Pertanyaan
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ustadz… Saya mau bertanya, sebagian orang tua sibuk bekerja dan aktivitas lainnya di luar rumah sehingga terkendala dalam mengasuh anak mereka. Saya ingin mengetahui bagaimana tuntunan syariah terkait konsep pengasuhan (hadhanah) dalam Islam. Mohon penjelasan Ustaz. –Salma, Sukabumi
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Jawaban
Oleh: Ustadz Dr. Oni Sahroni
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Dalam bukunya Mausu’atu al-Usrah Tahta Ri’ayah al-Islam (4/188-193), Syekh ‘Athiyah Saqr menjelaskan beberapa poin yang coba penulis rangkai ulang dan lengkapi, yaitu sebagai berikut.
Pertama, pengertian dan batasan usia anak yang diasuh. Dalam Islam, anak yang dalam pengasuhan (hadhanah) itu adalah anak yang sudah disapih (sudah tidak disusui oleh ibunya).
Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh ‘Athiyah Saqr,
الطفل الذي ينفصل أبواه بعضهما عن بعض
“Anak yang telah disapih oleh kedua orang tuanya.”
Lebih jelasnya menurut Ibnu al-Qayyim, usia anak yang dalam pengasuhan adalah sejak ia disapih atau sejak ia tidak disusui hingga sebelum mumayyiz.
Ihwal tersebut, Syekh ‘Athiyah Saqr menjelaskannya dengan menukil penjelasan Ibnu Qayyim,
يقول ابن القيم : والحكم للأم بالحضانة محله في السنوات التي قبل تمييز الطفل، فإن ميز خير بين أبويه، أيهما اختار ذهب إليه،
“Ketentuan bahwa ibu berhak untuk melakukan hadhanah (pengasuhan) terhadap anaknya itu berlaku untuk rentang waktu anak berusia sebelum berusia mumayyiz. Tetapi jika anak sudah berusia mumayyiz, maka ia berhak memilih di antara kedua orang tuanya.”
وليس لسن التمييز حد معين، وقد قال مالك : إنه البلوغ فى الغلام، وفى الجارية إلى النكاح. والخلاف كبير في تحديد سن التمييز وفى التمييز هل يكون للولد والبنت على السواء، أو يفرق فيه بينهما، فيرجع إليه في كتب الفروع
“Sesungguhnya tidak ada batasan khusus terkait dengan berapa usia mumayyiz. Imam Malik mengatakan, usia mumayyiz adalah usia baligh untuk anak laki-laki merdeka, sedangkan bagi budak perempuan itu hingga mereka menikah. Perbedaan pendapat di antara para ahli fikih seputar ini cukup luas, dan begitu pula perbedaan mereka terkait dengan mumayyiz apakah berlaku bagi anak laki-laki dan perempuan atau dibedakan antara keduanya. Hal itu bisa dirujuk dalam kitab al-Furu’.”
وهناك اتفاق على مراعاة مصلحة الطفل وإن اختلفوا في تحديدها ووسائل تحقيقها. وقد أعطوا عناية كبيرة للبنت لأنها تحتاج إلى صيانة أكثر من الولد، والتشريع راعى ذلك فى أحكام كل منهما
“Sesungguhnya ada kesepakatan antara para ahli fikih bahwa hukumnya wajib memenuhi kebutuhan anak walaupun fikih berbeda-beda dalam menentukan hajat dan kepentingan tersebut dan cara merealisasikannya. Para ahli fikih memberikan perhatian lebih terhadap anak perempuan karena ia lebih membutuhkan akan bimbingan (ri’ayah) daripada anak laki-laki. Dan syariat ini telah memenuhi kaidah tersebut dalam hukum-hukum keduanya.” (Mausu’atu al-Usrah Tahta Ri’ayah al-Islam, Syekh ‘Athiyah Saqr, 4/193 menukil dari Zad al-Ma’ad, 4/134-137).
Contoh kondisi anak-anak saat ini adalah pengasuhan setelah tidak menyusui hingga sebelum masuk usia SD.
Kedua, siapa yang yang mengasuh dan merawat?
Para ulama menjelaskan bahwa mengasuh dan merawat itu menjadi hak ibu (bukan ayah) karena ibu lebih paham dan lebih mampu, lebih sabar, dan lebih memiliki keluangan waktu untuk mengasuh dan mendidik anak.
Oleh karena itu, ibu lebih didahulukan daripada ayah.
Ibnu Qayyim menjelaskan,
يقول ابن القيم : والولاية على الطفل نوعان، نوع يقدم فيه الأب على الأم ومن فى جهتها، وهى ولاية المال والنكاح، ونوع تقدم فيه الأم على الأب، وهي ولاية الحضانة والرضاع،
“Ibnu Qayyim berkata bahwa kewenangan terhadap seorang anak itu ada dua jenis. Jenis pertama kewenangan ayah didahulukan daripada ibu dan segarisnya. Kewenangan tersebut adalah kewenangan akan harta dan pernikahan. Jenis kedua adalah kewenangan di mana ibu didahulukan dari ayah, yaitu kewenangan akan hadhanah (pengasuhan) dan penyusuan.”
ولما كان النساء أعرف بالتربية وأقدر عليها، وأصبر وأراف وأفرغ لها، قدمت الأم فيها على الأب
“Pada saat wanita itu lebih paham dan lebih mampu untuk mendidik anak, lebih sabar, dan lebih memiliki keluangan waktu, maka ibu lebih didahulukan daripada ayah terhadap pendidikan anak.”
ولما كان الرجال أقوم بتحصيل مصلحة الولد، والاحتياط له في البضع قدم الأب فيها على الأم،
“Pada saat ayah itu lebih mampu untuk menyediakan atau memenuhi kepentingan anak terkait biaya dan nasab, maka ayah didahulukan daripada ibu.”
فتقديم الأم في الحضانة من محاسن الشريعة، والاحتياط للأطفال والنظر إليهم، وتقديم الأب في ولاية المال والتزويج كذلك…
“Merawat atau hadhanah dan mendidik anak yang menjadi hak ibu terhadap anak itu bagian dari maqashid syariah. Begitu pula terkait kewenangan dalam harta dan pernikahan anak menjadi hak ayah…” (Mausu’atu al-Usrah Tahta Ri’ayah al-Islam, Syekh ‘Athiyah Saqr, 4/193 menukil dari Zad al-Ma’ad, 4/134-137).
Kesimpulan tersebut sebagaimana tuntunan berikut,
(1) Hadis Rasulullah SAW,
“Diriwayatkan bahwa seorang perempuan mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya rahimku telah menjadi tempat anakku, susuanku telah menjadi minumannya, dan pangkuanku telah menjadi tempatnya. Tetapi kemudian ayahnya men-talaq-ku dan ingin mengambil anak tersebut dariku.’ Rasulullah SAW mengatakan kepadanya, ‘Engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah kembali’.” (HR Abu Dawud dalam Sunannya dari Abdullah Ibnu ‘Amr).
(2) Hadis Rasulullah SAW,
“Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari hadis al-Barra bin ‘Azib bahwa Ali, Ja’far, dan Zaid itu bersengketa atas putrinya Hamzah. Ali mengatakan, ‘Aku lebih berhak atasnya karena ia adalah anak dari pamanku.’ Ja’far mengatakan, ‘Ia adalah anak dari pamanku, dan bibinya ada padaku.’ Zaid mengatakan, ‘Ia adalah anak perempuan dari saudaraku.’
Kemudian Rasulullah SAW memutuskan anak tersebut untuk bibinya dan mengatakan bahwa bibi itu seperti ibu. Kejadian ini saat Rasulullah SAW baru menunaikan umratul qadiyah pada saat mereka keluar dari Makkah menuju Madinah, kemudian anaknya Hamzah mengikuti mereka dan memanggilnya ‘Wahai paman…wahai paman.’ Kemudian Ali mengambil tangannya dan terjadilah sengketa tersebut.” (HR Bukhari Muslim).
(3) Hadis Rasulullah SAW,
“Ahlu Sunan meriwayatkan dari hadis Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW meminta kepada seorang anak laki-laki untuk memilih antara ayah dan ibunya dan itu dishahihkan oleh Tirmidzi.”
(4) Hadis Rasulullah SAW,
“Ahlu Sunan juga meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa seorang perempuan datang dan mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku ingin pergi dengan anakku dan ia telah memberiku minum dari sumur Abi ‘Utbah dan bermanfaat memenuhi kebutuhanku.
Kemudian Rasulullah SAW berkata, ‘Undilah anak tersebut.’ Suaminya mengatakan, ‘Siapa yang akan menyelisihiku mengenai anakku?’ Kemudian Rasululah SAW mengatakan, ‘Ini adalah ayahmu dan itu adalah ibumu, pilihlah di antara keduanya.’ Kemudian anak tersebut mengambil tangan ibunya dan pergi bersamanya. At-Tirmidzi mengatakan hadis ini hasan shahih.”
(5) Hadis Rasulullah SAW,
“Dalam Sunan an-Nasa’i dari Abdu al-Hamid bin Ja’far al-Anshari dari kakeknya. Diriwayatkan bahwa kakeknya masuk Islam tetapi istrinya enggan masuk Islam. Kemudian suaminya datang dengan anaknya yang masih kecil dan belum baligh. Ia mengatakan, Rasulullah SAW mempersilakan duduk suami di sini dan istri di sini, kemudian ia mengatakan pilihlah. Dan mengatakan, ‘Ya Allah berikanlah petunjuk kepadanya.’ Kemudian anak itu pergi kepada bapaknya.”
Ketiga, kriteria pengasuh anak. Tidak setiap orang boleh mengasuh anak, tetapi harus memenuhi kriterianya. Di antaranya adalah Muslim dan amanah sebagaimana dijelaskan Syekh ‘Athiyah Saqr,
اشترطوا في الحاضن أن يكون مسلماً، حتى لا ينشىء الكافر الطفل على دينه، تحقيقاً لحديث “كل مولود يولد على الفطرة، وأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه” (رواه البخاري ومسلم عن ابي هريرة)
“Para ulama mensyaratkan pihak yang melakukan hadhanah (pengasuhan) harus beragama Islam agar –jika yang melakukannya non Muslim– tidak mengajak atau membimbing anak tersebut kepada agamanya, sebagaimana hadits, ‘Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi’.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). (Mausu’atu al-Usrah Tahta Ri’ayah al-Islam, Syekh ‘Athiyah Saqr, 4/193).
Keempat, apakah mengasuh anak itu kewajiban ibu? Sesungguhnya, pengasuhan itu adalah hak bukan kewajiban (menurut pendapat yang shahih).
Ibu boleh merelakan haknya kepada pihak lain dengan persetujuan ayah si anak. Hadhanah (pengasuhan) menjadi wajib dalam kondisi khusus seperti kebutuhan anak tersebut akan pengasuhan oleh ibunya yang tidak bisa dilakukan oleh selainnya.
Sebagaimana dijelaskan Syekh ‘Athiyah Saqr,
والحضانة حق لا واجب على الصحيح، فلها أن تتنازل عنها إلى غيرها برضا والده. ولا يجب عليها خدمة الولد أيام حضانته إلا بأجر حتى لو كانت غنية. ولا تكون الحضانة واجبة إلا عند حاجة الطفل إليها ولم يوجد غيرها، وعلى هذا يجب عليها خدمته دون مقابل ما لم تكن فقيرة
“Hadhanah (pengasuhan) adalah hak bukan kewajiban (menurut pendapat yang shahih). Ibu boleh merelakan haknya kepada pihak lain dengan persetujuan ayah si anak. Selanjutnya, ibu tidak wajib untuk mengasuh anak selama usia hadhanah (pengasuhan) kecuali dengan kompensasi walaupun sang ibu seorang hartawan. Hadhanah (pengasuhan) tidak wajib kecuali dalam kondisi khusus seperti kebutuhan anak akan pengasuhan oleh ibunya yang tidak bisa dilakukan oleh selainnya. Oleh karena itu, dalam kondisi tersebut, ibu wajib untuk mengkhidmahnya tanpa kompensasi walaupun ibu dalam kondisi dhuafa.” (Mausu’atu al-Usrah Tahta Ri’ayah al-Islam, Syekh ‘Athiyah Saqr, 4/193).
Wallahu A’lam.
Sumber: Konsultasi syariah Republika Online, 12 Agustus 2024
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130