Pertanyaan
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ustadzah… Saya mau bertanya, terkait jual-beli emas secara online. Jika kita membeli emas secara online, kemudian emasnya dikirim melalui kurir dalam jangka waktu 2-3 hari kemudian, apakah itu diperbolehkan atau tidak? Apakah jual-beli emas harus bertemu langsung, di mana pembeli menyerahkan uangnya dan penjual menyerahkan emasnya?
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Jawaban
Oleh: DR ONI SAHRONI
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Pertama, sesungguhnya, jual-beli emas itu tidak harus bertemu langsung dan tidak harus diterima fisik emas di tempat jual beli. Tetapi boleh dilakukan tidak tunai, indent, online.
Misalnya, emas diserahterimakan kemudian (satu hari setelah transaksi/dua hari setelah transaksi/sepekan setelah transaksi), maka itu dibolehkan sebagaimana regulasi atau otoritas terkait di Indonesia, serta Fatwa DSN MUI No 77/DSN-MUI/VI/2010 tentang Jual Beli Emas secara Tidak Tunai.
Maksudnya, saat transaksi antara rupiah dan emas itu di-treatment sebagai transaksi antara uang dengan barang, maka tidak ada syarat untuk diserahterimakan secara tunai di tempat transaksi karena transaksinya dikategorikan antara uang dengan barang. Lebih lugasnya bahwa jual-beli emas itu boleh dilakukan secara tidak tunai dan indent, tidak diharuskan “yadan biyadin”, tidak diharuskan serah terima fisik.
Kedua, tetapi karena pertanyaan seputar apakah diharuskan “yadan biyadin” dalam transaksi emas itu banyak sekali (selain pertanyaan di atas), maka ingin saya jelaskan:
(1) Jika mengikuti pendapat ulama yang mengategorikan emas sebagai alat bayar, maka bisa ditegaskan bahwa saat emas (yang diperjualbelikan) itu dikategorikan sebagai alat bayar, maka emas harus diserahterimakan secara tunai, tetapi tidak harus fisiknya (at-taqabudh haqiqi), dan boleh dengan serah terima non-fisik (at-taqabudh al-hukmi).
Maksudnya, jika emas tersebut dikategorikan sebagai alat bayar (jual beli-emas antara rupiah dengan emas dikategorikan transaksi antar barang-barang ribawi yang harus dilakukan secara tunai), maka sesungguhnya jual-beli emas dengan serah terima kemudian itu diperbolehkan selama telah beralih hak dan kewajiban termasuk risikonya sudah beralih ke pembeli.
Peralihan hak dan kewajiban beserta risikonya sebagai pertanda pembeli memiliki emas itu bisa dibuktikan dengan beberapa hal. Di antaranya dengan pengiriman atau penyerahan atau penandatangan dokumen yang menunjukkan kepemilikan pembeli atas emas tersebut.
Oleh karena itu, emas tersebut walaupun fisiknya belum diterima pembeli, tetapi dengan dokumen itu menunjukkan bahwa pembeli sudah memiliki emas tersebut.
(2) Di antara contohnya adalah jual-beli emas offline di toko atau tempat penjualan emas, di mana uang diserahterimakan secara tunai melalui transfer ataupun tunai. Begitu pula dengan emas yang diserahterimakan fisiknya kepada pembeli di tempat transaksi.
Jual-beli emas secara online atau digital, di mana uang diserahterimakan secara tunai, melalui transfer ataupun tunai. Selanjutnya emas dikirim fisiknya kepada pembeli dua hari kemudian, tetapi dokumen kepemilikan itu telah dialihkan atau diberikan pada saat transaksi.
Ketiga, kesimpulan tersebut didasarkan pada tuntunan dan dalil: (1) Hadis Rasulullah SAW dari ‘Ubadah bin ash-Shamit; “(Jual-beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR Muslim).
Ungkapan “yadan biyadin” dalam hadis itu maknanya adalah taqabudh atau serah terima sebagai bukti adanya perpindahan kepemilikan.
(2) Jika merujuk kepada otoritas fatwa seperti Standar Syariah Internasional AAOIFI, lembaga fikih OKI dan juga Dewan Syariah Nasional MUI; serah terima sebagai bukti perpindahan kepemilikan itu bisa dalam bentuk serah terima fisik atau serah terima non-fisik, keduanya sah.
Jika serah terima fisik itu di mana emasnya wujud dan diserahterimakan dari tangan penjual ke tangan pembeli. Tetapi serah terima non-fisik itu tidak harus emasnya yang diserahkan, tetapi yang menjadi kewajiban adalah pembeli memiliki emas tersebut, seperti dokumen kepemilikan ada di tangannya walaupun emasnya dikirim kemudian.
(3) Hal itu karena dalam taqabudh, yang menjadi kata kunci atau manath adalah perpindahan kepemilikan atau hak, kewajiban, dan risiko beralih dari pembeli ke penjual. Jika dalam serah terima non-fisik hak dan kewajiban termasuk risiko beralih ke pembeli, maka telah memenuhi kriteria serah terima non-fisik sehingga transaksinya dikategorikan telah dilakukan secara tunai.
(4) Sebagaimana Standar Syariah Internasional AAOIFI; “Jika terjadi transaksi penukaran antara emas dengan emas, atau emas dengan perak, atau emas dengan uang, maka dipastikan terpenuhi serah terima emas atau perak atau uang tersebut di tempat akad, baik serah terima terjadi fisiknya ataupun non-fisik. Tetapi jika yang dipertukarkan itu emas dengan selain emas, selain perak, selain uang, maka boleh salah satu yang menjadi objek penukaran itu tidak tunai atau indent.” (Standar Syariah Internasional AAOIFI No 57 tentang Emas).
Serah terima non-fisik emas diperbolehkan, sebagaimana Standar AAOIFI; “Serah terima emas bisa dilakukan dengan menentukan emas yang dibeli, memberikan kewenangan kepada pembeli untuk memanfaatkan emas, atau pembeli menerima bukti kepemilikan….” (Standar Syariah Internasional AAOIFI No 57 tentang Emas).
Standar AAOIFI menjelaskan; transaksi dengan objek yang diserahterimakan non-fisiknya (at-taqabudh al-hukmi) itu sah selama: (a) Pembeli menerima bukti kepemilikan yang sah, atau (b) dengannya pembeli bisa memanfaatkannya. (c) Atau jika yang ditransaksikan itu masih indent, maka harus di-ta’yin. Dari maushuf berubah menjadi mu’ayyan.
Jadi, walaupun emas yang dibeli online tidak diterima fisiknya (hanya tercatat angkanya), tetapi selama si pembeli memiliki bukti kepemilikan legal dan bisa cetak fisik emas tersebut, maka diperbolehkan.
(6) Mekanisme serah terima didasarkan pada kelaziman dan tradisi pasar (‘urf). Selama tradisi mengategorikan bentuk serah terima non-fisik tertentu itu melahirkan perpindahan kepemilikan, maka itu menjadi sah seperti halnya serah terima fisik.
Al-Khatib menjelaskan, “Ketika syariat Islam ini mewajibkan serah terima dalam setiap transaksi itu tanpa menjelaskan mekanismenya, maka yang menjadi rujukan adalah tradisi pelaku pasar.” (al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, 2/72).
Ibnu Taimiyah mengatakan; “Setiap ketentuan yang tidak ada batasannya baik dalam bahasa maupun syara, maka yang menjadi rujukan adalah tradisi setempat.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, 3/272).
Demikian. Wallahu A’lam
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130