Pertanyaan
Bismillaah. . ustadz/ustadzah.. Saya memiliki pertanyaan
1. Jika seorang anak laki-laki menafkahi ibunya yang sudah janda, apakah itu kewajiban? Bagaimana jika anak perempuan?
2. Jika seorang anak laki-laki memiliki saudara laki-laki dan perempuan yang yatim, apakah wajib menafkahi?
3. Jika seorang anak perempuan memiliki saudara laki-laki dan perempuan yang yatim, apakah wajib menafkahi?
[Manis_A19]
Jawaban
Kewajiban anak laki-laki bila sudah mampu dalam hal ini memiliki pekerjaan maka wajib menafkahi sehingga bisa membiayai kehidupan ibunya seorang janda dan saudara kandungnya yang yatim pula. Sedangkan seorang perempuan yatim dapat meminta bantuan kepada kerabatnya dalam menafkahi ibu dan saudara kandungnya yang yatim.
Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika mengomentari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya”.
[1] Beliau hafizhahullah berkata, “Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ) adalah kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk) kerabat di sini, ialah ibu sang yatim, atau saudara laki-lakinya ataupun pihak-pihak selain mereka yang memiliki kekerabatan dengannya. Wallahu a’lam.”
[2] Sebagian fuqaha juga memasukkan dalam kategori anak yatim ini, yaitu mereka yang kehilangan orang tuanya karena sakit dalam waktu yang sangat lama, atau karena perceraian, safar, jihad, hilang dan sebab-sebab lainnya. Dan seorang anak yatim akan keluar dari batasannya sebagai yatim, ketika ia telah mencapai usia baligh, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahju. لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ “Tidak ada keyatiman setelah baligh ……”
[3] Kerabat ataupun keluarga serta pihak-pihak yang memiliki hubungan dengannya lebih berhak untuk berbuat baik kepada si yatim, memenuhi kebutuhannya, mendidik serta mengarahkannya, mengasihi, mengayomi, menyayanginya serta mengasuhnya hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang baik dan matang, serta siap menghadapi hidup ketika ia telah dewasa. Meski demikian, syari’at Islam yang sempurna, tidak hanya membatasi kewajiban berbuat ihsan kepada anak yatim hanya pada kerabatnya saja, namun kewajiban ini juga berlaku umum bagi setiap kaum muslimin sesuai dengan kadar kemampuan mereka.
Banyak nash-nash syar’i yang menegaskan keutamaan menyantuni anak yatim dan menjanjikan balasan yang agung bagi para pemelihara anak yatim. Di antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُ لَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:”Mengurusi urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu”. [al Baqarah : 220].
Dalam menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata: Ketika turun ayat
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. [An Nisa’: 10].
Ayat tersebut terasa berat bagi para sahabat. (Sehingga para sahabat) segera memisahkan makanan mereka dari makanan anak yatim, karena khawatir akan memakan harta mereka, meskipun sebelumnya mereka terbiasa menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim (yang berada dalam kepengasuhannya). Mereka kemudian bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu, maka Allah memberi kabar kepada mereka, bahwa maksud (ayat tersebut) adalah berbuat ishlah dalam masalah harta anak yatim, dengan cara menjaga harta tersebut dan mengembangkannya dalam perdagangan. Dan menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim dalam masalah makanan ataupun selain itu, hukumnya boleh, asalkan tidak merugikan sang yatim. Kerena mereka itu adalah saudara kalian juga. Dan (sudah menjadi keumuman), jika saudara bergaul dan berbaur dengan saudaranya sendiri.
Parameter dalam hal ini adalah niat serta amal (sang pengasuh yatim). Allah Maha mengetahui siapa yang berniat untuk berbuat baik kepada anak yatim dan dia tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan harta yatim tersebut. Jika ada yang termakan olehnya tanpa ada maksud demikian, maka ia tidak berdosa.
Allah Maha mengetahui pula siapa yang berniat buruk dalam penggabungan harta tersebut, yakni ia ingin mendapatkannya kemudian ia memakannya. Demikian inilah yang berdosa. Karena washilah (sarana) memiliki hukum yang sama dengan maksud (tujuannya).
[4] Dalam satu haditsnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أنا وَ كَافِلُ اليَتِيْمِ في الجَنَّةِ هكَذَا وَ أشَارَ بَالسَبَابَةِ وَ الوُسْطَى وَ فَرَّجَ بَيْنَهُمَا
“Aku dan pemelihara anak yatim di surga nanti, kedudukannya seperti (dua jari ) ini,” dan Beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan memisahkan keduanya”. [5] Dalam hadits tersebut, Rasulullah memberikan permisalan yang sangat gamblang tentang luhurnya kedudukan pemelihara anak yatim. Bahwa di surga nanti mereka memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu A’lam Bisshawab
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130