Pertanyaan
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ustadz saya ingin bertanya, kalau sebuah tanah sudah diberikan, misalnya begini:
1. Tanah adalah warisan hibah dari salah satu anak semasa orang tua hidup.
2. Di awal salah satu anggota keluarga anak kandung/adik kandung sudah menempati tanah lebih sepuluh tahun di karenakan:
A. Anak yang menerima waris mempersilahkan dan menyuruh serta memberikan secara lisan kepada adik ahli waris “ini menjadi bagianmu dan bangunlah tapi tidak ada peralihan hak (sertifikat), pakailah sampai kapan pun anak cucumu kecuali keturunanmu melanggar norma agama.”
B. Sekarang tiba-tiba dengan alasan akan dibangun dan lain-lain, tanah itu diambil dan si adik disuruh pindah ke tempat yang ditentukan.
Kira-kira menurut fiqih akadnya gimana ya ustadz? Jazaakumullah khoir.
Apakah sudah menjadi hak si adik secara ijab qobul atau bagai mana ya ustadz?
A_41
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃
Jawaban
Oleh: Ustadz Wawan Setiawan
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Hibah, hadiah, dan wasiat adalah istilah-istilah syariat yang sudah menjadi perbendaharaan bahasa Indonesia, sehingga istilah-istilah ini bukan lagi suatu yang asing. Hibah, hadiah dan wasiat merupakan bagian dari tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan agama islam. Dalam hukum Islam, seseorang diperbolehkan untuk memberikan atau menghadiahkan sebagian harta kekayaan ketika masih hidup kepada orang lain. Pemberian semasa hidup itu sering disebut sebagai hibah.
Imam an-Nawawi menjelaskan tentang hibah sebagai pemberian cuma-cuma (tabarru’) dengan menyatakan, “Imam as-Syâfi’i membagi pemberian dengan menyatakan, ‘Pemberian harta oleh manusia tanpa imbalan (tabarru’) kepada orang lain terbagi menjadi dua (yaitu) yang berhubungan dengan kematian yaitu wasiat dan yang dilaksanakan dalam masa hidupnya. Yang kedua ini terbagi menjadi dua jenis; salah satunya adalah murni pemberian (at-tamlîk al-mahdh) seperti hibah dan sedekah. Yang kedua adalah wakaf.
Pemberian murni ada tiga jenis yaitu hibah, hadiah dan sedekah tatawwu’ (sedekah yang hukumnya tidak wajib). Cara membedakannya adalah pemberian tanpa bayaran adalah hibah, apabila diiringi dengan memindahkan barang yang diberikan dari tempat ke tempat orang yang diberi sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan maka itu dinamakan hadiah. Apabila diiringi dengan pemberian kepada orang yang membutuhkan (miskin) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan mencari pahala akhirat maka dinamakan sedekah. Perbedaan hadiah dari hibah adalah dengan dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ketempat lainnya.
Berkaitan dengan hibah ini, dapat disimpulkan:
Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan oleh penghibah ketika hidupnya untuk memberikan suatu barang dengan cuma-cuma kepada penerima hibah.
Hibah harus dilakukan antara dua orang yang masih hidup.
Namun bagaimanna dengan perkara menarik kembali hibahnya secara sepihak?
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
العائِدُ في هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُوْدُ فِي قَيْئِهِ
Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya (HR. Al-Bukhâri)
Larangan menarik kembali hibah dalam hadits ini menunjukkan secara tegas bahwa hibah ini disyari’atkan.
Mayoritas Ulama memandang bahwa hibah memiliki empat rukun yaitu orang yang memberi (al-wâhib), orang yang diberi (al-mauhûb lahu), benda yang diberikan (al-mauhûb) dan tanda serah terima (shighat).
Adapun akad hibah tidak sah kecuali setelah diserah terimakan menurut pendapat mayoritas Ulama. Hal ini menghasilkan akad hibah dari sisi kepermanenannya melalui dua fase:
Fase sebelum diserah-terimakan. Ketika itu, hibah belum bersifat permanen. Mayoritas Ulama berdalil dengan hadits Ummu Kultsum binti Abu Salamah Radhiyalahu anhuma yang menyatakan:
لَمَّا تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ سَلَمَةَ قَالَ لَهَا: إِنِّي قَدْ أَهْدَيْتُ إِلَى النَّجَاشِيِّ حُلَّةً وَأَوَاقِيَّ مِنْ مِسْكٍ، وَلَا أَرَى النَّجَاشِيَّ إِلَّا قَدْ مَاتَ، وَلَا أَرَى إِلَّا هَدِيَّتِي مَرْدُودَةً عَلَيَّ، فَإِنْ رُدَّتْ عَلَيَّ فَهِيَ لَكِ» ، قَالَ: وَكَانَ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرُدَّتْ عَلَيْهِ هَدِيَّتُهُ، فَأَعْطَى كُلَّ امْرَأَةٍ مِنْ نِسَائِهِ أُوقِيَّةَ مِسْكٍ، وَأَعْطَى أُمَّ سَلَمَةَ بَقِيَّةَ الْمِسْكِ وَالْحُلَّةَ
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Sungguh aku telah memberikan hadiah kepada Najasyi berupa pakaian dan beberapa botol misk dan saya yakin Najasyi sudah wafat dan hadiahku tersebut akan dikembalikan kepadaku. Apabila dikembalikan kepadaku maka itu menjadi milikmu.” Ummu Kultsum Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan terjadilah seperti yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan dan dikembalikan hadiahnya kepada Beliau, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan setiap istrinya sebotol minyak misk dan memberikan sisa minyak misk dan pakaian kepada Ummu Salamah [HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, namun hadits ini dihukumi lemah oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 1620].
Juga karena hibah adalah akad tabarru’ (nirlaba), seandainya sah tanpa serah terima, tentulah yang diberi hibah memiliki hak untuk menuntut pemberi hibah agar menyerahkan hadiah tersebut kepadanya, sehingga menjadi seperti akad dhamân(ganti rugi). Ini tidak sesuai. Ditambah lagi penarikan hibah sebelum terjadi serah terima menunjukkan si pemberi hibahtidak ridha dengan pemberian tersebut. Apabila dipaksa harus menyerahkan, maka sama dengan mengeluarkan harta tanpa keridhaan. Ini bertentangan dengan tabiat hibah itu sendiri.
Fase setelah terjadi serah terima. Hibah dalam keadaan seperti ini bersifat permanen dan mengikat sehingga tidak boleh ditarik kembali, sebagaimana dilarang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
العائِدُ في هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُوْدُ فِي قَيْئِهِ
Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya (HR. Al-Bukhâri).
Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لا يَحِلُّ لِرَجُلِ أنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً، أوْ هِبَةً، ثُمَّ يَرْجِعَ فِيهَا، إِلا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ
Tidak diperbolehkan bagi seorang yang memberikan pemberian atau hibah kemudian ia menarik kembali pemberiannya kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. [HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Abu Dawud. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahîh al-Jâmi, no. 2775].
Dengan demikian jelaslah setelah serah terima, hibah menjadi milik yang diberi dan dilarang menarik kembali.
Berkaitan dengan kasus di atas, dimana sang kakak menghibahkan tanahnya untuk dimanfaatkan sampai kapanpun, kecuali jika adik atau keturunannya melanggar syarat yang ditentukan maka akadnya gugur/batal. Namun jika sang kakak membatalkan tanpa disertai pelanggaran syarat oleh penerima hibah tersebut, maka sang kakak dalam hal ini bersalah.
Mengenai pemindahan lokasi seperti yang diutarakan di atas, sebaiknya dibicarakan secara baik. Mengingat hibahnya adalah hibah manfaat atas tanah, bukan hibah hak milik atas tanah tersebut. Jadi selama manfaat yang sama tersebut bisa di dapat dilokasi baru, maka tidak menggugurkan akad. Hanya saja perlu diperhatikan jangan sampai merugikan si penerima hibah, seperti bangunan dan lain-lain.
Wallahu a’lam.
🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130