Batasan-Batasan Sholat Jamak Qashar

0
249

Pertanyaan

Assalamu’alaikum, ustadz/ustadzah
…Mohon pencerahan mengenai sholat jamak qosor, contoh kasus, saya kerja di Bandung setiap akhir pekan (sabtu&ahad) pulang ke sukabumi. Pertanyaanya :
1. Bolehkah saya menjamak qosor sholat ketika diperjalanan/sudah sampai tujuan (dirumah disukabumi)
2. Selama di sukabumi bolehkah saya menjamak qosor sholat(niat musyafir), merujuk pada sebuah riwayat yg menceritakan ketika Rosul di mekah pada masa pembebasan kota mekkah melakukan solat 2 rokaat2.
Mohon jawabanya biar saya tidak salah dalam berbadah
@ member muslimanis jabar..


Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man

‌و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته

Bismillah wal hamdulillah mencuci shalatu adalah salamu ‘ala rasulillah wa’ ala aalihi wa ashhabihi wa man walah, wa ba’du:

Jamak Shalat

Menjamak shalat adalah memungkinkan menurut jumhur (agama) ulama . Hal ini menurut hadits berikut:

عن أنس بن مالك قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا ارتحل قبل أن تزيغ الشمس أخر الظهر إلى وقت العصر ثم نزل فجمع بينهما

Dari Anas bin Malik, dia mengatakan: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia melakukan perjalanan sebelum matahari tergelincir (meninggi), maka dia akan akhirkan shalat zhuhur pada waktu Ashar, lalu dia turun dan menjamak keduanya.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah :

الجمع بين الصلاتين في السفر في وقت إحداهما جائز في قول أكثر أهل العلم لا فرق بين كونه نازلا أو سائرا

“Menjamak dua shalat dalam perjalanan, pada waktu salah satu dari dua shalat itu, adalah memungkinkan untuk melakukan ulama, sama saja dengan baik dalam perjalanannya atau ketika dia turun (berhenti).

Sebenarnya masyaqqat (kepayahan, kesempitan, kesulitan) yang membuat dibolehkannya jamak, bukan hanya perjalanan, tidak juga hujan, sakit, dan kegunaan yang mendesak.

Jamak karena hujan

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah :

روى الاثرم في سننه عن أبي سلمة ابن عبد الرحمن أنه قال: من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء. وروى البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بين المغرب والعشاء في ليلة مطيرة

“Al Atsram meriwayatkan dalam Sunan -nya, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia berkata:“ Menyimpan sunah jika turun hujan menjamak antara Maghrib dan Isya ‘. ”Bukhari telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu’ Alaihi wa Sallam menjamak antara maghrib dan isya ‘pada malam hujan.

Jamak sakit Sakit

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الجمع بسبب المرض أو العذر: ذهب الامام أحمد والقاضي حسين والخطابي والمتولي من الشافعية إلى جواز الجمع تقديما وتأخيرا بعذر المرض لان المشقة فيه أشد من المطر. قال النووي: وهو قوي في الدليل

Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al Khathabi, dan Mutawalli dari golongan Syafi’iyyah, adalah berguna baik secara langsung atau ta’khir, sebab kesulitan lantaran sakit adalah lebih berategas hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan hal itu kuat.
Jamak karena adanya keperluan (kesibukan)

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah :

وذهب جماعة من الأئمة إلى جواز الجمع في الحضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة, وهو قول ابن سيرين وأشهب من أصحاب مالك, وحكاه الخطابي عن القفال والشاشي الكبير من أصحاب الشافعي عن أبي إسحاق المروزي عن جماعة من أصحاب الحديث, واختاره ابن المنذر ويؤيده ظاهر قول ابن عَبَّاس: أَرَادَ أَلَّا يُحْرِج أُمَّته ، فَلَمْ يُعَلِّلهُ بِمَرَضٍ وَلَا غَيْره وَاللَّهُ أَعْلَم

“Sekelompok para imam, membolehkan jamak tidak berjalan dan memiliki keperluan, namun hal itu tidak menjadi kebiasaan. Demikianlah pendapat dari Ibnu Sirin, Asyhab dari golongan Malikiyah. Al Khathabi menceritakan dari Al Qaffal dan Asy Syasyil kabir dari madzhab Syafi’i, dari Abu Ishaq al Marwazi dan dari jamaah ahli hadits. Inilah yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, yang didukung oleh zhahir ucapan Ibnu Abbas, bahwa dikehendaki dari jamak adalah ‘agar orangnya keluar dari kesulitan.’ Karena itu, tidak jelaskan alasan jamak, apakah karena sakit atau yang lainnya. Wallahu A’lam.

Hal ini didasarkan pada riwayat, dan inilah hadits yang yang dijadikan hujjah oleh Imam An Nawawi di atas.

عن ابن عباس قال: جمع رسول الله صلى الله عليه وسلم بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء بالمدينة في غير خوف ولا مطر

Dari Ibnu Abbas, dia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah, pada saat tidak ketakutan dan tidak hujan.”
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menambahkan:

قال ابن تيمية: وأوسع المذاهب في الجمع مذهب أحمد فإنه جوز الجمع إذا كان شغل كما روى النسائي ذلك مرفوعا إلى النبي صلى الله عليه وسلم إلى أن قال: يجوز الجمع أيضا للطباخ والخباز ونحوهما ممن يخشى فساد ماله

“Berkata Ibnu Taimiyah:” Madzhab yang paling luas dalam masalah jamak adalah madzhab Imam Ahmad, dia membolehkan jamak karena kesibukkan bukti yang diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i secara marfu ‘(sampai) kepada Rasulullah Shallallahu’ Alaihi wa Sallam , sampai-sampai dibolehkan jamak juga bagi juru masak dan pembuat roti dan semisalnya, dan juga orang yang ketakutan hartanya menjadi rusak.

Bahkan dibolehkan juga menjamak, karena sedang menuntut ilmu atau mengajar ilmu. Ini berdasarkan riwayat Imam Muslim berikut:

عن عبد الله بن شقيق قال خطبنا ابن عباس يوما بعد العصر حتى غربت الشمس وبدت النجوم وجعل الناس يقولون الصلاة الصلاة قال فجاءه رجل من بني تميم لا يفتر ولا ينثني الصلاة الصلاة
فقال ابن عباس أتعلمني بالسنة لا أم لك ثم قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم جمع بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء قال عبد الله بن شقيق فحاك في صدري من ذلك شيء فأتيت أبا هريرة فسألته فصدق مقالته

Dari Abdullah bin Syaqiq, dia mengatakan: Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami, pada hari setelah ‘ashar sampai matahari terbenam, hingga nampak bintang-bintang, manusia manusia berteriak: “shalat .. shalat ..!” Lalu datang laki-laki dari Bani Tamim yang tidak hentinya berteriak: shalat .. shalat !. Maka Ibnu Abbas berkata: “Apa-apaan kamu, apakah kamu ingin mengajari saya sunah?”, Lalu dia berkata: “Saya sudah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menjamak antara zhuhur dan ashar, dan juga maghrib dan isya.” Berkata Abdullah bin Syaqiq : “Masih terngiang dalam dada saya hal itu, maka aku datang kepada Abu Hurairah, aku tanyakan dia tentang hal itu, dia membenarkan keterangan Ibnu ‘Abbas tersebut.
Demikian. Wallahu A’lam.

Qashar (meringkas shalat)

Shalat Qashar (meringkas empat rakaat menjadi dua) adalah sedekah yang memberi Allah Ta’ala kepada umat Islam. (HR. Jamaah). Mayoritas ulama menyatakan bahwa qashar lebih utama dilakukan dibanding shalat dengan sempurna (empat rakaat) jika syarat untuk mengqashar sudah terpenuhi. Karena qashar merupakan rukhshah (keringanan) yang Allah Ta’ala berikan kepada hambaNya, dan Dia senang jika keringanannya itu kita laksanakan. Selain hadits yang berbunyi:

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma , Rasulullah Shallallahu’ Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan) nya dilaksanakan, misalnya ia benci jika maksiat dikerjakan.
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha , “Sesungguhnya Rasulullah jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa.

Allah Ta’ala berfirman:

“Jika kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat …” (QS. An Nisa ‘: 101)

Menurut ayat di atas, jelas sekali bahwa qashar disyariatkan jika dalam perjalanan, atau sudah bertolak dari kata asal, alias sudah keluar dari kotanya. Jika masih ditempat kediamannya, belum bisa dilakukan qashar. Berkata Imam Ibnul Mundzir, “Aku tidak menemukan sebuah pernyataan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengqashar dalam perjalanan, kecuali setelah keluar dari Madinah.”

Ketika bepergian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu qashar, tidak ada keterangan yang kuat yang menyebutkan bahwa beliau shalat empat rakaat jika bepergian. Karena itu, tidak sedikit para sahabat Nabi yang menyatakan bahwa qashar hukumnya wajib . Mereka yang menuntut adalah Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin Abdullah. Kalangan madzhab Hanafi menguatkan pendapat ini. Pertengahan Maliki mengatakan bahwa qashar adalah sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan) , bahkan menurut mereka lebih utama daripada shalat berjamaah. Makruh hukumnya shalat sempurna. Sedang berbicara Hambalimengatakan qashar itu mubah (boleh) tetapi lebih utama daripada shalat sempurna. Demikian juga pendapat kalangan Syafi’i. Ini semua jika sudah pada jarak yang dibolehkannya qashar.

Imam Ibnul Mundzir dan lainnya menyebutkan bahwa ada dua puluh menit tentang jarak dibolehkannya qashar.  Perbedaan-perbedaan ini terjadi karena memang tak ada hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang menyebutkan jarak. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah , “Tidak ada sebuah hadits yang menyebut jarak jauh atau menantang perjalanan itu.

Namun, di antara hadits-hadits tersebut ada yang paling kuat -di antara yang lemah- yang menyebutkan jarak, yaitu:

Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas bin Malik karena mengqashar shalat. Ia menjawab, ”Rasulullah mengerjakan shalat dua rakaat (qashar) jika sudah maju tiga mil atau satu farsakh.
Satu farsakh adalah 5.541 Meter, satu mil adalah 1.748 meter. Bahkan Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih, dari Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa jarak minimal mengqashar shalat adalah satu mil! Jika kurang dari itu maka tidak bisa qashar. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm.

Namun, jumhur (agama) ulama mengatakan bahwa jarak yang dibolehkannya qashar adalah empat belas adalah 16 farsakh (88.656 Km). Inilah pandangan Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, dan imam ketiga imam ini. Alasannya adalah perbuatan sahabat, yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat dan berbuka puasa jika jarak tempuh sudah empati (16 farsakh = 88.656 Km).

Nah, bagaimanakah yang benar-benar melihat berbagai perumpamaan yang saling bertentangan ini? Imam Abul Qasim Al Kharqi memberikan jawaban dalam kitab Al Mughni , “Aku tidak menemukan alasan yang dikemukan oleh para imam itu. Karena, nama dari para sahabat Nabi juga saling bertentangan tidak dapat dijadikan dalil. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berbeda dengan dalil yang diberikan oleh para kawan-kawan kami (para ulama). Kemudian, seandainya belum ditemukan dalil yang kuat, maka ucapan mereka (para sahabat) tidak dapat dijadikan dalil jika bertentangan dengan sabda dan perilaku Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . Dengan demikian ukuran jarak yang mereka tetapkan tidak bisa diterima, karena dua hal berikut:

Pertama , bertentangan dengan sunah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . Kedua, teks ayat firman Allah Ta’ala yang membolehkan qashar shalat bagi orang yang dalam perjalanan: “Jika kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya jika kamu mengqshar shalat…” (QS. An Nisa ‘: 101)

Syarat karena adanya rasa takut dengan orang kafir, telah dihapuskan dengan keterangan hadits Ya’la bin Umayyah. Dengan demikian, teks ayat ini sangat penting untuk berbagai jenis perjalanan. ”

Kesimpulannya, qashar dapat dilakukan jika, 1. Sudah keluar dari daerahnya, 2. Dengan jarak yang sudah layak, cantik, dan pantas disebut sebagai perjalanan (safar). Mengingat dalil-dalil yang ada satu sama lain saling bertentangan. Inilah jalan para Imam Muhaqiqin (peneliti) seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Sayyid Sabiq, dan Ustadz Ahmad Hasan dan lainnya. 3. Perjalanannya bukan perjalanan maksiat.

Tenggang Waktu Dibolehkannya Qashar

Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat. Namun, kita akan melihat dalil yang kuat yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat, dan kesempurnaan yang kita pilih.
Dalam Musnad nya Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu , mengatakan: Nabi Shallallahu’ Alaihi wa Sallami bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dan beliau senantiasa mengqashar shalatnya

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermukim dalam salah satu perjalanan selama sembilan belas hari dan selalu mengerjakan shalat dua rakaat.
Hafsh bin Ubaidillah mengatakan bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam selama dua tahun dan terus melaksanakan qashar umum shalatnya musafir.

Menurut Anas bin Malik, para sahabat Nabi bermukim di daerah Ramhurmuz selama tujuh bulan dan tetap mengqashar shalat.

Berkata Al Hasan, “Aku pernah bermukim bersama Adurrahman bin Samurah di kota Kabul selama dua tahun, dan dia terus mengqashar shalatnya.”

Ibrahim juga pernah mengatakan bahwa para sahabat pernah bermukim di Ray selama satu tahun atau lebih dan di Sijistan selama dua tahun , tetap mengqashar shalat.

Ibnu Umar pernah tinggal di Azarbaijan selama enam bulan dan tetap mengqahar sebab terhalang oleh salju.
Demikian pula para Imam, seperti Imam Said bin al Musayyib, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, yang paling lama adalah empat hari, tidak memiliki dasar yang kuat. Demikian pula Imam Abu Hanifah yang menyebutkan lima belas hari saja, dan diikuti oleh Imam Laits bin Saad.

Berkata Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah tentang bermukimnya Nabi selama dua puluh hari di Tabuk, bahwa hal-hal itu saja, maka akan menghasilkan Tabuk lebih panjang dari itu, ia akan tetap mengqasharnya. Katanya, “Bermukim (singgah) dalam perjalanan tidak bisa dianggap sebagai dari hukum, baik singgahnya lama atau terbatas, dengan syarat tidak bisa menetap di sana sebagai penduduk.”

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq, “Seorang musafir itu memungkinkan terus mengqashar shalatnya selama ia masih dalam bepergian. Jika ia bermukim (singgah) karena ada kegunaan yang harus diselesaikannya, ia tetap bisa mengqashar karena masih dalam perjalanan, walau bermukimnya selama tahun-tahun lamanya. ”
Imam Ibnul Mundzir menyatakan dalam penelitiannya bahwa para ulama ijma ‘ (keberatan) bahwa seorang musafir tetap berlaku selama ia tidak akan terus berlangsung di tempat, walau singgahnya itu selama bertahun-tahun.

Inilah yang sangat kuat berdasarkan dalil yang kuat pula, baiklah perilaku Rasulullah dan para sahabat, beserta intelijen dari para ulama peneliti seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnul Mundzir, Syaikh Sayyid Sabiq, dan lain-lain.

Berapa lamakah selang waktu dibolehkannya jamak dan qashar?

Hal ini tergantung keadaan safarnya. Kata safar tidak lepas dari tiga keadaan.

1. Safar dengan tujuan menetap di daerah atau negeri. Menetap maksudnya menjadi besar dengan dibuktikannya KTP atau KTP atau KK. Maka, kebolehannya hanya komposisinya safar saja. Sesampainya di tempat tujuan tidak ada lagi rukhshah / keringanan itu, kecuali dia kembali di lain atau dia dari berbagai masyaqqat (kesulitan) di sana, kemudian kembali berlaku jamak, seperti hujan lebat, sakit, takut kepada musuh, bencana alam , dan semisalnya.

2. Safar dengan niat untuk singgah, maka ini ada dua macam:

a. Singgah dengan waktu yang belum jelas, seperti peperangan, berobat, dan semisalnya, yang waktu selesainya tidak bisa dipastikan. Maka, selama itu pula dia bisa menjamak dan qashar. Sebab statusnya tetap seorang yang safar. Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengqashar 20 hari membuat perang Tabuk. Para sahabat ada yang mengqashar dua tahun, bulan, enam bulan, karena mereka tidak berniat menjadi penduduk dan tidak jelas kapan pulangnya, seperti yang sudah kami jelaskan di atas.

b. Singgahnya sudah Tahu lamanya dan kapan pulangnya, seperti dinas kantor, ziarah ke rumah saudara, dan semisalnya. Maka, ini terkunci. Secara ringkas, dalam madzhab Hanafi durasinya adalah 14 hari, selebihnya tidak boleh. Madzhab Syafi’iyah dan Malikiyah tiga hari selebihnya tidak boleh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) adalah empat hari, selebihnya tidak boleh.

Wallahu a’lam.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here