Batasan Minimal Shalat Jumat?

0
45

Assalamu’alaikum, ustadz/ustadzah
….Ust, adakah dalilnya yang mewajibkan 40 orang untuk shalat Jumat, apakah ada yang membolehkan kurang dari itu?
Jawaban
————–
‌و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah wa ba’d:
Memang sebagian masyarakat kita meyakini bahwa sahnya shalat Jumat adalah minimal 40 orang. Ini tidak bisa disalahkan begitu saja, dan patut dihargai karena berasal dari pendapat salah satu ulama Ahlu Sunnah, yakni Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu. Bahkan Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari, bahwa dalam masalah ini terdapat lima bela pendapat para ulama.
Namun demikian pendapat-pendapat tersebut masih bisa didiskusikan. Ditinjau dari dua sisi.
1. menurut muhaqqiq tak ada satu pun riwayat yang shahih tentang batasan jumlah jamaah shalat Jumat.
2. sekali pun shahih, riwayat tersebut sifatnya hanya pengabaran (pemberitaan) saja bahwa dahulu pernah ada shalat Jumat yang diikuti 40 orang, bukan menunjukkan batasan.
Bagi sebagian ulama,   ini tidak bisa dijadikan dalil, sebab jika lain waktu – pada zaman  itu – pernah melihat  jumlah jamaah adalah 60 orang apakah lantas 60 orang adalah jumlah minimal? Atau lain kali melihat adalah 100 orang maka 100 orang adalah jumlah minimal? Tentu tidak demikian, apa yang terjadi saat itu tentu keadaan yang sifatnya –bahasa orang kebanyakan- ‘kebetulan’.
Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:
وقد قال عبد الحق: إنه لا يثبت في عدد الجمعة حديث، وكذلك قال السيوطي: لم يثبت في شئ من الاحاديث تعيين عدد مخصوص.
Abdul Haq telah berkata: “Tidak ada hadits  yang  shahih tentang jumlah jamaah shalat Jumat.” Begitu pula kata Imam As Suyuthi: “Tidak ada satu pun yang shahih dari hadits-hadits yang mengkhususkan jumlah tertentu.” [1]
Dua Orang Sudah Sah dan Mencukupi
Ya, dua orang, satu imam dan satu makmum atau lebih, sudah sah bagi banyak ulama. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
والرأي الراجح أنها تصح باثنين فأكثر
“Dan pendapat yang kuat adalah shalat Jumat tetap sah dengan dua orang atau lebih.” [2]
Hal ini berdasarkan riwayat, dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ
“Dua orang atau lebih adalah jamaah.” [3]
Sebenarnya hadits ini dhaif,_sebagaimana yang dikatakan Imam Al Haitsami[4] dan Syaikh Al Albani.[5]
Namun, Imam Bukhari telah menjadikan teks hadits itu menjadi judul salah satu Bab dalam kitab Shahih-nya, yakni Bab ke-7 dari Kitabul Jamaah wal Imamah, yakni Bab: Itsnan famaa fauqahumaa Al Jama’ah (Dua orang dan lebih adalah jamaah).
Dalam Bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dari Malik bin Al Huwairits Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا حضرت الصلاة فأذنا وأقيما، ثم ليؤمكما أكبركما
“Jika datang waktu Shalat, maka adzanlah dan tegakkanlah shalat oleh kalian berdua, dan hendaknya yang menjadi imam adalah yang lebih tua dari kalian berdua.” [6]
Hadits ini menunjukkan bahwa walaupun berdua, maka shalat jamaah telah memadai, dan dalam hal ini shalat Jumat termasuk di dalamnya.
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:
وَقَدْ انْعَقَدَتْ سَائِر الصَّلَوَات بِهِمَا بِالْإِجْمَاعِ ، وَالْجُمُعَة صَلَاة فَلَا تَخْتَصّ بِحُكْمٍ يُخَالِف غَيْرهَا إلَّا بِدَلِيلٍ ، وَلَا دَلِيل عَلَى اعْتِبَار عَدَد فِيهَا زَائِد عَلَى الْمُعْتَبَر فِي غَيْرهَا .
“Menurut ijma’  (kesepakatan), semua shalat sudah disebut berjamaah walau pun dua orang, dan shalat Jumat juga demikian, tidak ada kekhususan hukum baginya yang berbeda dengan shalat lainnya, kecuali dengan dalil. Dan tidak dalil yang menunjukkan bahwa jumlah jamaah shalat Jumat mesti lebih dari shalat selainnya.” [7]
Ada baiknya saya sampaikan perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah:
صلاة الجماعة قد صحت بواحد مع الإمام وصلاة الجمعة هي صلا ة من الصلوات فمن اشترط فيها زيادة على ما تنعقد به الجماعة فعليه الدليل و لا دليل والعجب من كثرة الأقوال في تقدير العدد حتى بلغت إلى خمسة عشر قولا ليس على شيء منها دليل يستدل به قط إلا قول من قال : إنها تنعقد جماعة الجمعة بما تنعقد به سائر الجماعة كيف والشروط إنما تثبت بأدلة خاصة تدل على انعدام المشروط عند انعدام شرطه فإثبات مثل هذه الشروط بما ليس بدليل أصلا فضلا عن أن يكون دليلا على الشرطية مجازفة بالغة وجرأة على التقول على الله وعلى رسوله صلى الله عليه وسلم وعلى شريعته لا أزال أكثر التعجب من وقوع مثل هذا للمصنفين وتصديره في كتب الهداية وأمر العوام والمقصرين باعتقاده والعمل به وهو على شفا جرف هار ولم يختص هذا بمذهب من المذاهب ولا بقطر من الأقطار ولا بعصر من العصور بل تبع فيه الآخر الأول كأنه أخذه عن أم الكتاب وهو حديث خرافة
“Shalat berjamaah sah dilakukan walaupun hanya dengan seorang (makmum) bersama seorang imam, sedangkan shalat Jumat merupakan salah satu dari shalat-shalat wajib lainnya. Barangsiapa yang mensyaratkan tambahan bilangan yang ada pada shalat berjamaah, maka ia harus menunjukkan dalil pendapatnya itu, dan niscaya dia tidak akan mendapatkan dalilnya. Anehnya banyak sekali pendapat tentang bilangan tersebut hingga sampai lima belas pendapat, dan tidak ada dalil yang dijadikan landasan oleh mereka kecuali satu pendapat saja. Sesungguhnya shalat Jum’at sama dengan jumlah pada shalat-shalat (berjamaah) yang lainnya. Bagaimana tidak, sedangkan syarat hanya bisa tetap bila ada dalil yang secara khusus menunjukkan bahwa suatu ibadah tidak sah kecuali dengan adanya syarat tersebut, penetapan syarat seperti ini (jumlah tertentu) sama sekali tidak berlandaskan atas sebuah dalil, terlebih lagi sikap tersebut merupakan kelancangan yang teramat sangat dan merupakan keberanian untuk berbicara atas Nama Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam syariatNya.
Saya senantiasa merasa heran kenapa hal itu bisa terjadi di kalangan para penulis, bahkan dicantumkan di dalam buku-buku panduan shalat, mereka memerintahkan orang awam untuk meyakini dan mengamalkannya, padahal pendapat tersebut ada di dalam jurang kehancuran, pendapat tersebut tidak khusus ada di dalam satu mazhab dari berbagai mazhab, juga bukan terjadi hanya pada satu daerah saja. Akan tetapi terjadi secara turun-menurun, seakan-akan pendapat tersebut diambil dari Kitabullah, padahal ia hanya merupakan hadits khayalan belaka.”[8]
Demikian. Hanya saja dalam masalah ini, pertimbangan masyarakat juga mesti dilihat agar tidak terjadi fitnah.
Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala AAlihi wa Shahbihi wa Sallam
Catatan Kaki:
[1] Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Juz. 5, Hal. 289. Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 305
[2] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz, 1, Hal. 305
[3] HR. Ibnu Majah, Kitab Iqamah Ash Shalah wa Sunnah fiha Bab Al Itsnanl Jamaah, No. 972.  Ad Daruquthni, Kitab Ash Shalah Bab Al Itsnan Jamaah, No. 1. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, No. 7957. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, No. 368. Al Mausu’ah Al Hadits, Mauqi’ Ruh Al Islam
[4] Imam Al Haitsami, Majma’ Az Zawaid, Juz. 2, Hal. 45, katanya: di dalamnya ada Muslimah bin Ali seorang yang dhaif.
[5] Syaikh Al Albani telah menegaskan kedhaifan hadits ini dalam beberapa kitabnya, Tamamul Minnah, Hal. 331.Masykah Al Mashabih, No. 1081. Irwa’ Al Ghalil, Juz. 2, Hal. 247. No. 489.
[6] HR. Bukhari, Kitabul Jamaah wal Imamah Bab Itsnan famaa Fauqahuma Al Jamaah, No. 627. Al Mausu’ah Al Hadits
[7] Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Juz. 5, Hal. 289. Al Maktabah Asy Syamilah
[8] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Ajwibah An Nafi’ah, Hal. 76-77. Al Maktabah Al Ma’arif LiNasyr wat Tauzi’
Wallahu a’lam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here