🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹
📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I
Berkaitan dengan pembahasan ini, ada dua istilah yang biasa digunakan dalam kitab fiqih yang perlu kita perhatikan terlebih dahulu agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahaminya, yaitu istilah ummi dan qari. Dalam hal ini, Imam asy-Syafi’i (w. 204 H)-sebagaimana dikutip oleh Abu al-Husain al-‘Imrani (w. 558 H) di dalam al-Bayan fi Madzhab al-Imam asy-Syafi’i-memberikan pengertian bahwa ummi adalah orang yang tidak mampu membaca al-Fatihah dengan baik walaupun ia mampu membaca yang lainnya dari al-Qur’an dengan baik. Sebaliknya, qari’ adalah orang yang mampu membaca al-Fatihah dengan baik walaupun ia tidak mampu membaca yang lainnya dari al- Qur’an dengan baik.
Berkaitan dengan bermakmumnya seorang qari’ kepada imam yang ummi-sebagaimana juga disampaikan oleh al-‘Imrani-maka dalam hal ini ada tiga pendapat dalam madzhab Syafi’i. Pendapat pertama, yaitu pendapat yang dipandang shahih dalam madzhab ini mengatakan bahwa tidak sah jika seorang qari’ diimami oleh seorang ummi. Di antara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw.: “Yang menjadi imam suatu kaum adalah yang paling pandai membaca al- Qur’an.” (HR. Muslim).
Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam asy-Syafi’i di dalam qaul qadim-nya mengatakan sah jika dalam shalat sirriyah dan tidak sah jika dalam shalat jahriyah.
Adapun pendapat ketiga, yaitu yang dari Abu Ishaq al-Maruzi, bahwa sah shalatnya secara mutlak.
Permasalan selanjutnya yang penting penulis kemukakan di sini adalah terkait bagaimana jika seorang makmum tidak mengetahui bahwa yang menjadi imamnya adalah seorang ummi. Maka dalam hal ini Zainuddin al-Malibari (w. 987 H) di dalam Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain bi Muhimmat ad-Din menjelaskan: “Jika seorang laki-laki bermakmum kepada imam yang menurut prasangkanya adalah pantas menjadi imam namun justru kenyataannya adalah sebaliknya, seperti mengira bahwa ia bermakmum kepada seorang qari, bukan makmum, jenis kelaminnya laki-laki, atau berakal, namun nyatanya yang menjadi imam adalah seorang yang ummi, statusnya juga sebagai makmum, jenis kelaminnya perempuan, dan atau gila, maka wajib baginya mengulang shalatnya karena ia sendiri yang ceroboh, tidak meneliti telebih dahulu.” Abu Bakr ad-Dimyathi (w. setelah 1302 H) di dalam l’anah ath-Thalibin ‘ala Hall Alfazh Fath al- Mu’in kemudian menambah penjelasan terkait mengulangi shalat tersebut dengan menuliskan: “Jika ia baru mengetahui kenyataan sebenarnya tersebut setelah rampungnya shalat, maka ia harus mengulangi shalatnya. Sedangkan jika ia mengetahuinya ketika masih dalam keadaan shalat, maka wajib baginya memutuskan shalatnya kemudian memulainya lagi dari awal.”
Wallahul Muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130






