Pemateri: Ustadz. FARID NU’MAN HASAN SS.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ (14)
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran: 14)
Demikianlah manusia, Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kepada mereka nafsu dan akal.
Nafsu mereka butuhkan, karena dengan itu mereka bisa hidup bergairah dan bersemangat.
Bagi seorang mu’min, nafsu akan ditundukkannya untuk membantunya beramal shalih, saat itu nafsu tidaklah tercela. Adakah nafsu yang mendukung amal shalih?
Dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وفي بضع أحدكم صدقة . قالوا: يا رسول الله ! أياتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر ؟ قال: أرأيتم لو وضعها في حرام أكان عليه فيها وزر ؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجرا
“Pada kemaluan salah seorang kalian ada sedekahnya.”
Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah salah seorang kami mengumbar syahwatnya akan diberikan pahala?”
Beliau bersabda: “Bagaimana pendapat kalian seandainya meletakan syahwatnya pada yang haram, bukankah dia berdosa?
Maka demikian juga jika dia meletakkannya pada tempat yang halal, maka dia mendapatkan pahala.”
(HR. Muslim No. 1006, Ibnu Hibban No. 4167, Al Baihaqi dalam As Sunan No. 7612)
Sebaliknya, bukan justru nafsu yang mengendalikannya untuk dia beramal salah. Hidup terombang ambing nafsu, syahwat dunia, dan keinginan rendah tanpa batas. Saat itu, nafsu telah menyeretnya pada derajat hidup binatang.
Allah ‘Azza wa Jalla juga memberikan akal bukan sekedar pembeda dengan binatang, tapi agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsu.
Akal berpikir dan menilai, bahkan dia menjadi hakim bagi hawa nafsu, sehingga keliaran hawa nafsu terhentikan langkahnya, kelalaiannya dapat disadarkan, ketertidurannya dapat dibangkitkan; yakni akal yang telah tersinari cahaya wahyu, akal yang telah tunduk bersimpuh di depan firman Rabb yang menciptakannya, bukan akal liar sebagaimana liarnya hawa nafsu yang akan dijaganya.
Sungguh, keterjagaan nafsu dan akal dari daya tarik dunia dan permainannya, akan membawa pribadi yang puas (qana’ah). Karena cahaya ketuhanan telah mengantarkannya kepada target yang lebih mulia dan tinggi, dan selayaknya inilah yang menggoda kita. “ ….. dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)
Percayalah …,
QANA’AH itu NIKMAT.
Kita memandang manusia dengan mata ridha dan ikhlas, tiada iri dan dengki.
Sementara kita memandang diri sendiri dengan mata syukur dan lapang.
Apa yang ada di syukuri, ada pun yang tidak ada, toh semua nanti juga akan binasa. Lalu, apa lagi yang mengganggu pikiran kita?
Palingkanlah pandangan kita dari dunia yang Allah Ta’ala titipkan kepada orang lain; justru itulah ujian dan fitnah bagi mereka! Bukankah ini kenikmatan bagi kita?
Palingkanlah pandangan kita dari jabatan yang Allah Ta’ala embankan kepada orang lain; justru itu akan meremukkan punggung dan menghabiskan waktu mereka! Bukankah ini kenikmatan bagi kita?
Palingkanlah pandangan kita dari rupiah dan harta yang membanjiri mereka; justru karena itu pertanyaan di akhirat bagi mereka tidaklah sederhana!
Bukankah ini juga kenikmatan bagi kita?
Tahukah anda, -dalam hal ini- ada sebagian orang menjadikan Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu lebih utama dibanding Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu?
Sebab Abu Bakar hidup qana’ah, karena memang dunia tidak mengejarnya, dunia tidak menggodanya, bahkan menjauhinya. Maka itu sudah sewajarnya.
Ada pun Umar, dia qana’ah dan terus menerus seperti itu, ketika dunia mengganggunya, dunia mengejar dan memanggilnya, tetapi dia tidak menoleh sama sekali. Ini lebih berat rasanya.
Namun, qana’ah bukanlah kemiskinan, bukan pula kefakiran.
Tetapi dia sikap mental terhadap semua karunia yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepada kita; memandangnya dengan syukur , ridha, dan penuh amanah.
Sehingga, kita menjadi pribadi selalu berbahagia dan tersenyum puas.
Benarlah apa yang disebutkan sebuah syair:
“Jika engkau memiliki hati yang puas (qanuu’), maka engkau dan rajanya dunia adalah sama saja!”
Wallahu A’lam
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130