π Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I
πΏπΊπππΌππ·πΉ
Hal lain yang terkadang disia-siakan oleh seorang penghafal al-Qur’an adalah ketika ia diminta untuk menjadi imam shalat kemudian menolaknya. Padahal, justru salah satu yang membuat hafalan seorang penghafal al-Qur’an semakin kuat adalah ketika hafalan tersebut dibaca di dalam shalat, terlebih ketika ia menjadi imam ketika shalat berjamaah. Sebab, bacaannya tidak lagi hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk makmumnya, bahkan mereka akan menyimak bacaan hafalan tersebut. Sehingga, mau tidak mau ia harus bertanggungjawab untuk memersiapkan hafalannya dengan sebaik-baiknya agar tidak salah ketika membacanya di dalam shalat, baik dalam hal kerapihan bacaan maupun kelancaran hafalannya, terlebih jika ternyata makmumnya tidak ada yang hafal al-Qur’an, sehingga tidak ada yang dapat membenarkan bacaan tersebut ketika keliru atau lupa.
Para penghafal al-Qur’an yang menolak ketika diminta untuk menjadi imam shalat sebenarnya punya alasan masing-masing dan terkadang berbeda-beda satu sama lain. Tetapi setidaknya kebanyakan mereka menolaknya karena dua alasan. Alasan pertama, bisa jadi karena mereka merasa belum pantas menjadi imam, mengingat keilmuannya, terutama tentang fiqih shalat masih minim. Yang mereka miliki hanya baru sebatas hafalan saja, sehingga mereka khawatir masih ada kekurangan dalam hal shalatnya karena pengetahuan fiqihnya juga yang masih kurang.
Alasan ini memang bisa dibenarkan, terlebih jika masih ada orang lain yang memang lebih pantas menjadi imam, yaitu mereka yang bukan cuma paham fiqih tetapi juga punya hafalan al-Qur’an yang banyak. Atau minimal masih ada yang lebih paham fiqih walaupun hafalannya sedikit tetapi paling tidak bacaan surah al-Fatihahnya bagus, sebab bacaan surah al-Fatihah inilah yang menjadi rukun di dalam shalat. Di dalam fiqih sendiri memang ada aturan bahwa yang menjadi imam itu harus yang qari’, dan tidak boleh yang ummi menjadi imam bagi yang qari’, kecuali memang yang menjadi makmum pun sama-sama ummi. Namun, Imam asy-Syafi’i (w. 204 H)-sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Husain al-‘Imrani (w. 558 H) di dalam al-Bayan fi Madzhab al-Imam asy-Syafi’i- menjelaskan bahwa ukuran qari’ atau ummi-nya seseorang itu dilihat dari bacaan al-Fatihahnya saja, artinya jika ada seseorang yang mampu membaca al-Fatihah dengan baik dan benar walaupun bacaan pada surah-surah lainnya tidak bagus, maka ia sudah masuk kategori qari” dan boleh menjadi imam. Sebaliknya, walaupun seseorang pandai membaca al-Qur’an, bahkan mungkin hafal, namun jika bacaan al-Fatihahnya buruk dan banyak salahnya, bahkan kesalahan tersebut sampai merubah makna, maka ia masuk dalam kategori ummi yang tidak boleh menjadi imam kecuali jika makmumnya juga ummi.
Alasan yang kedua, bisa saja menolaknya para penghafal al-Qur’an untuk menjadi imam shalat adalah semata-mata karena malu dan kurangnya rasa tidak percaya diri, padahal sebenarnya mereka memang pantas, baik dari sisi hafalan dan bacaan al-Qur’annnya maupun dari sisi penguasaan ilmu fiqih, terutama tentang shalat. Rasa malu dan kurang percaya diri inilah yang terkadang membuat penghafal al-Qur’an tidak berani membaca hafalannya di hadapan makmum di dalam shalat. Adanya rasa malu itu biasanya timbul jika ia merasa suaranya ketika melantunkan bacaan al-Qur’an kurang indah. Sedangkan rasa kurang percaya diri biasanya muncul karena hafalannya memang kurang lancar, sehingga ia takut salah ketika membacanya, maka tak jarang di antara mereka yang walaupun bersedia menjadi imam, tetapi mereka tidak berani membaca hafalannya yang lain selain apa yang memang biasa dibacanya di dalam shalat.
Jika rasa malu dan kurang percaya diri inilah yang menjadi alasan anda tidak mau menjadi imam shalat, maka ketahuilah bahwa selamanya anda akan terus digoda oleh rasa malu dan kurang percaya diri tersebut jika anda tidak mau memberanikan diri.
Dan memang biasanya, rasa malu dan kurang percaya diri ini paling hanya menyerang anda awal-awal saja, karena pada akhirnya dengan terbiasanya anda menjadi imam shalat, maka justru anda akan merasakan ketenangan dan keberanian untuk membaca hafalannya di hadapan orang lain, baik di dalam shalat maupun di luar shalat.
Anda tidak perlu malu nada bacaan al-Qur’an anda tidak seindah penghafal lain selama anda mampu membacanya dengan tajwid yang bagus. Sebab tajwid inilah sebenarnya yang menjadi penghias utama bacaan al-Qur’an. Betapapun seseorang bagus suaranya, tetapi ketika ia tidak membacanya dengan tajwid, maka tetap saja tidak akan indah didengar. Meski demikian, jika anda terus berlatih, pada akhirnya bukan hanya sekedar tajwid yang bagus, tetapi juga nadanya menjadi indah, dan semuanya tentu butuh proses.
Wallahul Muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq
πππΈπππΈπππΈ
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
π±Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis
π° Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678