliki kecerdasan melampaui usia perkembangan kognitifnya.

Misalnya, suatu waktu Umar bin Khattab berjalan melewati kerumunan anak-anak yang sedang bermain di jalan, diantara mereka ada Abdullah bin Az-Zubair.
Anak-anak itu segera lari, tetapi Abdullah tetap diam di pinggir jalan.

Umar bertanya: “Mengapa engkau tidak ikut lari seperti teman-temanmu?”

Abdullah menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, aku tidak punya salah sehingga takut kepadamu, dan jalan cukup luas” (Al-Mawardi, Adabud Dunya, 12).

Contoh lain adalah Al-Ashma’i (w. 215 H) dengan seorang anak gembala padang pasir (Badwi).

Al-Ashma’i, ulama nahwu dari Basrah, bertanya kepadanya tentang bukti adanya Allah swt.

Dia menjawab dengan logika yang lugas:

”Tapak kaki unta menunjukkan ada unta yang telah lewat.
Tapak kaki manusia menunjukkan ada orang yang telah lewat.

Langit yang memiliki bintang-gemintang, bumi yang memiliki jalan-jalan, lautan yang bergelombang, tidakkah semua itu menunjukkan Sang Maha Mengetahui dan Bijaksana telah menciptakannya?” (Al-Izi, Al-Mawāqif, 1/151).

B. Kecerdasan Hasil Belajar

Kecerdasan instingtif jika diberdayakan dengan belajar dan pengalaman hidup akan berkembang menjadi akal muktasab.

Orang yang tidak punya kecerdasan bawaan, tidak akan cerdas untuk selamanya.

Alquran menggambarkan nya seperti seekor keledai yang membawa buku  (Al-Jumuah [62]: 5).

Meskipun telah melewati pengalaman hidup yang panjang, seorang yang safih, ideot, atau gila tetap tidak akan pintar.

Orang yang mendapatkan pembinaan yang intensif dalam hidupnya, serta melewati perjalanan hidup yang menantang, kecerdasan bawaannya akan terasah dengan baik.

Pepatah Arab mengatakan:
“Orang yang panjang usianya, kekuatan badannya berkuran kemampuhan akalnya bertambah”

Tetapi orang yang tidak mau belajar dan tidak mengambil pelajaran dari pengalaman hidupnya akan menjadi seorang yang bodoh (ahmaq). Yaitu orang yang usianya sudah dewasa, tapi masih kekanak-kanakan.

Orang tua seperti ini diibaratkannya oleh Wahab bin Munabbih seperti tembikar yang pecah: tidak bisa ditambal, tidak bisa diperbaiki, dan tidak bisa dikembalikan menjadi tanah kembali (Abu Hatim, Raudatul Uqala, 122).

C. Fungsi Kecerdasan

Kecerdasan memiliki dua fungsi:

Pertama, fungsi pengetahuan (kognitif) yang akan membuat seseorang mengetahui berbagai hal.
Dalam hal ini akal ibarat cahaya yang membuat seseorang mengenali kebaikan dan keburukan.

Kedua, fungsi sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik) yang akan membuatnya berhenti melakukan keburukan dan semangat dalam melakukan kebaikan.

Terkait dengan fungsinya ini, orang Arab menyebut kecerdaasn itu sebagai akal (aql). Makna generiknya adalah tali yang mengendalikan seekor unta.

Karena itu tidak disebut cerdas kecuali jika daya pikirnya mampu untuk mengendalikan dirinya dari terjerat hawa nafsu.

Amir bin Abdul Qais berkata:
“Jika kecerdasan engkau mengekang engkau dari melakukan perkara yang tidak senonoh, maka engkau orang cerdas” (Al-Mawardi, Adabud Dunya, 11).

Rasulullah saw. bersabda:

الْكَيِّسُ من دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ من أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى على اللَّهِ

Artinya: “Orang yang cerdas adalah orang yang bisa mengendalikan dirinya dan berbuat untuk bekal setelah mati.
Orang yang bodoh adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, kemudian berangan-angan menadapatkan ampunan dari Allah swt.”
(Tirmizi, 4/2459, hadits hasan).

Karena itu orang yang cerdas akan membuatnya semakin dekat dengan Allah swt.

Dia mengetahui berbagai ajaran agamanya seperti perintah dan larangan Allah, mampu mengendalikan dirinya dan beramal saleh.

Di dunia mendapatkan ketinggian derajat, dan di akhirat akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah swt.

Firman Allah:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat” (Al-Mujadilah [58]: 11).

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa” (Al-Hujurat [48]: 13).

Indikator-indikator lain dari seorang ulil albab yang akan dibahas berikutnya, seperti memiliki wawasan Alquran, wawasan keislaman, kecerdasan dalam beragama, serta wawasan ilmu pengetahuan; semuanya memberdayakan akal muktasab ini dari berbagai aspeknya.

(Bersambung)


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Majelis ilmu

Wahyu dan Inspirasi Menuntut Ilmu

Pemateri: Ust. DR. WIDO SUPRAHA

Membaca adalah anjuran atau perintah pertama yang diturunkan Allah Swt sebagai bagian dari wahyu yang suci nan mulia. Kata seru ‘bacalah’ diulang 3 (tiga) kali dalam Al-Qur’an.[1]

Sementara kata wahyu sebagai kata dasar hanya digunakan 1 (satu) kali dalam Al-Qur’an[2], namun terdapat 78 kata yang menggunakan kata dasar wahyu dalam Al-Qur’an, 6 kata adalah kata benda, dan 72 kata adalah kata kerja.

Dalam wahyu yang pertama kali turun itu pun mengandung inspirasi bahwa menuntut ilmu hendaknya sarat dengan aktifitas membaca dan menulis, sebagaimana ilmu diikat dengan tulisan.

Wahyu secara bahasa berarti memberitahukan secara samar; tulisan; tertulis; utusan; ilham; perintah; dan syarat. Secara terminologi syariat, wahyu berarti memberitahukan hukum-hukum syariat, atau juga bisa bermakna sebagai sesuatu yang diwahyukan, yakni kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Cara Allah menurunkan wahyu kepada para Nabi adalah sama yakni dengan cara mimpi sehingga hati menjadi tenang, setelahnya baru Allah menurunkan wahyu dalam keadaan sadar.[3]

Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. (Q.S. An-Nisa/4:163)

Maka demikian pula dengan Nabi Muhammad Saw dalam hal penerimaan wahyu juga dengan cara yang sama telah dialami oleh para Nabi sebelumnya. Nabi Saw telah dikondisikan pertama kali melalui mimpi yang benar sebagai bagian dari latihan sebelum menerimanya secara sadar.

Maka tidak heran jika setelahnya Nabi Saw dapat melhat cahaya, mendengar suara, dan batu-batu kerikil yang memberikan salam kepadanya.

Pada mimpi ini, Nabi Saw pertama kali melihat sosok Malaikat Jibril. Adapun secara sadar, sebagaimana pengakuan Nabi Saw., wujud asli Malaikat Jibril terlihat langsung sebanyak 2 (dua) kali yakni ketika di Ajyad dan kemudian ketika peristiwa Isra’ Mi’raj.

Namun terdapat juga penjelasan bahwa ketika turunnya wahyu di Gua Hira’, Malaikat Jibril juga menampakkan wujud aslinya.

Perintah Jibril kepada Nabi Muhammad Saw, ‘Iqra’, dijawab dengan “Ma Ana bi Qari” dan hal ini berlangsung hingga 3 (tiga) kali perulangan.

Berulangnya pernyataan Nabi bahwa dirinya tidak bisa membaca, mengandung maksud seakan-akan Nabi Saw memang tidak bisa membaca sama sekali.

Namun, hal ini dapat juga dijelaskan bahwa jawaban pertama Nabi mengadung makna penolakan (imtina’), jawaban kedua Nabi mengandung makna ketidakmampuan, sedangkan jawaban ketiga nabi mengandung makna pertanyaan akan apa yang harus dibaca.[4]

Pertanyaan tentang ‘kaifa aqra‘, dan ‘madza aqra‘, adalah bagian dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin hadir[5], sehingga kemudian Jibril mengajarkan bahwa bersama pertolongan Allah (bismi rabbika) yang telah menciptakan akan memudahkan dalam membaca, sesuatu yang akan sulit jika hanya disandarkan pada pengetahuan manusia.

Namun di atas itu semua, peristiwa ini memperlihatkan adanya kebenaran yang bersumber dari faktor luar (haqiqah kharijiyyah).

Maka sedemikian bersemangatnya Nabi Saw dalam menerima wahyu, membuatnya selalu tidak sabar untuk dapat menghafalkannya, meskipun itu terasa sukar baginya.

Semangat Nabi yang totalitas untuk perbaikan umat (harakatul inqaz), melahirkan tanggung jawab kenabian (mas-uliyah an-nubuwwah), terlihat dari begitu tergesa-gesanya beliau untuk melahap seluruh ilmu yang disampaikan dalam bentuk wahyu.[6] Maka turunlah firman Allah, Swt,

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. (Q.S. Al Qiyamah/ 75:16)

Namun Allah mengajarkan, bahwa sebaik-baik pengajaran adalah talaqqi, dimana yang dididik hendaknya mendengarkan secara seksama baru mengikutinya.

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (Q.S. Al-Qiyamah/75:18)

Setelah turunnya wahyu pertama ini, maka tidaklah turun ayat Al-Qur’an kecuali setelah masa penantian selama 6 bulan[7] atau 3 tahun[8] yang terasa sangat lama dan berat bagi Nabi Muhammad Saw., hingga jika beliau berada pada puncak kesedihannya, beliau akan naik ke atas gunung bahkan berniat untuk menjatuhkan diri, namun kehadiran Jibril kembali menguatkan dirinya, bahwa beliau memang benar-benar telah dijadikan utusan Allah[9].

Masa penantian itu berakhir setelah peristiwa melihatnya Nabi Muhammad Saw akan sosok Jibril yang sedang duduk di atas kursi yang melayang di langit dalam wujud aslinya di kota Ajyad.
Peristiwa ini yang mendorong turunnya firman Allah dalam Surat Al-Muddatstsir[10]. Menarik melihat bagaimana kebiasaan Nabi Saw tatkala diuji dengan ketakutan karena hal ghaib yang tidak biasa, seperti dalam peristiwa menampakkan dirinya Jibril di Gua Hira’ dan di Ajyad ini, beliau akan meminta istri tercintanya untuk menyelimuti tubuhnya.

Lebih menarik lagi ketika istrinya nan-shalihah sentiasa menguatkan keyakinan dirinya akan pertolongan bagi orang-orang yang sentiasa berbuat kebajikan dalam menolong orang lain.

Maka setelah turunnya Surat Al-Muddatstsir tersebut, mulailah wahyu turun dengan semakin sering. Terkadang wahyu itu datang seperti bunyi lonceng (shalshalah al-jaras), dan ini merupakan cara yang paling berat bagi manusia seperti Nabi Muhammad Saw.
Namun terkadang datang malaikat menjelma seperti laki-laki yang menyampaikan wahyu kepadanya.

Gambaran begitu beratnya Wahyu yang turun, diumpamakan oleh ‘Aisyah r.a. kejadian turunnya wahyu di saat musim dingin yang amat sangat, namun dahi Nabi Saw terlihat bersimbah peluh pertanda begitu berat yang dialaminya.

Setiap kali wahyu turun, Nabi Saw memerintahkan sahabatnya untuk mencatatnya dengan segera. Setiap kali sahabat bertanya tentang beberapa masalah, Nabi Saw harus menunggu beberapa masa hingga turun ayat yang menjawab permasalahan tersebut.

Permasalahan-permasalahan masa lalu yang tentu mustahil diketahui bagi seorang Nabi yang ummi, terlebih hal-hal yang baru diketahui di masa depan, menjadi jawaban utama keaslian Wahyu yang diterima Nabi Saw. Keraguan akan sosok pembawanya telah terjawab dengan kebersamaan hidup bersamanya selama 40 tahun.

Tuduhan segelintir orientalis bahwa wahyu hanyalah intuisi Nabi Saw dalam khalwatnya seorang diri sebenarnya terbantahkan dengan rangkaian peristiwa yang dialami Nabi Saw.

Pertama, bahwa untuk menumbuhkan inspirasi tidaklah perlu menjalani proses khalwat.

Kedua, tidak terlihatnya Jibril oleh para sahabat lain, bukan berarti Jibril itu tiada. Ketiga, kondisi emosi Nabi dalam ketakutannya akan makhluk jin menjadi jawaban bahwa risalah bukanlah hal yang dicarinya, atau kekhawatirannya akan murka Allah atas tidak turunnya wahyu selama beberapa lama tentu bukanlah hal yang dibuat-buat, atau menggigilnya sekujur tubuh menjadi jawaban bahwa peristiwan yang dialaminya merupakan hal yang tidak biasa, dan bahkan tidak pernah terlintas dalam benaknya sama sekali.[11]

Dalam peristiwa ini, Khadijah mendapatkan ilham untuk membawa suaminya kepada anak pamannya yang sudah tua dan buta, Waraqah bin Naufal, seorang ahli ilmu Kristen.

Pengetahuan Waraqah yang luas dari hasil menuntut ilmunya kepada para Ahli Kitab membawanya kepada keimanan akan kebenaran Nabi Muhammad Saw selaku manusia yang diutus Allah Swt. Namun perlu diketahui, bahwa Waraqah adalah satu dari empat orang yang menyadari akan kesalahan dalam ajaran yang diyakini orang-orang Quraisy, dan membawa mereka kepada pengembaraan ilmu.

Ketiga lainnya adalah Ubaidillah bin Jahsy, Ustman bin al-Huwairits, dan Zaid bin Amr bin Nufail. Ubaidillah bin Jahsy diketahui kemudian masuk Islam dan ikut hijran ke Habasyah bersama istrinya, Ummu Habibah, namun kemudian murtad dan masuk agama Kristen di Habasyah.

Utsman bin al-Huwairits masuk agama Kristen setelah bertemu Kaisar Romawi, dan mendapat kedudukan terhormat. Adapun Zaid bin Ammar tidak memeluk Yahudi maupun Nasrani, namun ia menjaga diri dari beragam perbuatan tercela, karena ia mengikrarkan untuk menyembah Tuhannya Nabi Ibrahim a.s. Zaid terus berkelana mencari agama Ibrahim yang benar, hingga menyelurusi Kota Syam, namun ia mendapatkan jawaban bahwa Nabi itu telah bangkit dari Kota Makkah.

Ketetapan Alalh mendahului, dimana ia terbunuh di pertengahan negeri Lakhm. Ini yang membuat Waraqah bersedih.

Keyakinan para ahli Kristen yang jujur muncul di antaranya karena sifat Nabi Muhammad Saw telah ada dalam kitab suci mereka yakni Al-Munhammana, sebagaimana sabda Nabi ‘Isa. Dalam bahasa Ibrahin, al-Munhamana berarti Muhammad, dan Muhammad dalam bahasa Romawi ialah Paraclet.[12]

Maraji’

1] Q.S. Al-Isra’/17:14; Q.S. Al-‘Alaq/96: 1,3

2] Q.S. An-Najm/53:4

3] Lihat Fathul Bari, Bab Permulaan Turunnya Wahyu

4] Kutipan pendapat Ath-Thibi oleh Ibn Hajar al-Atsqalani

5] Kutipan pendapat Abu Aswan dan Zuhri oleh Ibn Hajar al-Atsqalani

6] H.R. Bukhari No. 5

7] Riwayat Sya’bi dalam kitab sejarah buah karya Imam Ahmad bin Hanbal, dan dikuatkan oleh pendapat Ibn Ishq

8] Riwayat dari Ibn Ishaq

9] Lihat Tafsir Al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir (Ibn Katsir)

10] H.R. Bukhari No. 4

11] Analisa Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam Fiqh as-Sirah: Dirasat Minhajiah ‘Ilmiah li-Shirat al-Musthafa ‘alaihishshalatu wa salam

12] Sirah Ibn Hisyam


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Tertipu dengan dunia lalai dengan akhirat

Menggapai Esok Yang Lebih Baik

Pemateri: Ust. Rikza Maulan S.Ag, M.Ag.

عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ، قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ، قَالَ وَمَعْنَى قَوْلِهِ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ يَقُولُ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا قَبْلَ أَنْ يُحَاسَبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ – رواه الترمذي

Dari Syadad bin Aus ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda,

‘Orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.'(Imam Turmudzi) mengatakan, ‘bahwa hadits ini adalah hadits hasan.

Dan makna dari sabda Rasulullah SAW ( دان نفسه ) ‘menghisab/ mengevaluasi dirinya’ adalah ( حاسب نفسه في الدنيا قبل أن يحاسب يوم القيامة ) ‘orang yang menghisab (mengevaluasi diri) di dunia sebelum dihisab pada hari akhir.’ (HR. Turmudzi)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sebagai seorang muslim, hendaknya kita selalu melakukan muhasabah (baca ; evaluasi) dalam setiap aktivitas kehidupan kita, baik menyangkut aspek kehidupan dunia (aspek pekerjaan) maupun juga aspek kehidupan akhirat.

Karena berdasarkan hadits di atas, bahwa orang yang cerdas (baca ; sukses) adalah orang mengevaluasi dirinya sendiri dan beramal untuk kehidupan setelah kematiannya. Muhasabah atau evaluasi dapat dilakukan setiap pekan, setiap bulan, setiap triwulan, setiap semester, atau setiap setahun sekali.

Dengan harapan mudah-mudahan hari-hari ke depan selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

2. Mengevaluasi atau menghisab diri sendiri sangat penting dalam kehidupan seorang muslim.
Karena dengan evaluasi, seseorang dapat mengetahui porsinya dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT, baik terkait dengan orang lain (muamalah dan pekerjaannya), maupun terkait dengan hubungannya secara langsung kepada Allah SWT.

Dan demikian pentingnya evaluasi, hingga banyak ungkapan dari salafuna shaleh tentang evaluasi (muhasabah) diantaranya adalah :

a. Muhasabah akan meringankan hisab di yaumul akhir.

Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khatab ra, mengatakan :

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ اْلأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا

Umar bin Khatab ra berkata, ‘hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kaliau untuk hari aradh akbar (yaumul hisab).

Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.

b. Muahasabah merupakan ciri dan karakter orang beriman.

Maimun bin Mihran ra, salah seorang tabi’iin (40h – 117h) dalam sebuah riwayat disebutkan :

عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ لاَ يَكُونُ الْعَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ مِنْ أَيْنَ مَطْعَمُهُ وَمَلْبَسُهُ

Dan dari Maimun bin Mihran bahwa ia berkata, seorang hamba tidak diakatan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisabnya pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya.

c. Muhasabah merupakan kunci kesuksesan seseorang di dunia maupun di akhirat, – sebagaimana di sebutkan dalam hadits diatas -, bahwa orang yang cerdas (baca ; sukses) adalah orang yang mengevaluasi dirinya sendiri dan beramal untuk kehidupan setelah kematiannya…

d. Setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah SWT dengan kondisi sendiri-sendiri untuk  mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya.

Allah SWT menjelaskan dalam Al-Qur’an :

وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا – (مريم 95)

“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.”

يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (النور : 24)

Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.

3. Evaluasi atau muhasabah, hendaknya berimbang dalam aspek kehidupan baik dunia maupun akhirat.

Ibarat dua sayap burung yang sedang terbang, kedua sayap harus bergerak seimbang.

Demikian juga kita perlu seimbang dalam mengevaluasi antara aspek duniawi dan aspek ukhrawi.
Tidak seyogianya, muhasabah dilakukan hanya pada aspek dunia saja; seperti aspek pekerjaan, penghasilan, target dan sebagainya, namun muhasabah juga harus dilakukan pada aspek kehidupan akhirat, seperti aspek ibadah kepada Allah SWT.

Diantara hal-hal yang perlu dievaluasi dalam kehidupan kita adalah sebagai berikut :
a. Aspek Ibadah ( الجانب التعبدي )

Evaluasi aspek ibadah sangat penting, karena ibadah merupakan esensi dari keberadaan kita di dunia ini sebagaimana yang difirmankan Allah SWT,

“Dan tidaklah Aku mencipkatan jin dan manusia, melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.” (QS. Ad-Dzariyat : 56).

Oleh karenanya aspek ibadah perlu menjadi perhatian besar bagi setiap muslim dalam melakukan evaluasi atau muhasabah.

Secara garis besar, ibadah mencakup dua hal ; ibadah yang wajib dan ibadah yang sunnah.

Ibadah Wajib ( الفرائض )

Ibadah wajib adalah ibadah yang tidak bisa tidak, harus dikerjakan oleh setiap muslim.

Ibadah yang wajib ini minimal sekali adalah ibadah yang terdapat dalam rukun Islam; seperti shalat, puasa, zakat dan juga haji.

Masing-masing dari ibadah ini perlu kita evaluasi, seperti pada aspek shalat; sudah sempurnakan shalat kita?
Apakah kita mengerjakannya tepat pada waktunya?
Berjamaah di masjidkah shalat kita?, dsb.

Apabila kita mendapatkan kelemahan pada sisi shalat, misalnya jarang berjamaah di masjid, maka kuatkan azam untuk senantiasa dapat shalat berjamaah di masjid.

Demikian juga dengan aspek puasa (ramadhan). Apabila kita merasa banyak kekurangan dalam sisi ibadah puasa ramadhan tahun 1436 H lalu, misalnya masih banyak waktu digunakan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat di bulan ramadhan.

Maka hari mendatang harus lebih baik dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Demikian juga dengan zakat dan juga ibadah haji.

Ibadah Sunnah ( النوافل )

Rasulullah SAW sendiri memberikan perhatian yang demikian besarnya pada aspek ibadah sunnah.

Perhatikan saja sebagaimana yang diakatakan Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW shalat malam hingga kedua kakinya bengkak-bengkak. (HR. Bukhari Muslim)

Kemudian bagaimana juga antusias beliau dalam berpuasa sunnah, dalam berdzikir, dalam memperbanyak istighfar dan taubat, dalam berbuat ihsan, dsb.

Oleh karena itulah, hendaknya ibadah-ibadah sunnah yang kita lakukan dievaluasi, untuk kemudian membuat program ibadah sunnah hari mendatang yang lebih baik dari saat ini.

b. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki ( الجانب العملي والتكسبي )

Alhamdulillah, kita bekerja pada lingkungan pekerjaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dan keimanan kepada Allah SWT.

Namun walau bagaimanapun juga kita semua adalah kumpulan manusia-manusia biasa, yang sangat mungkin terpeleset dalam lembah yang sangat dibenci Allah SWT, seperti praktik risywah, melalaikan amanah, mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, manipulasi absensi, menjilat atasan – menginjak bawahan – sikut kiri kanan, ikhtilat dengan lawan jenis, dsb (na’udzubillah min dzalik).

Hal-hal tersebut perlu kita evaluasi, untuk kemudian kita lakukan perbaikan pada tahun yang akan datang.

Rasulullah SAW mengingatkan kita bahwa kelak pada yaumul hisab, semua akan dipertanyakan oleh Allah SWT, termasuk di dalamnya perihal perolehan rizki kita.

Demi Allah, bahwa Rp 500,- yang kita dapatkan pun kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah SWT (perhatikan teks hadits yang digaris bawahi):

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ – رواه الترمذيٍ

Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara;

1. umurnya untuk apa dihabiskannya,
2. masa mudanya, kemana dipergunakannya,
3. hartanya darimana ia memperolehnya &
4. kemana ia membelanjakannya,
5. serta ilmunya sejauh mana diamalkannya?’ (HR. Turmudzi)

Alangkah meruginya seseorang, yang apabila kelak di akhirat ia tidak bisa mempertanggung jawabkan rizki yang perolehnya, atau ada sesuatu yang “haram” masuk ke dalam rekening atau ke dalam kantongnya.

Karena demi Allah, itu semua kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah SWT. Para ulama mengatakan, bahwa salah satu ciri orang yang bertakwa adalah “berhati-hati” dalam sisi halal dan haramnya rizki.

Hadits di atas menggambarkan bahwa orang yang tidak bisa menjelaskan rizkinya yang diperolehnya dalam kehidupannya di dunia, kelak tidak bisa menggerakkan tapak kakinya dihadapan Allah SWT.

c. Aspek kehidupan sosial (hubungan antara sesama manusia)

Aspek ini juga merupakan aspek yang sangat penting untuk dievaluasi. Karena manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan orang lain dalam menjalankan aktivitas kehidupannya sehari-hari. Kita perlu mengevaluasi berkenaan dengan hubungan kita terhadap orang lain.

Misalnya, apakah selama ini kehadiran kita “menentramkan” orang lain yang ada disekitar kita?, atau justru sebaliknya; kehadiran, perkataan dan juga perbuatan kita selama ini menyakitkan hati orang atau bahkan mendzalimi orang lain? (na’udzubillah min dzalik). Sebuah hadits shahih mengingatkan kita :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ، فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ رواه مسلم

Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?”

Sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak punya uang dan tidak punya harta benda.” Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang kepada Allah SWT pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat. Namun ia juga datang membawa (dosa) suka mencela si Fulan, menuduh si Fulan, memakan harta si Fulan, mencederai darah si Fulan dan memukul si Fulan dsb.

Maka akan diberikanlahlah pahalanya kepada si Fulan dan si Fulan (orang-orang yang didzaliminya). Dan apabila pahala kebaikannya telah habis sebelum ia menuntaskan kepada orang-orang yang didzaliminya, maka diambillah dosa-dosa mereka lalu dilemparkan kepadanya, lalu ia pun dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)

4. Selain evaluasi atau muhasabah, setiap muslim juga perlu menanamkan visi dalam hidupnya, yaitu bahwa orientasi hidupnya adalah untuk kehidupan setelah kematiannya.

Hadits diatas menggambarkan demikian, bahwa orang yang cerdas (bacaa ; sukses) adalah orang yang mengevaluasi dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya”.

Sehingga sesungguhnya visi setiap muslim tidak hanya terbatas pada 5, 10 atau 20 tahun yang akan datang.

Namun visi seorang muslim adalah menembus dimensi kehidupan dunianya, hingga ke dimensi kehidupan akhirat (kehidupan setelah kematiannya).

Apabila visi seperti ini tertanam dalam diri setiap muslim, maka dapat dipastikan (insya Allah) bahwa dalam bekerja, beraktivitas, beribadah, dan dalam segala ativitas hidupnya, ia akan hanya memiliki orienasi kepada Allah dan karena Allah SWT semata. Dan inilah sesungguhnya implementasi dari firman Allah SWT :

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, (QS. Al-An’am : 162)

Jadi ternyata, untuk menjdi hamba Allah sejati yang dapat memasrahkan segala-galanya kepada Allah, cukup dimulai dengan dua hal sederhana dan dapat kita lakukan mulai sekarang juga, yaitu : pertama muhasabah (evaluasi) diri sendiri, dan kedua memiliki visi (beramal) untuk kehidupan akhiratnya.

Jadi marilah kita mulai dari sekarang, untuk melakukan muhasabah serta menanamkan visi yang menembus dimensi kehidupan dunia, ke dimensi kehidupan akhirat kita.

Wallahu A’lam Bis Shawab.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

sabar dan ikhlas

Meraih Indahnya Sabar

Pemateri: Ust. Farid Nu’man Hasan, SS.

Sabar Itu Indah

Sabar secara behasa bermakna Al Habsu (menahan) dan Al Kaffu (mencegah), lawan dari al jaz’u (keluh kesah). Jadi, sabar itu adalah menahan dan mencegah diri dari perbuatan yang tidak perlu.

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah pernah mengatakan bahwa di surga hanya ada dua kelompok manusia; manusia yang bersyukur dan manusia yang bersabar.

Orang-orang sukses, dunia dan akhirat, salah satu kuncinya oleh kesabaran.

Lihatlah betapa sabarnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya dalam mendakwahkan Islam di Jazirah Arab. Walau tantangan, ancaman, pengusiran, bahkan percobaan pembunuhan sudah berkali-kali dirasakannya ketika tiga belas tahun dakwah di Mekkah, akhirnya Allah Ta’ala menangkan dakwah Islam karena buah kesabaran Beliau dan para sahabatnya.

Sabar memang berat. Oleh karena itu, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah memasukkan sabar dalam menuntut ilmu, sabar dalam menghafalkan ilmu, dan sabar dalam menyampaikan ilmu adalah termasuk jihad fisabilillah.

Maka, dari sini kita bisa mengetahui bahwa
* sabar bukanlah kelemahan, justru sabar adalah kekuatan,
* sabar bukan kelesuan tetapi dia adalah gairah hidup,
* sabar bukan kecengengan tetapi dia adalah ketegaran,
* sabar bukanlah pesimis tetapi dia adalah optimis, dan
* sabar bukanlah diam membisu tetapi dia adalah pantang menyerah.

Dan, orang sabar bukan sekedar yang tidak menangis ketika mendapatkan musibah, bukan pula sekedar tidak mengeluh ketika tertimpa kesulitan, sebab itu barulah tahapan awal kesabaran.

Allah Ta’ala berfirman:

وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran (3): 146)

Sabar Itu Dapat Mengantarkan Pada Derajat Hamba Terbaik

Dengan sabar, seseorang dapat menjadikan dirinya sebagai manusia terbaik di sisi Allah Ta’ala. Hal ini seperti yang difirmankanNya:

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

 Sesungguhnya Kami dapati Dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhan-nya). (QS. Shad: 44)

Sabar itu Pada Pukulan Yang Pertama

Ya, sabar yang benar adalah terjadi pada reaksi awal dari musibah.

Bukanlah sabar jika seseorang marah, meratap, dan menyesali musibah yang menimpanya, barulah dia bisa bersabar setelah beberapa lama musibah itu. Ini bukan sabar yang benar.

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersaba:

الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى

“Sabar adalah pada hantaman yang pertama.” (HR. Bukhari No. 1223)

Dibalik Sabar Ada Kemenangan

Ini adalah janji Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya yang bersabar. Dan, janjiNya adalah benar.

Namun jangan lupa, sabar juga bukan kekuatan tanpa perhitungan, sabar bukan ketegaran tanpa tujuan, sabar bukan pesimis tanpa arahan, sabar bukanlah gerak pantang menyerah namun tanpa pemikiran yang matang. Tidak demikian. Tetapi sabar adalah berpadunya kekuatan dan perhitungan, ketegaran dan tujuan, optimis dan arahan, gerak pantang menyerah dan pemikiran matang, maka tunggulah kemenangan yang Allah Ta’ala janjikan.

Perhatikan firman Allah Ta’ala berikut:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ (65) الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (66) }

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.

Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Anfal (8): 65-66)

Maka, Maha Benar Allah ketika berfirman:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ

 Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. (QS. Al Baqarah (2): 45)

Ya, orang sabar akan menjadi pemenang, bagaimana mungkin mereka kalah padahal Allah Ta’ala bersama mereka? Innallaha ma’ash shaabiriin (sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar)…

Beginilah Kesabaran Mereka

Nabi Nuh ‘Alaihissalam  menyebarkan dakwah tauhid dalam waktu 950 tahun, walau dia tahu pengikutnya tidak akan banyak, namun dia tetap berjuang tanpa putus asa.

“Dan telah diwahyukan kepada Nuh bahwasanya tidak akan ada yang beriman di antara kaumnya kecuali orang-orang yang telah beriman (dari sebelumnya) maka janganlah kamu putus asa karena apa yang mereka lakukan.” (QS. Huud: 36)

Dari ayat ini kita bisa tahu bahwa Nabi Nuh  ‘Alaihissalam tidak akan banyak pengikut, tetapi dia terus mendakwahkan agama tauhid tanpa putus asa selama 950 tahun.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, kemudian dia tinggal di antara mereka selama 950 tahun …” (QS. Al ’Ankabut: 14)

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah mengalami penyiksaan yang amat memilukan selama tiga periode kepemimpinan khalifah yang berbeda yakni khalifah Al Makmun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq, demi mempertahankan aqidah yang benar bahwa Al Quran adalah  kalamullah (firman Allah), dan Al Quran bukan makhluk Allah sebagaimana keyakinan kelompok menyimpang  Mu’tazilah(ultra rasionalis).

Namun, akhirnya pada masa Al Watsiq beliau dibebaskan, bahkan khalifah ini mengakui kebenaran keyakinan Imam Ahmad bin Hambal dan mendukung dakwahnya.

Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah menyusun kitab Fathul Bari selama 25 tahun. Kitab yang memberikan penjelasan terhadap hadits-hadits yang terdapat kitab Shahih Bukhari. Dan, kitab ini dinilai sebagai kitab terbaik dan terlengkap dalam bidangnya, khususnya dalam memberikan penjelasan (syarah) terhadap kitab hadits Shahih Bukhari.

Masih banyak contoh-contoh kesabaran orang-orang besar dan sukses selain mereka. Lalu, di manakah posisi kita di antara mereka?

Wallahu A’lam


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Umat Mulia Karena Islam

Cara Kita Melihat ‘Kegagalan’

Pemateri: Ust. Abdullah Haidir Lc.

Kita seringkali begitu enteng menilai sebuah kegagalan sebagai ‘kegagalan’, lengkap dengan komentar-komentar yang meremehkan.

Padahal, umumnya kegagalan terjadi setelah terwujudnya sebuah amal. Atau bahkan, kegagalan terjadi setelah teraihnya sekian langkah keberhasilan.

Contoh sederhana, sebuah kesebelasan sepakbola yang dikatakan gagal masuk final, atau gagal menjuarai kejuaraan piala dunia, atau seorang atlit yang dianggap gagal meraih emas di arena olympiade, lalu orang-orang dengan mudah mencibirnya.

Sesungguhnya mereka telah melewati keberhasilan yang sangat jarang mampu dilewati oleh tim atau orang selevel mereka, apalagi orang yang bukan level mereka.

Maka, meskipun raut kesedihan itu terbayang diwajah mereka karena kegagalan saat itu, sebetulnya mereka telah melewati sekian banyak kebahagiaan dari sekian panjang perjalanan hingga berhasil masuk dalam even bergengsi tersebut.

Agenda DAKWAH, jika dipandang dari sisi target-target yang diharapkan, sering berujung pada penilaian ‘gagal’, atau paling tidak, dinilai ‘tidak memuaskan atau belum sesuai harapan’.

Hanya saja, kita sering hanya melihat dari satu sisi saja, padahal, banyak point yang dapat diambil dari sebuah usaha yang belum mencapai target yang diharapkan.

Jika kita perhatikan, dibalik apa yang dikatakan kegagalan pada sejumlah masyru’ (proyek) dakwah pada level tertentu, sesungguhnya kita telah melewati sekian banyak capaian dakwah yang sekian puluh tahun lalu masih merupakan khayalan dan impian. Jika obyektif, anda bisa jadi sulit menghitung banyaknya capaian-capaian dakwah yang cukup membanggakan jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.

Memang, sisi buram selalu saja ada dalam perjalanan dakwah dan tidak boleh pula diingkari. Hanya saja, jika ada sebagian orang begitu fasih menyebutkan satu persatu keburukan dalam agenda dakwah sehingga berpengaruh melemahkan langkah perjalanan, seharusnya kita lebih fasih lagi menyebutkan capaian-capaian dakwah yang dapat menyemangati langkah dalam perjalanan dan menerbitkan optimisme lebih besar.

Layak kita ingat, titik tekan dalam dakwah adalah ‘amal’ bukan ‘hasil’ (At-Taubah: 105).

Sebab kalau titik tekannya adalah hasil, maka Nabi Nuh dapat dianggap ‘gagal’, karena cuma segelintir saja yang bersedia ikut beriman bersamanya setelah 950 tahun berdakwah, bahkan termasuk anak isterinya tidak ikut beriman.

Nabi Zakaria juga dapat dianggap ‘gagal’ karena justeru dibunuh oleh kaumnya yang dia dakwahi. Ashahbul Ukhdud adalah kelompok yang ‘gagal’, karena perjuangan mereka berujung di kobaran api membara.

Namun nyatanya, Allah mengabadikan mereka dalam barisan pioner dakwah yang menjadi inspirasi para dai berikutnya.

Maka, ketika seorang dai selalu berada dalam arena ‘amal’ dan ‘kerja nyata’ sesungguhnya itulah kebehasilannya dalam dakwah. Perkara hasil, itu wewenang Allah yang menetapkan kapan dan dimana dia diberikan.

Sering terjadi dalam arena dakwah, kemenangan, Allah tentukan pada tempat dan waktu yang tidak diperkirakan. Namun yang pasti, Allah telah janjikan kemenangan bagi mereka yang berusaha dan beramal.

Yang pasti, kemenangan tidak akan Allah berikan kepada mereka yang tidak beramal. Juga yang pasti, orang yang berhasil, adalah orang yang pernah gagal dan orang gagal yang sesungguhnya adalah orang yang tidak pernah berusaha!

Kegagalan yang membuat kita terus bekerja dengan sabar untuk mencari peluang dan berharap kemenangan, jauh lebih mulia ketimbang kemenangan yang membuat kita sombong dan menghentikan langkah.

Bisa jadi, kegagalan merupakan cara Allah agar kita terus berada dalam kebaikan dan kemuliaan beramal seraya terus bersandar kepada-Nya.

Maka, langkah ini tidak boleh berhenti. Tak kan surut kaki melangkah, begitu kata sebait syair nasyid.

Medan amal begitu beragam dan luas terbentang menanti aksi kita. Sebab, surut melangkah karena sebuah agenda yang dianggap gagal, justeru lebih buruk dari kegagalan itu sendiri.

Lebih buruk lagi dari itu adalah, mereka yang senang dan tersenyum puas melihat usaha dan amal saudaranya yang dia anggap gagal…!


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678