Pertanyaan
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ustadz… ijin bertanya mengenai Hadist Riwayat, Pengertian dari Hadist itu sendiri apa? Apakah sama dengan sabda Rasulullah?
Maksudnya Hadist Riwayat ada Nomernya itu bagaimana, lalu apakah semua Hadist Riwayat harus bernomor?
Bukankah ada Hadist Riwayat di Shahih kan dan di Hasan kan, itu maksudnya bagaimana? Apakah bisa Hadist riwayat di palsu atau di kurangi?
A_45
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃
Jawaban
Oleh: Ustadz Slamet Setiawan al-Hafidz, SH.I.
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Sebagai umat Islam kita harus menggunaknnya sebagai acuan dalam menjalani hidup.Hadits merupakan sesuatu yang disandarkan kepada nabi, untuk itu kita harus meneladaninya seperti halnya Al-Qur’an.
Namun banyak terjadi permasalahan mengenai hadits. Hal ini diakibatkan oleh banyak hal antara lain penghimpunan hadits yang memakan waktu lama, tidak seluruh hadits tertulis pada zaman nabi, jumlah kitab hadits yang banyak dan beragam dengan metode penyusunan yang beragam pula, serta timbulnya pemalsuan hadits.
Dalam periwayatannya sendiri, hadits nabi berbeda dengan Al-Qur’an. Untuk Al-Qur’an, semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedang untuk hadits nabi, sebagian periwayatnnya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi Ahad. Sehingga dalam pemaknaannya pun banyak terjadi perbedaan dan perdebatan.
Ada juga yang mempermasalahkan mengenai keshahihan dan tidaknya suatu hadits. Penilaian hadits dapat dikatakan shahih tergantung dari berbagai hal.
Salah satu yang menjadi acuan penelitian shahih atau tidaknya suatu hadits adalah dilihat dari struktur haditsnya yang terdiri dari sanad, matan dan rawi.
Sanad Hadits
Sanad menurut bahasa adalah al-mu’tamad artinya “sandaran” atau sesuatu yang dijadikan sandaran, pegangan dan pedoman. Dikatakan demikian, karena hadits bersandar kepadanya.
Sedangkan menurut Istilah ada beberapa pengertian, antara lain:
سلسلة الرجال الموصولة الى المتن
(mata rantai para perawi/orang yang meriwayatkan hadits yang menghubungkan sampai kepada matan hadits)
Yang lain mengatakan sanad adalah:
الإخبار عن طريق المتن
(berita tentang jalan matan)
Ada juga yang merumuskan sanad yaitu:
سلسلة الرواة الذين نقلو المتن عن مصدره الأول
(mata rantai para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama)
Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya atau kitab hadits hingga mencapai Rasulullah.
Agar lebih jelas, berikut akan dipaparkan contoh sanad hadits:
“Musaddad mengabari bahwa Yahya sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah dari Qatdah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
Sanad mengandung dua bagian penting, yakni:
1. Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan Hadits yang bersangkutan.
2. Lambang-lambang periwayatan hadits yang telah digunakan oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan Hadits yang bersangkutan, misalnya Sami’tu, Akhbarani, ‘an, dan Anna.”
Para ulama hadits menilai bahwa kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits diperoleh/atau di diriwayatkannya. Dengan sanad, suatu periwayataan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima dan di tolak dan mana Hadits yang shohih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Ada beberapa riwayat dan atsar yang menerangkan keutama’an Sanad.
Andaikata salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (mustahil), maka hadis tersebut dha`if sehingga tidak dapat di jadikan hujah. Demikian sebaliknya jika para pembawa hadis tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratannya, yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri (muru’ah), dan memiliki daya ingat yang kredibel, Sanadnya bersambung dari satu periwayat kepada periwayat lain sampai kepada sumber berita pertama, maka hadisnya di nilai shahih
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur atau rerawi bervariasi dalam lapisan atau tingkatan sanadnya. Lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah. Thabaqah ialah:
ﻋﺒﺎﺮﺓ ﻋﻦ ﺠﻤﺎﻋﺔ اﺸﺘﺮﻜﻮا ﻔﻰ اﻤﺮ واﺤﺪ
“Orang-orang yang bersekutu pada satu urusan”
Thabaqah diklasifikasikan menjadi thabaqah sahabat, tabi’in dan perawi. Para ulama berselisih tentang jumlah thabaqah sahabat dan perawi. Al Hakim membaginya menjadi dua belas thabaqah:
1. Sahabat-sahabat yang masuk Islam di Makkah separti Khalifah empat.
2. Sahabat-sahabat yang masuk Islam sebelum penduduk Makkah di Darun Nadwah.
3. Muhajirin Habasyah.
4. Sahabat yang menghadiri Al ‘Aqabatul Ula.
5. Sahabat yang menghadiri Al ‘Aqabatus Tsaniah. Kebanyakan dari Anshar.
6. Muhajirin yang menyusul ke Quba’ sebelum nabi masuk ke Madinah.
7. Sahabat yang ikut dalam perang badar.
8. Sahabat yang hijrah ke Madinah sesudah peperangan Badar sebelum Hudaibiyah.
9. Sahabat yang turut menyaksikan Bai’atur Ridwan di Hudaibiyah.
10. Sahabat yang berhijrah antara perdamaian Hudaibiyah dengan penaklukan Makkah.
11. Para sahabat yang Islam pada hari pengalahan Makkah.
12. Anak-anak yang dapat melihat Nabi pada hari pengalahan Makkah dan pada haji Wada’.
Sedangkan yang perlu dicermati dalam memahami al-Hadits terkait dengan Sanadnya ialah:
1. Keutuhan Sanadnya.
2. Jumlahnya.
3. Perawi akhirnya.
Kemudian dari kata sanad keluarlah kata isnad, musnid dan musnad.
1. Isnad Hadits
Menurut lughat, ialah menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Sedangkan menurut istilah adalah sebagai berikut
رﻓﻊ اﻟﺤﺪ ﻴﺚ اﻠﻰ ﻗﺎ ﺌﻠﻪ اﻭﻧﺎ ﻗﻠﻪ
“Mengangkat Hadits kepada yang mengatakannya, atau yang menukilkannya”
Ath Thibi mengatakan, bahwa sanad dan isnad berdekat-dekatan ma’nanya, karena para penghafal hadits dalam menshahihkan dan mendlaifkan berpegang pada sanad itu. Ibnu Jama’ah mengatakan, bahwa para muhadits memakai kalimat isnad dan sanad dalam satu pengertian.
2. Musnid
Musnid adalah orang-orang yang menerangkan hadits dengan sanadnya.
3. Musnad
Musnad secara bahasa yaitu sesuatu yang kita sandarkan kepada yang lain. Sedangkan menurut istilah ada beberapa pengertian yakni:
a. Nama bagi Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dengan menerangkan sanadnya yang bersambung walaupun pada dhahirnya.
b. Nama bagi kitab yang mengumpulkan hadits yang diriwayatkan oleh seorang shahabi. Atau dengan kata lain hasil karya musnid. Misalnya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. dengan judul Musnad Abu Bakar.
c. Dipakai dengan makna mashdar (isnad), seperti Musnad Asy-Syihab, ialah: sanad-sanad yang dibawakan oleh Asy Shihab.
Contoh Sanad
حدثنا عبد الله بن يوسف قا ل أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه قرأ فى المغرب الطور. (رواه البخاري)
Artinya:
“Memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata; memberitakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata: “aku mendengar Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat maghrib.” (HR. Al-Bukhori)
B. Matan Hadits
Matan menurut lughat, ialah: tengah jalan, punggung bumi atau bumi yang keras dan tinggi.
Menurut istilah, ialah:
اﻟﻓﺎ ظ اﻟﺤﺪ ﻴﺚ اﻟﺘﻰ ﺘﺘﻗﻮ ﻢ ﺒﻬﺎاﻟﻤﻌﺎ ﻨﻰ
“ Lafad-lafad hadits yang dengan lafad-lafad itulah terbentuk makna”
Sebagai contoh:
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri”.
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam memahami hadits ialah:
1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan.
2. Matan hadits itu sendiri dalam hubunganya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-Qur’an (apakah ada yang bertolak belakang).
Suatu materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits lain yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan realita, fakta sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran islam.
Matan harus melalui proses penelitian mengenai isinya agar bisa dikatakan maqbul (diterima). Tolok ukur penelitian matan yang dikemukakan ulama tidak seragam. Menurut Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H/1072 M), suatu matan dinyatakan diterima apabila:
1. Tidak bertentangan dengan akal sehat
2. Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah Muhkam (ketentuan hukun yang telah tetap)
3. Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir.
4. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf)
5. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.
6. Tidak bertentangan dengan Hadits Ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.
Dalam praktik, penelitian matan memang tidak mudah. Sebagai penyebab sulitnya penelitian matan ialah:
1. Adanya periwayatan secara makna.
2. Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja.
3. Latar belakang timbulnya petunjuk hadits tidak selalu mudah dapat diketahui.
4. Adanya kandungan hadits yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi supra rasional.
Contoh matan
عن أم المؤمنين عا ئشة رضى الله عنها قالت : قال رسول الله , من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. (رواه متفق عليه)
“Warta dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah bersabda: barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak’. ” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dari contoh hadist diatas yang dimaksud dengan matan hadis ialah lafadz yang dimulai dengan من أحدث hingga lafadz فهو رد atau dengan kata lain yang dimaksud dengan bagian matan dari contoh hadis di atas ialah lafadz من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد “barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak”
C. Rawi Hadits
Kata Al-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberitahukan hadits. Sebenarnya antara sanad dan rawi merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada setiap generasi atau thabaqah juga terdiri dari para rawi. Mereka adalah orang-orang yang menerima dan memindahkan hadits dari seorang guru kepada murid-muridnya atau kepada teman-temannya. Kemudian bagi perawi yang terakhir yang menghimpun hadits ke dalam satu kitab Tadwin disebut dengan perawi atau disebut juga dengan mukharrij. Demikian juga mereka disebut dengan mudawwin, karena ia menerangkan para perawi dalam sanad dan derajat hadits tersebut dalam bukunya.
Tidak semua perawi yang meriwayatkan hadits dapat diterima periwyatannya. Para ulama telah membuat beberapa persyaratan agar periwayatan seorang perawi dapat diterima.
Ada dua hal yang harus diteliti pada diri periwayat Hadits untuk dapat diketahui apakah riwayat yang dikemukakannya dapat diterima sebagai sebuah hadits yang dapat dijadikan hujjah atau ditolak, yaitu:
1. Adil, keadilan memiliki empat kriteria atau empat unsur yakni beragama Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama dan menjaga muru’ah. Kriteria tersebut berbeda di saat menerima dan menyampaikan hadits. Keempat kriteria tersebut harus terpenuhi disaat periwayat menyampaikan periwayatan hadits. Sedangkan tatkala menerima riwayat, kriteria beragama Islam dan mukalaf tidak mesti terpenuhi. Periwayat tatkala menerima hadits riwayat hadits tidak harus beragama Islam dan Mukalaf, asalkan dia telah mumayyiz atau dapat memahami maksud pembicaraan dan dapat membedakan antara sesuatu dengan yang lainnya. Akan tetapi tatkala menyampaikan riwayat hadits, dia telah memeluk Islam.
2. Dhabith, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertnggungjawabkan.
Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang dhabith ialah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagai mana seharusnya, dia memahami arti pembicaraan tersebut secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.
Dhabith ada dua:
a. Dhabith Shadar, yakni menghafal dengan baik.
b. Dhabith Kitab, yakni memelihara kitabnya dengan baik dari kemasukan sisipan atau yang lain.
Dalam periwayatan hadits ada istilah Muttabi’ dan Syahid,.
1. Muttabi’. Muttabi’ disebut juga At-Thaabi’ menurut bahasa adalah isim fa’il dari taba’a yang artinya mengiringi atau yang mencocoki. Sedangkan menurut istilah adalah satu hadits yang sanadnya menguatkan sanad lain dari hadits itu juga, dan sahabat yang meriwayatkan adalah satu.
2. Asy-Syahid, menurut bahasa adalah Isim Fa’il yang artinya adalah yang menyaksikan. Sedangkan menurut istilah adalah satu hadits yang matannya sama dengan hadits lain dan biasanya sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut berlainan.
Para ulama mengklasifikasikan para rawi –dari segi banyak dan sedikitnya Hadits yang mereka riwayatkan serta peran mereka dalam bidang ilmu hadits– menjadi beberapa tingkatan. Dan setiap tingkat diberi julukan secara khusus, yaitu:
1. Al-Musnid, adalah orang yang meriwayatkan hadits beserta sanadnya, baik ia mengetahui kandungan hadits yang diriwayatkannya atau sekedar meriwayatkan tanpa memahami isi kandungannya.
2. Al-Muhaddits. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Sayyid an-Nas, al-Muhaddits adalah orang yang mencurahkan perhatiannya terhadap hadits, baik dari segi riwayah maupun dirayah, hapal identitas dan karakteristik para rawi, mengetahui keadaan mayoritas rawi di setiap jamannya beserta hadits-hadits yang mereka riwayatkan; tambahan dia juga memiliki keistimewaan sehingga dikenal pendiriannya dan ketelitiannya. Dengan kata lain ia menjadi tumpuan pertanyaan umat tentang hadits dan para rawinya, sehingga menjadi masyhur dalam hal ini dan pendapatnya menjadi dikenal karena banyak keterangan yang ia sampaikan lalu ditulis oleh para penanyanya. Ibnu al-Jazari berkata, “al-Muhaddits adalah orang menguasai hadits dari segi riwayah dan mengembangkannya dari segi dirayah.” Contohnya adalah Sunan Baihaqi. ‘Atha’ bin Abi Ribah, Imam Az Zabidy
3. Al-Hafidh, secara bahasa berarti ‘penghapal’ Gelar ini lebih tinggi daripada gelar al-Muhaddits. Para ulama menjelaskan bahwa al-Hafidh adalah gelar orang yang sangat luas pengetahuannya tentang hadits beserta ilmu-ilmunya, sehingga hadits yang diketahuinya lebih banyak daripada yang tidak diketahuinya. Ibnu al-Jazari berkata, “al-Hafidh adalah orang yang meriwayatkan seluruh hadits yang diterimanya dan hapal akan hadits yang dibutuhkan darinya.” Beliau diantaranya adalah Ibnu Hajar Al-Asqalany, Al-Iraqi
4. Al-Hujjah, gelar ini diberikan kepada al-Hafidh yang terkenal tekun. Bila seorang hafidh sangat tekun, kuat dan rinci hapalannya tentang sanad dan matan Hadits, maka ia diberi gelar al-Hujjah. Ulama mutaakhkhirin mendefinisikan al-Hujjah sebagai orang yang hapal tiga ratus ribu Hadits, termasuk sanad dan matannya. Bilangan jumlah Hadits yang berada dalam hapalan ulama, sebagaimana yang mereka sebutkan itu, mencakup Hadits yang matannya sama tetapi sanadnya berbilang; dan yang berbeda redaksi/matannya. Sebab, perubahan suatu Hadits oleh suatu kata–baik pada sanad atau pada matan–akan dianggap sebagai suatu Hadits tersendiri. Dan seringkali para muhadditsin berijtihad dan mengadakan perlawatan ke berbagai daerah karena adanya perubahan suatu kalimat dalam suatu Hadits seperti itu. DiantaranyaHisyam bin ‘Urwah, Abu Hudzail bin Al Walid
5. Al-Hakim, adalah rawi yang menguasai seluruh Hadits sehingga hanya sedikit saja Hadits yang terlewatkan. Contohnya Ibnu inar, Imam Syafi’i, Imam Malik
6. Amir al-Mu’minin fi al-Hadits (baca: Amirul Mukminin fil Hadits) adalah gelar tertinggi yang diberikan kepada orang yang kemampuannya melebihi semua orang di atas tadi, baik hapalannya maupun kedalaman pengetahuannya tentang Hadits dan ‘illat-‘illatnya, sehingga ia menjadi rujukan bagi para al-Hakim, al-Hafidh, serta yang lainnya. Di antara ulama yang memiliki gelar ini adalah Sufyan ats-Tsawri, Syu’bah bin al-Hajjaj, Hammad bin Salamah, Abdullah bin al-Munarak, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari (wafat 256 H/870M), dan Muslim (wafat 261H/875M), Ad Daruquthny. Dan dari kalangan ulama mutaakhkhirin ialah al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani dan lainnya. Jadi yang menjadi ukuran tingkat keilmuan para ulama Hadits adalah daya hapal mereka, bukan banyaknya kitab yang mereka miliki, sehingga orang yang memiliki banyak kitab namun tidak hapal isinya, tidak dapat disebut sebagai al-Muhaddits.
Berikut ini adalah daftar para sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits yaitu:
1. Abu Hurairah, meriwayatkan 5.374 hadits.
2. Abdullah bin Umar, meriwayatkan 2.630 hadits
3. Anas bin Malik, meriwayatkan 2.286 hadits.
4. Aisyah Ummul Mu’minin, meriwayatkan 2.210 hadits.
5. Abdullah bin Abbas, meriwayatkan 1.660 hadits
6. Jabir bin Abdullah, meriwayatkan 1540 hadits
7. Abu Sa’id Alkhudri, meriwayatkan 1.170 hadits
Mukharij mukhrij hadits kutub as-Sittah
a. Imam Bukhori (194 H-256 H)
b. Imam Muslim ( 206 H -261 H )
c. Abu dawud (202-275 H )
d. At-Tirmidzi (209 H-729 H )
e. Imam An-Nasa’i ( 215 H-303 H )
f. Imam Ibnu Majah ( 207 H-273 H= 824 M-887M )
SISTEM PARA PENYUSUN KITAB HADITS DALAM MENYEBUTKAN NAMA RAWI
Suatu hadits terkadang mempunyai sanad banyak. Dengan kata lain, bahwa hadits tersebut terdapat dalam dewan-dewan atau kitab-kitab hadits yang berbeda rawi (akhir) nya. Misalnya ada sebuah hadits disamping terdapat dalam shahih Bukhari, juga terdapat dalam shahih Muslim, juga terdapat dalam sunah Abu Daud, musnad Imam Ahmad dan lain-lain sebagainya. Untuk menghamat mencantumkan nama-nama rawi yang banyak jumlahnya tersebut, penyusun kitab hadits biasanya tidak mencantumkan nama-nama tersebut seluruhnya, melainkan hanya merumuskan dengan bilangan-bilangan yang menunjukkan banyak atau sedikitnya rawi hadits pada akhir isi haditsnya. Misalnya rumusan yang diciptakan oleh Ibnu Isma’il as-Sana’ani dalam kitab Subulus Salam:
a. اخرجه السبعة: Hadits tersebut diriwayatkan oleh tujuh orang rawi, yaitu Imam Ahmad, Imam Bukahari, Imam Muslim, Abu Daud, At-Turmudzi, An Nasai dan Ibnu Majjah.
b. اخرجه الستة : Hadits tersebut diriwayatkan oleh enam orang rawi, yaitu tujuh orang rawi tersebut di atas selain Ahmad.
c. اخرجه الخمسة : Hadits tersebut diriwayatkan oleh lima orang rawi, yaitu tujuh orang rawi tersebut di atas dikurangi Bukhari dan Muslim. Rumusan ini dapat diganti dengan istilah: اخرجهالاربعة و احمد hadits tersebut diriwayatkan oleh para as-habussunnah yang empat ditambah Imam Ahmad.
d. اخرجه الاربعة : Hadits tersebut diriwayatkan oleh as-habussunnah yang empat, yaitu Abu Daud, At Turmudzi, An Nasai dan Ibnu Majjah
e. اخرجه الثلاثة : Hadits tersebut diriwayatkan oleh tiga orang rawi yaitu Abu Dawud, At Turmudzi dan An Nasai. Atau dapat juga dikatakan dengan hadits yang diriwayatkan oleh as-habussunnan, selain Ibnu Majjah.
f. اخرجه الشيخان : Hadits tersebut diriwayatkan oleh kedua Imam Hadits Bukhari dan Muslim.
g. اخرجه الجماعة : Hadits tersebut diriwayatkan oleh rawi-rawi hadits yang banyak sekali jumlahnya.
Adapun rumusan yang dikemukakan oleh Mansyur Ali Nasif dalam kitabnya At-taju’lJami’li’l, halaman 1 sebagai berikut:
a. رواه الشيخان : Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
b. رواه الثلاثة : Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Abu Dawud
c. رواه الأربعة : Hadits tersebut diriwayatkan oleh tiga orang rawi tersebut di atas ditambah dengan Turmudzi.
d. رواه الخمسة : Hadits tersebut diriwayatkan oleh empat rawi tersebut di atas ditambah dengan An Nasai.
e. رواه اصحاب السنن : Hadits tersebut diriwayatkan oleh tiga orang rawi pemilik kitab-kitab sunan, yaitu Abu Dawud, Turmudzi, An Nasai.
Wallahu a’lam.
🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Iman Islam
No Rek BSI : 5512 212 725
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130







