Pemateri: Ustadzah Dra. INDRA ASIH
Keluarga harmonis bukanlah keluarga yang menghindari konflik atau pertengkaran tapi justru menghadapinya dan mengkomunikasikannya. Menghargai perbedaan pendapat dan menyesuaikan satu sama lain, tanpa ada penghakiman di dalamnya.
Karena dari konflik atau pertengkaran dan perbedaan yang timbul, kita jadi lebih mengenal satu sama lain.
Selanjutnga perbedaan yang ada tersebut bisa berpotensi untuk menguatkan hubungan karena kedua belah pihak berusaha untuk saling menyesuaikan satu sama lain.
Menjadi bahaya jika konflik dihindari atau salah satu pihak terus mengalah. Hubungan akan melelahkan dan suasana harmonis yang sesungguhnya sulit tercipta.
Tapi, memang banyak orang salah memandang konflik sehingga orang cenderung menghindari konflik dan tidak mengkomunikasikannya. Akibatnya, salah persepsi yang ada bisa terus berlanjut antara satu sama lain. Hal seperti ini tidak sehat. Harmonis bukanlah tidak ada perbedaan tetapi bagaimana mengharmonisasikan setiap perbedaan yang ada menjadi hubungan yang sehat dan kuat.
☝Ketika Pertengkaran Terjadi
Dalam keluarga harmonis pertengkaranpun kadang terjadi diantara mereka. Sebagaimana hal ini juga mungkin terjadi di keluarga kita. Hanya saja, pertengkaran yang terjadi di keluarga yang dewasa sangat berbeda dengan pertengkaran yang terjadi di keluarga yang tidak dewasa.
Keluarga yang tidak dewasa, mereka bertengkar tanpa aturan. Satu sama lain saling menguasi dan saling mendzalimi. Sedikitpun tidak ada upaya untuk mencari solusi. Yang penting aku menang, yang penting aku mendapat hakku. Tak jarang pertengkaran semacam ini sampai memunculkan caci-maki, kekerasan, atau bahkan pembunuhan.
Berbeda dengan keluarga yang dewasa, sekalipun mereka bertengkar, pertengkaran mereka dilakukan tanpa melanggar aturan. Sekalipun mereka saling sakit hati, mereka tetap menjaga jangan sampai mendzalimi pasangannya. Dan mereka berusaha untuk menemukan solusinya dari pertengkaran ini. Umumnya sifat semacam ini muncul pada keluarga yang lemah lembut, memahami aturan syariat dalam fikih keluarga, dan sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.
Apapun kesedihan yang ditimbulkan dari pertengakaran yang kita alami, yakinlah bahwa hal itu merupakan bagian dari ujian hidup.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari).
Renungkan pula bahwa bisa jadi pertengkaran ini disebabkan dosa yang pernah kita lakukan. Kemudian Allah memberikan hukuman batin dalam bentuk masalah keluarga. Perlu untuk menghadirkan perasaan bahwa Allah akan menggugurkan dosa-dosa kita dengan kesedihan yang kita alami. Lalu kita bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT.
Yang Harus Dihindari dalam Pertengkaran Rumah Tangga
Dalam hadis dari Hakim bin Muawiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya, bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kewajiban suami kepada istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْت
“Kamu harus memberi makan kepadanya sesuai yang kamu makan, kamu harus memberi pakaian kepadanya sesuai kemampuanmu memberi pakaian, jangan memukul wajah, jangan kamu menjelekannya, dan jangan kamu melakukan boikot kecuali di rumah.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Hadis ini merupakan nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami. Tentu saja, beberapa larangan yang disebutkan dalam hadis ini juga berlaku bagi wanita.
Dari hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati agar:
1. Menghindari kekerasan
Dalam Al-Quran Allah membolehkan seorang suami untuk memukul istrinya ketika sang istri membangkang. Sebagaimana firman Allah di surat An-Nisa:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan tidak tunduk, nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya..(QS. An-Nisa: 34)
Namun ini izin ini tidak berlaku secara mutlak. Sehingga suami bebas melampiaskan kemarahannya dengan menganiaya istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan lain tentang izin memukul,
A. Tidak boleh di daerah kepala
Sebagaimana sabda beliau, “jangan memukul wajah.” Mencakup kata wajah adalah semua kepala. Karena kepala manusia adalah hal yang paling penting. Ada banyak organ vital yang menjadi pusat indera manusia.
B. Tidak boleh menyakitkan
Batasan ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah beliau ketika di Arafah.
إِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Jika istri kalian melakukan pelanggaran itu, maka pukullah dia dengan pukulan yang tidak menyakitkan.” (HR. Muslim)
Atha’ bin Abi Rabah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas,
قلت لابن عباس : ما الضرب غير المبرح ؟ قال : السواك وشبهه يضربها به
Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pukulan yang tidak menyakititkan?’ Beliau menjawab, “Pukulan dengan kayu siwak (sikat gigi) atau semacamnya.” (HR. At-Thabari).
Termasuk makna pukulan yang tidak menyakitkan adalah pukulan yang tidak meninggalkan bekas, seperti memar, atau bahkan menimbulkan luka dan mengeluarkan darah. Karena sejatinya, pukulan itu tidak bertujuan untuk menyakiti, tapi pukulan itu dalam rangka mendidik istri.
Namun, meskipun ada izin untuk memukul ringan, tidak memukul tentu jauh lebih baik. Karena wanita yang lemah bukanlah lawan yang seimbang bagi lelaki yang gagah. Lawan bagi suami yang sesunguhnya adalah emosinya. Suami yang mampu menahan emosi, sehingga tidak menyikiti istrinya, itulah lelaki hebat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ
“Orang yang hebat bukahlah orang yang sering menang dalam perkelahian. Namun orang hebat adalah orang yang bisa menahan emosi ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seperti itulah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
A’isyah menceritakan,
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا خَادِمًا، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul wanita maupun budak dengan tangan beliau sedikitpun. Padahal beliau berjihad di jalan Allah. (HR. Muslim).
Maksud pernyataan A’isyah, “Padahal beliau berjihad di jalan Allah” untuk membuktikan bahwa sejatinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang pemberani. Beliau pemberani di hadapan musuh, bukan pemberani di hadapan orang lemah.
Beliau tidak memukul wanita atau orang lemah di sekitarnya. Karena memukul orang lemah bukan bagian dari sifat ‘pemberani’.
2. Menghindari caci-maki
Bersambung
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130