Selasa, 17 Muharram 1438H / 18 Oktober 2016
TADABUR AL- QURAN
Pemateri: DR. SAIFUL BAHRI, M.A.
Menjadi mulia adalah impian setiap manusia. Apalagi bila kemuliaan tersebut bermuara pada kebahagiaan. Bagi sebagian orang, kemuliaan adalah jabatan prestisius atau status sosial di tengah masyarakat. Bagi sebagian orang, kemuliaan berarti mengejar popularitas.
Sebagian yang lain menganggapnya bisa diraih dengan kemapanan duniawi, istri cantik, suami yang mapan, anak-anak yang dibanggakan atau serangkaian kekayaan materi lainnya.
Namun, Allah menegaskan hakikat kemuliaan yang laik dikejar dan diraih oleh seorang mukmin. Status mulia bagi Allah adalah dengan ketinggian derajat takwa seseorang. Dan Allah Maha Mengetahui dengan detail apa dan bagaimana ketakwaan seorang hamba-Nya.
Ketakwaan Bilal ra menjadikannya mulia meski ada yang menghinanya karena kulitnya yang hitam legam.
Sebagian sahabat Nabi saw pernah menertawakan betis Abdullah bin Mas’ud yang kecil ketika tersingkap. Tapi Rasul menimpali bahwa kedua kaki terebut lebih berharga dan lebih mulia dari dua gunung emas.
Di dalam surat ini (surat al-Hujurât) Allah memberikan perangkat-perangkat untuk meraih ketakwaan. Diantaranya ada dalam ayat-ayat yang sedang kita tadabburi bersama.
” Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan sekumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan sekumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelar yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), Karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” [QS al-Hujurât: 11-12]
Pertama,
Allah melarang orang-orang beriman untuk saling membanggakan diri. Karena hal tersebut akan memancing pada tindakan untuk merendahkan orang lain.
Secara jelas di sini kita temukan larangan tersebut. Baik dilakukan oleh laki-laki dalam sebuah komunitas masyakarat ataupun oleh kaum perempuan. Tidak banyak tempat dalam al-Qur’an Allah memerinci dengan kata-kata yang lugas seperti ini.
Hal tersebut bisa jadi karena kebanyakan laki-laki terutama para pemuka kaum kadang membanggakan status sosial dan jabatan serta popularitasnya. Hal-hal itu bisa memicu permusuhan karena adanya sikap saling meremehkan dan merendahkan terhadap orang lain.
Hal-hal ini juga bisa dilakukan oleh sesama kaum perempuan yang biasanya membanggakan nasab, keturunan, suami dan anak-anaknya atau juga status sosial mereka.
Bisa jadi orang-orang yang sering diolok-olok dan ditertawakan lebih baik derajatnya dibanding orang yang memperolok dan menertawakan. Karena manusia hanya menilai dari perawakan zhahir saja serta tiada mengetahui batin dan hati seseorang.
Kedua,
Allah juga melarang orang mukmin mencela sesama mereka. Dalam ayat ini Allah membahasakannya dengan ”jangan mencela dirimu sendiri”. Karena mencela orang lain ibarat memukul air dalam tempayan di depan kita. Percikannya akan kembali pada diri kita sendiri.
Penegasan kekerabatan dan persaudaraan sesama muslim di sini diperjelas karena pada hakikatnya kaum muslimin ibarat satu badan. Jika ada yang sakit maka bagian yang lainnya akan merasakannya. Namun, ini bukan berarti Allah membolehkan kaum muslimin untuk mencela dan merendahkan orang-orang non muslim. ”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” [QS al-`An’âm: 108]
Bila seseorang memaki ayah atau ibu orang lain maka secara tak langsung ia memaki ayah atau ibunya sendiri, karena orang yang dimaki akan membalasnya; bahkan bisa jadi dengan makian yang lebih pedas.
Ketiga,
Allah melarang orang-orang mukmin untuk mempermainkan saudaranya dengan julukan-julukan atau gelar yang buruk. Memberi julukan atau gelar pada seseorang adalah perbuatan latah yang sering dilakukan oleh masyarakat. Jika julukan atau gelar seperti ”si cantik”, atau ”si kacamata”, atau ”si jenius” mungkin tak jadi soal. Dan hal itu sah-sah saja bila menjadi sebuah julukan yang terkenal dan baik.
Masalahnya kadang ada kecenderungan untuk memberi gelar dan julukan sebagai olok-olok seperti dengan menyebutnya ”si pincang”, ”si pandir”, ”si dungu”, ”si otak udang”. Islam melarang hal tersebut. Ini sangat tidak disukai oleh orang yang menerima julukan tersebut. Sangat wajar. Karena setiap kita memiliki nama yang kita banggakan. Dan setiap orang tua berkewajiban memberi nama yang baik sehingga sang anak kelak tidak rendah diri dan merasa minder dengan sebutan tersebut.
Dan… ”Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman”. Seperti memanggil orang yang sudah bertobat dengan ”si pelacur”, ”si pencuri”, ”si kafir” atau ”si fasiq”. Barang siapa yang melakukan hal tersebut. Itulah salah satu bentuk kezhaliman yang dicela Allah.
Kempat,
Allah juga melarang orang beriman untuk memperturutkan praduga dan prasangka yang tidak-tidak. Karena praduga tersebut belumlah menjadi sebuah berita yang jelas. Apalagi biasanya prasangka tersebut seputar aib seseorang yang seharusnya ditutupi.
Kelima
Allah melarang memata-matai (tajassus). Bila prasangka diperturutkan, maka kadang tanpa terasa sering ditindaklanjuti dengan memata-matai dan menelusuri kebenaran isu dan desas-desus yang sebelumnya hanya sekedar praduga. Hal inilah yang bisa merusak suasana keakraban dan ukhuwah. Tak jarang terjerumus pada perbuatan mencari-cari celah kesalahan. Mengada-adakan sesuatu yang sebetulnya tidak ada serta meniup-niupkan isu dan membesar-besarkan masalah kecil.
Keenam
Allah melarang menggunjing sesama (ghibah). Karena ghibah merupakan mata rantai lanjutan dari prasangka dan mencari-cari kesalahan. Tak heran bila Allah memberikan perumpamaan yang buruk bagi perbuatan ghibah. Bagaikan memakan daging saudara sendiri, bahkan lebih dari itu; bangkai sesama manusia. Dan ghibah lebih buruk dari memakan bangkai sesama saudara.
Bila kita sangat jijik dan risih untuk sekedar membayangkan memakan bangkai manusia. Bagaimana mungkin kita memulai hari-hari kita dengan sarapan bangkai manusia? Memakan daging saudara kita? Dengan mempergunjingkan isu yang kadang belum jelas arahnya. Kalau pun itu benar, maka sudah semestinya aib tersebut tidak diumbar ke mana-mana.
Rasul saw suatu ketika bertanya kepada para sahabatnya: ”Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab: ”Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”.
Beliau bersabda: ”Menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.” Ada yang bertanya: ”Bagaimana bila yang dikatakan ada pada saudaraku?”
Beliau menjawab: ”Jika seperti apa yang kau sebut (yang dibencinya) engkau telah mengghibahnya. Dan jika tidak ada padanya, maka engkau telah memfitnahnya.” (HR.Muslim, Abu Dawud, Tirmizi dan Nasa’i).
Itulah lidah. Sebuah perangkat lunak yang diberikan Allah pada manusia sekaligus salah satu ujian yang cukup berat. Dengan kata-kata (ijab-qabul)sesuatu yang diharamkan antara laki-laki dan perempuan menjadi halal, bahkan bernilai ibadah.
Dengan kata-kata (syahadat) seseorang meninggalkan kekufuran dan mengikrarkan keislamannya.
Dengan kata-kata pula (adu domba) persaudaraan dan kekerabatan menjadi retak. Dengan kata-kata (fitnah) orang baik-baik menjadi terdakwa.
Dan dengan kata-kata (sumpah palsu) orang bejat dan durjana menjadi pahlawan dan terpandang di tengah masyarakat.
Karena itu Allah memerintahkan untuk bertakwa dan bertaubat dari itu semua. Sebab tak jarang kita terjerumus dalam ghibah dan mempergunjingkan orang lain. Bahkan menikmatinya. Bisa jadi kita yang memulai pembicaraan dan pergunjingan tersebut. Na’ûdzubilLâh.
Keenam hal di atas merupakan perangkat ketakwaan untuk meraih kemuliaan hakiki sebagaimana yang dijelaskan Allah di ayat berikutnya. Dilengkapi dengan resep ketujuh yaitu: saling mengenal dan mempererat persudaraan.
”Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS al-Hujurât: 13]
Dalam ayat ini Allah mengingatkan kebhinekaan dan keberagaman dalam masyarakat. Kadang Allah mengingatkan kita akan asal usul kita dari sebuah air yang hina. Dan kali ini Allah menekankan asal kita dari dua yang berbeda. Laki-laki dan perempuan. Dari perbedaan yang jauh segala aspek itulah kita ada.
Ayah dan ibu kita sebelum menikah adalah dua sosok yang sangat berbeda. Baik lingkungan, asal-usul, bahkan kebiasaan dan adat. Juga mungkin status sosial. Namun yang jelas mereka adalah dua orang yang berbeda. Satu laki-laki dan satu perempuan.
Kemudian manusia menyebar ke berbagai penjuru dunia dengan kebiasaan dan adat yang berbeda. Bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Berbeda bahasa dan budaya. Tujuan dari perbedaan ini adalah untuk memperkaya wawasan dan persaudaraan dengan saling mengenal. Bukan untuk saling membanggakan atau mengolok-olok kaum yang lain. Rasa superioritas yang tinggi akan menimbulkan keinginan untuk menaklukan orang lain atau setidaknya merasa lebih tinggi dari orang lain. Tak jarang dari pola pikir seperti ini bermula sebuah pertempuran sengit antar bangsa. Boleh jadi dibungkus dengan bisikan jahiliah mempertahankan prestise dan harga disi suku atau bangsa.
Budaya saling mengenal dan memperkenalkan ini akan mendewasakan dan memperkaya ilmu seseorang. Itulah salah satu bentuk silaturrahmi. Sunnah Rasul saw. yang bila ditinggalkan akan semakin membuat dunia kehilangan cinta dan dipenuhi oleh kedengkian dan permusuhan.
Rasa iri yang tinggi dan kedengkian yang membara akan mematikan semangat berprestasi seseorang dan mengurangi produktifitas. Karena dirinya akan disibukkan oleh hal-hal yang tak seharusnya mengganggunya.
Alkisah ada dua ekor elang yang sedang berlomba untuk saling mengejar dan terbang tinggi di udara. Seekor elang dengan lincahnya meluncur dan terbang tinggi di angkasa. Elang yang lainnya hanya terbakar iri dan dengki. Ia sibuk memikirkan bagaimana menjegal temannya agar tidak dapat terbang tinggi. Maka ia berusaha mendekati temannya dan memperpendek jarak. Kemudian ia mencabut sehelai bulunya. Ia melempar ke arah temannya.
Bila sasaran tepat maka temannya akan terjatuh dan dialah yang keluar sebagai pemenang.
Lemparan pertama luput. Ia melanjutkan dengan lemparan kedua, ketiga dan seterusnya. Sampai bulu-bulunya hampir habis. Sampai ia kehabisan tenaga dan ia pun tersungkur. Ia kalah dengan menelan kedengkian yang dalam. Sementara temannya terbang tinggi menjulang.
Setelah ini setiap kita diharapkan mampu menyimpulkan makna kemuliaan yang sebenarnya.
Kemuliaan yang sesungguhnya adalah ketakwaan yang diraih seseorang melalui kedekatan hubungan dengan Allah serta baiknya interaksi sosial dengan sesamanya.
Kaya atau miskin, cantik atau tampan, strata pendidikan yang tinggi, popularitas, kemapanan sosial serta berbagai topeng dunia lainnya tidaklah berarti di hadapan Allah bila tidak disertai dengan kualitas ketakwaan yang baik. Karena sesungguhnya derajat kemuliaan yang sebenarnya di hadapan Allah hanya bisa diraih dengan ketakwaan tersebut. Dan Allah Maha Mengetahui dengan sedetail-detailnya kualitas ketakwaan seseorang.
Maukah kita bergegas meraih ketakwaan tersebut? Bersegeralah! Sebelum semua menjadi terlambat.
WalLâhu al-Musta’ân