Pandangan Para Ulama Tentang Isbal (menjulurkan kain/celana/gamis/melewati mata kaki)

0
63
Oleh: Farid Nu’man Hasan

(Pertanyaan
tentang hukum Isbal cukup banyak masuk ke kami maka diharapkan tulisan
ini mewakili semuanya)


Mukaddimah
             Seiring dengan arus kebangkitan Islam,
maka kesadaran untuk berislam secara kaffah menjadi hal yang niscaya, baik oleh
muslim dan muslimah. Semangat mengamalkan sunah nabi adalah bagian dari cakupan
kekaffahan pemahaman Islam seseorang. Termasuk keinginan sebagian pemuda dakwah
memendekkan pakaian di atas mata kaki bahkan setengah betis. Tentu tidak lupa
juga memanjangkan jenggot, memendekkan kumis, serta menutup aurat secara
sempurna bagi para muslimahnya.
             Fenomena
ini harus disambut gembira dan diberikan dukungan, sebagai pengimbang atas
betapa kuatnya dukungan terhadap kejahiliyahan akhlak pada zaman ini. Selain
memang itu sebagai syi’ar Islam. Namun, di tengah arus kebangkitan Islam, bukan
bebarti tanpa masalah internal. Sering kita melihat sesama aktifis Islam saling
serang hanya karena perselisihan pemahaman fiqih semata, termasuk isbal
(pelakunya disebut musbil) ini. Biasanya sikap
keras dilancarkan oleh pihak yang memahami bahwa isbal itu haram
walaupun tanpa rasa sombong. Sementara pihak yang diserang pun tentunya
memberikan pembelaan dengan berbagai hujjah yang mereka miliki. Akhirnya, bukan
masalah ini saja dan ini bukan yang terakhir, para aktifis Islam berputar-putar
pada masalah yang memang sejak lama para ulama berselisih, mereka hanyalah
melakukan siaran ulang saja. Sementara, banyak amal-amal pokok dan produktif menjadi
tertinggal.
             Seharusnya
tidak boleh ada sikap keras dalam masalah isbal ini, dan seharusnya mereka tahu
adanya perselisihan yang masyhur sejak dahulu. Namun bagi yang ingin menghindar
isbal, semoga Allah memberikan pahala atasnya sebagai upaya menghidupkan sunah.
Sebagian hadits-hadits Tentang Larangan
Isbal
             Hadits
1:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
          Dari
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam
, Beliau bersabda: “Apa saja yang melebihi dua mata kaki dari kain
sarung, maka tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari No. 5787, An Nasa’i dalam As
Sunan Al Kubra
No. 9705, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Umal
 No. 41158)
           Hadits 2:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ
اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
             Dari
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Allah tidak melihat pada hari kiamat nanti kepada orang yang menjulurkan
kainnya (hingga melewati mata kaki) dengan sombong.” (HR. Bukhari No. 5788. Muslim No. 2087)
             Hadits
3:
 عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِنَّ الَّذِي يَجُرُّ ثِيَابَةُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَا يَنْظُرُ
اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
             Dari
Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Sesungguhnya orang yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong,
maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim  No.
2085.  Ibnu Majah No.3569, 3570, An Nasa’i No. 5327,
Ahmad No. 4489
)
             Hadits
4:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ حَدَّثَهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ
خُسِفَ بِهِ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الْأَرْضِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
             Dari
Ibnu Umar, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Ketika seorang laki-laki memanjangkan kainnya dengan sombong,
dia akan ditenggelamkan dengannya dibumi dan menjerit-jerit sampai hari
kiamat.” (HR. Bukhari No. 3485. Muslim No. 2088, Ahmad No. 5340)  
             Hadits 5:
عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ
أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّكَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
             Dari
Salim, dari Ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong maka
Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” Abu Bakar berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku salah seorang yang celaka, kainku turun, sehingga
aku selalu memeganginya.” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Sesungguhnya kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena
kesombongan.” (HR. Bukhari No. 3665,  An Nasa’i No. 5335,  Ahmad No. 5351)
             Hadits
6:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ
قَالَ
مَرَرْتُ عَلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ
فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ
فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى
أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
             Dari
Ibnu Umar, dia berkata: Aku melewati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam
, dan kain sarungku menjulur ke bawah. Beiau bersabda: “Wahai
Abdullah, naikan kain sarungmu.” Maka aku pun menaikannya. Lalu Beliau bersabda
lagi: “Tambahkan.” Maka aku naikkan lagi, dan aku senantiasa menjaganya setelah
itu. Ada sebagian orang yang bertanya: “Sampai mana batasan?” Beliau bersabda:
“Setengah betis.” (HR. Muslim No. 2086, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra
No. 3134)
             Hadits
7:
عَنْ حُذَيْفَةَ
قَالَ
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْضِعُ الْإِزَارِ إِلَى أَنْصَافِ
السَّاقَيْنِ وَالْعَضَلَةِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبَيْتَ فَمِنْ
وَرَاءِ السَّاقِ وَلَا حَقَّ لِلْكَعْبَيْنِ فِي الْإِزَارِ
            
             Dari Hudzaifah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Tempatnya Izar (kain sarung) adalah sampai
setengah betis, jika kamu tidak mau maka dibawahnya, jika kamu tidak mau maka
di bawah betis dan tidak ada hak bagi kain itu atas kedua mata kaki.” (HR.
At Tirmidzi
No. 1783. Katanya: hasan shahih, An Nasa’i No. 5329, Ibnu Majah No. 3572)
             Dan masih banyak hadits shahih yang
semisal ini.
              
Perkataan dan Komentar
 Para Ulama
             Para
ulama terbagi menjadi tiga kelompok dalam memaknai hadits-hadits di atas. Ada
yang mengharamkan isbal secara mutlak, baik dengan sombong atau tidak. Ada yang
memakruhkan. Ada pula yang membolehkan jika tanpa kesombongan.  Ada pun jika dengan sombong, semua
mengharamkan tanpa perbedaan pendapat.
             Berkata
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Munajjid
Rahimahullah:
وجمهور العلماء من
المذاهب الأربعة على عدم التحريم
             “Dan
Jumhur (mayoritas) Ulama dari kalangan empat madzhab tidak
mengharamkannya.” (sumber: http://www.islam-qa.com/ar/ref/102260)
A. Kelompok yang
membolehkan
tanpa sombong
             Kelompok ini
mengatakan bahwa dalil-dalil larangan isbal adalah global (muthlaq),
sedangkan dalil global harus dibatasi oleh dalil yang spesifik (muqayyad).
Jadi, secara global isbal memang dilarang yaitu haram, tetapi ada sebab (‘illat)
yang men-taqyid­-nya yaitu karena sombong (khuyala’). Kaidahnya
adalah Hamlul muthlaq ilal muqayyad 
(dalil yang global mesti dibawa/dipahami kepada dalil yang
mengikatnya/mengkhususkannya) .
Imam Abu
Hanifah Radhiallahu ‘Anhu
             Dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih berkata:
قَالَ صَاحِبُ
الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ
ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ
عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا
ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
             “Berkata
pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah,  dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah
Rahimahullah
memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur
hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang
melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah
untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.
(Imam
Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226.
Mawqi’ Al
Islam
)
Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu
             Masih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:
وَقَالَ
فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا
بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ
اللَّهُ
             Dalam satu riwayat Hambal berkata:
“Menjulurnya kain sarung, jika tidak dimaksudkan untuk sombong, maka tidak
mengapa. Demikian ini merupakan zhahir perkataan lebih dari satu
sahabat-sahabatnya (Imam Ahmad) rahimahumullah.”  (Ibid)
             Disebutkan dalam
riwayat lain bahwa Imam Ahmad juga mengharamkan. (Ibid)
             Sementara dalam
Kasysyaf Al Qina’
disebutkan:
قَالَ أَحْمَدُ فِي
رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ ، وَإِسْبَالُ الرِّدَاءِ فِي الصَّلَاةِ ،
إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ ( مَا لَمْ يُرِدْ التَّدْلِيسَ عَلَى
النِّسَاءِ ) فَإِنَّهُ مِنْ الْفُحْشِ .
`           “Berkata
Imam Ahmad dalam riwayat Hambal: Menjulurkan kain sarung, dan memanjangkan
selendang (sorban) di dalam shalat, jika tidak ada maksud sombong, maka tidak
mengapa (selama tidak menyerupai wanita), jika demikian maka itu berbuatan
keji.” (Imam Al Bahuti, Kasysyaf Al Qina’,  2/ 304.  Mawqi’ Al Islam. Juga Imam Ar
Rahibani, Mathalib Ulin Nuha, 2/363. Mawqi’ Al Islam Lihat juga Imam
Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal. 361. Cet. 1, 1998M-1428H. Darul
‘Ashimah, Riyadh. KSA.
)
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
             Masih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:
وَاخْتَارَ
الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ
يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا
             “Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu Taimiyah)
memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan
makruh, dan tidak pula mengingkarinya.” (Ibid)
             Beliau
berkata dalam kitab Syarhul ‘Umdah:
فأما أن
كان على غير وجه الخيلاء بل كان على علة أو حاجة أو لم يقصد الخيلاء والتزين بطول
الثوب ولا غير ذلك فعنه أنه لا بأس به وهو اختيار القاضي وغيره
             Ada pun jika memakainya tidak
dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab atau hajat (kebutuhan), atau tidak
bermaksud sombong dan menghias dengan cara memanjangkan pakaian, dan tidak pula
selain itu, maka itu tidak apa-apa. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Al Qadhi
dan selainnya. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal.
361)
Imam
Syarfuddin Musa Al Hijawi Rahimahullah
             Beliau ulama
bermadzhab Hambali, berkata dalam kitab  Al Iqna’:
 فَإِنْ
أَسْبَلَ ثَوْبَهُ لِحَاجَةٍ كَسَتْرِ سَاقٍ قَبِيحٍ مِنْ غَيْرِ خُيَلَاءَ
أُبِيحَ
             “Maka, sesungguhnya menjulurkan pakaian karena ada kebutuhan
seperti menutupi betis yang buruk, tanpa adanya sombong, maka itu mubah
(boleh).” (Al Iqna’ fi Fiqh Al Imam Ahmad bin Hambal,
1/91
.
Darul Ma’rifah, Beirut, Libanon
)
Imam
Abul Hasan Al Maliki Rahimahullah
             Beliau
ulama bermadzhab Maliki, penyusun kitab Kifayatuth Thaalib. Berkata Imam
Ali bin Ahmad Ash Sha’idi Al ‘Adawi Rahimahullah dalam Hasyiyah-nya
terhadap Kifayatuth Thalib:
ثُمَّ
أَقُولُ : وَعِبَارَةُ الْمُصَنِّفِ تَقْتَضِي أَنَّهُ يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ
يَجُرَّ ثَوْبَهُ أَوْ إزَارَهُ إذَا لَمْ يَقْصِدْ بِذَلِكَ كِبْرًا أَوْ عُجْبًا
             Kemudian saya katakan: perkataan Al
Mushannif
(penyusun kitab Kifayatuth Thalib, pen) menunjukkan
kebolehan bagi laki-laki menjulurkan pakaiannya atau kain sarungnya jika dia
tidak bermaksud sombong atau ‘ujub. (Hasyiyah Al ‘Adawi,
8/111. Mawqi’ Al Islam)
B. Kelompok yang
Memakruhkan
             Kelompok ini adalah kelompok
mayoritas, mereka menggunakan kaidah yang sama dengan kelompok yang
membolehkan, yakni larangan isbal mesti dibatasi oleh khuyala (sombong).
Hanya saja kelompok ini tidak mengatakan boleh jika tanpa sombong, mereka
menilainya sebagai makruh tanzih, tapi tidak pula sampai haram.
             Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
وَاخْتَلَفُوا
فِي إِطَالَتِهَا إِلَى أَسْفَل مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنْ غَيْرِ كِبْرٍ وَلاَ
اخْتِيَالٍ وَلاَ حَاجَةٍ : فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى الْكَرَاهَةِ
التَّنْزِيهِيَّةِ
             Mereka berbeda pendapat dalam hal
memanjangkannya sampai melewati dua mata kaki dengan tanpa sombong dan tanpa
kebutuhan: madzhab jumhur (mayoritas) adalah menyatakan sebagai makruh
tanzih
. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/170)
             Para fuqaha Islam menyebutkan bahwa hukum  makruh ada dua macam, yakni Makruh Tanzih dan Makruh Tahrim. Makruh Tanzih adalah makruh ynag mendekati mubah (boleh). Makruh Tahrim adalah makruh yang medekati haram.
Imam Asy Syafi’i dan Imam An Nawawi Rahimahumallah
             Dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An Nawawi
berkata:
وَأَنَّهُ لَا يَجُوز
إِسْبَاله تَحْت الْكَعْبَيْنِ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ
لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَظَوَاهِر الْأَحَادِيث فِي تَقْيِيدهَا
بِالْجَرِّ خُيَلَاء تَدُلّ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيم مَخْصُوص بِالْخُيَلَاءِ
             “Tidak boleh isbal di bawah mata
kaki jika sombong, jika tidak sombong maka makruh (dibenci).
Secara zhahir hadits-hadits yang ada memiliki pembatasan (taqyid) jika
menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan bahwa pengharaman hanya khusus bagi
yang sombong.” (Al Minhaj Syarh
 Shahih Muslim,  Kitab Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats
Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz …,
Juz. 7, Hal. 168, No hadits. 3887. Mawqi’ Ruh
Al Islam
)
             Dalam
kitab lainnya:
وَقَالَ النَّوَوِيّ
: الْإِسْبَال تَحْت الْكَعْبَيْنِ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا
فَهُوَ مَكْرُوه
، وَهَكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيّ عَلَى الْفَرْق بَيْن الْجَرّ
لِلْخُيَلَاءِ وَلِغَيْرِ الْخُيَلَاء ، قَالَ : وَالْمُسْتَحَبّ أَنْ يَكُون
الْإِزَار إِلَى نِصْف السَّاق ، وَالْجَائِز بِلَا كَرَاهَة مَا تَحْته إِلَى
الْكَعْبَيْنِ ، وَمَا نَزَلَ عَنْ الْكَعْبَيْنِ مَمْنُوع مَنْع تَحْرِيم إِنْ
كَانَ لِلْخُيَلَاءِ وَإِلَّا فَمَنْع تَنْزِيه ، لِأَنَّ الْأَحَادِيث
الْوَارِدَة فِي الزَّجْر عَنْ الْإِسْبَال مُطْلَقَة فَيَجِب تَقْيِيدهَا
بِالْإِسْبَالِ لِلْخُيَلَاءِ اِنْتَهَى
             Berkata
An Nawawi: “Isbal dibawah mata kaki dengan sombong (haram
hukumnya, pen), jika tidak sombong maka makruh. Demikian itu merupakan
pendapat Asy Syafi’i tentang perbedaan antara menjulurkan pakaian dengan
sombong dan tidak dengan sombong. Dia berkata: Disukai memakai kain sarung
sampai setengah betis, dan boleh saja tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai
mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki adalah dilarang dengan pelarangan haram
jika karena sombong,  jika tidak sombong
maka itu tanzih. Karena hadits-hadits yang ada yang menyebutkan dosa besar bagi pelaku
isbal adalah hadits mutlak (umum), maka wajib mentaqyidkan
(mengkhususkan/membatasinya) hadits itu adalah karena isbal yang dimaksud jika  disertai khuyala (sombong). Selesai.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man
Jarra Tsaubahu min Al Khuyala
,
Juz. 1
0, Hal. 263. Darul Fikri. Lihat juga Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al Jami’ Bab Laa
Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’
, Juz. 4, Hal. 158. Cet. 4, 1960M-1379H. Maktabah Mushtafa Al Baabi Al
Halabi. Lihat juga Imam Asy Syaukani,
Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz. 2, Hal. 114. Maktabah Ad Da’wah )
             Dalam kitab Riyadhus
Shalihin
, Imam An Nawawi juga membuat bab khusus (yakni Bab ke 119)  tentang masalah ini berjudul:
باب صفة طول القميص والكُم  والإزار وطرف العمامة وتحريم إسبال شيء من ذلك
على سبيل الخيلاء
وكراهته من غير خيلاء
             “Bab Sifat Panjangnya Gamis, Kain Sarung,
dan Ujung Sorban, dan haramnya
isbal (memanjangkan)
hal tersebut karena sombong, dan
makruh jika tidak
sombong.” (Imam An Nawawi,
Riyadhus Shalihin, Hal. 257. Cet. 3, 1998H-1419H. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth  Muasasah Ar Risalah, Beirut)
Imam At Tirmidzi Rahimahullah
             Dalam kitab Sunan-nya Beliau menulis
Bab:
Maa Ja’a fi
Karahiyati jaaril Izaar
(Bab Tentang riwayat
dimakruhkannya menjulurkan kain sarung)
Imam Ibnu Abdil
Barr
Rahimahullah
             Beliau berkata –sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar-  sebagai
berikut:
قَالَ
اِبْن عَبْد الْبَرّ : مَفْهُومه أَنَّ الْجَرّ لِغَيْرِ الْخُيَلَاء لَا
يَلْحَقهُ الْوَعِيد ، إِلَّا أَنَّ جَرّ الْقَمِيص وَغَيْره مِنْ الثِّيَاب
مَذْمُوم عَلَى كُلّ حَال
.
             Ibnu Abdil Barr berkata: “Bisa difahami bahwa menjulurkan pakaian bukan
karena sombong tidaklah termasuk dalam ancaman hadits tersebut
, hanya saja
memang menjulurkan gamis dan pakaian lainnya, adalah tercela di segala
keadaan.”  (Imam Ibnu
Hajar,
Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra
Tsaubahu min Al Khuyala
, Juz. 10, Hal. 263. Darul Fikr.  Lihat juga Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al Jami’ Bab Laa
Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’
, Juz. 4, Hal. 158. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar Rukhshah fi
Al Libas Al Hamil …
, Juz.  2, Hal. 114)
Imam Al Qadhi
‘Iyadh
Rahimahullah
             Beliau berkata:
قَالَ
الْقَاضِي : قَالَ الْعُلَمَاء : وَبِالْجُمْلَةِ يُكْرَه كُلّ مَا زَادَ عَلَى
الْحَاجَة وَالْمُعْتَاد فِي اللِّبَاس مِنْ الطُّول وَالسَّعَة . وَاللَّهُ
أَعْلَم .
             Berkata para ulama: “Secara global
(umumnya) dimakruhkan setiap hal yang melebihi dari kebutuhan dan berlebihan
dalam pakaian, baik berupa panjangnya 
dan lebarnya. Wallahu A’lam.” (Al Minhaj Syarh  Shahih Muslim,  Kitab Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats
Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz …,
Juz. 7, Hal. 168)
             Imam Az Zarqani
menyebutkan:
وَفِي
الْمَوَاهِبِ : مَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ عَلَى سَبِيل الْخُيَلاَءِ فَلاَ شَكَّ فِي
تَحْرِيمِهِ ، وَمَا كَانَ عَلَى طَرِيقِ الْعَادَةِ فَلاَ تَحْرِيمَ فِيهِ ، مَا
لَمْ يَصِل إِلَى جَرِّ الذَّيْل الْمَمْنُوعِ مِنْهُ . وَنَقَل الْقَاضِي عِيَاضٌ
عَنِ الْعُلَمَاءِ كَرَاهَةَ كُل مَا زَادَ عَلَى الْعَادَةِ فِي اللِّبَاسِ
لِمِثْل لاَبِسِهِ فِي الطُّول وَالسِّعَةِ
             Disebutkan dalam Al Mawahib:
apa saja dalam hal ini yang termasuk dilakukan dengan cara  sombong maka tak ragu lagi haramnya, dan apa
saja yang dilakukan karena itu adalah hal yang telah menjadi adat maka tidak
haram, selama tidak sampai menjulurkan ujung yang dilarang. Al Qadhi ‘Iyadh
menukil dari para ulama bahwa dimakruhkan setiap tambahan yang melebihi
kebiasaan dalam pakaian, semisal pakaian yang melebihi dalam panjang dan
lebarnya. (Imam Az Zarqani, Syarh ‘Ala Al Muwaththa, 1/273)
             Jadi, makruhnya itu
adalah jika ‘lebih’ dan ‘tambahan’ itu diluar kebiasaan yang terjadi lazimnya
di masyarakat. Nah, zaman ini dan dibanyak negeri muslim,   umat Islam 
terbiasa dengan isbal sebatas mata kaki lebih sedikit. Bisa jadi ini
juga telah menjadi bagian dari kebiasan yang dimaksud, dan makruh jika melewati
kebiasaan itu.
             Namun ada pula yang mengatakan
bahwa standar kebiasaan tersebut hanyalah kebiasaan yang terjadi masa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam,
bukan selainnya.
Imam Ibnu
Qudamah Rahimahullah
             Beliau berkata:
وَيُكْرَهُ إسْبَالُ
الْقَمِيصِ وَالْإِزَارِ وَالسَّرَاوِيلِ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِرَفْعِ الْإِزَارِ . فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَلَى
وَجْهِ الْخُيَلَاءِ حَرُمَ
                “Dimakruhkan isbal (memanjangkan)
gamis (baju kurung), kain sarung, dan celana panjang, karena Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam
memerintahkan menaikannya. Tetapi jika isbal dengan
sombong maka haram.” (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, Al Fashlu Ats
Tsalits Maa Yakrahu fi Ash Shalah
, Juz. 3, Hal. 2
1)
Imam Abul Hasan Muhammad bin
Abdil Hadi
As Sindi Rahimahullah
                Beliau berkata ketika menjelaskan makna hadits, “tidak
ada hak bagi kain terhadap dua mata kaki”
:
أَيْ لَا تَسْتُر
الْكَعْبَيْنِ بِالْإِزَارِ وَالظَّاهِر أَنَّ هَذَا هُوَ التَّحْدِيد وَإِنْ لَمْ
يَكُنْ هَذَا خُيَلَاء نَعَمْ إِذَا اِنْضَمَّ أَسْفَل عَنْ هَذَا الْمَوْضِع
بِالْخُيَلَاءِ اِشْتَدَّ الْأَمْر وَبِدُونِهِ الْأَمْر أَخَفّ .
             “Yaitu
kedua mata kaki tidak boleh tertutup dengan kain, dan zahirnya kalimat ini
merupakan pembatasan, jika melakukannya dengan tidak sombong. Ya, jika sampai
lebih bawah dari tempatnya (mata kaki) dengan sombong maka perintah menaikannya
lebih keras, dan jika tidak dengan sombong maka perintahnya lebih ringan.” (Imam
Abul Hasan as Sindi, Syarh Sunan An Nasa’i, Kitab Az Zinah Bab Maudhi’ al
Izar
, Juz. 7, Hal. 68, No hadits. 5234. Lihat juga Hasyiah As Sindi ‘Ala
Ibni Majah, Kitab Al Libas bab Maudhi’ al Izar Aina Huwa
, Juz. 6, Hal. 493,
No hadits. 3562.)
             Dalam  Fatawa Al Hindiyah tertulis:
إسْبَالُ الرَّجُلِ إزَارَهُ
أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ إنْ لَمْ يَكُنْ لِلْخُيَلَاءِ فَفِيهِ كَرَاهَةُ
تَنْزِيهٍ ، كَذَا فِي الْغَرَائِبِ .
             “Isbal-nya
kain seorang laki-laki di bawah mata kaki, jika dia tidak sombong, maka hukumnya makruh
tanzih
demikian di sebut dalam Al Gharaib.” (Fatawa
Al Hindiyah
, Juz. 43, Hal. 183)
             Memanjangkan pakain
pada shalat hingga melebihi mata kaki, bahkan menyentuh tanah adalah makruh
menurut mayoritas ulama. Tersebut dalam Al Mausu’ah:
فَإِسْدَال
الثَّوْبِ فِي الصَّلاَةِ – بِمَعْنَى إِرْسَالِهِ مِنْ غَيْرِ لُبْسٍ – مَكْرُوهٌ
عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ مُطْلَقًا ، سَوَاءٌ أَكَانَ لِلْخُيَلاَءِ ، أَمْ
لِغَيْرِهَا
             Maka, menjulurkan pakaian dalam
shalat –dengan makna dijulurkan begitu saja tanpa dipakai- adalah makruh
menurut mayoritas ahli fiqih secara mutlak, sama saja baik yang dengan sombong
atau tidak. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 3/144)
             Ada pun
memanjangkan  izar (kain) dengan
sombong maka itu haram,  mereka
membedakan hukumnya dengan memanjangkan tsaub (pakaian). (Ibid)
C. Kelompok Ulama yang Mengharamkan
             Kelompok ini berpendapat bahwa
isbal adalah haram baik dengan sombong atau tidak, dan dengan sombong
keharamannya lebih kuat dengan ancaman neraka, jika tidak sombong maka tetap
haram dan Allah Ta’ala tidak mau melihat di akhirat nanti kepada pelakunya (
musbil). Kelompok ini
memahaminya sesuai zahirnya hadits.
Imam Ibnu Hajar
Al Asqalani Rahimahullah
             Dahulu saya mengira beliau hanya
memakruhkan, yaitu ketika saya membaca bagian berikut ini:
وَفِي
هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة ، وَأَمَّا
الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا ،
لَكِنْ اُسْتُدِلَّ بِالتَّقْيِيدِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث بِالْخُيَلَاءِ عَلَى
أَنَّ الْإِطْلَاق فِي الزَّجْر الْوَارِد فِي ذَمّ الْإِسْبَال مَحْمُول عَلَى
الْمُقَيَّد هُنَا ، فَلَا يَحْرُم الْجَرّ وَالْإِسْبَال إِذَا سَلِمَ مِنْ
الْخُيَلَاء .
             “Hadits-hadits ini menunjukkan
bahwa menjulurkan kain sarung dengan sombong adalah dosa besar, sedangkan jika
tidak dengan sombong menurut zhahir hadits adalah haram juga. Tetapi
hadits-hadits yang ada menunjukkan harus dibatasi dengan khuyala (kesombongan)
lantaran hadits-hadits yang menyebutkan ancaman dan celaan isbal masih bersifat
mutlak (umum), maka dari itu yang umum harus dibatasi di sini. Maka, tidak
haram menjulurkan pakaian jika selamat dari rasa sombong.” (Ibid)
             Ternyata jika kita baca secara
utuh, tulisan di atas belum selesai, Imam Ibnu Hajar hanya sedang memaparkan
berbagai pendapat dan alasannya. Adapun pendapatnya sendiri ternyata dia juga
mengharamkan baik dengan sombong atau tidak sombong. Berikut ini ucapannya:
وَحَاصِله
أَنَّ الْإِسْبَال يَسْتَلْزِم جَرّ الثَّوْب وَجَرّ الثَّوْب يَسْتَلْزِم
الْخُيَلَاء وَلَوْ لَمْ يَقْصِد اللَّابِس الْخُيَلَاء ، وَيُؤَيِّدهُ مَا
أَخْرَجَهُ أَحْمَد بْن مَنِيع مِنْ وَجْه آخَر عَنْ اِبْن عُمَر فِي أَثْنَاء
حَدِيث رَفَعَهُ ” وَإِيَّاكَ وَجَرّ الْإِزَار فَإِنَّ جَرّ الْإِزَار مِنْ
الْمَخِيلَة ” وَأَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ مِنْ حَدِيث أَبِي أُمَامَةَ ”
بَيْنَمَا نَحْنُ مَعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ
لَحِقَنَا عَمْرو بْن زُرَارَةَ الْأَنْصَارِيّ فِي حُلَّة إِزَار وَرِدَاء قَدْ
أَسْبَلَ ، فَجَعَلَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْخُذ
بِنَاحِيَةِ ثَوْبه وَيَتَوَاضَع لِلَّهِ وَيَقُول : عَبْدك وَابْن عَبْدك
وَأَمَتك ، حَتَّى سَمِعَهَا عَمْرو فَقَالَ : يَا رَسُول اللَّه إِنِّي حَمْش
السَّاقَيْنِ ، فَقَالَ : يَا عَمْرو إِنَّ اللَّه قَدْ أَحْسَنَ كُلّ شَيْء
خَلَقَهُ ، يَا عَمْرو إِنَّ اللَّه لَا يُحِبّ الْمُسْبِل ” الْحَدِيث
             Kesimpulannya, isbal itu melazimkan
terjadinya menjulurnya pakaian, dan menjulurkan pakaian melazimkan
terjadinya kesombongan, walau pun pemakainya tidak bermaksud sombong
. Hal
ini dikuatkan oleh riwayat Ahmad bin Mani’ dari jalur lain Ibnu Umar yang dia marfu’kan: “Jauhilah
oleh kalian menjulurkan kain sarung, karena sesungguhnya menjulurkan kain
sarung merupakan kesombongan (al makhilah).” Ath
Thabarani meriwayatkan dari Abu Umamah, “Ketika kami bersama Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam
, kami berjumpa dengan Amru bin Zurarah al Anshari
yang mengenakan mantel secara isbal, maka
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengambil bagian tepi pakaiannya
merendahkan dirinya kepada Allah, lalu berdoa: “Ya Allah hambaMu, anak hambaMu,
anak hambaMu yang perempuan. (bisa juga bermakna “Demi Allah“), sampai akhirnya
Amru mendengarkan itu, lalu dia berkata: “Ya Rasulullah sesungguhnya aku
merapatkan kedua betisku (maksudnya jalannya tidak dibuat-buat, pen).” Maka nabi
bersabda: “Wahau Amru, sesungguhnya Allah telah menciptakan segala sesuatu
dengan sebaik-baiknya, wahai Amru sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang musbil.” (Ibid. Lihat juga
Imam Ash Shan’ani,
Subulus Salam, Kitab Al Jami’ Bab Laa
Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’
, Juz. 4, Hal. 158 )
Imam Abu Bakar
bin Al ‘Arabi
Rahimahullah
             Sebagian kalangan Malikiyah ada yang
mengharamkan di antaranya adalah Imam Ibnul ‘Arabi, berikut perkataannya:
قَالَ ابْنُ
الْعَرَبِيِّ : لَا يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يُجَاوِزَ بِثَوْبِهِ كَعْبَهُ
وَيَقُولُ : لَا أَجُرُّهُ خُيَلَاءَ ، لِأَنَّ النَّهْيَ قَدْ تَنَاوَلَهُ
لَفْظًا وَلَا يَجُوزُ لِمَنْ تَنَاوَلَهُ لَفْظًا أَنْ يُخَالِفَهُ إذْ صَارَ
حُكْمُهُ أَنْ يَقُولَ : لَا أَمْتَثِلُهُ ، لِأَنَّ تِلْكَ الْعِلَّةَ لَيْسَتْ
فِي . فَإِنَّهَا دَعْوَى غَيْرَ مُسَلَّمَةٍ ، بَلْ إطَالَةُ ذَيْلِهِ دَالَّةٌ
عَلَى تَكَبُّرِهِ انْتَهَى .
             Ibnul
‘Arabi
berkata: “Tidak boleh bagi seorang laki-laki membiarkan pakaiannya
hingga mata kakinya lalu berkata: “Saya 
menjulurkannya dengan tidak sombong.” Karena secara lafaz, sesungguhnya
larangan tersebut telah  mencukupi, dan
tidak  boleh juga lafaz yang telah
memadai itu ada yang menyelisihinya secara hukum, lalu berkata: “Tidak ada
perintahnya,” karena ‘illat (alasannya) itu  tidak ada. Sesungguhnya itu adalah klaim yang
tidak benar, bahkan memanjangkan ujung pakaian justru itu menunjukkan
kesombongan sendiri. Selesai.”   (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man
Jarra Tsaubahu min Al Khuyala
,
Juz. 16, Hal. 336, No hadits. 5354. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar
Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …
,
Juz.
2, Hal. 114. Maktabah Ad Da’wah)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah
             Beliau berkata dalam
fatwanya::
والأحاديث
في هذا المعنى كثيرة ، وهي تدل على تحريم الإسبال مطلقا ، ولو زعم صاحبه أنه لم
يرد التكبر والخيلاء ؛ لأن ذلك وسيلة للتكبر ، ولما في ذلك من الإسراف وتعريض
الملابس للنجاسات والأوساخ ، أما إن قصد بذلك التكبر فالأمر أشد والإثم أكبر
             Banyak hadits-hadits
yang semakna dengan ini, yang menunjukkan haramnya
isbal secara mutlak, walaupun
pemakainya mengira bahwa dia tidak bermaksud untuk sombong, karena hal itu
menjadi sarana menuju kepada kesombongan, selain memang hal itu merupakan
israf (berlebihan), dapat
mengantarkan pakaian kepada najis dan kotoran. Ada pun jika memakainya dengan
maksud sombong perkaranya lebih berat lagi dan dosanya lebih besar. (
Majalah Al Buhuts Al islamiyah, 33/113)
             Bukan hanya
mereka, Imam Adz Dzahabi (bermadzhab Syafi’iyyah) dan Imam Al Qarrafi
(bermadzhab Malikiyah) juga mengharamkan.
             Untuk zaman ini, para ulama pun
berbeda pendapat. Syaikh Al Qaradhawy
tidak mengharamkan isbal kecuali dengan
sombong, begitu pula umumnya para ulama Mesir, Pakistan, India, dan
lain-lain.  Sementara yang mengharamkan
seperti  Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, para ulama Lajnah Da’imah, sebagian
ulama Pakistan, Saudi Arabia, Yaman, dan lain-lain.
             Bahkan Syaikh Ibnu Al
‘Utsaimin menyebutkan isbal dalam shalat adalah maksiat dan shalatnya tidak
sah.  Katanya:
وأما
المحرَّم لوصفه: فكالثوب الذي فيه إسبال، فهذا رَجُل عليه ثوب مباح من قُطْنٍ،
ولكنَّه أنزله إلى أسفلَ من الكعبين، فنقول: إن هذا محرَّم لوَصْفه؛ فلا تصحُّ
الصَّلاة فيه؛ لأنه غير مأذونٍ فيه، وهو عاصٍ بِلُبْسه، فيبطل حُكمه شرعاً، ومن
عَمِلَ عملاً ليس عليه أمرُنا فهو رَدٌّ.
             Ada
pun hal yang diharamkan menurut sifatnya adalah seperti pakaian yang menjulur,
dia adalah seorang laki-laki yang memakai pakaian katun yang mubah, tetapi dia
menurunkannya sampai melewati dua mata kaki. Maka kami katakan: ini adalah
diharamkan menurut sifatnya, dan tidak sah shalatnya, karena itu tidak diizinkan,
dan termasuk maksiat dengan pakaiannya itu, dan secara syar’i hukumnya adalah
batal, dan barang siapa yang beramal yang bukan termasuk perintah kami maka itu
tertolak. (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin,
Syarhul Mumti’, 2/154. Cet. 1, 1422-1428H. Dar Ibnu Al Jauzi)
             Demikianlah masalah ini.
             Silahkan kita
menjalankan apa yang menjadi keyakinan adalah benar, tanpa ada sikap
pengingkaran terhadap yang lain. Semoga All
ah Ta’ala memberikan pahala dan dinilai
sebagai upaya taqarrub bagi siapa
saja yang menaikkan pakaiannya di atas mata kaki atau setengah betis, tanpa
harus diiringi sikap merasa paling benar, keras, dan justru sombong karena
merasa sudah menjalankan sunah.
             Ada akhlak para salafus shalih dan
para imam yang harus kita renungi bersama, sebagai berikut:
           Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam
Sufyan ats Tsauri
Rahimahullah, sebagai berikut:
سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل
يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
“Jika engkau melihat seorang melakukan
perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka
janganlah kau mencegahnya.”
(Imam
Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal. 133. )
Berkata Imam An Nawawi
Rahimahullah
:
وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ
لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ
لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ
أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد
الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد
كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر
الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع
عَنْهُ
“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad,
tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh
mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para
ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam
perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana
. Karena berdasarkan dua sudut pandang
setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para
ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar
hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat
dosanya.” (Al Minhaj Syarh  Muslim, Juz 1, hal. 131, pembahasan hadits no.
70, ‘Man Ra’a minkum munkaran …..’. )
Imam As Suyuthi  Rahimahullah berkata dalam kitab Al Asybah wa An
Nazhair
:
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ”
لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak
boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan.
Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan
ijma’ (kesepakatan) para ulama.”
(Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An
Nazhair
,
  1/285 )
Berkata Syaikh Dr. Umar bin
Abdullah Kamil:
لقد كان الخلاف موجودًا في عصر الأئمة
المتبوعين الكبار : أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم .
ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل
مخالفتهم .
“Telah
ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah,
Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu
pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau
melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka,
lantaran perselisihan itu.
(Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 32.  )
Beliau
juga berkata:
فالاجتهاد إذا كان وفقًا لأصول
الاجتهاد ومناهج الاستنباط في علم أصول الفقه يجب عدم الإنكار عليه ، ولا ينكر
مجتهد على مجتهد آخر ، ولا ينكر مقلد على مقلد آخر وإلا أدى ذلك إلى فتنة .
“Ijtihad itu, jika dilakukan
sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan
kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib
menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid
mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid
(pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan
terjadi fitnah.
” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal
Qawaid al Ikhtilaf
, hal. 43. Mauqi’ al Islam.
)
Imam Adz Dzahabi  Rahimahullah berkata:
قال ابن الجنيد: وسمعت يحيى،
يقول: تحريم النبيذ صحيح، ولكن أقف، ولا أحرمه، قد شربه قوم صالحون بأحاديث صحاح،
وحرمه قوم صالحون بأحاديث صحاح.
Berkata Ibnu Al Junaid: “Aku mendengar Yahya
bin Ma’in
berkata: “Pengharaman nabidz (air perasan anggur) adalah
benar, tetapi aku no coment, dan aku tidak mengharamkannya.
Segolongan orang shalih telah meminumnya dengan alasan hadits-hadits shahih,
dan segolongan orang shalih lainnya mengharamkannya dengan dalil hadits-hadits
yang shahih pula.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, Juz. 11,
Hal. 88. Cet.9, 1993M-1413H. Mu’asasah
Ar Risalah, Beirut-Libanon. )

             Demikian. Wallahu A’lam

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here