Saat Akad Berakhir atau Dipaksa Berakhir

0
159

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… Saya mau bertanya, jika dalam suatu transaksi, kapan akad dinyatakan berakhir? Dan kapan suatu akad harus diakhiri? Mohon penjelasan Ustaz. — Hanifah, Subang

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Jawaban

Oleh: Ustadz Dr. Oni Sahroni

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Dalam bukunya, Nadzariyatul Aqdi fi al-Fiqh al-Islami, Izzu ad-din Muhammad Khujah (di-tashih oleh Syekh Abdu Sattar Abu Gudah), hal 130 menjelaskan poin-poin penting seputar teori fasakh dan infisakh.

Akad atau perjanjian itu berakhir karena dua kondisi.
Pertama, keinginan pihak yang berakad untuk mengakhiri akad (akad menjadi fasid). Jika dirunut berdasarkan banyaknya kejadian yang terjadi, maka bisa dijelaskan kondisi berikut.

(1) Karena iqalah. Iqalah ini berlaku dalam akad-akad lazim, selama tidak ada hak khiyar untuk membatalkan akad dengan kesepakatan kedua belah pihak karena akad itu terjadi berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Oleh karena itu, akad tidak berakhir kecuali dengan persetujuan mereka.

(2) Karena cacat ridha. Apabila salah satu atau lebih dari para pihak akad itu cacat ridha dan dirugikan karena terjadi penipuan atau sejenisnya (‘uyub ridha seperti tadlis, ghaban, dan ghalath) yang terjadi pada objek akad hingga merugikan mereka, maka mereka berhak untuk membatalkan akad atau melanjutkannya sebagaimana ketentuan dalam khiyar ‘aib atau ghabn atau kehilangan sifat akad.

(3) Akadnya tidak lazim. Maksudnya, akad yang disepakati adalah akad yang memungkinkan salah satu atau kedua belah pihak untuk membatalkan secara sepihak, baik akad yang tidak lazim tersebut bagi kedua belah pihak (seperti akad wadi’ah, ‘ariyah, syirkah, dan wakalah) yang memungkinkan bagi kedua belah pihak untuk membatalkan akad.
Atau akad tidak lazim bagi satu pihak (seperti akad rahn dan kafalah) dengan keinginan pihak yang memiliki hak.

(4) Karena ada khiyar. Akad-akad lazim (seperti jual beli dan jual beli jasa) itu bisa di-fasakh saat pihak yang memiliki hak khiyar itu memilih membatalkan akad (tidak memilih melanjutkannya).

Baik khiyar tersebut berlaku karena diwajibkan oleh syariah atau disyaratkan oleh pihak-pihak yang berakad.

Kedua, akad berakhir bukan karena keinginan para pihak, tetapi karena kondisi darurat, maka akad tersebut harus dibatalkan atau dihentikan (infisakh), di antara kondisinya yaitu:

(1) Masa perjanjian berakhir. Setiap perjanjian ada masa berakhirnya. Jadi, perjanjian atau akad berakhir dengan sendirinya saat masa perjanjian yang disepakat berakhir (jatuh tempo).
Misanya, si A menyewakan rumah kepada si B selama 12 bulan. Pada saat berakhir bulan ke-12, maka perjanjian sewanya berakhir (selesai) dengan sendirinya.

(2) Akad berakhir saat tujuan para pihak bertaransaksi itu tercapai. Seperti utang terlunasi dalam akad rahn dan kafalah. Dan wakil (penerim kuasa) telah menunaikan tugas yang dikuasakannya dalam akad wakalah.

(3) Klausul akad atau kesepakatan sudah tidak mungkin dilanjutkan (istihalatu at-tanfidz). Misalnya, dalam jual beli, pada saat barang yang dijual (di tangan penjual) mengalami kerusakan sebelum diserahterimakan kepada pembeli.

Dalam akad ijarah, pemilik barang atau penyewa dalam kondisi tidak bisa menunaikan kewajibannya. Atau menurut mazhab Hanafi, kondisi emergensi (‘udzur) itu terjadi pada barang yang disewakan.

Jadi, dalam jual jasa (ijarah), barang yang disewakan mengalami kerusakan sehingga tidak bisa dimanfaatkan, atau penyewa mengalami pailit dan tidak bisa membayar biaya sewa, atau pemilik barang (pihak yang menyewakan) terpaksa menjual barang yang sedang disewakan karena kebutuhan mendesaknya.

Dalam akad bagi hasil, misalnya si A dan si B bersepakat mengelola lahan pertanian untuk masa produksi enam bulan, tetapi pada bulan ketiga hasil pertaniannya tidak menghasilkan karena bencana banjir.

(4) Salah satu pihak akad itu wafat. Jika salah satu pihak wafat sebelum waktu perjanjian berakhir, maka akad berakhir dengan sendirinya.

Maksudnya, kondisi ini terjadi dalam akad-akad yang menimbulkan kewajiban yang selalu terbarui secara berkelanjutan, di mana akad bisa terwujud saat objek akad (mahal al-aqd) itu wujud. Seperti akad-akad musyarakah, mudharabah, wakalah, muzara’ah, dan musaqah.

(5) Akadnya fasid. Jadi pada saat akad atau perjanjian itu fasid, maka harus di-fasakh dengan kesepakatan kedua belah pihak atau diputuskan secara mandatori oleh pengadilan untuk memitigasi agar akad yang fasid ini tidak berkelanjutan merugikan para pihak.

Jika dalam kondisi akad yang fasid itu tidak mungkin atau tidak bisa diakhiri. Misalnya seorang pembeli menjual barang yang telah dibelinya atau menghibahkan barang yang telah dibelinya, maka mem-fasakh akad pada saat itu menjadi tidak memungkinkan.

Maka dalam kondisi tersebut, pembeli wajib membayar senilai barang yang telah dibelinya (merujuk pada nilai saat serah terima barang), bukan harga yang telah disepakati karena harga sesuai kesepakatan tersebut tidak sah, di mana akad dan harga yang telah ditentukan itu fasid.

Wallahu A’lam.

Sumber: Konsultasi syariah Republika online, 15 Juli 2024

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here