TIGA SIFAT UNGGULAN MANUSIA PILIHAN ALLAH SWT. (Bag. 3)

0
105

Pemateri: Ust. DR. Abas Mansur Tamam

Materi sebelumnya bisa d lihat di tautan berikut ini:

Bag. 1: http://goo.gl/CrOkHT
Bag. 2: http://goo.gl/5zg3rd

2. BERWAWASAN LUAS (ULIL ABSHAR):

1. Cerdas (al-‘Aqlu):

2. Pengetahuan Tentang Kitab Allah (al-Ilmu bi Kitabillah):

Indikator kedua dari orang yang memiliki wawasan luas adalah memiliki pengetahu an tentang Alquran (al-ilmu bikitabillah), demikian menurut Qatadah.

Membuat batasan operasional dari indikator ini sedikit sulit, karena Alquran itu sendiri merupakan kitab pengetahuan.

Allah swt. berfirman:

وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ

Artinya: “Jika engkau mengikuti kemauan mereka (Yahudi dan Nasrani) setelah ilmu (Alquran) datang kepadamu, maka Allah tidak akan lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (Al-Baqarah [2]: 120).

Menurut pengertian ini, memiliki wawasan Alquran mengindikasikan keharusan menguasai kajian Alquran, dan itu tidak bisa dijangkau oleh umumnya kita.

Indikator ini akan menjadi operasional jika kita membagi penguasaan terhadap ilmu-ilmu Alquran kedalam dua bagian: tataran ideal dan tataran praktis.

a. Tataran Ideal:

Gambaran ideal dari orang yang memiliki indikator ini adalah seorang ahli tafsir. Karena seorang mufassir dituntut untuk menguasai semua disiplin ilmu Alquran (ulumul Quran) yang diperlukan untuk menafsir kannya.

Dahulu di antara sejumlah sahabat yang paling berprestasi di bidang ini adalah Ubai bin Ka’ab.

Rasulullah saw. mengumumkan: “Wa aqrauhum Ubay” (Tirmizi, 5/3790, hadits hasan).

Kata aqra dalam hadits di atas bukan hanya ahli membaca, tetapi ahli dalam semua aspek yang berhubungan dengan penguasaan Kitab Allah.

Itu sebabnya Ubai menjadi pendiri Mazhab Madinah dalam kajian Alquran. Sebagaimana Ibn Abbas telah melahirkan Mazhab Makkah, dan Ibn Mas’ud melahirkan Mazhab Kuffah dalam kajian Alquran.

Karena itu idealnya kita harus menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan untuk memahami Alquran dengan baik.

Ilmu-ilmu itu seperti:
– sejarah pengumpulan Alquran,
– kodifikasi dan urutan surat-surat Alquran,
– tata cara turunnya Alquran, – sebab-sebab turunnya Alquran (asbabun nuzul),
– surat-surat atau ayat-ayat yang diturunkan di Makkah (Makiyyah) dan yang diturunkan di Madinah (Madaniyah),
– ayat-ayat yang menghapus dan dihapus (nasikh-mansukh),
– ayat-ayat yang memiliki makna-makna yang lugas (muhkam) dan yang tidak lugas (mutasyabih),
– mazhab-mazhab dan syarat-syarat tafsir,
– kemukjizatan Alquran,
– kisah-kisah Alquran dan tujuan-tujuannya,
– hukum-hukum yang dikandung di dalam Alquran, dan
– ilmu-ilmu lain-lain yang berhubungan erat dengan Alquran.

Meskipun penguasaan terhadap ilmu-ilmu di atas sangat sulit untuk dicapai, tetapi orang yang bercita-cita menjadi manusia unggulan di sisi Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menganggapnya mustahil, untuk kemudian berhenti menapaki dan mencarinya.

Sebaliknya, orang yang mempunyai obsesi untuk itu tetap menjadikannya sebagai target yang terus diupayakan sedikit demi sedikit, dengan cara menambah wawasan kita tentang Alquran.

Syiar kita adalah seperti yang diajarkan oleh Alquran:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا

Artinya: “Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (Thoha [20]: 114).

b. Tataran Praktis:

Adapun tataran praktis yang harus dicapai oleh setiap muslim adalah wawasan yang merupakan kewajiban muslim terhadap Alquran.

Hal itu bisa disederhanakan menjadi empat aspek yang wajib dilakukan setiap muslim terhadap Kitab sucinya, yaitu:

Aspek Keimanan:

Maksudnya setiap muslim wajib mengetahui hal-hal paling dasar dalam keimanannya kepada Alquran. Bahwa Alquran adalah wahyu Allah dalam lafal-lafal berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang sampai kepada kita dengan mutawatir (Syaltout, Al-Islam, 471).

Pengetahuan ini wajib dimiliki hingga menyampaikan kita pada keimanan bahwa Alquran merupakan kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya, dan menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.

Firman Allah:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

Artinya: ”Itulah Kitab Allah yang tidak ada keraguan di dalamnya, dan menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa” (Al-Baqarah [2]: 2).

Seseorang tidak disebut sebagai orang beriman kecuali dia meyakini sepenuhnya bahwa Alquran mengandung ajaran kebenaran yang harus dijadikan pegangan dalam hidup manusia.

Alquran harus memandu kehidupan, hingga umat manusia mendapatkan kesejahteraan dan kebagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Kegagalan hidup manusia dalam pengertian yang sesungguhnya disebabkan karena ia berpaling dari Alquran. Sistem sosial apapun yang tidak bersumber dari Kitab Allah akan mengantarkan umat manusia pada kegagalan dan kesengsaraan dalam hidupnya.

Pemahaman ini membuat seorang mukmin siap untuk menerima setiap titah dan larangan Allah dalam Alquran.

Sehingga lahir trilogi: pengetahuan-iman-kesiapan melaksanakan ajaran Alquran.

Ibn Mas’ud mengatakan:
“Jika engkau mendengar Allah berfirman: wahai orang-orang yang beriman, maka pasanglah pendengaran engkau.

Karena ujaran setelah itu bisa merupakan perintah dimana engkau diperintah untuk melaksanakannya, atau merupakan larangan dimana engkau dilarang untuk melaksanakan nya” (Tafsir As-Samarqandi, 1/131).

Aspek Tilawah dan Tahfiz

Aspek tilawah maksudnya kemampuhan untuk membaca Alquran dengan tartil. Sedangkan tahfiz maksudnya adalah upaya menghapal sebagian atau keseluruhan Alquran.

Keharusan membacanya dengan tartil karena orang yang trampil dalam membacanya akan hidup bersama para rasul kelak di dalam surga.

Rasulullah saw. bersabda:

عن عَائِشَةَ قالت قال رسول اللَّهِ ﷺ الذي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وهو مَاهِرٌ بِهِ مع السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَؤُهُ وهو عليه شَاقٌّ فَلَهُ أَجْرَانِ

Artinya: “Orang yang membaca Alquran dengan lancar, dia bersama para rasul (atau malaikat) yang mulia. Sedangkan orang yang membacanya dengan susah, dia mendapatkan dua pahala” (Abu Daud 5/2904; Tirmidzi 5/2904, hadits hasan sahih).

Kemampuan ini harus dipraktikkan dengan cara membaca Alquran setidaknya SEJUZ dalam SEHARI, sehingga bisa khatam Alquran pada setiap bulan.

Rasulullah saw. menyuruh Abdullah bin Amr bin Ash untuk mengkhatamkan Alquran dalam sebulan (iqra’ Alqurana fi syahrin!).

Tetapi Abdullah menawar karena merasa mampu melakukan lebih dari itu. Rasulullah saw. memerintahkannya agar mengkhatamkan Alquran selama 20 hari. Ia masih menawar, maka Rasulullah saw. memerintahkannya agar mengkhatamkan Alquran dalam 15 hari.

Ia masih menawar, maka Rasulullah memerintahkan nya untuk mengkhatamkan nya dalam 10 hari.

Ia masih menawar, hingga Rasulullah memerintah kannya untuk mengkhatam kan Alquran dalam seminggu, dan melarang untuk mengkhatamkan Alquran lebih cepat dari seminggu (Abu Daud, 2/1388).

Dalam riwayat lain, ia masih terus menawar, hingga Rasulullah saw. memberikan dispensasi untuk mengkhatamkan Alquran dalam 3 hari dan tidak boleh lebih cepat darinya: “Tidak akan memahami Alquran orang yang membacanya kurang dari 3 hari” (Abu Daud, 2/1390).

Meskipun tidak sampai pada batas kelayakan sehari sejuz, sesibuk apapun orang yang ingin mendapatkan keunggulan di sisi Allah maka ia harus menyempatkan untuk membaca Alquran sebisa mungkin.

Demikian Umar bin Abdul Aziz ketika sangat sibuk dengan tugasnya sebagai khalifah. Dikabarkan bahwa beliau selalu menyempatkan untuk membaca mushaf Alquran dua atau tiga ayat agar tidak dikategorikan sebagai orang yang telah mengabaikan Alquran.

Keharusan untuk menghapalnya karena orang yang menghapal Alquran akan menjadi “keluarga” Allah dan orang yang dekat dengan-Nya.

Rasulullah saw. bersabda:

عن أَنَسِ بن مَالِكٍ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ من الناس! قالوا يا رَسُولَ اللَّهِ: من هُمْ؟ قال: هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ

Artinya: “Allah memiliki “keluarga” dari manusia. Siapa mereka wahai Rasulullah?
Beliau menjawab: mereka adalah ahlul Quran: “keluarga” Allah dan orang-orang dekat-Nya” (Ibn Majah 1/215).

Aspek Pemahaman dan Perenungan

Pemahaman artinya upaya memahami makna-makna serta ajaran yang dikandungnya. Sedangkan perenungan artinya merefleksikan  makna-makna dan ajarannya itu (tadabbur).

Aspek pemahaman karena hal yang melekat dengan tilawah adalah pemahaman. Itu sebabnya Rasulullah saw. melarang untuk mengkhatamkan Alquran kurang dari 3 hari.

Alasannya karena orang yang membaca Alquran dengan super cepat tidak akan disertai dengan upaya menangkap makna-makna yang dikandungnya.

Karena itu idealnya semua kita mengerti bahasa Alquran, sehingga setiap kalimat yang dibaca bisa ditangkap makna-makna yang dikandungnya. Setidaknya kita harus terus berusaha memberdayakan kemampuhan itu.

Di zaman ini banyak program atau cetakan mushaf Alquran yang bisa memberikan ketrampilan ini bagi umat Islam sekarang.
Abu Ja’far berkata:
“Aku heran dengan orang yang membaca Alquran tetapi tidak mengerti maknanya. Bagaimana mungkin dia bisa menikmati bacaannya?” (Yaqut Hamawi, Mu’jam Udaba, 5/256).

Aspek perenungan karena orang yang memahami saja belum tentu bisa terlibat secara emosi dan terpengaruh dengan makna dan ajaran Alquran.

Cara terpenting untuk hal itu adalah menerungkannya.
Alquran mengajarkan bahwa dengan merenungkan ayat-ayat Alquran akan membuat hati menjadi terbuka untuk menangkap hidayah Allah swt.
Allah berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Artinya: “Apakah mereka tidak merenungkan Alquran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad [47]: 24).

Orang yang memahami dan merenungkan makna-makna Alquran akan terlibat secara emosi dengan pembicaraan Alquran.

Sehingga bisa menangis dan bahagia karena kesedihan dan kebahagiaan yang dibahas di dalam Alquran.

Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ هذا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ، فإذا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا! فَإِنْ لم تَبْكُوا، فَتَبَاكَوْا! وَتَغَنَّوْا بِهِ! فَمَنْ لم يَتَغَنَّ بِهِ فَلَيْسَ مِنَّا

Artinya: “Sesungguhnya Alquran ini diturunkan dengan kesedihan. Jika kalian membacanya, maka menangislah! Jika tidak bisa menangis, maka berusahalah untuk menangis! Dan lagukanlah bacaannya! Siapa yang tidak membacanya dengan indah, maka dia bukan bagian dari kami” (Ibn Majah, 1/1337).

Pada suatu malam, Umar bin Khattab mendengar seorang qari membaca Surat At-Thur (1-8). Ia mendengar firman Allah:
إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌ. مَا لَهُ مِن دَافِعٍ

Artinya: “Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi. Tidak seorangpun yang dapat menolaknya” (At-Thur [52]: 7-8).

Ketika itu Umar berujar: “Sumpah yang benar demi Allah Pemilik Ka’bah”, dan beliau pingsan, karena takut dengan azab yang akan terjadi. Seorang sahabatnya bernama Aslam membawa pulang ke rumahnya. Dan beliau sakit selama 30 hari, hingga orang-orang menengoknya.

Hal ini menjadi contoh bagaimasa seseorang terlibat secara emosi dengan pembicaraan Alquran.

Aspek Amal

Orang yang mengimani, membaca dan menghapalnya, memahami dan merenungkan makna-makna yang dikandung di dalamnya sampai pada tingkat terlibat secara emosi dengan pembicaran Alquran, maka dia pasti akan mampu mengamalkan ajarannya.

Demikian kebiasaan para sahabat dalam mempalajari Alquran, mereka belajar ilmu dan amal.

Abu  Abdirrahman as-Sulami berkata:
Para sahabat yang mengajarkan al-Quran kepadaku (Utsman bin Affan, Abdullah bin Ma’sud dan lain-lain) mengatakan: jika  mereka belajar sepuluh ayat dari Nabi Saw. mereka tidak melewatinya sampai tuntas mempelajari kandungannya, baik ilmu maupun amal.

Mereka mengatakan: kami belajar ilmu dan amal” (Musnad Ahmad, 5/23529)

Demikian indikator kedua, yaitu memiliki wawasan Alquran sebagai kategori orang yang berwawasan

(Bersambung)

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here