Islam Rahmatan lil Alamin

Mengembalikan Makna Rahmatan Lil Alamin

📝 Pemateri: Ustadz Abdullah Haidir, Lc

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Beberapa kali saya ikuti acara yang terkait pembinaan bagi para dai yang diadakan oleh lembaga formal. Nyaris isunya tidak pernah keluar dari peringatan soal bahaya radikalisme dan intoleransi. Seakan cap radikal dan intoleran sudah menjadi cap asli bagi sebagian kaum muslimin, khususnya para dai.

Jarang di antara para pembicara itu, yang notabene berasal dari lembaga yang khusus membidangi masalah dakwah, mengingatkan agar para dai kuat komitmennya dalam berdakwah, bersungguh-sungguh menyampaikan ajaran Allah, agar masyarakat mengamalkan Islam secara utuh dan bersemangat melindungi masyarakat dari bahaya kekufuran, kemusyrikan, kemaksiatan dan dekadensi moral.

Biasanya yang jadi andalan adalah ayat 107 surat Al-Anbiya

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)

Seakan ayat ini khusus ditujukan untuk bab toleransi dan menangkal bahaya radikalisme, khususnya terkait dengan sikap kita dengan orang-orang di luar Islam. Maka keluarlah ajakan untuk bersikap baik kepada orang kafir, tidak menyakiti dan memusuhi mereka.

Sampai disini sebenarnya tidak bermasalah, karena pada dasarnya Islam memang mengajarkan demikian. Tapi oleh pihak-pihak tertentu, khususnya Islam liberal, tidak jarang ayat ini digiring agar kita mengendurkan sikap tegas dan kuat pada tempat-tempat dimana kita harus tegas dan kuat, khususnya soal aqidah dan ibadah, juga soal perkara halal haram. Atau dengan kata lain, sikap menghormati orang kafir dengan keyakinannya mereka giring menjadi bagaimana agar kaum muslimin dengan sikapnya dapat menyenangkan orang kafir. Padahal tidak ada yang paling mereka senangi kecuali seorang muslim menjauh dari ajaran agamanya dan mengikuti langkah-langkah mereka (QS. 2: 120).

Maka kadang keluarlah sikap-sikap yang aneh, bershalawat di gereja, ikut ritual mereka, sampai pada sikap lebih dapat akrab dengan mereka ketimbang sesama elemen muslim. Memang ini bukan fenomena umum, tapi gejalanya mulai tumbuh.

Bagaimanakah pemahaman ayat di atas? Dalam banyak tafsir disebutkan, bisa dilihat dalam Tafsir Ath-Thabari atau Ibnu Katsir, bahwa diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan syariatnya tak lain sebagai rahmat bagi seluruh alam ini, baik muslim maupun kafir. Bagi kaum muslimin menjadi rahmat, karena orang beriman menjadi tahu syariat dan jalan Allah untuk menuju surgaNya. Bagi orang kafir juga menjadi rahmat sebab diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membuat mereka tidak diazab langsung di dunia sebagaimana menimpa umat terdahulu. Karena di antara kekhususan umat ini adalah tidak adanya azab masal seperti menimpa umat sebelumnya.

Ada juga penafsiran, bahwa Islam ini adalah rahmat jika mereka mau menerimanya, karena di dalamnya tidak terdapat kecuali kebaikan. Maka jika mereka menolak Islam, pada dasarnya mereka tidak menghendaki rahmat dan kebaikan yang Allah berikan.

Di antara penafsiran lain dari ayat ini juga adalah penolakan nabi ketika diminta untuk melaknat bangsa Arab yang menolak seruan dakwahnya, maka dia katakan ‘Saya adalah rahmat yang diberi petunjuk’ di riwayat lain dia mengatakan, ‘Aku tidak diutus untuk menjadi tukang laknat’.

Maka secara umum, makna rahmatan lil aalamin adalah bahwa ajaran Islam ini merupakan rahmat bagi semesta alam. Karenanya, ayat ini harus mendorong kita untuk mengimani Islam, mengamalkannya dan berikutnya mendakwahkannya.

Orang-orang yang mengamalkan Islam dan menyampaikan dakwah Islam mestinya disuport, karenanya sejatinya mereka sedang menebarkan rahmat dan kebaikan bagi masyarakat, bangsa dan negara. Bukan selalu dicurigai apalagi diintai dengan anggapan sebagai pemicu sikap radikal, intoleran dan ancaman bagi negara. Kata kuncinya adalah, siapa yang mengamalkan dan mendakwahkan Islam dengan segenap ajarannya, berarti dia sedang menebarkan rahmat di tengah masyarkat.

Soal toleransi, kaum muslimin di negeri ini dan umumnya di negeri-negeri mayoritas Islam, insyaAllah sudah khatam dengan bab toleransi dalam bentuk menghormati keyakinan agama orang lain dengan tidak mengganggunya dan menyakitinya serta berbuat baik secara sosial kepada mereka. Kalau tidak, non muslim di negeri ini akan bernasib sama seperti muslim minoritas di beberapa negara, seperti muslim Rohingya di Myanmar, bangsa Kashmir di India, Uighur di Cina, dll.

Wallahu a’lam.

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Adz Dzariat 56

Jin Islam atau Jin Kafir

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… saya mau bertanya, kemarin teman saya cerita, beliau sempat baca sekilas di Qs. Al-Ahqof dan Qs. Jinn bahwa Jin mendengarkan bacaan Al-Quran, kemudian mereka takjub dan membenarkan isinya.

Bagaimana dengan jin yang dibacakan ayat-ayat Al-quran ketika ruqiyah yang malah kesakitan (sepertinya)? Apakah ini karena perbedaan jin islam dan jin kafir?

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Perlu diingat, Allah Ta’ala menciptakan JIN dan MANUSIA untuk beribadah, untuk tunduk dan mengabdi kepadaNya. (Qs. Adz Dzariyat: 56)

Tetapi, manusia dan jin ada yang ingkar dan ada yang taat. Yang taat inilah yang dekat dengan Al-Quran, termasuk dari kalangan jin. Sehingga mereka pun menyimak bacaan Al-Quran.

Ada pun yang ingkar dan membangkang, itulah syetan. Dan, syetan itu ada dalam diri manusia dan dari kalangan jin. Merekalah yang mengganggu manusia baik syetan dari kalangan manusia dan jin.

Allah Ta’ala berfirman:

ٱلَّذِي يُوَسۡوِسُ فِي صُدُورِ ٱلنَّاسِ مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ

“Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (Qs. An-Nas : 5-6)

Jin ingkar, jahat, dan kafir inilah yang tidak tahan mendengarkan Al-Quran. Manusia ingkar pun juga demikian.

Wallahu a’lam

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Berkumpul Bersama Keluarga di Surga

Wahai Ayah Bunda Engkau Muaddib

📝 Pemateri: Ustadz Dr. Wido Supraha, M.Si.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

A. Di Balik Kelelahan Selalu Ada Kebahagiaan

Ayah Bunda, di kala Allah ﷻ menitipkan anak, sejatinya Allah ﷻ Maha Mengetahui bahwa siapapun yang dititipi-Nya pasti mampu mengemban amanah itu. Bukankah Allah ﷻ telah menutup surat Al-Baqarah dengan firman-Nya:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ وَٱعۡفُ عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَآۚ أَنتَ مَوۡلَىٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَٰفِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.

Mendidik anak bukanlah pekerjaan sambilan, karena tentu tidaklah pantas mengemban amanah Allah dengan teknik ‘sambilan’. Pekerjaan yang dilakukan dengan tidak profesional (ihsan, itqan), tidak akan menghasilkan prestasi yang maksimal. Padahal, Ayah Bunda jangan sampai lupa bahwa target orang tua adalah melahirkan generasi yang membahagiakan Rasulullah ﷺ kelak di Jannah. Rasulullah ﷺ berpesan:

تَزَوَّجُوْا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَـامَةِ، وَلاَ تَكُوْنُوْا كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى

“Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari Kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani.”

Bangganya Nabi ﷺ pada jumlah umatnya yang banyak, bukanlah sekedar pada aspek kuantitas-nya, namun tentunya dibanggakan karena aspek kualitasnya. Kualitas yang terwujud dalam kondisi kebahagiaan (as-sa’adah) di Jannah. Peran dan kelelahan Ayah Bunda adalah bagian dari kerja bersama umat Islam sepanjang sejarah zaman.

Tidak ada kebahagiaan tanpa didahului kelelahan. Lebih baik lelah di awal dan meraih ketenangan jiwa di akhir kehidupan. Lebih baik banyak menangis di awal daripada menangis di akhir. Selalu ada kebahagiaan di akhir sebuah kelelahan.

B. Pendidikan itu Ta’dib

Pendidikan adalah proses untuk meneteskan ‘sesuatu’ secara perlahan-lahan kepada manusia. Ini definisi dasar secara umum dalam perspektif Barat. Dalam pengembangannya, pendidikan adalah proses memfasilitasi pembelajaran, atau penanaman pengetahuan, kemampuan, nilai, keyakinan, dan kebiasaan.

Barat mengerti bagaimana teknik memfasilitasi lahirnya pendidikan modern, namun kesulitan dalam menentukan apakah ‘sesuatu’ yang baik untuk ditanamkan ke dalam jiwa manusia. Hal ini karena sejarah Barat adalah sejarah kelanjutan peradaban Islam namun dengan dihilangkannya jejak-jejak Tuhan dari isinya. Pada akhirnya Barat hari ini harus lebih banyak menelurkan spekulasi filosofis daripada melanjutkan proses pendidikan yang pernah melahirkan kegemilangan peradaban Islam di masanya.

Allah ﷻ telah berfirman dalam Surat At-Tahrim [66] ayat 6:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Ayat ini menyeru kepada orang-orang yang mengaku beriman kepada-Nya untuk menjaga dirinya dan kemudian menjaga keluarganya dari api neraka. Menurut ‘Ali ibn Abi Thalib r.a., makna menjaga keluarga dari api neraka adalah dengan proses pendidikan agar tertanamnya adab dan ilmu dalam diri keluarga.

Tanggung jawab ini dibebankan kepada orang-orang beriman, Ayah dan Bunda.

Suka tidak suka, di saat Allah ﷻ telah menitipkan amanah anak, maka pada saat itu, Ayah Bunda, dinobatkan sebagai pendidik. Pendidik itu bukan saja digugu, namun juga ditiru. Persoalannya adalah, proses peniruan ini boleh jadi lebih efektif daripada proses pengguguan.

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, adab bermakna mendisiplinkan pikiran dan jiwa. Adab terlahir sebagai buah dari kelengkapan sifat-sifat baik dalam pikiran dan jiwa. Sebuah kedisiplinan untuk melakukan yang benar dan meluruskan kesalahan.

Proses penanaman adab inilah esensi pendidikan dalam pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) sehingga menargetkan lahirnya manusia beradab (a good man), bukan sekedar warga negara baik (a good citizen). Warga negara baik belum tentu lahir dari manusia baik, namun manusia baik akan selalu ingin menjadi warga negara yang baik.

Di dalam bahasa Arab, pendidikan itu sendiri terkadang menggunakan diksi ta’lim, tadris, tadrib, atau tarbiyah. Namun al-Attas meyakinkan murid-muridnya bahwa ada diksi yang lebih komprehensif dan mencakup seluruh diksi pendidikan yang ada, yakni ta’dib. Diksi ini terpilih sebagaimana sudut pandang pendidikan sebagai proses secara bertahap untuk menanamkan adab ke dalam jiwa manusia.

Ayah Bunda yang belum siap menjadi pendidik di saat amanah telah dibebankan, tidak punya pilihan lain kecuali segera mempersiapkannya. Seorang pendidik selalu bekerja menanamkan adab dalam jiwa manusia dan karenanya ia dipanggil sebagai muaddib. Seorang muaddib adalah juga sosok mu’allim, mudarris, mudarrib, dan murabbi.

C. Membagi Nikmat Adab, bukan Mengajarkan Adab

Menjadi seorang muaddib, bukanlah sekedar mengajarkan adab kepada murid, baik murid biologis maupun murid ideologis. Seorang muaddib sejatinya sekedar membagi apa-apa yang telah ia nikmati dari adab. Hal ini karena siapapun yang telah menikmati adab-adab baik yang telah ia pelajari, maka akan tumbuh energi kebaikan yang berlebih dalam dirinya, dan kelebihan itulah yang dibaginya kepada murid-muridnya.

Membagi kelebihan dari kebaikan dirinya yang meluap atau meluber itu akan mendorong getaran-getaran ketulusan atau keikhlasan yang akan masuk ke dalam relung jiwa seorang murid dengan sangat efektif. Hal ini tidak akan diperoleh dengan hanya menyampaikan apa yang diketahui, namun lebih dari itu, mengalirkan apa yang telah dinikmati.

Ketika muaddib mengetahui pelajaran baru tentang adab-adab buruk, maka yang segera terlintas dalam jiwanya adalah sederet daftar lengkap tentang dirinya untuk menjadi bahan evaluasi, adakah dirinya memiliki sebagian dari adab-adab buruk tersebut. Sadar akan kekurangan diri adalah awal perbaikan diri. Tidak sadar akan kekurangan diri akan sulit diperbaiki.

Membagi nikmat adab dengan demikian berbeda dengan mengajarkan adab. Sudut pandang membagi nikmat adab akan melahirkan energi membagi dengan penuh cinta, bukan emosi tanpa rencana. Membagi akan melahirkan semangat kolaboratif di antara muaddib untuk hasil maksimal dari anak didiknya.

Dengan demikian, memperhatikan tumbuh berseminya adab pada diri sendiri jauh lebih prioritas dan utama sebelum berpikir untuk menanamkan adab pada orang lain, seperti muridnya.

Allah ﷻ berfirman dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 44 dan Surat Ash-Shaff [61] ayat 3:

۞أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?

كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ

Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

Menegakkan adab wajib dimulai dari hal-hal yang paling kecil. Tidak lahir peradaban kecuali dibangun oleh orang-orang yang mencintai dan tidak meremehkan adab-adab baik. Sekecil apapun sebuah kebaikan, tetap besar di sisi Allah.

Suatu ketika Rasulullah ﷺ pernah menyampaikan pengadaban kepada murid-muridnya:

عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

Dar ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.”

[HR. Tirmidzi No. 6469]

Hadits ini mendidik jiwa manusia untuk profesional dalam membaca setiap huruf dalam Al-Qur’an. Profesionalismenya akan dibalas Allah ﷺ dengan sesuatu yang lebih baik. Jika satu huruf sederhana seperti ‘alif’ tidak diremehkan, maka ini potensi besar untuk kemudian kelak dapat mengamalkan seluruh ayat-ayat suci-Nya yang berjumlah 6236 ayat. Jangan bersemangan ingin menegakkan agama sebelum terbiasa menegakkan setiap huruf di dalam Al-Qur’an.

Orang tua lebih wajib menanamkan adab pada jiwa anaknya, murid biologisnya. Jangan sampai anaknya tumbuh besar tanpa ada kontribusi apa pun dari Ayah Bundanya. Tidak menjadi orang tua yang diam dan autis, sibuk dengan pekerjaannya sendiri, melainkan selalu kreatif dan komunikatif. Allah ﷻ berfirman dalam Surat Luqman [31] ayat 16:

يَٰبُنَيَّ إِنَّهَآ إِن تَكُ مِثۡقَالَ حَبَّةٖ مِّنۡ خَرۡدَلٖ فَتَكُن فِي صَخۡرَةٍ أَوۡ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ أَوۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَأۡتِ بِهَا ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٞ

(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

D. Adab itu Berawal dari Kedisiplinan Berpikir

Manusia diciptakan Allah dengan 3 (tiga) unsur besar, yakni akal (mind), jiwa (soul) dan jasad (body). Akal meraih pengetahuan, jiwa menghayati apa yang telah diketahui hingga berbuah kepahaman, dan jasad siap menjalankan apapun yang diperintahkan jiwa berbasis penghayatannya.

Akal memiliki posisi paling awal dan paling mulia dalam dunia pendidikan. Al-Qur’an mendorong pembacanya untuk aktif menggunakan akalnya untuk berpikir. Dalam bentuk kata kerja, kata akal digunakan sebanyak 22 kali (ya’qilun) dan 24 kali (ta’qilun).

Akal dituntut untuk terus berpikir, terutamanya berpikir tentang ayat-ayat Allah, baik yang tertulis (qauliyah) maupun yang tersebar di muka bumi (kauniyah). Proses berpikir dimulai dari membaca (iqra), mengamati (observation), meneliti (exploration), dan ekspedisi (comparation). Akal pada akhirnya memberikan informasi selengkap dan sejelas mungkin untuk dihidangkan kepada jiwa.

Kelengkapan informasi yang dimiliki oleh akal inilah yang kemudian akan dicerna, dicoba untuk dipahami, hingga dihayati oleh jiwa. Jiwa atau kalbu adalah karunia besar kepada manusia. Kalbu inilah yang tidak dimiliki oleh hewan. Allah ﷻ berfirman dalam surat Al-A’rāf [7] ayat 179:

وَلَقَدۡ ذَرَأۡنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Seseorang yang tahu tentu berbeda dengan yang paham. Target pendidikan bukan sekedar melahirkan manusia yang tahu, tapi hingga manusia yang paham mendalam. Jika manusia berawal hidup di muka bumi ini dalam kondisi belum mengetahui (jahl), maka pendidikan akan membawanya terus meningkat kepada posisi mengetahui (‘alim), terus kepada posisi memahami (fahim), dan berakhir pada posisi memahami dengan sangat mendalam (faqih). Proses pendidikan ini yang disebut dengan tafaqquh. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ

Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia faham dalam agama.

[HR. al-Bukhari No. 71 dan Muslim No. 1037]

Penghayatan yang mendalam adalah proses yang harus dilalui agar terlahir kepahaman, dan karenanya ilmu akan membawa kepada terbukanya hakikat Allah. Jika ilmu hanya berhenti pada mengetahui, sementara hati tidak memahami, maka hati tidak akan dapat menggerakan jasad untuk bergerak melahirkan amal-amal kebaikan.

Manusia perlu memiliki alasan-alasan kunci atas segala sesuatu yang dilakukannya. Jika seseorang mampu menghadirkan minimal 1 (satu) saja alasan maka ia akan bertahan bahkan optimal dalam kebaikan yang telah dimulainya. Jika tidak, akan selalu ada sekian banyak alasan untuk meninggalkan kebaikan yang telah dilakukannya.

Al-Qur’an memberikan bimbingannya tentang bagaimana membangun kedisiplinan berpikir. Bimbingan ini akan melahirkan struktur berpikir yang komprehensif, terstruktur dan sistematis. Keteraturan dalam proses berpikir inilah yang disebut sebagai kedisiplinan berpikir dan keadilan berpikir.

Disiplin berpikir akan melahirkan kemampuan untuk memprioritaskan apa yang terbaik di antara yang baik. Selanjutnya akan mudah menyusun tahapan-tahapan yang harus dilalui. Begitu pula akan tergambar secara detail apa-apa yang harus diketahui.

Mempelajari apapun pada dasarnya terhukumi wajib. Namun di antara yang wajib itu ada yang bersifat wajib individu (fardhu ‘ayn) dan wajib kelompok (fardhu kifayah). Allah ﷺ membimbing manusia untuk mendahulukan tafaqquh fi ad-Dīn sebagai bagian dari wajib individu karena terkait keselamatan di dunia dan akhirat, knowledge of pre-requisites, sebelum ilmu untuk kehidupan dan tugas jasadnya di dunia, knowledge of sciences. Allah ﷻ berfirman dalam surat At-Taubah [9] ayat 122:

۞وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Kedisiplinan berpikir akan mendorong lahirnya kedisiplinan jiwa, dan pada akhirnya akan tercermin pada kedisiplinan jasad. Keputusan-keputusan apapun di dunia pasti berawal dari kedisiplinan berpikir manusia. Islam hadir membawa pada keteraturan.

Proses pendidikan manusia dengan demikian harus berujung pada target yang jelas. Ketiadaan target tidak akan melahirkan kesibukan untuk menjalani program kerja yang harus disusun secara bertahap menuju target dimaksud. Disebutkan bahwa dalam proses memperbaiki diri, terdapat 10 (sepuluh) capaian (muwashshafat) yang perlu dicapai[3]:

إِصْلاَحُ نَفْسِهِ حَتَّى يَكُوْنَ: قَوِيَّ الْجِسْمِ، مَتِيْنَ الْخُلُقِ، مُثَقَّفَ الْفِكْرِ، قَادِرًا عَلىَ الْكَسْبِ, سَلِيْمَ اْلعَقِيْدَةِ، صَحِيْحَ اْلعِبَادَةِ، مُجَاهِدًا لِنَفْسِهِ، حَرِيْصًا عَلَى وَقْتِهِ، مُنَظَّمًا فيِ شُؤُوْنِهِ، ناَفِعًا لِغَيْرِهِ، وَذَلِكَ وَاجِبُ كُلِّ أَخٍ عَلَى حِدَّتِهِ

Memperbaiki dirinya hingga tercapai: kekuatan jasad, kebagusan akhlak, keluasan wawasan berpikir, kemandirian ekonomi, sehingga memudahkan tercapainya akidah yang lurus, ibadah yang benar, mujahadah jiwa, penghormatan waktu, keteraturan urusan, kemanfaatan diri bagi lingkungannya, dan hal ini wajib bagi setiap manusia untuk meraihnya.

E. Tadabbur Al-Qur’an Awal Pendidikan

Tidak ada yang bebas nilai di dunia (value-free), seluruhnya terikat dengan nilai (value laden). Jika manusia berpikir tidak dengan Al-Qur’an, maka boleh jadi ia berpikir dengan hawa nafsunya, pengalaman hidupnya (experience), referensi bacaan, dan atau masukan dari lingkungannya (environment), dan seluruhnya bersifat terbatas (limited) dan berpotensi besar mengandung kesalahan (error).

Manusia didorong untuk membaca Al-Qur’an dan memahami isi Al-Qur’an agar setiap keputusan hidupnya dibuat oleh akal yang mengetahui kebenaran Al-Qur’an dan kalbu yang menikmati kandungannya. Dengan kebenaran yang diketahuinya, manusia tidak akan menjadi peragu. Demikianlah target akhir pendidikan Islam adalah melahirkan pribadi yang berakhlak, pribadi yang beradab.

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.

Ayah Bunda yang tidak memiliki kurikulum dalam pendidikan murid/anaknya, maka sejatinya ia memiliki kurikulum juga, yakni kurikulum tanpa kurikulum. Tentu ini bukanlah pilihan yang baik. Kurikulum dengan demikian perlu disusun sedemikian rupa agar terbangun adab, dan tentunya adab terbaik yang ingin dicapai adalah adab berbasis Al-Qur’an, sebagaimana Nabi ﷺ dengan akhlak Al-Qur’an, dengan adab-adab Al-Qur’an.

Sesiapa manusia yang tidak pernah sempat untuk mengambil materi-materi adab dari Al-Qur’an disindir Allah sebagaimana Surat Muhammad [47] ayat 24:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?

Metode mengambil pelajaran dari Al-Qur’an inilah yang disebut dengan tadabbur. Sesiapa yang mentadabburi Al-Qur’an, mulai dari ayat-ayat-nya hingga huruf-huruf-nya, maka ia akan menjadi Mukmin yang kokoh dan tidak seperti buih di lautan. Akan terlahir pribadi yang yakin bukan peragu, dan demikianlah tujuan diturunkan Al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman dalam Surat Shad [38] ayat 29:

كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.

Allah juga berfirman dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 147:

ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.

Wallahu a’lam bish showab

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

Sebarkan! Raih Pahala

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

cropped-logo-manis-1.png

Hukum Membaca Asmaul Husna

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… Saya mau bertanya mengenai

1. Bid’ah

2. Apakah membaca asmaul husna itu haram?

3. Memaksa anak untuk bangun pagi dan melaksanakan shalat apakah tidak boleh? Meskipun kita menyuruh secara hapus dan lembut, apakah ini masuk ke kategori paksaan?

A_11

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Bid’ah adalah hal baru dalam urusan agama, yang tidak ada dalam Al-Quran, atau As-Sunnah, atau ijma’, atau qiyas, atau qaul sahabat.

Jika salah satu sumber di atas mengakomodasi sebuah amal maka itu bukan bid’ah. Misal walau tidak ada dalam Al-Quran, tapi ada dalam sunnah, tidak ada dalam Al-Quran dan Sunnah tapi ada dalam ijma’, tidak ada dalam itu semua tapi ada dalam qiyas, atau qiyas pun tidak ada tapi ada dalam perilaku atau perkataan sahabat nabi, maka tidak boleh dikatakan bid’ah.

2. Membaca Asma’ul Husna itu perintah Allah dan Rasul-Nya, yaitu berdoa dengan menggunakan asmaul husna. Atau berdzikir dengan membaca asmaul husna, ini benar.

Hal ini berdasarkan ayat berikut:

وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ وَذَرُواْ ٱلَّذِينَ يُلۡحِدُونَ فِيٓ أَسۡمَٰٓئِهِۦۚ سَيُجۡزَوۡنَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

Dan Allah memiliki Asma’ul-Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya Asma’ul-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

-Surat Al-A’raf, Ayat 180

Rasulullah ﷺ pun melakukannya..

Telah menceritakan kepada Kami Abdurrahman bin ‘Ubaidullah Al Halabi, telah menceritakan kepada Kami Khalaf bin Khalifah dari Hafsh yaitu anak saudara Anas dari Anas bahwa ia duduk bersama Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam dan terdapat seorang laki-laki yang melakukan shalat, kemudian ia berdoa; ALLAAHUMMA INNII AS-ALUKA BIANNA LAKAL HAMDU LAA ILAAHA ILLAA ANTA, Al MANNAANU, *BADII*’US SAMAAWAATI WAL ARDHI, YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM, *YAA HAYYU YAA QAYYUUM* (ya Allah, aku memohon kepadaMu bahwa bagiMu segala pujian, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Pemberi, Pencipta langit dan bumi. Wahai Dzat yang memiliki keagungan, serta kemuliaan, wahai Dzat yang Maha Hidup, lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)). Kemudian Nabi ﷺ bersabda: “Sungguh ia telah berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang agung, yang apabila dipanjatkan doa kepada-Nya dengan nama tersebut maka Dia akan mengabulkannya, dan apabila Dia diminta dengan nama tersebut maka Dia akan memberinya.” (HR. Abu Daud no. 1495, Shahih)

Wallahu A’lam

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Ali Imran 119

Ketika Fitnah Bertaburan Dalam Kehidupan

📝 Pemateri: Ustadz Rikza Maulan, Lc., M.Ag

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

عن حُذَيْفَة بْن الْيَمَانِ يَقُولُ كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَر؟ٌّ قَالَ نَعَمْ ، فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْر؟ٍ قَالَ نَعَمْ ، وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ ؟ قَالَ قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِغَيْرِ سُنَّتِي، وَيَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِر،ُ فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّم،َ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا، قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا، قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا تَرَى إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُم،ْ فَقُلْتُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ ؟ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ (رواه مسلم)

Dari Hudzaifah bin Yaman ra berkata, “Biasanya para sahabat bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang kebajikan. Namun aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena khawatir keburukan tersebut akan menimpaku. Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah! Kami dahulu berada dalam kejahilan dan keburukan, karena itu Allah Ta’ala menurunkan kebaikan (agama) ini kepada kami. Apakah mungkin sesudah kebaikan ini akan munul lagi keburukan?” beliau menjawab: “Ya.” Lalu aku bertanya lagi, “Apakah setelah itu akan ada lagi kebaikan?” beliau menjawab, “Ya, akan tetapi ada cacatnya! Aku bertanya, “Apa cacatnya?” Beliau bersabda, “Akan muncul suatu kaum yang mengamalkan sunnah selain dari sunnahku, dan memimpin rakyat tanpa hidayah petunjukku, kamu mengetahui mereka tapi kamu mengingkarinya.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah itu akan ada keburukan lagi?” Jawab beliau: “Ya. Yaitu orang-orang yang menyeru menuju neraka Jahannam, barangsiapa memenuhi seruannya maka ia akan dilemparkan ke dalam neraka itu.” Maka aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah! Tunjukanlah kepada kami ciri-ciri mereka.” Beliau menjawab: “Kulit mereka seperti kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita.” Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana arahan anda seandainya aku menemui hal yang demikian?” Jawab beliau, “Tetaplah kamu bersama jama’ah kaum muslimin dan imam (pemimpin) mereka.” Aku bertanya lagi, “Jika tidak ada jama’ah dan imam?” beliau menjawab: “Tinggalkan semua golongan meskipun kamu menggigit akar kayu sampai ajal menjemputmu, dan kamu masih tetap pada keteguhanmu.” (HR. Muslim, hadits no. 3434)

®️ Hikmah Hadits ;

1. Keutamaan Khudzaifah ra; dimana beliau bertanya kepada Nabi ﷺ, tentang keburukan lantaran khawatir keburukan tersebut akan menimpa mereka. Juga dimaksudkan agar ketika diketahui keburukan-keburukan tersebut, umat bisa mengantisipasinya dengan baik dan tidak terjerumus padanya.

2. Bahwa kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang bertentangan yang tiada pernah kan bertemu selama-lamanya. Namun keduanya akan selalu datang silih berganti, seiring berjalannya waktu dan zaman. Dan kita semua diperintahkan untuk senantiasa konsisten pada kebaikan, kendatipun fitnah dan kegelapan telah merajalela menguasai kehidupan.

3. Bahwa akan muncul kelak, para penyeru (baca ; tokoh) yang mengajak dan menjerumuskan manusia pada kenistaan dan menyesatkan mereka dari jalan Allah Swt. Mereka berpenampilan dan bertutur kata sama seperti kaum muslimin pada umumnya. Namun pada hakekatnya mereka menggiring manusia ke dalam neraka Jahanam. Maka siapa yang mengikuti mereka maka kelak akan turut dilemparkan ke dalam Jahanam.

4. Pentingnya bersama-sama dengan jamaah kaum muslimin, karena dengan bersama akan menjadi sebab datangnya rahmat Allah Swt. Serta urgensi istiqa

mah di jalan Allah Swt, kendatipun harus bertahan dengan menggigit akar kayu sekalipun.

Wallahu a’lam

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Al Quran dan Hadits

Kedudukan Ulama dalam Islam

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… Saya mau bertanya, 1. Bagaimana kedudukan ulama di mata Islam, 2. Ada yang bilang jangan dengarkan ulama, patuh pada Al-Quran dan sunnah saja A_11

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃

Jawaban

Ustadz : Farid Nu’man Hasan

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Kedudukan ula ma di dalam Islam itu luar biasa. Belajar Islam pun harus melalui ulama. Hanya orang bodoh, aneh, dan sombong, yang tidak memerlukan bimbingan ulama.

Langsung terjun bebas membuka Al-Quran dan As-Sunnah, tanpa guru yang mengajarkannya, adalah kecerobohan. Lihat … Fisika, biologi, kimia, dll, apakah kita paham dengan hanya membaca bukunya tanpa bimbingan ahlinya?

Saya sering jumpai orang orang yang “tidak butuh ulama, cukup Al-Quran dan As-Sunnah”, terjebak pada kesesatan berpikir sendiri.. Tidak mau taklid kepada ulama, tapi dia taklid dengan pikirannya sendiri.. Padahal Al-Quran sendiri memerintahkan untuk bertanya kepada para ulama. As-Sunnah juga memerintahkan agar segala urusan serahkan kepada ahlinya..

▪️Memuliakan, mencintai dan menghormati ulama

Anjuran menghormati, memuliakan, dan mencintai ulama (orang berilmu), sangat banyak, baik Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan Allah memuliakan mereka, maka pantaslah jika manusia memuliakan mereka pula.

Misalnya:

1. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menjadikan mereka sebagai tempat bertanya

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada ahludz dzikri (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui. (Qs. An Nahl: 43)

Berkata Imam Al-Qurthubi Rahimahullah dalam kitab tafsirnya:

وقال ابن عباس: أهل الذكر أهل القرآن وقيل: أهل العلم، والمعنى متقارب

Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (Ahlinya Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), makna keduanya berdekatan.” (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 10, Hal. 108, Ihya’ Ats Turats Al ‘Arabi, 1985M-1405H. Beirut-Libanon)

2. Allah Ta’ala membedakan kedudukan ulama dengan lainnya

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُون

Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Qs. Az Zumar: 9)

3. Allah Ta’ala menerangkan ulama itu orang yang takut kepada Allah

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Qs. Fathir: 28)

4. Allah Ta’ala mengangkat derajat orang beriman dan berilmu

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al Mujadilah: 11)

Dalam As Sunnah, saya ambil beberapa saja:

5. Bukan Umat Rasulullah mereka yang tidak mengetahui hak-hak ulama

Dari ‘Ubadah bin Ash Shaamit Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

Bukan termasuk umatku, orang yang tidak menghormati orang besar kami (orang tua, pen), tidak menyayangi anak kecil kami, dan tidak mengetahui hak para ulama kami.” (HR. Ahmad No. 22755, Al Bazzar No. 2718, Ath Thahawi dalam Syarh Musykilul Atsar No. 1328, Asy Syaasyi dalam Musnadnya No. 1272. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: Shahih lighairih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 22755)

Tiga hal dalam hadits ini yang dinilai “bukan golongan umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,” yakni:

1. Tidak menghormati orang besar/orang tua.

2. Tidak sayang dengan yang kecil

3. Tidak mengetahui hak ulama yang dengan itu dia merendahkannya

Imam Ibnu ‘Asakir memberikan nasihat buat kita, khususnya orang yang merendahkan ulama (karena mungkin merasa sudah jadi ulama sehingga dia berani merendahkannya!

يا أخي وفقنا الله وإياك لمرضاته وجعلنا ممن يغشاه ويتقيه حق تقاته أن لحوم العلماء مسمومة وعادة الله في هتك أستارمنتقصيهم معلومة وأن من أطلق لسانه في العلماء بالثلب ابتلاه الله تعالى قبل موته بموت القلب فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم

Wahai saudaraku –semoga Allah memberikan taufiq kepada saya dan anda untuk mendapatkan ridhaNya dan menjadikan kita termasuk orang yang bertaqwa kepadaNYa dengan sebenar-benarnya- dan Ketahuilah, bahwa daging–daging ulama itu beracun, dan sudah diketahui akan kebiasaan Allah dalam membongkar tirai orang-orang yang meremehkan mereka, dan sesungguhnya barang siapa siapa yang melepaskan mulutnya untuk mencela ulama maka Allah akan memberikan musibah baginya dengan kematian hati sebelum ia mati: maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (Imam An Nawawi, At Tibyan, Hal. 30. Mawqi’ Al Warraq)

7. Allah Ta’ala umumkan perang kepada orang yang memusuhi para ulama

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

Barang siapa yang memusuhi waliKu, maka aku telah umumkan peperangan kepadanya .. (Hr. Al Bukhari No. 6021)

Para ulama, amilin (orang yang beramal shalih), shalihin, zahidin (orang yang zuhud), adalah para wali-wali (kekasih) Allah Ta’ala. Memusuhi mereka, maka Allah Ta’ala proklamirkan perang buat buat musuh-musuh mereka.

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Bersuci Istinja Cebok Bersih Najis

Wudhu Dengan Air Seukuran Bak atau Gayung, Bolehkah? Apakah dikucurkan atau bolehkah dikobok ke dalamnya?

📝 Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan, S.S.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Bismillahirrahmanirrahim al Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Wudhu dengan air di bak mandi, selama air tersebut suci dan mensucikan adalah Boleh dan SAH. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut:

Pertama. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ أَوْ كَانَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ وَيَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ

Nabi ﷺ membasuh, atau mandi dengan satu sha’ hingga lima mud, dan berwudhu dengan satu mud. [1]

Satu mud itu tidak banyak, Imam Al ‘Ainiy mengatakan 1,3 Rithl Iraq (Rithl itu bukan liter), sebagaimana pendapat Imam Asy Syafi’i dan ulama Hijaz. Ada yang mengatakan 2 Rithl yaitu Imam Abu Hanifah dan ulama Iraq.[2]

Sementara Imam Ash Shan’ani menjelaskan dengan lebih sederhana yaitu sepenuh dua telapak tangan manusia berukuran sedang dengan telapak tangan yang dibentangkan (madda), dari sinilah diambil kata mud.[3]

Satu mud ini adalah cukup, jangan dikurangi lagi. Imam Al Munawiy mengatakan: “Maka, sunahnya adalah tidak kurang dari itu dan jangan ditambah bagi orang yang ukuran badannya seperti badannya (Rasulullah ﷺ). [4]

Ini menunjukkan air seukuran gayung pun boleh dipakai dan sah, selama suci dan mensucikan.

Kedua. Hadits lainnya adalah:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwa ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ: “Apakah kami boleh berwudhu dari sumur budhaa’ah, yaitu sumur yang kemasukan Al Hiyadh (pembalut wanita), daging anjing, dan An Natnu (bau tidak sedap).” Lalu Rasulullah ﷺ menjawab: “Air itu adalah suci, tidak ada sesuatu yang menajiskannya.” [5]

Hadits ini menunjukkan hukum dasar air adalah suci, dan tidak ada apa pun yang dapat menajiskannya. Bahkan Imam Malik Rahimahullah mengatakan walau airnya sedikit, selama sifat sucinya belum berubah, baik warna, aroma, dan rasa.

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengatakan: “Dengan hadits ini, Imam Malik berdalil bahwa sesungguhnya air tidak menjadi najis dengan terkenanya air itu dengan najis –walau air itu sedikit- selama salah satu sifatnya belum berubah.” [6] Tapi, para ulama mengoreksi pendapat Imam Malik, bahwa hadits tersebut adalah khusus untuk sumur Budhaa’ah yang memang berukuran besar, sebagaimana keterangan Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuriy berikut:

“Ta’wilnya adalah bahwa air yang kalian tanyakan adalah tentang air sumur Budhaa’ah, maka jawabannya adalah itu khusus, bukan untuk umum sebagaimana pertanyaan Imam Malik. Selesai. Jika Alif dan Lam (pada kata Al Maa’/air) menunjukkan jenis, maka hadits ini adalah spesifik (khusus) menurut kesepakatan sebagaimana Anda lihat (tidak ada sesuatu yang menajiskannya) karena banyaknya, sesungguhnya sumur budhaa’ah adalah sumur yang banyak airnya, lebih dari dua qullah, maka terkena semua hal ini tidaklah merubahnya, dan air yang banyak tidaklah menjadi najis karena sesuatu selama belum terjadi perubahan.” [7]

Ummu ‘Umarah bercerita:

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ فَأُتِىَ بِإِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ قَدْرُ ثُلُثَىِ الْمُدِّ

Bahwa Nabi ﷺ berwudhu dengan dibawakan untuknya di bejana berisi air seukuran 2/3 mud. [8]

Ketiga, Hadits lainnya:

عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لَقَدْ رَأَيْتُنِي أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا فَإِذَا تَوْرٌ مَوْضُوعٌ مِثْلُ الصَّاعِ أَوْ دُونَهُ فَنَشْرَعُ فِيهِ جَمِيعًا فَأُفِيضُ عَلَى رَأْسِي بِيَدَيَّ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَمَا أَنْقُضُ لِي شَعْرًا

Dari ‘Ubaid bin ‘Umair, bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anha berkata, “ Aku menyaksikan diriku mandi bersama Rasulullah ﷺ dari ini, – yaitu sebuah bejana kecil tempat yang berukuran satu shaa’ atau lebih kecil- kami menyelupkan tangan kami seluruhnya, aku mencelupkan dengan tanganku pada kepalaku tiga kali dan aku tidak menguraikan rambut.” [9]

Maka, dari hadits-hadits ini dapat disimpulkan bahwa wudhu dengan air seukuran bak mandi adalah sah, begitu pula dengan memakai gayung, yang penting tetap pada prinsip “suci dan mensucikan”, tidak ada perubahan sifat dasar sucinya, walau volume bak itu tidak sampai dua qullah. Ada pun jika sudah ternoda najis dan merubah salah satu sifat dasarnya maka tidak boleh wudhu dengannya.

Namun, dalam madzhab Syafi’i, wudhu dengan air di wadah yang sedikit (misal gayung) tidaklah dengan mencelupkan (mengkobok) tangan ke wadah tersebut, tetapi hendaknya dikucurkan, agar tidak menjadi air musta’mal.

Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah menyebutkan tentang pendapat Syafi’iyyah:

“Kesimpulannya, tidak sah bersuci dengan air musta’mal yang sedikit untuk keperluan menghilangkan hadats dan membersihkan najis. Jika seorang yang berwudhu memasukkan tangannya ke air yang sedikit (misal di gayung, pen) setelah mencuci wajahnya, maka air yang tersisa tersebut adalah musta’mal.” [10]

Bersuci dengan air musta’mal tidaklah sah menurut madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. Sebab air tersebut suci tapi tidak mensucikan. Namun sah bagi Maliki dan Zhahiri.

Imam Ibnu Mundzir Rahimahullah mengatakan: “Para ulama telah ijma’ bahwa air yang sedikit dan banyak, jika terkena najis lalu berubah rasa, atau warna, atau aroma, maka dia menjadi najis selama seperti itu.” [11]

Syaikh Muhammad Muhajirin Amsar Rahimahullah mengatakan: “Para ulama telah ijma’ bahwa air yang telah berubah salah satu sifatnya yang tiga itu, maka menjadi najis, walau air itu sebanyak lautan.” [12]

Kesimpulan:

– Berwudhu dengan volume air sebesar bak mandi atau gayung adalah SAH selama air tersebut tetap suci dan mensucikan, tidak ada perubahan baik rasa, warna, dan aroma.

– Ada pun berwudhu dengan air di wadah kecil, misal gayung, hendaknya dikucurkan, dialirkan, bukan dikobok. Sebab hal itu menjadikannya sebagai air musta’mal. Dalam madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Hambali, air musta’mal tidak boleh digunakan untuk bersuci, ada pun madzhab lainnya membolehkan wudhu dengan air musta’mal.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] HR. Bukhari no. 201

[2] Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 4/433

[3] Imam Ash Shan’aniy, Subulus Salam, 1/49

[4] Imam Al Munawiy, At Taysir, 2/545

[5] HR. Abu Daud No. 67, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 1513, Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah, 2/61, dll. Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, Imam Yahya bin Ma’in, dan Imam Ibnu Hazm.” (Talkhish Al Habir, 1/125-126), Imam An Nawawi mengatakan: “shahih.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/82)

[6] Imam Ash Shan’aniy, Subulus Salam, 1/16

[7] Imam Abul ‘Ala Al Mubarkafuriy, Tuhfah Al Ahwadzi, 1/170. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

[8] HR. Abu Daud no. 94, Dishahihkan oleh Abu Zur’ah, dan dihasankan oleh Imam An Nawawi dan Imam Al ‘Iraqiy. Lihat Shahih Abi Daud, 1/158

[9] HR. An Nasa’iy, no. 416

[10] Syaikh Wahbah Az Zuhailiy, Al Fiqhu Asy Syafi’iyyah Al Muyassar, 1/82

[11] Imam Ibnul Mundzir, Al Ijma’, Hal. 35

[12] Syaikh Muhammad Muhajirin Amsar, Mishbahuzh Zhalam, 1/35

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Al Qur'an Nutrisi Akal dan Jiwa

Peraturan Membaca Al-Qur’an Di Kantor

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… Saya mau bertanya, saya bekerja di sebuah kantor, kantor saya mempunyai kebijakan kepada seluruh pekerja yaitu mengadakan meeting pagi setiap pukul 8 s.d 9, Salah satu kegiatan pada meeting pagi adalah membaca Al Quran Dan semua staff yang hadir harus membaca al-Quran bersama-sama. kebetulan seluruh pegawai adalah Muslim Dan sudah bisa membaca Al quran.

Namun ada kawan saya diperusahaan lain yang lulusan sebuah universitas Islam mengatakan bahwa hal yang dilakukan oleh perusahaan saya adalah Salah, karena hal tersebut seperti memaksa orang untuk mengaji Al Quran,

Dia mengatakan bahwa dalam Al Quran Allah berkata : , اسئلو اهل علم ان كنتم لا تعلمون

Dan dia mengatakan bahwa hal yang di lakukan oleh perusahaan saya bisa membuat orang jadi munafiq.
Karena disaat masuk kantor dia terpaksa harus mengaji karena sudah merupakan kebijakan perusahaan. Dan jika tidak mengikutinya maka akan mempengaruhi nilai kerja. Padahal waktu meeting pagi Dan mengaji itu benar-benar dihitung sebagai jam kerja

Mohon penjelasannya pak ustadz. A_11


🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Apa yg dilakukan oleh kantor tersebut sudah benar dalam membangun tadayyun sya’bi, iklim keberagaman, di kantor. Jika membaca Al Quran sdh dihitung sebagai bagian jam ngantor, maka memang harus ditaati semua karyawan sebagai konsekuensi SPK (Surat Perjanjian Kerja) yg harus ditaati, dan status aktifitas membaca Al Quran tersebut menjadi sama seperti aktifitas kerja lainnya di kantor tersebut. Bukan pemaksaan.

Hal itu tidaklah ada kaitannya menjadi manusia munafiq. Sebab, munafiq itu menyimpan kekafiran, dan menampakkan keislaman. Sdgkan karyawan tersebut tdk ada satu pun yang kafir atau menyimpan kekafiran.

Wallahu A’lam

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Berpaling dari dunia

Jika Dunia Mengejarmu

📝 Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan, S.S.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Diuji dengan kemiskinan, banyak manusia yang bisa lolos dari bahayanya. Diuji dengan kekayaan, banyak manusia yang lupa diri karenanya. Oleh karena itu jika dunia terbentang dihadapanmu, begitu mudah dia kau kuasai, maka cepat pejamkanlah mata.. Agar hatimu tidak menggila!

Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata:

أغمض عن الدّنيا عينك، وولّ عنها قلبك

“Tutuplah matamu dari dunia niscaya hatimu berpaling darinya.”

Maka berkumpul dengan manusia yang obsesinya dunia membuat hatimu gelisah dan tersiksa, selalu ingin seperti mereka..

Ingin jadi raja? Maka puaslah dengan apa yang sudah Allah Ta’ala berikan..

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah dalam salah satu syairnya berkata:

إِذَا مَا كُنْـتَ ذَا قَلْبٍ قَنُـوعٍ
فَأَنْـتَ وَمَالِكُ الدُّنْيَا سَـوَاءُ

“Jika kamu memiliki hati yang puas, maka kamu dan rajanya dunia adalah sama.”

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Iddah Waktu Menunggu

Masa Iddah

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… Saya mau bertanya, tentang masa Iddah bagi seorang wanita yang bercerai dari suaminya. Bagaimana menghitung masa Idah jika siklus haid si wanita tidak teratur? A_42

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Masalah seperti ini terkait bagaimana mengetahui akhir haid dulu. Ada beberapa cara pendekatan sederhana untuk mengetahuinya sesuai keadaan masing-masing haid wanita, sehingga masalah ini tidak bisa dipukul rata

1. Bagi wanita yang haidnya lancar, maka yang menjadi batasan adalah kebiasaan durasi haidnya.

Sesuai kaidah:
Al ‘Aadah Muhakkamah : adat/kebiasaan itu bisa menjadi standar hukum

Jadi, jika kebiasaan seorang wanita haidnya 7 hari, maka itu menjadi standarnya. Jika dia sudah berhenti darahnya sebelum hari 7, maka jangan terburu-buru merasa sudah suci. Dia masih berlaku hukum-hukum haid, di antaranya larangan shalat, shaum, dan jima’. Sehingga kalau dia tidak shalat dihari 6, maka tidak ada qadha.

Jika baru berhentinya setelah hari 7, maka darah yang keluar selebihnya adalah darah istihadhah, bukan haid. Dia sudah suci dan tidak lagi berlaku lagi hukum hukum haid. Maka, sudah wajib lagi shalat, boleh shaum, dll. Ini relatif mudah.

2. Bagi wanita yang haidnya eror. Kadang 4 hari, kadang 6 hari, pernah 10 hari .., dsb, dan eror ini memang menjadi kebiasaannya, maka caranya dengan memperhatikan warna darahnya, sebab darah haid itu sudah dikenal. Ada pun maksimal menurut jumhur ulama adalah 15 hari, selebih itu adalah istihadhah/penyakit.

Hal ini sesuai hadits:

فَإِنَّهُ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنْ الصَّلَاةِ فَإِذَا كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي

“Apabila darah haid maka darah itu berwarna hitam dan dikenal, Apabila darah itu ternyata demikian, maka tinggalkanlah shalat. Apabila darah itu berwarna lain, maka berwudhulah dan shalatlah”. (HR. Abu Daud No. 261, hasan)

Sehingga, di masa-masa tidak keluar darah maka dia dihukumi suci, maka boleh shalat, shaum, dll. Sebaliknya di masa keluar darah di dihukumi haid, dengan syarat sifat darahnya memang dikenal sebagai darah haid. Ini memang agak ribet apalagi terjadi sepanjang tahun.

3. Bagi wanita yang tadinya teratur lalu berubah menjadi eror haidnya gara-gara obat, KB, dll.

Maka, pendekatan pertamanya adalah dengan mengikuti kebiasaannya dulu, sebab pada awalnya memang teratur. Ini sebagai antisipasi bahwa dia masih teratur. Tapi, jika akhirnya eror, maka barulah dengan cara mengenali sifat darahnya, sebagaimana hadits Abu Daud di atas. Lalu berobatlah atau konsultasi dengan dokter agar kembali normal.

Wallahu a’lam

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678